Rabu, 29 Februari 2012

Cerpen Persahabatan Remaja 2012 - Sahabat Sejati

SAHABAT SEJATI
Cerpen Sahabat Pena

“ Nis,tungguin gue,dengerin penjelasan gue dulu!”Teriak Nani sahabakku.”Mau jelasin apa lagi kmu udah jelas semuanya nan,udah jelas.”
Balazku ketus. Ceitanya begini .
Waktu itu aku sindirian,aku menuju ke Taman sekolah sambil baca novel,truz aku lihat Nani  ma Dinda dan Sari sedang ngobrol. Awalnya aku pengen sapa Nani tapi terlanjur dia bilang pada Dinda dan Sari “ Gue itu jadi sahabat nisa coz gue pengen merebut apa yang ia pux.”Kata Nani “Maksud loe .”Tanya Sari “
Gue itu sebenarnya benci banget ma nisa ,gue jadi sobatnya supaya gue bsa manfaitin dia!dia kan anaknya lembek”Jawab Nani smbil tertawa ,diikuti dgn Dinda dan Sari. Gue langusung samperin Nani “Tega loe ya Nan,gue benci loe,gue benci”Kataku sambil menetezkan air mata dan pergi dari tempat itu. 
****

Pulang sekolah aku pun menuju Danau .Karena pada waktu gue lagi sedih gue langsung ke Danau .
“ Kenapa ,Nin loe tega banget ma gue .Gue itu sayang banget ma loe dan gue udah anggap sebagai kakak kandung loe,tapi kenapa loe kecewain aku,kenapa nis,kenpa ,apa salahku,gue kecewa ma loe........
”Teriak ku diikuti oleh hujan deras. “Lo pernah bilang ma gue kalo kita akan jaga perasaan satu sama lain dan  tak kan pernah nyakitin hati,tapi kenapa janji itu lo ingkari.........KENAPA
”Teriakku sambil menangis di Danau itu.  
 ******
“Assalamualaikum”Salam ku msuk rumah mungil ku sambil membuka pintu.
“ Waalaikum salam,Ya Allah Nisa kamu kenapa kok baju kamu basah semua”Jawab Mamaku khawatir. “Anu ma nisa tadi kehujanan waktu pulang sekolah”Jawabku lemas. “Ya,udah sana mandi truz makan”Perintah Mamaku. “Iya ma”Jawabku singkat. 
****

Setelah Mandi dan sarapan aku pun langsung masuk kamar,tiba2 ada sms masuk ternyata dari Nani. “Maafin gue ya Nis,gue gag maksud nyakitin hati loe”Isi dari mz itu.dan ku lz .
“Truz napa tadi loe bilang gitu,kenapa Nan?”Tanyaku. “Gue bicara gitu karena terpaksa nis,gue emang gag bisa ngomong sekarang tapi suatu saat loe taw kenapa aku tadi bilang gtu”Lzsan dari Nani.Tapi aku hanya bisa menagis dan menangiz.  
***

Keesoakn harinya aku berangkat sekolah dan mencoba utk menghilangkan masalah itu.Tapi tiba2 gue ketemu sama Dinda dan Sari,tapi aku tetep jalan. “Kasian banget sich loe,sedih ya gag pux temen!”Ejek mereka.Tapi pembicaraan merekan sama sekali tak kudengarkan dan kuladeni,aku tetep menuju kls.Tapi hari ini gue mlez bngt ke sekolah coz gue gg mau ketemu sama Nani tapi gimana lagi dia sekelas denganku.  
****

Sampai dikelas gue sama sekali gag melihat Nani ditmp duduknya.
“Lo Nani kok gag ada ceh,Enggak gue gag mau peduliin dia lgi”Batinku.
“Pagi niz,loe kamu kok masuk sekolah sich”Tanya Temenku yang  bernama Sarah. “Loh,emangnya gue gag bloh masuk sekolah ,gtu !”Jawabku.
“Low,kok elo bicara gtu,gue kn heran ma loe,mzk Nani mzuk Rumah Sakit gag loe jenguk sich,loe sobat dia bukan ceh”Jawab Sarah.
“APA ,Nani mzuk Rumah Sakit!!Rumah Sakit mana”Tanya ku pada Sarah. “Kok,elo gag taw sich Nani kan lgi sakit!Katanya dia sekarang lgi di Rumah Sakit Harapan”Jelas Sarah. “Makasih ya sar,gue ksana dulu,ijinin ke Ibu guru klo gue gi jenguk Nani”Kataku sambil pergi dari sekolah menuju rumah sakit.
******

Setelah msuk rumah sakit ,aku pun langsung menuju kamar Nani. “Assalamualaikum”Kataku sambil membuka pintu.
“Waalaikum salam,eh Nisa!silahkan masuk niz”Jawab Nani lemas.Melihat kondisi Nani aku pun merasa bersalah ma dia.
“Nan,maadin gue yah coal kemaren”Pintaku pada Nani. “Ya,gag papa kok lagian ini juga salah gue kok”Jwb Nani. “Nan,lo kok bsa mzuk rumah sakit ceh?”Tanyaku pada Nani.
“Cory,ya Niz gue gag pernah cerita ke elo soal penyakit gue”Jawab Nani.
“APA PENYAKIT,PENYAKIT PA CEH,LO PUX PENYAKIT APA”Tanyaku kaget. “Gue sakit Paru2 Nis,gue gag pernah cerita ke elo krena gue gag ingin membuatmu sdih.Dan coal kemaren sebenarny gue disrh ma Dinda dan Sari bicara gtu klo tdk dia kan membocorkan ke lo klo gue pux penyakit Paru2”Jawab Nani sambil mengis.
“Maafin gue ya Nan,gue udah salah sangka ke loe”Kataku sambil menangis dan memeluk Nani. “Sebelum maut menjemput gue,gue maw kasih kenang2 ke loe”Kata Nani.
“Lo gag bloh mati gue gg mau kehilangan sahabat seperti loe,gue gag mau”Jawabku ketakutan. “Nie liontin didlm nya ada foto kita berdua.Dan nie Gantulan Bintang,gntulan bintang nie jika kmu taruh di tempat yang gelap terdapat tulisan
“NISA SAYANG NANI,NANI SAYANG NISA”,lo simpan ya kenang2 dri gue!Gue maw istirahat dulu,swtu saat kita pasti ketemu di Surga”Kata2 terakhir Nani yang diucapkan pada Nisa. “NANI..................JGN TINGGALIN GUE”Teriak ku smbil menangiz.Aku hanya bza menagis karena udah kehilangan sobat seperti Nani?Mungkin gue gag akan temuin sobat seperti dia yang melakukan apa saja utk sobatnya agar sobatnya tdk bersedih mskipun tu menyakitkan baginy dan sobat.Semenjak Nani meninggal gue selalu bwa liontin dan gantulan bintang itu supaya gue selalu ingat dengannya.

THE END

Baca juga Cerpen Remaja dan Cerpen Persahabatan lainnya.

Cinta Cewek Depresi (Cerpen Cinta Terbaru 2012)

CINTA CEWEK DEPRESI……
Cerpen Dina rochmatun
      
“HAI…… , kok duduk sendirian???” kata seorang cowok yang tiba-tiba sudah ada didepan Vaya

Vaya kaget. Dia menatap seorang yang menyapanya dengan ketakutan.
“ Jangan takut, aku cuman kepingin nanya tahu laboratorium nggak????” tanya cowok itu dengan tenang
       
Vaya kemudian menggeleng.
“Owh! Tidak tahu ya..????? eh ngomong-ngomong kamu lagi ngapain disini???” tanya seorang cowok itu lagi.
       
Sekali lagi Vaya menggeleng. Cowok itu menatapnya sambil tersenyum.
“kok diam saja???” tanya cowok itu heran, dia sekilas melihat Vaya yang sedang duduk dan memandang kearah depan dengan pandangan kosong.

Dia tidak tampak seperti orang sakit! Lalu mengapa dia kerumah sakit???? Bukankah rumah sakit itu tempat orang-orang yang sakit eaa???? Kata cowok itu dalam hati.
“ nunggu siapa?????” sekali lagi cowok itu bertanya. Tetapi Vaya hanya diam saja. Tidak memberi respon, akhirnya cowok itu capek sendiri. Cowok itu duduk di sampingnya.”Heeeeeeemmt!,…. PENYIAR RADIO SAJA!” kata cowok itu tanpa merasa kesal. “ngomong sama kamu kayak ngomong sendiri! Salah-salah aku yang diseret ke situ! dikira  GOKIEL!!!!!!!!!!!!

Cowok itu ketawa geli ktika dirasanya dia tertawa sndiri, karena Vaya diam saja, langsung saja tawanya berhenti. Di awasinya Vaya sambil menyeringi jenaka.
“ kamu gak bisa ngomong, gak bisa ketawa…?????????” kata cowok itu.
“ DIA BISU………..!!!!!!!” kata tante sarah yang tahu-tahu sudah berdiri tegak disamping Vaya, Vaya tidak tahu kalau tantenya sudah ada di sampingnya dari tadi.
“ Vaya, AYO KITA PULAAAAAAAANG…!” Vaya lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan cowok itu.
“maaf, Tante!!!” cowok itu berlari mengejar Vaya dan menghadang dari depan Vaya. Vaya langsung memandang cowok itu dengan pandangan tidak mengerti, apa maksud cowok itu menghadangnya. Cowok itu membalas tatapan Vaya dan sesaat mereka berdua saling bertatapan.

Mengetahui hal itu tante sarah langsung mendehem” Ehhhheeeemmmtt!!!!!!!... maaf ya dek! Ada apa adek ini memanggil-manggil dan menghadang di depan?????? Katakan saja sebenarnya apa maksud adek!!!!”
“ Maaf tante!!!! Aku hanya ingin berkenalan dengan……………….” Cowok itu memandang Vaya.
“ Owhhhh! Namanya Vaya!” kata tante sarah sambil menghela nafas panjang. Dasar anak muda zaman sekarang.
“ Vaya tante?????????,” cowok itu langsung mengulurkan tangan kananya pada Vaya” Hai! Vaya,…… namaku DIYAN!!!!!!” kata cowok itu sambil tersenyum.

Vaya hanya memandang uluran tangan cowok ini, dia tidak membalas uluran tangannya.
“ Vaya….., Diyan ingin berteman dengan mu, ayo jabat tangan!!!!!!” ragu-ragu Vaya membalas jabatan tangan cowok itu.
“ senang berkenalan denganmu Vaya, mulai sekarang kita berteman yaaaa…!!!” pinta cowok itu.

Sejak kecil Vaya selalu sendiri, kesepian. Dia tidak mempunyai seorang teman. Maklumlah kondisi Vaya yang seperti ini, lagi pula mana ada yang betah berteman denganya. Tapiiiii…… yang satu ini benar-benar lain daripada yang lain. Sepertinya cowok ini benar- benar tulus ingin berteman dengan Vaya.
“ tante…….! Boleh kan saya bermain – main kerumahnya Vaya????????”
“ TENTU………” sahut tante Sarah setengah kaget.” Main-mainlah kalau nak Diyan sempat……!!!!” tante sarah lalu memberikan alamat rumahnya ke cowok itu.
   
Suatu hari cowok itu benar-benar ,main ke rumah Vaya, dia datang ke alamat rumah sesuai dengan alamat rumah yang diberikan tante Sarah.
“ Selamat sore , Tante. Vayanya ada?????. “ tante sarah terperagah kaget. Dia bener-bener  tidak menyangka kala cowok yang dulu pernah ia temui di rumah sakit, tiba-tiba sudah berdiri tegak di depanya sambil menggenggam seikat bunga mawar merah di tangan kananya.
       
Tetapi Diyan tampaknya tidak kecwA KETIKA Vaya muncul tidak menaruh perhatian pada seikat bunga itu. Soalnya Vaya juga bingung mau di apakan bunga itu………?????!!!!!”
“ Diyan membawakan Kamu bunga Vay,” kata tante arah.
“ lain kali ku bawakan kamu coklat Vay!!!!!!!...” kata Diyan sambil tersenyum. Sama ekali tidak kecewa melihat sambutan Vaya.” Vaya, kamu suka coklat…..?????”
       
Vaya Cuma mengangguk. Ke esokan harinya Diyan datang lagi kerumah Vaya, Diyan benar-benar membawakan setumpuk coklat untuk Vaya.
“ kamu suka yang ada kacangnya ya Vay….????? Kalau aku, lebih suka yang ada anggurnya ini. Mau coba……???????”
       
Dan mereka makan coklat dengan asyiknya seperti dua orang anak kecil. Tante sarah benar-benar merasa aneh, yang seperti ini belum pernah terjadi. Sudah 9 tahun Vaya dikucilkan teman-temanya, akhirnya sekarang Vaya mempunyai seorang teman juga……….. tetapi!, tman yang benar-benar di luar dugaan tante sarah.
       
Diyan dua tahun lebih tua daripada Vaya. Fisiknya normal, mentalnya juga normal, lagak-lagukmya seperti anak muda zaman sekaran, penampilanya pun demikian.
       
Mengapa seorang seperti Diyan mau saja berteman dengan seorang gadis seperti Vaya???? Dia pasti tidak kekurangan teman. Untuk apa dia mendekati Vaya????.... fikir tante sarah.
       
Tak terasa satu tahun sudah lamanya hubungan pertemanan Diyan dengan Vaya. Tante sarah heran. Hubungan yang disangkanya tidak berlangsung lama itu, ternyata cukup langgeng. Diyan semakin sering datang kerumah mereka.
       
Dan Vaya…..!!! ini yang membuat tante sarah cemas dan bercampur gembira. Dia mengalami banyak perubahan. Kalau dulu Vaya males mandi, tidak mau menyisir rambutnya kalau tidak didesak-desak tante sarah, sekarang dia malah mandi sebelum diuruh, sudah menyisir rambutnya, sebelum tante sarah sempat mengambil sisir. Dan dia mulai memilih-milih baju yang akan dipakainya kalau sedang menunggu kedatangan Diyan.
       
Meskipun dia masih tetap membisu, jelas ada hubungan yang lebih erat diantara mereka. Seperti hari ini, dengan caranya sendiri Vaya meminta tantenya untuk mendandaninya. Meskipun bingung, tante satrah tak urung merasa terharu.
       
Akhirnya Vaya memperoleh juga masa keremajaanya…….. benarkah Diyan orang yang dikirim Diyan untuk menolong Vaya dari kumparan DEPRESINYA?????... tentu saja tante sarah tidak mengetahui Diyanlah justru yang mendorong Vaya untuk berdandan.
“ kamu cantik sekali Vay…????” katanya suatu hari.” Gadis yang paling cantik , yang pernah qaku kenal.” Entah dia berbohong atau tidak, perasaan Vaya saat itu benar-benar senang.” Kenapa kamu gak mau memotong rambutmu sedikit Vay…?? Biar… lebih Modis, ….. model rambut mu KUNO!!!!!!! Dan wajahmu……….. mengapa selalu sepucat itu?????... tau nggak , kamu tampak lebih keren kalau bibirmu lebih merah sedikit, Mata mu lebih bersinar, pipimu lebih bercahaya……. Pendeknya LEBIH CANTIK, DEH!... lihat tante sarah mu,, sudah tua khan dia?? Tetapi tetap cantik! Tahu kenapa…??????? Karna dia merawat dirinya…… !!!! kamu juga bisa lebih cantik daripada tante sarahmu Vay!!!... lha.. kamu khan jauh lebih muda!!!!!,,,,, MASAK kamu kalah siiiiiiiiih sama Tante-tante…?????????”
       
Tentu saja Diyan mengatakanya sambil bergurau . tapi bagi Vaya sendiri, gurauan Dyan itu sungguh menggugah keinginanya untuk mengubah penampilan…. Kalau begitu yang di sukai DIYAN selama ini.
       
Vaya sendiri juga heran. Mengapa selama ini dia ingin menyenangkan hati DIYAN????? Rupanya di hati Vaya sudah mulai tumbuh benih-benih cinta. Setiap bertemu dengan Diyan , jantungnya selalu berdetak lebih kencang dari biasanya. Owhhh! Apakah ini yang namanya CINTA?????? Tanya Vaya dalam hati. Vaya benar-benar tidak dapat memahami dirinya.
       
Dan tibalah saat-saat yang ditunggu-tunggu Diyan untuk menyatakan cintanya ke Vaya. Saat itu Diyan mengajak Vaya untuk jalan-jalan di taman, awalnya tante sarah tidak mengizinkan . tapi keinginan Vaya yang kuat membuat Vaya kembali bisa berbicara dan…… mengatakan keinginan hatinya kepada tantenya.
“ Tante……., apa aku harus terus-teruan di kurung di rumah????? Apa aku nggak boleh pergi jalan-jalan melihat keindahan alam di sana tante…????” kata Vaya sambil menangis.
       
Mendengar Vaya dapat berbicara lagi Tante Sarah pun bahagia.” Vaya kamu bisa berbicara  LAGI???????... “ kata tant sarah.
“ iya, ……..Vaya kamu bisa berbicara lagi???!!!!!!!!!.” Diyanpun tersenyum bahagia.
“ ya sudah tante izinkan kamu pergi. Tapiiiiiiiiii……. Pesen tante hati-hati ya Vaya!!!!!!”

Vayapun menghapus air matanya” iya tante..!”
“ berangkat dulu tante..!!!!!!!” kata Diyan berpamitan.

Akhirnya datang juga keajaiban yang selama ini di tunggu-tunggu tante sarah sejak 9 tahun yang lalu. Vaya yang tidak bisa ngomong alias BISU! Sekarang dapat kembali berbicara dan NORMAL seperti anak-anak seusianya.

Bukan hanya tante Sarah yang berbahagia, Vayapun jauh lebih bahagia dari tantenya. Vaya kini sekarang bisa bersama orang yang ia cintai yaitu DIYAN, dan DIYAN pun juga merasakan hal yang sama.

…….selesai!!!!!!!!@#

Baca juga Cerpen Cinta atau Cerpen Tentang Cinta yang lainnya.

Cerpen Sedih 2012 - Pelangi Diawal Kelambu

PELANGI DI AWAL KELABU
Cerpen Luthfi Bagas Pambudi
   
Ku rasakan detak jantungku berdetak tak menentu. Terkadang seirama dengan detakan jam, terkadang pula sekencang bunyi gendrang yang di pukul secara membahana. Bahkan dada ini terasa sakit bila jantungku berdetak seperti itu. Di tambah, deru nafasku yang sesak dan mulai bernyanyi dengan nyaring. Hal ini biasa terjadi padaku dalam waktu yang tiba – tiba, bahkan tak terduga.
   
Tubuhku pun mulai terasa lemas ketika aku harus berlari mengitari lapangan sekolah karena mata pelajaranku kali ini adalah Penjaskes. Tubuhku pun betambah lemas lagi ketika otakku terasa berdetak nyeri di dalam kepala ini karena sakit ku kambuh secara tak terduga, dan terik matahari yang mulai menyengat kulit di siang hari.
   
Seorang kakak kelas berbaju putih abu – abu yang ku suka pun tampak mendekat, mencoba menangkap tubuh yang lemas ini. Nafasnya yang hangat menerpa wajahku. Aroma tubuhnya yang maskulin menjadi obat penidur untukku, di dalam dekapannya kini.
   
Beberapa saat berlalu, mimpi gelapku terusik oleh langkah – langkah kaki yang gaduh di sekitarku. Perlahan mulai kubuka kedua mata yang terasa berat ini. Dan hal pertama yang ku lihat , meski dalam keadaan pusing dan kabur adalah langit – langit gedung yang bergerak cepat di atasku, seirama dengan tubuhku yang dibawa di atas ranjang Rumah Sakit oleh orang – orang yang ku kenali sebagai sahaba – sahabatku, dan beberapa orang perawat cantik yang membawa infus sembari berlari, mencoba menyamai kecepatan langkahnya denganku di atas ranjang berjalan ini.

Tubuhku pun di bawa ke dalam sebuah ruangan oleh para perawat itu, sementara sahabat – sahabatku di tahan di luar ruangan oleh 2 perawat lainnya yang menunggu di luar ruangan.
   
Di dalam ruangan, hidung dan mulutku di tutupi oleh sebuah alat bantu pernafasan yang lumayan membantuku. Infus kembali di pasang di tanganku, dan membuatku jadi panik dan gelisah sendiri.
   
Seorang pria setengah baya masuk ke dalam ruangan dengan mengenakan jas putih dan beberapa perlengkapan dokternya yang di jadikan satu di dalam sebuah tas hitam yang ia bawa.
   
Aku langsung memejamkan mata ketika Sang Dokter mengangguk, memberikan instruksi kepada dua perawat wanita yang kini berada di kanan – kiriku.
   
Selama memejamkan mata, sempat terbayang wajah – wajah orang yang ku sayang. Wajah tante yang menjadi wakilku, wajah sahabat – sahabatku, dan tentu saja, wajah orang yang aku cintai, Kak Dika.
   
Namun, ketika seseorang memasukkan ujung tajam dari jarum suntik ke kulitku, wajah – wajah itu segenap berubah menjadi keharuan hingga ku sadari beberapa tetes air mataku jatuh dan membasahi pipiku.
   
Wajah – wajah itu berubah sedih dan penuh keharuan. Bahkan, sempat terlintas kenangan – kenangan pahitku. Terutama, kenangan pahitku tentang kak Dika yang sampai saat ini tak mengetahui bahwa aku sangat menyayanginya. Tapi, sayang, ku tahu ia telah dimiliki wanita cantik yang kutahu adalah kekasihnya.
   
Jarum suntik pun di keluarkan, dan mata serta detak jantung yang menyakitkan dalam setiap detakanannya ini pun perlahan menjadi pusat pemeriksaan oleh Sang Dokter dan beberapa perawatnya.
   
Sebuah alat pendeteksi jantung yang berada di sebelahku pun berbunyi aneh, tak seperti bunyi pada jantung orang yang normal.
   
Sempat ku lihat sang Dokter menggelengkan kepala kepada tatapan sedih para perawat, yang masih berdiri di sisiku itu. Aku pun kembali menutup mata dan mencoba untuk melihat wajah malaikat yang akan menyabut nyawaku, karena penyakit leukimia yang ku alami ini sudah benar – benar tak bisa di sembuhkan lagi. Padahal, seudah banyak usaha yang ku lakukan bersama tante dan sahabat – sahabatku untuk mencari obat penyembuh dari penyakit ini. Tapi ternyata, Tuahn lebih memilih untuk menjemputku di waktu yang tepat ini. Dimana, masih ada orang – orang yang ku sayangi, dan yang menyayangiku. Dan, masih ada dunia yang harus ku jelajahi ini.
   
Dan, suara pintu yang terbuka dengan keras di ruangan itu pun mengagetkanku hingga membuat mataku yang semula terpejam, malah terbuka hingga sesaat ku lupakan pikiran – pikiran ku tadi.
   
Seorang wanita cantik bagai malaikat masuk dan langsung berlari memelukku sangat erat. Hingga tak mungkin bisa terlepaskan. Wanita itu menangis di dalam dekapan sayangnya padaku. Ya, ialah tanteku. Orang yang paling ku sayang di dunia ini, karena aku hanya sebatang kara tanpa dirinya.
   
Bisa ku rasakan suasana haru yang pecah di ruangan ini. Satu persatu sahabat ku masuk dengan mata yang basah dan lebam oleh air mata yang mereka keluarkan.
   
Semua langsung mendekatiku dan memelukku secara bergantian dengan sangat erat, layaknya aku akan segera pergi meninggalkan mereka. Yang memang benar adanya.
   
Ku rasakan jantungku mulai melemah, seirama dengan nada yang dikeluarkan oleh alat pendeteksi jantung yang berada di sampingku. Tapi, seseorang datang terlambat dan menghampiriku, hingga membuat jantungku berdetak normal karena keberadaannya. Senyum manisnya melemaskan otot – ototku yang sebenarnya akan tak berfungsi lagi.
   
Semua yang melihat keadaanku langsung mengerti dan meninggalkan ku berdua saja dengannya, di dalam ruangan yang berbau obat, dan ruangan yang di penuhi dengan nada – nada yang di keluarkan oleh alat pendeteksi jantung, dan tentu saja deru nafasku yang bergetar olehnya.
“Hey. . .!” itulah kata pertama yang keluar dari bibir manisnya, yang langsung memecah kesunyian di antara kami. Wajahnya yang rupawan dengan lesung pipit dan model rambut yang maskulin itu tampak seperti wajah malaikat bagiku, bagi hatiku. “Hmmm. . .” kakinya bergerak salah tingkah, tapi itu tak mengurangi semua keindahan yang ada pada dirinya.
“Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ku bicarakan padamu.” Tubuh ku yang semula lemas, kini terasa terlonjak ketika tangan lembut dan kekarnya menggenggam tanganku dengan penuh kasih. “Sebenarnya, aku dan Viola hanya sekedar teman. Dan, tak ada hubungan apa pun yang melebihi itu.” Ia diam sesaat, seraya menatap lekat mataku. “Sebenarnya, memang benar kalau dia pernah menembakku. Itu pun 2 minggu yang lalu.”
   
Air mataku langsung menetes deras, Jntungku berdetak kencang dengan membahana, ketika ia berkata seperti itu. Tapi, aku tetap menunggu perkataannya yang selanjutnya.
“Tapi aku menolaknya dan memberikan hatiku pada seseorang. . . “ perkataannya terhenti ketika dari dalam tas, ia mengeluarkan sebuah album foto mini, dan ia tunjukan beberapa foto yang membuatku terkejut bagai tersengat listrik. “Seseorang yang mengumpulkan foto – foto ini untukku.” Mulutku tergagap ketika ia berkata seperti itu. Dalam hati aku bertanya – tanya, dari mana ia mendapatkan kumpulan foto – fotonya yang selama ini ku dapatkan dan ku kumpulkan?
“Aku mendapatkannya dari sahabat – sahabatmu.” Katanya pelan, seperti membaca pikiranku. “Mereka memberikanku semuanya. Bahkan bukan ini saja yang ku tahu. Semua surat dan cokelat yang tak berketerangan pengirimnya pun aku tahu dari siapa. Kamu, Susan. Tapi, kenapa kamu gak beritahu aku saja yang sebenarnya? Apa kau tak tahu kalau aku. . . . “ aku benci dengan jeda yang ia selipkan di antara kata – katanya. “Aku juga sayang sama kamu. Aku sebenarnya ingin menembakmu sudah lama. Tapi aku tak pernah menemukan waktu yang tepat.”
   
Senyumnya membuat bibirku juga melengkung senang dan puas dengan hasil kerja keras ku yang selama ini tak sia – sia. Terlebih, ketika ia memeluk tubuh lemahku ini, beberapa memori dalam benakku yang mengingatkan ku tentang usaha bersama sahabat – sahabatku untuk mencari perhatian Kak Diki padaku.
“Jadi, dengan ini, aku harap kamu bisa berjuang dalam melawan penyakitmu ini. Karena aku akan ada terus di sampingmu sebagai. . . . Sebagai seorang kekasih.”
   
Air mataku kembali menetes, bahkan lebih deras lagi. Ini semua bagai pelangi di awal kelabu. Dimana, Cinta Kak Dika datang padaku, tepat ketika ajal mulai menjemputku.
   
Tapi, secara tiba – tiba, di suasana yang haru itu, jantungku pun terasa berdetak menyakitkan di dalam dada ini, dalam frekuensi detakannya yang pelan. Sempat ku lihat cahaya keperakan di balik tubuh Kak Dika, serta sekelebat bayangan berwarna hitam pekat di sekitarku
   
Dan, kata terakhirku yang menuntaskan semuanya pun dapat keluar dari mulut yang semula bisu ini. “Kak. . . Aku sayang kakak. Aku nggak ingin pergi meninggalkan kakak. Aku butuh kakak di sampingku. . . .  Tapi, Susan mohon maaf. . . Karena ia telah menjemputku. Lihatlah cahaya keperakan itu, kak. Itulah pintu yang akan ku lalui. Selamat tinggal, Kak. Salam untuk tante dan sahabat – sahabatku.”
“Susan! Kamu harus kuat! Kamu harus bertahan! Aku nggak ingin kamu pergi! Susan! Tolong, bukalah matamu!!” suara Kak Dika yang histeris menjadi obat penidur ku untuk selamanya.

SEKIAN

Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya...

Selasa, 28 Februari 2012

Cintamu Anugrahku (Cerpen Cinta)

CINTAMU ANUGRAHKU
Cerpen Irfan Sona

Aku nur laila sofaniyyah, sekarang aku umur 17 tahun,umur17 tahun adalah umur yang sangat berharga bagiku sebab disinilah aku harus mencari jati diriku yang sebenarnya, setelah aku lulus dari SMA aku tak tahu mengapa aku dikirim oleh kedua orang tuaku ke salah satu ma’had disemarang,awalnya aku memberontak dengan keputsan kedua orang tuaku itu, tapi aku mulai berfikir dewasa munyikapi keputusan kedua orang tuaku itu mereka pasti menginginkan yang terbaik buat aku.

Dan aku pun berangkat meski ada rasa keterpaksaan dalam hatiku, di sana yang aku melihat banyak segerombolan makhluk tuhan dengan busana yang tertup dan menyandang kitab-kitabnya.hatiku mulai bergetar dan keingin untuk menjadi sepeti mereka,tapi dalam jiwaku masih tertanam glamornya busana kota Jakarta yang begitu trendy dan menarik.

Setelah aku di pertemukan dengan seseorang yang sebelumnya aku tidak pernah mengenalnya  ternyata dia adalah seorang ustadz,yaitu ustasz farrid yang menjadi pimpinan di pondok ini,akupun tercengang saat pertama kali ia memeperkenalkan dirinya dengan aura kewibawaan dan tutur kata yang lembut sebaba baru kali ini aku melihat ada ustadz yang masih muda dan ganteng sekali,aku duduk di apit kedua orang tuaku  dengan rasa yang awam yang tak pernah aku rasakan.

Selepas aku dan kedua orang tuaku berkenalan dan berbincang-bincang, akupun di antrkan oleh salah satu santri wati di salah satu kamar yang tidak begitu luas dan pengap,mulai dari situ aku berfikir bagaimanakah mereka dapat hidup dengan hal seperti ini?,apa yang mereka dapatkan dari sini?,akan jadi apa mereka setelah keluar dari sini? 

Tapi tidak berapa lama aku disana aku mulai sedikit mendapatkan beberapa titik terang dari pertanyaan-pertanyaanku dulu. Aku mulai belajar sedikit demi-sedikit untuk mendalami ilmu agama dan aku mulai nyaman untuk melanjutkan studyku di situ,tapi tentang rasa aneh yang aku rasakan saat aku melihat ustadz farrid aku tak pernah menemukan jawaban yang pasti karena aku takut mengatakan jika aku jatuh cinta,ketakutanku tidak lain hanya karena perbedaan di antara kita tapi aku merasakan sinyal-sinyal cinta darinya setiap aku melihatnya dia selalu aneh dan seperti menutup-nutupi sesuatu,saat dia menatapku aku tak pernah berani untuk membalas tatapannya,aku merasa canggung dan hatiku berdetak dengan dahsyatnya sampai-sampai raut wajah ini merah merona.

Aku sangat mengaguminya dan di setiap pengajiannya aku dapat di pastikan tidak pernah absent dan slalu di barisan terdepan,dan ustadz farrid pun tak pernah berani untuk berhadapan denganku,di suatu malam setelah aku dan teman-temanku sholat isya’ tak prernah ku duga bahwa ustadz farrid menyapaku dan kitapun akhirnya berbicara dan tidak lama kemudian ia mengeluarkan buku berwarna biru,ternyata itu adalah buku tentang kumpulan-kumpulan wanita sholikhah,aku tak mengeerti apa yang di maksutkanya dengan memberikanku buku seperti itu,tapi tidak lama kita pun saling berpamitan untuk ke tempat masing-masing.
Di dalam kamarku aku buka buku tersebut dan membacanya setelah beberapa halaman aku membacanya aku menemukan selembar kertas putih yang bernodakan tinta hiatam tertuliskan
Untukmu ya ukhti jamilah

Aku tuliskan sekata-dua kata hanya untuk memenuhi keinginan hatiku,dalam buku ini aku harapkan seorang wanita yang sama yang akan menjadi mishbakhul qolbi dan langit itu terasa terang saat cahaya yang terang meneranginya,dan disetiap langkahku aku inginkan ada cahaya yang menerangiku tanpa pamrih dan ikhlas menjalaninya.ku bungkam mulut ini untuk menahan rayuan syaiton tuk melindungi cahayaku dari rayuannya, sebab cahayaku masih mudah terkena angin-angin hitam,ku sadarka cahayaku dengan lisanku ku lindunganya dengan do’aku.

Cahayaku selalu kutititpkan dengan-nya agar dia yang menjaga cahayaku agar tak redup dan tak sirna akan buainnya  .jadilah cahaya itu untukku….sesungguhnya aku mencintai cahaya itu tidak lain hanya karena ALLAH.
Dariku…..farrid hidayat.

Ku rasakn kebahagiyaan yang begitu besar dalam hatiku, dan aku ber janji akan menjadi cahaya yang seperti dia ingikan.tapi aku tak pernah berani membalas surat darinnya karena aku rasa hanya  dengan senyuman manisku dia pasti bisa merasakn getar-getar cinta dalam hatiku.

Beberapa bulan kemudian ……
Hatiku hancur terasa tersayat-sayat oleh garangnya pedang nabi sulaiman saat aku mndengar bahwa ustadz farrid di jodohkan dengan saudara almarhum room sepuh yang dari tegal,aku merasakan kehilangan dan terasa apa yang aku lakukan untuk merubah keburukan dalam kehidupanku sia-sia tak da guna.
Di sore harinya aku di temui oleh seorang santri yang bernama latifah dia adalah orang dzalem yang selama ini mengetahui seluk beluk akan kehidupan ustadz farrid, benar saja dia sudah lama tinggal di pondok ini,dia menceritakan semua tentang ke’adaan ustadz farridz padaku, ternyata perjodohan itu adalah keinginan almarhum romo sepuh yaitu abah dari ustadz farrid,sebelum beliau wafat ia berpesan bahwa ia ingin sekali mempunyai menantu yang faham akan agama,sholikhah dan hafidzoh,aku sadar bahwa tak ada satupun kriteria yang diinginkan oleh oleh romo sepuh dalam diriku. Mbak latifahpun mengetahui bahwa ustadz farrid sangat mencintaiku dan begituu pula denganku.

Mbak latifah memberikanku sebuah buku dan surat dari ustadz farrid.buku tersebut berjudul “keikhlasan dalam qolbu zainab” terlintas dalam anganku. Bahwa aku akan kehilanganmu untuk selama-lamanya tapi aku hanyalah manusia biasa yang tak sempurna dan tak kuasa untuk menahan air mata,tapi aku percaya akan kuasa allah dan jodoh, kalau aku berjodoh dengannya pastilah aku akan bersamanya meski aku tak tahu kapan peristiwa itu tiba.

Di kesunyian malam itu ku buka selembaran kertas berwarna putih yang sudah ternodai tinta hitam yang tertulis kan:

Cahayaku yahabibibah fi qolbi,,,,,,

Air mata hati
Tak sanggup hati ini merenungi kenyataan
berlipur lara ku rasa dalam dada
menyulami hati dan jiwa dalam busana
erat ku rasa bila mengingat cahaya
menuai mimpi yang tak pasti
berurai air mata bercucur darah hati
menghembuskan nafas pasrah pada illahi
ku sambut hari itu dengan menyebut nama allah
bersujud,tunduk di hadapa-Nya
meminta ridlo keikhlasan dari cahaya
ku tuaikan syair-syair dalam kertas yang hampa tanpa kata
cahaya fi qolbi ingatlah akan kuasa-Nya bahwa hanya dialah yang berhak mengatur dan membimbing langkah kita,aku serahkan jalan kehidupanku kepada-Nya dan aku hanya ingin mendapat ridho-Nya, cahaya fi qolbi jadilah dirimu sebagai wanita yang sholikhah dan wujudkanlah keinginanamu sebagai khafidzoh,bahagiakanlah kedua orang tuamu,sesungguhya surge itu ada di telapak kaki ibu.

Keikhlasan itu adalah bingkisan hadiah yang akan kau berikan padaku, jadilah permata yang mempunyai seribu cahaya agar kau selalu mejadi yang menerangi mereka.

Aku hanya ingin menjalankan amanah dari romo dan itupun hanya semata-mata ingin kudapatka ridho-Nya..aku percaya allah telah merencanakan hal yang terbaik buat kita berdua. Dan kelak saat dirimu sudah menikah jadilah istri yang selalu berbakti kepada suami.

Ana farrid.   
Dengan bercucur air mata ku renungi isi surat ini. Hari demi hari ku lalui tanpa sapa dan senyuman ustadz farrid karena aku fikir mulai saat ini aku harus melupakannya dan mengikhlaskannya untuk orang lain yang akan mengisi hari-harinya nanti.di setiap pengajian, maupun mengaji aku masih tetap duduk di depan ustadz yang mengajarkan baik itu ustadz farrid maupun ustad-ustadz yang lainnya, tapi aku tidak pernah melihat wajahnya karena aku takut kalau nantinya aku tidak dapat melupakannya. Setelah hari itu tiba hari dimana ustadz farrid memiliki kehidupan barunya bersama umi farikahah aku muali mencoba mengikhlaskan segala keadan ini, akupun menghadiri pesta pernikahan mereka berdua. Dalam hatiku aku menangis meronta-ronta tapi aku hanya bisa bersandiwara dan tetap trersenyum seolah-olah aku tak pernah mencintainnya air mata ini pun rasanya kering seolah-olah mendukung alur cerita seperti cerita yang sudah terscenario sebelumnya, tetapi selang beberapa hari, hari yang aku tunggu-tunggupun tiba hari diaman aku memakai baju toga bersama teman-teman kuliahku aku di nobatkan sebagai lulusan terbaik di fakultas dakwah, dan aku memutusakan untuk melanjutkan kuliah s2 ku di yaman. Pada hari itu juga aku dan kedua orang tuaku berpamitan pada ustad farrid dan umi farikhah dan meminta do’anya agar apa yang menjadi impianku selama ini dapat terwujud yaitu aku ingin menjadi seorang dosen fakultas dakwah terbaik di salah satu universitas islam yang ada  di Indonesia.    

Kini tiba saatnya aku pergi untuk menimba ilmu di negri orang dan melupakan peristiwa-demi peristiwa.Aku mempunayai beberapa keingina yang aku tulis dalam buku diaryku  diantaranya: aku harus lulus s2 sebagai lulusan terbaik,aku harus bisa menghafal alqur’an,dan pulang mendapatkan suami seperti ustadz farrid.

Setelah disana beberapa tahun kurang lebih aku menyelesaiakan s2 ku selama 3 tahun dan keinginanku untuk menghafal alqur’an alahamdulillah dapat aku selesaikan denagan baik dan lancer,tiba saat yang ku nantikan yaitu pulang ke Indonesia ternyata allah mendengarkan keinginan –keinginanku setelah bebeerapa minggu aku di indonesia aku langsung mendapatkan surat panggilan di salah satu universitas terbaik di Indonesia dan di angakt menjadi dosen di fakultas dakwah,ternyata apa yang aku tuliskan dan yang aku impi-impikan dapat terwujud tapi itu juga dengan kesungguhan hati dak tawakkalku kepada sang pencipta dan hal tersebut juga tak lepas dari dukungan-dukungan orang-orang yang ada di sekitarku terutamanya kedua orang tuaku.Dan hanya satu yang belum terwujud tapi akupun tidak berhenti berdo’a dan akupun tak pernah memaksakan keinginanku itu, aku percaya allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk hambanya yang mau berusaha di jalannya, karena itu aku pasrah siapapun yang menjadi suamiku aku hanya ingin dia menjadi imam yang terbaik buat diriku dan anak-anakku kelak.

Meski aku sudah beberapa bulan di Indonesia tapi aku tak pernah mendengar kabar tentang ustadz farrid dan umi farikhah,hanya kabar terakhir yang aku dapat dari salah satu temanku, itu pun ketika aku masih menjadi mahasiswa di yaman kabar yang aku dapat terakhir bahwa umi farikhah sudah hamil tiga bulan, dan ustadz farrid juga terjun di salah satu parpol dan ia mendapatkan amanat untuk menjadi ketuanya.

Siang itu aku tidak di perkenanakan oleh kedua orang tuaku perg untuk mengajar karena aku akan ta’arufan dengan calon suami yang di pilihkan oleh ayahku, dia datang bersama kedua orang tuanya ia bernama Ha’izul fadlo’il,ia lulusan s2 dari mesir lulusan ilmu tafsir dan ia sekarang sudah menjadi dosen termuda dan terabaik di unufersitas terbaik di semarang, memang ia asli dari semarang dan ia pun cucu dari salah satu kiyahi kondang di malang, jadi aku memutuskan untuk menerimanya, dan tanggal pernikahan kamipun juga sudah di tentukan meskipun aku masih belajar dan berusah mencintainya sebab semenjak aku di tinggalkan oleh ustadz farrid aku masih belum dapat membuka hatiku untuk siapapun,tapi aku berusa memerangi hatiku sendiri, dan berusaha mencintai mas Ha’iz sebagai calon pendamping hidupku.

Setelah kami menikah awalnya aku memang belum begitu cinta dengan mas ha’iz, dan setelah kami menikah beberapa bulanpun aku masih berusaha mencintainya dan aku jujur tentang perasaanku sesungguhnya dengan mas ha’iz dan ia pun mengerti dengan keadaku dan dia berjanji akan terus berusaha agar aku mencintainya dengan sepenuh hati,  dia sabar menunggu kedatangan ungkapan cinta dari bibirku, ia pun sebaliknya bercerita tentang dirinya bahwa hanya dirikulah orang yang membuat hatinya tenang dan gembira dan iapun jujur dengan menyebut nama Allah bahwa hanya aku lah wanita pertama dalam hati dan jiwanya aku merasa sangat berdosa karena telah menghianatinya tapi dia selalu meneguhakan hatiku agar selalu berusaha untuk mencintainya dengan sepenuhhatiku. Alhamdulillah setelah hampir satu tahun aku bersamanya allah telah mengabulkan segala do’a-do’aku dan keikhlasan suamiku untuk selalu berusaha membuatku jatuh cinta di kabulkan-Nya, dengan rasa yang indah ini aku mengarungi hari-hariku dengan kebahagiaan karena mas ha’iz selalu pefrhatian,selalu sabar menghadapi sikapku dan selalu membuatku merasakan kesempurnaan dalam hidupku, kebahagiaan itu lengakap sudah saat dalam rumah yang di disains khusus oleh tangan mertuaku sendiri itu di penuhi dengan tangisan seorang bayi, rasanya aku telah sempurna menjadi seorang istri yang dapat membuat semua keluargaku bahagia khususnya suamiku tercinta, mulut ini tak pernah berhenti mengucapkan kalimat syukur kepdaa sang pencipta atas anugrah yang telah di berikannya kepada keluargaku.

Tapi allah juga memeberikan coba’an bagi keluarga kami di saat kami sedang hangat-hangatnya menimang anak dan anak kami masih dalam masa lucu-lucunya allah mengambilnya dari kehidupan kami, dia meninggal karena sakit demam tinggi yang tak kunjung turun, kami sangat sedih sekali dengan kepergiyanya tapi kami juga telah berserah diri pada-Nya atas segala qada’ dan qadarnya, tapi Allah pun tidak berhenti disitu untuk menguji ke imanan seorang hambanya berselang satu minggu dari kepergian anak kami suamiku tercinta mengalami kecelakaan saat ia melekukan perjalanan ke kantor, dan saat dalam perjalan menuju rumah sakit Allah telah memanggilnya, hati ini tak kuasa menahan rasa sedih sampai-sampai aku tidak sadarkan diri beberapaa kali, dalam hatiku aku meronta-ronta ingin protes pada sang pencipta.Tetapi untunglah masih ada keluargaku yang masih ada di sampingku dan keluarga mertuaku pun sangat merasakan betapa rasa sakitnya hatiku saat ini.   

Aku terus mencoba bangkit dari keterpurukan ini, tapi aku hanyalah manusia biasa yang tak bisa menahan dan terus menahan rasa sakit kehilangan, aku berulang kali merintih lirih pada sang khalik siang malam aku berdo’a untuk kelencaran perjalanan ke dua orang yang saangat aku sayangi. Dan keluargakupun memutusakan agar aku kembali pulang bersama mereka, karena mereka tak mau kalau aku masih terus-menerus memikirkan suamiku dan anakku dan masih terus-terusan dalam keterpurukan.
selang beberapa bulan……………………….

Pagi itu aku mndapatkan buku yang berjudul ”mata itu milik illahi” tertulisakan nama sang pengirim farrid hidayat ponpes al-hidayah semarang. Aku bingung dengan nama pengirim dalam surat tersebut aku gak yakin kalau ini dari ustadz farrid, ia pun menyelempirkan surat untukku,
Untuk: nur laila soffaniyah.
Assalamu’alaiku wr.wb.

Mungkin kamu kaget dengan kedatangan surat ini, tapi aku harus mengirimkan surat ini dek laili.
Aku mengerti bagaimana keadaan hatimu saat ini, tapi aku tak mau membiarkan mu terus-terusan larut dalam kesedihan karena bagaimanapun juga aku sudah pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang pernah kita cintai, kalau boleh berbagi cerita aku ingin kamu mengetahui bagaimana keadaanku saat ini,

Setelah kepergianmu aku mengikhlaskan tentang alur jalan kehidupanku pada sang khaliq, aku berusah mencintai istriku yaitu farikah Alhamdulillah allah mengabulkan segala do’a-do’aku. Aku sedikit demi sedikit mulai mencintainya dan hari-hari yang ku lewati bersamanya terasa indah dan terasa penuh ridlo dari-Nya. Aku dan istriku di beri kesempatan untuk menimang seorang anak laki-laki tapi di saat kebahagiyaan itu tiba allah menguji keikhlasanku kembali, aku selalu berharap dan mulut ini enggan untuk berhenti memanjatkan do’a, keluaga kita semua berkumpul dengan mulut yang tak pernah berhenti untuk berdo’a pada-Nya.Tepat pukul 20.00 farikhah masuk ruang bersalin dan akupun dengan setia menemaninya dalam proses persalinan kami sangat bahagia sekali setelah kami mendengar jeriat tangis anak kami setelah di bersihkan akupun mengadzaninya tetapi setelah kumandang adzanku berhenti farikhah berdo’a dan setelah di ujung don’anya ia sempat berkata “  ya imamuka saya adalah wanita yang sangat beruntung sekali karena allah telah menganugrahiku seorang imam yang sangat bertanggung jawab dan beriman kepada-Nya do’akan aku mas,,,agar aku selalu di tuntun menuju cahaya istimewa-Nya” setelah itu farikhah menyium keningku dan  salam padaku dan dia mengucapkan takbir tiga kali setelah itu dia memejamkan mata seperti biasa ia tidur, tapi setelah aku memanggil-manggilnaya tak ada jawaban yang keluar dari ke dua bibir indahnya, dia telah meninggalkan aku dan bayi mungilku, aku mencoba tegar untuk menghapi cobaan ini dan sekarang sudah hampir satu tahun farikhah meninggal. Aku berniat untuk mencarikan seorang ibu untuk anakku sekaligus mencari sesosok wanita solikhah yang akan mengisi hari-hariku setelah farikhah, sebelumya aku minta maaf karena aku belum memionta izin kepadamu karena kemarin kedua orang tuaku sudah menghubungi kedua orang tuamu untuk meminta izin bersilaturrahim dengan keluargamu, tapi agar lebih baik aku meminta izinmu terlebih dahulu agar kedatanganku nanti tidak mengganggu ketenanganmu, kalau kamu mengizinkan besok lusa keluargaku akan berkunjung kerumahmu jikalau dirimu meengizinkan tolong hubungi keluargaku segera.
 
Sarang cahaya untukku
Kulihat sinar dari ujung batas paenglihatanku
Entah mengapa cahaya ini datang kembali
Rasa cinta terhadapo cahaya
Masih tumbuh dalam ladang hatiku
Entah dengan cahaya itu sendiri
Apakah setelah kumbang itu hilang dari sarang hatinya
Masihkah ada ruang untukku ber huni ?
Aku takut hati cahaya redup dan tak bisa mengapi lagi
Entah sampai kapan hati ini semampai di sanubari
Tapi hanyalah ada dua cahaya dalam hidupku
Yang tak akan pernah sirna untuk selamanya
Ku ingin cahayamu selalu menerangi hatiku
Menghantarkanku pada ridlo-Nya
Terima kasih ku ucapkan atas waktu luang yang diberikan untuk membaca surat dariku.
Wassalamu’alakum wr.wb.

arrid hidayat.

Setelah aku membaca semua isi surat itu aku hanya bisa diam termenung dan terpaku dalam balutan mukena, ku panjatkan do’a pada sang khaliq meminta petunjuk dari-Nya bagaimanakah baiknya alur cerita kehidupanku kelak bahwa, aku bukanlah seorang wanita yang mampu melewati parit dengan menyincing busanaku sendiri tanpa bantuan orang lain untuk membawakan barang yang aku tenteng, dan aku bukanlah wanita yang mudah memindahkan rasa cinta ini seperti aku memindahkan foto di hp satu ke hp yang lain.

Di suatu malam aku shalat istikhoroh untuk yang terakhir yaitu yang ke tujuh aku meminta petunjuk lewat mimpi yang sebelumnya juga terus aku lakukan tapi allah belum juga memberikan petunjuk kepadaku, tapi kali ini berbeda untuk yang terakhir ini aku di tunjukan allah melalui suatu mimpi dimana disitu aku bertemu  dengan suamiku(mas ha’iz) ia memberikan surban kepadaku dan surban itu sama seperti surban yang pernah di pakai oleh uztadz farrid pada saat aku masih nyantri di pondiknya, dan disitu pun aku di beri qur’an oleh seorang laki-laki yang tak aku kenal tetapi mas ha’iz berkata kalau itu  adalah anak kita dan ia pun tersenyemum manis kepadaku dan memanggilku umi, tiba-tiba aku langsung terbangun dari tidurku terdengarlah suara adzan subuh ditelingaku, dan aku baru menyadari bahwa tadi itu adalah sebuah mimpi dan mungkin itu petunjuk dari allah yang di tunjukan lewat mimpi kepadaku dan aku pun bergegas mengambil air wudlu dan segera shalat berjama’ah bersama-sama di masjid yang tidak jauh dari rumahku, setelah matahari menampakkan ke gagahanya aku langsung menceritakan semua mimpiku kepada ayah dan ibuku dan akupun langsung meminta ayhku untuk segera menghubungi keluarga ustadz farrid agar mereka segera silaturrahim dengan keluargaku dan pagi itu ayahku langsung meminta keluarga ustadz farrid datang untuk melakukan ta’arufan terhadapku, tidak lama kemudian berselang dua hari kemudian keluarga besar dari keluarga ustadz farrid pun datang  dan subkhanallah hati ini terasa tenang sekali saat aku melihat wajah ustadz farrid yang masih kelihatan muda itu dan tak tampak sedikitpun perubahan di wajah dan penampilannya dan entah mengapa jantung ini berdetak dengan kencang dan rasanya tak dapat aku sembunyikan lagi rasa cinta yang tumbuh secara tiba-tiba dan rasanya aku ingin cepat-cepat memilikinya, dan aku sangat bahagia saat ia melamrku di hadapan kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya, dan dengan mengucap lafal basmallah kuteguhkan dan untuk meyakinkan bahwa dia adalah imam yang baik untukku dan akupun menerima lamarannya. Kedua keluarga kamipun sangat senang  mendengarkannya, dan kami langsung menentukan tanggal ijab qobul dan pesta yang sederhana yang kan kami laksanakan di pondok ustadz farrid.

Alhamdulillah hari itu telah tiba hari dimana kami menyatukan ikrar untuk melakukan sunnah illahi dan meminta ridlo dari-Nya kami pun bak ratu dan permaisurinya sampai  saat hari ijab qobulpun aku masih belum berani menatap matanya karena jantungku masih bergetar dengan cepat saat aku melihat wajahnya. Dan akhirnya rasa kehilangan yang pernah aku rasakan dan pahitnya ditinggal orang yang saya sayangi seolah-olah pergi jauh dan tak mau kembali,aku sangat senang sekali karena aku telah mempunyai keluarga seutuhnya mempunyai suami yang baik dan anak laki-laki yang ganteng sekali dan solikh dan keluarganyapun sangat menyayangiku terutama mas farrid dia selalu memanjakanku dalam balutan aroma islaminya,hidup ini terasa milik kita berdua,dan apa yang aku tuliskan dalam buku dearyku dulu ternyata semua itu dapat terwujud dan semuanya itu aku alami dan menjadi cerita dalam kehidupanku.
Alhamdulillah…………………………………………………………………………. 

Baca juga Cerpen Cinta atau Cerpen Tentang Cinta yang lainnya.

Senin, 27 Februari 2012

Ketika Cinta di Pisahkan Waktu (Cerpen Cinta Sedih 2012)

KETIKA CINTA DI PISAHKAN WAKTU
Cerpen Irfan Sona

Pintu yang berat itu terdengar berbunyi di buka oleh orang-orang.Terlihatada dua orang wanita muda yang masuk melalui pintu yang terbuka tadi,dengan menggunakan pakaian ala indonesia. Dari jauh terlihat jelas bahwa dua orang itu adalah kakak beradik,karena air muka mereka tampak jelas sekali tidak ada perbedaan yang tertua di antara mereka bernama Putri dan adiknya bernama Tari. Ketika asyiknya mereka menikmati indahnya pemandangan dan ikan-ikan yang ada di akuarium itu, sampai-sampai mereka tidak sadar kalau merekalah orang yang paling pertama datang ke gedung akuarium itu. Karena sudah terlalu lama mereka berada di situ,tiba-tiba Putri ingin mengajak adiknya Tari untuk pulang. Namun Tari tidak memperdulikan itu,matanya terus tertuju pada ikan-ikan yang indah dan berwarna warni yang ada di pojok gedung akuarium itu.”Wah....indahnya ikan-ikan ini” terdengar suara dari mulut Tari memuji ikan itu. Dari alunan suara itu tampak sekali perbedaan kedua bersaudara itu,Putri adalah orang yang tidak mudah kagum akan sesuatu, akan tetapi   dia lebih memikirkan pekerjaannya sebagai seorang putri desa, lain halnya dengan Tari dia adalah seorang anak yang mudah kagum akan sesuatu, dan dia tidak memikirkan nasib dirinya sendiri.

Hari sudah menunjuki pukul 09.00,dan terdengar bunyi orang membuka pintu yang kedua kalinya. Terlihat dari pojok gedung itu tampak sekelompok keluarga masuk kedalam gedung akuarium itu.Yang tertua di antara mereka berjalan dengan begitu cepat menuju ikan yang indah-indah di dalam gedung akuarium itu. Melihat kegirangan saudara-saudaranya itu,tak kuasa yang paling bungsupun juga memaksa turun dari pangkuan ibunya dan ikut berlari bersama saudara-saudaranya. Tak lama kemudian masuklah seorang pemuda yang berpakaian rapi dan mengenakan jas berwarna kehitam hitaman. Sesampainya di dalam gedung, pemuda itu terus melangkah hingga sampai di tempat Putri dan Tari. Melihat dua gadis itu ia tak tahu apa yang akan di lakukannya,satu cowok dan dua gadis.

”To”, panggil anak kecil dari beberapa bersaudara tadi memanggil kakaknya yang tertua di antara mereka yaitu Toto.  Sambil berjalan dan melihat ikan-ikan yang ada di akuarium tersebut, tanpa di sadari nya kalau ia sudah tersesat ke tempat orang yang tidak di kenalinya.”Tante”panggil anak itu. Mendengar panggilan itu dengan cepat Tari menoleh kepada anak itu.”Iya......” jawab Tari.  Anak itupun terdiam dan bingung, karena ternyata yang dia panggil itu bukanlah orang yang dia kenal, dan ternyata ia sudah tersesat ke tempat orang yang lain. Tak lama kemudian datanglah ibu dan kakak-kakak nya. Melihat keluarga yang harmonis itu langsung terpancar senyum manis dari wajah Tari. ”Adek...mau cokelat ??” tanya Tari. Mendengar pertanyaan itu,langsung anak tadi berjalan ke tempat laki-laki yang baru masuk tadi,dan kemudian dia mengambil cokelat itu. Setelah dia mendapatkan cokelat itu, kemudian dia langsung berlari dengan penuh riang gembira menuju kepada saudara-saudaranya dengan maksud untuk memamerkan cokelat tersebut.

Waktu sudah menunjuki pukul 11.00 WIB, tak lama memudian keluarlah Putri dan Tari dari dalam gedung tersebut. Merekapun langsung mengambil sepeda yang mereka simpan di tempat parkiran sepeda, dan langsung bergegas pulang.  Akan tetapi,di tengah perjalanan mereka bertemu lagi dengan laki-laki tadi yang ada di akuarium tempat mereka berkunjung tadi.
”Siang nona-nona....” sapa laki-laki itu,
”Siang juga.....” jawab Tari.
“O ya....,ngomong-ngomong kalian mau ke mana, kok sepertinya buru-buru.....”
“I ya ni mas, kami memang lagi buru-buru, soalnya ayah sudah menunggu kami di rumah rumah dari tadi malahan”
“O... gitu ?? kalau gak keberatan kita pulang sama-sama saja”Pinta laki-laki itu.
“Emangnya mas mau kemana...???” tanya Putri.
“Saya mau pulang ke rumah, rumah saya terletak di jalan Cendrawasih, komplek Mawar no 02.”
“O..... kalau gitu kebetulan dong, rumah kami juga terletak di jalan cendrawasih.”
“Ya sudah kalau kalian tidak keberatan, boleh saya ikut dengan kalian berdua...???”
“Tapi gimana ya.....,soalnya kami harus kepasar dulu untuk beli oleh-oleh buat bibi di kampung.”
“O..... gak masalah,kebetulan saya juga mau cari makanan di pasar.”

Karena asyiknya mengobrol,sampai-sampai mereka lupa kalau mereka sudah sampai di pasar.Padahal   merea belum juga belum kenal satu sama lain.
“Eh Tar... seprtinya kita sudah sampai di pasar” cetus Putri di balik keseriusan mereka.
“O......iya ya kita sudah sampai ni”
“Mas, kami cari pesanan ayah dulu ya”
“O iya ya.... silakan, biar saaya tunggu di sini aja ya...”
“ O... gak usah repot-repotlah mas, mendingan mas pulang aja dulu”
“Ngak..., ngak masalah ko biar saya tunggu saja di sini, kebetulan saya juga mau cari makanan dulu.”
“Ya udah deh,kalau memang mas maunya gitu, ya terserah mas ajalah”   

Setelah Putri dan Tari mencari pesanan ayahnya, merekapun langsung pulang.Di tengah asyiknya perjalanan, tiba-tiba laki-laki yang dari tadi bersama mereka menanyakan nama mereka.”Mbak, saya boleh tanya sesuatu gak sama mbak berdua, soalnya engkan dari tadi kita mengobrol tapi saya dan mbak kan belum kenal satu sama lain...”
“Boleh.....apa ??” tanya Putri.
“Saya Cuma mau tanya siapa nama mbak berdua ini, kalau nama saya Andika.”
“Saya salah satu dari mahasiswa di Universitas Indonesia.”
“Kebetul saya lagi menyelesaikan sekripsi ujian akhir saya
“Wah keren banget, ungkap Tari.”
“Kalau saya ......”
“O... ya, nama saya Putri dan ini adik saya namanya Tari.”
“Saya seorang putri desa di desa ini dan adik saya sekarang lagi kulyah di Universitas Teknologi Bandung. Akan tetapi Tari orangnya paling cepat kagum akan sesuatu.Maklum sejak di tinggal  ibunya, dia memang suka di manja sama ayah.
“Eh... jadi malu ni” cetus Tari.
“Sementara saya sendiri lagi sibuk mengurus organisasi perkumpulan putri-putri desa, dan di tambah lagi harus mengurus rumah, ayah, dan adik saya ini.”
“Emangnya ibu kalian kemana....” tanya Andika.
“Ibu kami sudah lama meninggal, sekarang kami hanya tinggal bertiga dengan ayah.”
“O gitu......”
“maaf saya gak bermaksud buat kalian sedih”
“Nggak apa-apa ko mungkin ini smua sudah kehendak Allah.”
“Ya si, tapi saya harap kalian harus sabar dan tetap tabah ya...”
“terutama kamu Tari,kamu harus bantu kakak kamu, kan kasihan dia, sudahlah sibuk dengan pekerjaannya di tambah lagi harus mengurus rumah, kan kasihan....”
Tak lama kemudian Tari dan Putri pun tiba di persimpangan jalan rumah mereka.”Andika mungkin kita harus berpisah sampai di sini, karena kami tinggal di jalan ini, ngak jauh kok, paling-paling lima menit dari sini, sudah sampai.” Cetus Putri
Akhirnya Putri, Tari dan Andika pun berpisah di tengah jalan.Sepanjang perjalanan pulang, Andika hanya terbayang-bayang wajah kedua gadis itu, apalagi dengan Tari yang dari tadi hanya bercanda dan selalu penuh senyuman kepadanya.
Sesampainya di rumah, Putri danTari sudah di tunggu ayahnya, karena mereka ingin pergi ke rumah bibi mereka.Tak lama kemudian merekapun berangkat ke rumah bibi mereka, untuk mengantar hadiah yang mereka belikan tadi sekaligus untuk menjenguk keponakan mereka yang sedang sakit.

Pagi-pagi sekali Andika sudah pergi ke kampusnya. Dengan wajah yang penuh kegembiraan,diapun terus mengayuh sepedanya.
“Ya Allah, seandainya pagi ini kau pertemukan aku dengan Tari, mungkin aku tak bisa berkata- kata lagi untuk memujimu.” Ucap Andika kepada dirinya sendiri.
“Kring...kring...”

Bunyi suara sepeda di belakang Andika.
“Pagi mas...” sapa Tari
“Hay....pagi juga” sahut Andika.
“Wah cantik banget,” ungkap Andika dalam hati
“Mas....ko ngelihatnya seperti itu, apa ada yang salah atau ada yang aneh gitu dengan saya” tanya Tari.
“Ngak..., ngak ko ngak ada yang salah apalagi aneh.”
“lalu apa dong....”
“gini saya heran aja , dan gak nyangka aja kalau pagi ini  bisa bertemu dengan orang uang secantik dan semanis dirimu”
“ii....., mas ini gombal deh.”
“ngak..., emang benar kok, kamu pagi ini terlihat tampak lebih cantik dari pada kemaren, jangan-jangan kamu mau ketemu pacar kamu ya....”
“ pacar......... saya belum punya pacar mas, kalaupun ada ya.... itu mas kali.”
“sorry.....,Cuma bercanda.”
Sambil tertawa mereka terus mengobrol sampai di depan kampus Andika.
Sekembalinya Tari ke rumah, dia tampak ceria dan mulai senang untuk mengurus bunga-bunganya lagi dan mau membantu kakaknya. Sampai-sampai kakak dan ayahnya pun heran melihat tingkah laku Tari akhir-akhir ini. Itu semua terjadi saat Tari mengenal Andika dan mungkin karena kedekatan mereka.
   
Andika adalah anak pak Sunarto, salah satu orang yang terpandang di desa makmur. Dia juga selalu perduli akan kebutuhan orang lain dan keluarganya.

Hari itu tampak Andika lebih awal dari hari biasanya pergi ke kampus. Di tengah perjalanan ke kampus. Pikirannya hanya tertuju pada Tari. Maklum mereka juga sudah sangat dekat. Tiba-tiba taripun muncul dari belakang Andika, seraya mengucapkan,”selamat pagi tuan......”Andika ppun terkejut bukan kepalang, dia sungguh tak menyangka kalau pagi itudia bisa bertemu lagi dengan Tari. Soalnya sudah tiga hari dia tidak berjumpa dengan Tari, karena Tari ikut pergi ke desa untuk menjenguk bibinya di sana,
“Wah... kamu cantik sekali Tari”
“ kamu tu ya paling bisa kalau merayu dan bercanda.”
“ enggak...., saya tidsk bercanda, tapi ini kenyataan.”
“mm....... terima kasih ya atas pujiannya.” 

Tari memang terlihat sangat cantik, apalagi baju yang dia pakai sangat mndukung wajahnya, wajar aja kalau dia trlihat sangat cantik.
“o ya kamu hari ini ada acara tidak..”
“ kalau tidak ada boleh dong saya main ke rumah kamu, sekalian berkenalan dengan ayah kamu”
“ kalau acara si gak ada tu”
“ pi saya mau bantu kakak mempersiapkan undangan buat perkumpulan putri desa lusa”
“ soalnya kakak saya terpilih sebagai ketua umum perkumpulan putri desa”
“O gitu, kalau memang lagi sibuk, lain kali aja deh saya main ke rumah kamu ya.....”
‘ bolehkan.......”
“ Iya, pasti boleh kok, nanti mas datang saja ke rumah saya, kebetulan ayah juga lagi libur.”

Pagi itu tepat pukul 08.00 Andika bergegas untuk pergi ke rumah Tari. Dia memakai baju kemeja lengan panjang berwarna putih dan di lapisi dengan jas hitamnya, dan dia klihatan lebih tampan sekali dari biasanya. Setelah sampai di rumah, Andika duduk di halaman rumah yang di penuhi kembang dan mawar berwarna putih yang begitu harum baunya.
“Subhanallah...., indah sekali kebun bunga ini” ucap Andika kekaguman

Tak lama kemudian Tari pun keluar dari rumahnya untuk menemui Andika yang dari tadi sudah menunggunya di perkarangan rumahnya.
“Pagi mas.....” sapa Tari
“ eh..... kamu, pagi juga”
“maaf ya sudah membuat mas lama menunggu”
“O... gak kok, saya juga belum terlalu lama datang”
“ ngomong-ngomong mana kakak dan ayah mu”   
“Ko sepi sekali rumah ini”
“o... itu, kakak lagi sibuk untuk persiapan kongres kongres putri desa besok dan ayah lagi mandi”
“ mas masuk yok”

Sambil menunggu ayah Tari keluar kamar, mereka sibuk mengobrol yentang putri desa yang akan di adakan besok. Apalagi yang akan bicara  untuk memberikan sambutan adalah kakak Tari sendiri yaitu Putri.
“Kakak saya memang selalu sibuk untuk mengurus organisasinya, apalagi mereka sekarang sudah bekrja sama dengan perempuan-perempuan kota untuk di jadikan anggota organisasi mereka.” Ungkap Tari di tengah keheningan.
“mengapa kamu tidak mau bergabung dengan organisasi kakak mu itu...”
“ ya si....,sebenarnya saya mau ikut, tapi saya gak tahu caranya, apalagi sayakan belum berpengalaman.”
“kalaulah kamu mau masuk organisasi itu,pastilah kamu akan mendapat pengalaman yang luar biasa apalagi bisa bertemu dan bisa berkenalan dengan perempuan di bangsa kita ini.”
“akhir-akhir ini perkumpulan para pemuda Indonesia juga gak kalah hebatnya dari apa yang kakak mu lakukan.”
“ ya, nanti saya akan coba mendaftarkan diri saya ke sana dan kalau di terima, maka saya akan berusa untuk membawa nama baik perempuan bangsa ini, agar menjadi perempuan yang kuat dan bermatabat di mata dunia.”
“Kalau kamu memang serius,maka saya akan dukung kamu”
Akhirnya ayah Tari pun keluar untuk menemui mereka.  Setelah sekian lama mereka mengobrol, Andika pun meminta izin untuk membawa Tari jalan-jalan.  Dan ternyata ayah Taripun mengizinkan. Setelah mendapatkan izin dari sang ayah, Tari pun bersiap-siap untuk pergi. Tak lama kemudian Tari dan Andika pun pergi untuk berjalan-jalan. Sementara itu kakak Tari di panggil ayahnya keluar dan di suruh ayahnya untuk menunggu adiknya sampai pulang.

Dari balik kaca rumah,Putri melihat adiknya yang berjalan teramat mesra laksana sepasang kekasih. Dari kejauhan dia masih tetap saja memandang gerak gerik adiknya itu hingga akhirnya tak terlihat lagi. Putri pun tampak termenung di beranda rumah,dia seperti melamunkan sesuatu.
“Toto, kalau saja kamu masih di sampingku hingga saat ini, pasti saya tidak akan merasa kesepian seperti ini, dan saya juga merasa iri dengan kebahagiaan adik saya dan temannya Andika.” Ucap Putri sambil menangis.
Dia sepertinya teringat dengan bekas tunangannya dulu, dan mungkin saja dia masih menyimpan rasa rindu di hatinya terhadap tunangannya itu,akan tetapi dia selalu mencoba unt k mengubur rasa itu dari dari dalam hatinya, hingga dia memutuskan untk mencari pengganti toto. Karena dia tidak ingin di sakiti lagi untukedua kalinya. Hal itu juga yang mungkin menyebabkan dia jadi keras dan tidak cepat kagum akan sesuatu,lain halnya dengan Tari dia memang belum merasakan di khianati cinta.

Di sepanjang perjalanan Andika dan Tari selalu bercanda tawa tanpa mengenal lelah dan memperdulikan waktu.sampai pada saat di mana tempat yang mereka tuju telah di dekati,lalu merekapun tmpak bersiap-siap untuk turun ke bawah air terjun yang sangat indah.
“Wah, luar biasa sekali Allah menciptakaan alam dan pemandangan yang seindah ini.”cetus Tari yang kagum akan keindahan alam yang di ciptakan oleh sang illahi itu.
“Tari kamu harus ingat apa kata ayahmu tadi,   kamu jangan sampai terlalu kagum akan sesuatu.”
“O.... gak kok”
“saya hanya terharu saja pada keindahan alam di kaki pegunungan ini.”
“soalnya tempat ini selalu mengigatkan saya pada sang bunda dan masa kecil saya.”
“dulu saya selalu di ajak bunda untuk pergi ke tempat-tempat seperti ini, dan sekarang saya sudah tidak bisa merasakan itu lagi hanya baru kali ini.” Ucap Tari sambil meneteskan air mata.
“Tari, maafkan saya”
“ saya tidak bermaksud membuat kamu sedih, saya hanya mau ingatin kamu pada pesan ayah kamu tadi.”
“O..... gak apa-apa kok,ini semua memang salahku yang terlalu larut akan semua ini.”

Waktu sudah menunjuki pukul 17.30 WIB, dan kini Tari dasn Andika harus bergegas pulang. Karena mereka tidak ingin mengecewakan dan membohongi ayah Tari.
“Andika, sepertinya kita harus lekas pulang, karena hari sudah terlalu sore, nanti kita di cari ayah”
“ ok, kalau begitu saya ambil tas dulu ya.”
“O.... ya silakan.”

Padahal baru saja Andika ingin mengungkapkan isi hatinya kepada Tari, tetapi mereka harus segera pulang. Supaya mereka tidak di cari sama ayahnya Tari. Tak lama kemudian Tari dan Andika pun muncul di pekarangan rumah Tari, di situ hanya tampak  kakaknya Tari yang dari tadi menunggu mereka pulang.
“Andika sepertinya itu kakak,” ucap Tari.
“I ya...... itu memang kakak kamu yang lagi nungguin kamu.”
“Assalamualaikum........” sapa Tari dan Andika kepada putri.
“Waalaikumusallam......”
"Eh kalian sudah pulang”
“bagaimana jalan-jalannya, Asyik gak”
“O...... itu, pasti dong”
“jalan-jalannya asyik bangat”
“Hai Andika.....”
“Hai juga ......”
“ O ya masuk yok, nanti saya buatin air. Mungkin kamu haus, karena sudah satu harian jalan-jalan”
“ Tari kamu tunggu di sini bentar ya, kakak  mau ambilkan air dulu kedalam.”
“E...... sudahlah Putri gak usah repot-repot, lagi pula saya mau pulang”
“Kasian mama di rumah sendirian.”
“Sekali lagi terima kasih aja atas tawarannya, sekarang saya permisi pulang dulu ya.”
“O ya silakan”
“Andika, terima kasih ya atas.........” Tiba- tiba  ucapan Tari dia hentikan sambil dia tersenyum dengan manisnya.

Andikapun bergegas pulang ke rumahnya, karena dia tidak mau membiarkan mamanya sendirian di rumah sore-sore seperti ini. Maklum ayahnya memang lagi tidak  ada di rumah. Sesamapainya di rumah Andika langsung masuk ke dalam sambil mengucapkan salam.
“Assalamualaikum.......”
“ ma......mama.....” panggil Andika mencari mamanya.
“waalaikumsalam.......”
“ Ada apa si Dika kamu kok teriak-teriak.”
“ seperti orang gila saja.”
“ Ah... mama ini, bisanya Cuma becanda aja.”
“ O ya ma,Dika mau mandi dulu ya. Soalnya badan Dika sudah bau bagat ni, habisnya satu harian main di bawah sinar matahari dan air terjun di bawah kaki gunung Cempaka.”
“ Ya sudah, cepat mandi sana.......”
“Jangan lupa shalat lalu baru kamu boleh istirahat.”
“ ok deh mam....., tugas akan segera hamba laksanakan.”

Kongres putri desapun dimulai, dan tampak Putri lagi bersiap-siap untuk menyampaikan sambutan kepada para peserta yang hadir. Dan tampak di situ ada seorang putri yang cantik sekali. Siapa lagi dia kalau bukan Tari adiknya Putri.

Tak lama kemudian Putripun berjalan menuju panggung dan naik ke atas mimbar yang di sediakan panitia penyelenggara kongres tersebut, untuk memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut. Setelah ia di persilakan oleh pembawa acara, suara riuh tepuk tanganpun menghempas ruangan yang tadinya sunyi. Setelah Putri menyampaikan isi sambutannya, suara tepuk tangan yang tadinya ribut serentak hilang seketika. Kemudian Putri berbicara tentang martabat wanita Indonesia yang hancur disebabkan oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun, tak lama kemudian gedung yang tadinya sunyi kini terdengar kembali oleh suara riuh tepk tangan para  peserta kongres yang hadir. Ketika Putri memberi semangat dan gambaran tentang wanita-wanita Indonesia masa kini.

Kongres itupun akhirnya selesai setelah Putri menutup acara tersebut dan turun dari panggung kehormatannya. Tampak para peserta mulai sibuk keluar dari gedung sambil bersalaman dengan Putri dan yang lainnya. Hanya Tarilah yang masih duduk di bangkunya sampai para peserta tadi keluar semua. Putri pun datang mendekati Tari, dan merekapun bergegas untuk pulang ke rumah. Disepanjang perjalanan Tari selalu ingat akan pesan kakaknya tadi waktu memberi sambutan.
“ kita sebagai wanita Indonesia yang lahir di desa harus bisa bangkit dan jangan mau di perbudak oleh kaum laki-laki.” Kata-kata itu selalu teringat oleh Tari

Sesampainya dirumah Putri langsung pergi menuju ruang dapur, dan dia melihat banyak sekali barang-barang yang kotor. Kemudian, dia langsung membersihkannya. Lain hal nya dengan Tari, ketika sampai di rumah dia langsung masuk kamar dan langsung istirahat. Tak lama kemudian, ayah merekapun pulang kerumah dan melihat Putri yang lagi sibuk membersihkan dapur. Melihat keuletan anak pertamanya itu dalam mengurus rumah tangga, tiba-tiba dia teringat akan almarhum istrinya dulu.
“ Bu.... kalau kamu masih hidup, pasti anak kita gak akan seperti ini.” Ucap ayah Putri sambil menangis. Mendengar suara ayahnya di luar, Putripun langsung keluar menemui ayahnya itu.
“Eh..... ayah, sudah pulang yah???
“ Gimana yah keadaan bibi apa sudah baikan atau mungkin masih sakit....”

Sambil menyapu air matanya, didi menceritakan keadaan saudaranya itu kepada putri.
“ Putri bibimu sekarang sudah sembuh, dan sudah bisa bekerja lagi.”
“ Kamu sendiri gimana apa kongresnya berjalan dengan lancar.”
“iya yah... kongresnya lancar-lancar aja kok tadi.”
“ yah, saya mau tanya sama ayah.”
“Gimana kalau adik saya keluar aja dari anggota putri desa....”
“Ya... kalau itu si ayah masih kurang berani mengambil keputusan, soalnya kasihan adikmu dirumah tidak ada yang mau dia perbuat”
“iya....ya, ayah benar juga.” “ nanti kalau Tari keluar dia mau kerja apa....”

Hari sudah menjelang sore, tampak Putri dan Tari lagi asyikduduk berdua di beranda rumah sambil bercanda.
“ Tari ayo kita masuk.....” “sepertnya hari sudah mau magrib, kan tidak enak di lihat tetangga kalau kita nongkrong di teras magrib-magrib begini”
“Ayo...., saya juga sudah capek bercanda terus apalagi sama kakak.”
“Bosan ah.....”
“Seperti gak ada nuansa baru.”
“Udah ah....kamu ini, ayo masuk”
Akhirnya Putri dan Taripun masuk kedalam rumah,lalu merekapun shalat berjamaah bersama ayahnya. Sungguh keluarga yang sejahtera walaupun keluarga mereka sudah kehilangan satu orang yang sangat berpengaruh besar di keluarga itu dan yang sangat mereka sayangi. Siapa lagi kalau bukan ibu mereka yang sudah tiada saat mereka masih kecil.

Pagi-pagi sekali, Putri sudah bangun. Dan dia langsung mempersiapkan sarapan untuk ayah dan adiknya. Tak lama kemudian, ayah dan adiknya pun bangun, dan ayahnya langsung bergegas mandi karena mau pergi bekerja. Sebelum berangkat ayah Tari sarapan terlebih dahulu baru di ikuti Tari dan Putri. Merekapun sarapan bersama-sama. Setelah selesai sarapan,Taripun langsung pergi ke sekolah. Sungguh tiada disangka dan diduga kalau hari ini dia juga bertemu dengan Andika. Ditengah perjalanan mereka tampak asyk mengobrol layaknya sepasang kekasih. Padahal mereka hanya sebatas teman biasa.
“Tari apa kamu ada waktu hari minggu nanti.....”
“waktu apa......?”
“Waktu kosong....”
“Kalau ada saya mau mengajak kamu pergi ketempat yang belum pernah kita kunjungi di desa ini.”
“Ada....”
“Ok... kalau begitu nanti saya tanya sama ayah boleh apa tidak.”
“Kalau boleh kita langsung pergi, tapi kalau tidak diizinkan mas jangan kecewa ya.”
“Pastinya dong.”

Sekembalinya Tari kerumah, diapun langsung berjumpa dengan ayahnya dan diapun mencoba meminta izin kepada ayahnya. Namun ayahnya tidak mengizinkan, karena hari minggu nanti akan di adakan kongres lanjutan. Sebagai lanjutan dari kongres beberapa hari yang lalu. Taripun memahami hal itu,dan diapun menuruti apa yang dikatakan ayahnya. Hari minggu itupun ternyata Andika pergi kerumah orang tuanya di kota baru, karena dia sudah memasuki waktu liburan dan ingin menghabiskan liburannya disana.

Pagi itu tampak kedua bersaudara itu sudah bersiap-siap untuk menghadiri kongres lanjutan, dengan pakaian kebaya yang mereka kenakan menambah indahnya suasana di pagi itu. Kongres itupun dimulai, setelah Putri masuk dan naik ke atas mimbar.
“saudara-saudara sepertinya kalian sangat jemu mendengar saya berbicara di depan sini, membaca nasihat-nasihat yang sangat manis untuk kaum perempuan ini. Tetapi, saudara-saudara harus ingat selalu akan hal itu. Supaya kita bisa menjaga harkat dan martabat wanita bangsa ini."
" supaya untuk menjaga wanita itu agar jangan cepat insyaf akan kedudukannya, akan nasibnya yang nista ini.itu semua harus kita lakukan demi melindungi kaum wanita dari kejahatan dan aib.dengan jalan jalan demikianlah maka perempuan kita akan berguna dimata dunia.”

Panjang lebar Putri menyampaikan nasihat demi menjaga wanita bangsa ini. Agar menjadi wanita yang kuat dan besar.
Kongres itupun akhirnya usai dan para peserta memberikan tepuk tangan dan semangat serta penghargaan kepada Putri, atas kepandaiannya dalam memimpin. Putri dan Taripun langsung pulang kerumah karena mereka sudah di tunggu ayah mereka. Hari itu mereka di ajak ayahnya pergi ke rumah bibinya.
Sudah satu minggu Andika di rumah orang tuanya, kini diapun ingin kembali ke kampung halamannya untuk meneruskan kulyahnya yang sudah masuk semester akhir itu. Namun dia juga masih ingin tinggal lebih lama lagi dengan orang tuanya di kota baru karena dia sudah lama sekali tidak bertemu dengan orang tuanya itu.

Tari dan Andikapun kini bisa berjalan bersama lagi, setelah hampir satu bulan mereka tidak bertemu. Mereka duduk berdua  diatas batu besar yang  hitam kehijau-hjauan oleh  lumut. Andika mengenakan jas berwarna hitam dan berdasi sutra yang kemerah-merahan. Dibahunya tersandang  tali botol termos yang di gantung pada sisi lengannya,dan tangan kanannya di pegangnya topi berwarna hitam. Tari yang memakai baju putih dan rok hitam yang menutupi lututnya. Kakinya hanya dibaluti oleh kaus yang lebih tinggi sedikit dari mata kakinya. Dipangkuannya dipegangnya sebuah bungkusan kecil. Keduanya takjub melihat kehadapan, kepada air terjun yang gemuruh bersorak terjun iri atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak, air yang baru jatuh itu terkumpul dibawah didalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir diantara batu-batu yang besar.

Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Diatas t ebing kelihatan beberapa orang laki-lakiberpakaian padu. Sementara itu, dari atas tebing dibelakang mereka senang tiasa kelihatan orang datang.
“Mengapa kamu dia saja.....”

Tari mengangkat mukanya yang kemerah-merahan karena sinar matahari dan memandang kepada Andika agak keletihan rupanya.
“Saya agak lesu.....” katanya perlahan hampir tiada kedengaran. Mendengar jawaban Tari itu, segera berubah muka Andika dan tampaknya dia agak cemas.
“ kamu sakit Tari.....” suaranya terang menyatakan bahwa ia agak khawatir melihat rupa Tari ketika itu. Tapi Tari menggelengkan kepalanya dengan senyum antara kelihatan dan tiada.   
“ sakit si tidak, tapi saya agak letih”
“ Saya dari dulu memang kurang kuat menahan letih.”
“ Kalau saya sudah berlari cepat-cepat, pemandangan saya dan nafas saya agak sesak.”
“ Ya badanmu budan badan yang kuat, saya salah dari tadi tidak ingat akan hal itu.” Kata Andika agak menyesal.

Andika memandang ke sekelilingnya untuk mencari tempat duduk yang baik. Lalu dilihatnya dibelakang mereka ada batu yang besar, lalu berkata ia kepada Tari.
“ Tari. ..., ayo kita kesana ke batu dekat tebing itu, engkau boleh beristirahat disana sesukamu.”
“ Ah... tidak mengapa, disini saja paling juga sebentar lagi letih saya akan hilang.” Jawab Tari membantah, ia tidak ingin menunjukan kelemahan yang di lebih-lebihkan.

Tetapi andika tidak dapat disangkal lagi,ia merasa tanggungan yang dipikulnya amat besar. “ Tidak.....tidak....., engkau harus duduk disana.” Ucapan yang setetap itu tidak terlawan oleh Tari. Iapun berdiri dan bersama-sama Andika, pergi kebatu ditepi tebing itu. Andika mengeluarkan dua buah bingkisan roti dari sakunya dan diberikannya sebuah kepada Tari.
” Marilah makan ini dulu, badanmu akan dikuatkannya kembali.”

Sementara itu, mereka bercakap-cakap juga. Bertambah lama bertambah asyik, sebab lambat laun Tari hilang pula letihnya. Andika menceritakan kebesaran dan keindahan alam didaerahnya tempat ia lahir. Hutan yang luas, danau yang besar dan indah dan jalan yang berbelit-belit dan berliku. Bercahaya-cahaya mata Tari mendengar cerita Andika akan keindahan negerinya. Dan didalam hatinya yang mengagumi anak muda itu tergambarlah segala hal yang didengarkannya itu.Tari mencoba berdiri dan berjalan-jalan, seolah-olah dia berada ditenpat kelahiran Andika. Andikapun sedikit tertawa melihat tingkah laku Tari yang berubah secara spontantanitas itu.
“ kamu sudah kuat Tari.......”saya takut nanti harus mengendong orang pula pulang ke rumah.” Ejek Andika kepada Tari.
“ Ya... saya tahu akan hal itu, sebab engkau tidak akan kuat mengendong saya” jawab Tari sambil tertawa. Mukanya yang merah karena panas lebih memerah lagi menginsyafkan arti perkataan yang keluar dari mulutnya  dengan tiada di ketahuinya itu, dan dibuangnyalah mukanya ke tempat lain karena dia agak sedikit malu untuk memandang andika.
“ Kalau tidak letih ternyata Tari lucu benar.” Ujar Andika dengan tenang. Baiklah kita naik keatas berjalan-jalan disana.” Iapun berdiri pula, diambilnyalah setangan alas duduk Tari, dikiraikannya beberapa kali, lalu dimaskkannya kedalam sakunya. Tari mengambil lebih buah anggur yanh terletak diatas batu dengan tangannya.
“Indah benar tempat berjalan dibawah bambu ini” ujar Tari seraya memandangkan matanya mengikuti jalan yang teduh dihadapan mereka.
“ Ini pertama kali saya berjalan kemari, di Jakarta tidak ada tempat berjaan hari minggu seperti ini dan seindah ini.”

Perasaan bahagia yang menahan kegembiraan hati mereka. Langkah mereka memberat dan percakapan yang riang, penuh canda dan tawa melembut seperti belaian yang halus.
“ Mengapa kamu diam pula……..” kata Andika tiba-tiba setelah mereka lama berjalan dengan tiada terkata-kata. Tari mengangkat mukanya melihat kepada Andika dan matanya yang besar hitamdan jelita itu berat rupanya. Senyum yanh tertahan membayang pada wajahnya. Andika segera membuang mukanya melihat mata gadis yang menghimbau itu. Ia menolak perasaan yang ghaib merasuk qalbunya. Tari melihat kepada bunga kembang setahun yang tumbuh terpencil di bawah bunga Marygold yang gembira memuncakan kembangnya yang kuning.
“ Bagus benar bunga ini,” ujar Tari.
“ kalau kita di Jakarta, tentu sudah saya cabut bunga ini untuk ditanam di rumah.”
“Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu ditanam”
“O ya, kalau begitu baiklah kamu yang menyimpannya, saya hendak mencucukannya di kelopak bajumu.maukah kamu…..”
Dengan tiada menanti jawaban lagi,seeralah Tari memetik bunga itu. Iapun mendekati Andika dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu, dan memasukannya kedalam kelopak baju Andika. Sementara itu,Andika dengan pesat mengamati gadis yang sangat dekat dengannya itu. Rambutnya yang hitam lebat teranyam, mukannya yang merah bercahaya tersenyum ditahan. Sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada dada bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi kedua muda remaja itu. Dari mulut Tari keluar ucapan agak gemetar, tatapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan kemenangannya.

Tari tiada membantah lagi, tetapi mukanya yang memucat di tundukannya kebawah dengan tiada berkata sesuatu apapun. Pada mata Tari kelihatan kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta mengemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya.
“ Tari….Tari….. tahukah kamu kalau saya cinta padamu….” Badan Tari gemetar dan melemah lalu diapun terjatuh ke tangan Andika dan seraya menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu hampir-hampir tiada kedengaran.
“Lama benar kamu menyuruh saya menanti kata-katamu…..” tak dapat lagi dia meneruskan ucapannya, sebab Andika menundukan kepalanya ke arah Tari dan menutupkan bibirnya ke atas bibir Tari. Dan dalam curahan cinta pertama yang mengemetarkan badan mereka yang muda remaja itu,menjauh mengaburlah keinsafan mereka akan tempat dan waktu.
Sama-sama mereka berjalan dengan penuh mesranya berpegangan di antara pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ti tiup angin. Ketika tiba di seberang mereka turun ke bawah ke tepi anak air. Beberapa lamanya mereka melangkah dari batu ke batu. Sekelilingnya indah nan permai seperti biasanya di tengah alam, dan indah nan permai seperti biasa pula pujuk dan cumbu asyik maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan perasaan cinta pertama yang penuh harapan.

Tari telah menceritakan kepada Putri bahwa dia telah berjanji kepada Andika untuk menjadi istrinya di kemudian hari.

Pada suatu malam, sesudah makan gadis berdua itu berkumpul dikamar tidur mereka. Putri duduk di meja membaca buku, sedangkan Tari berguling-guling ditepi tempat tidur sambil membaca sebuah roman. Di luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya hujan turun. Beberapa lamanya Tari melamun di beranda menantikan kekasihnya yang tiada juga kunjung-kunjung datang.

Putri sudah lama memperhatikan cara Tari membaca itu, geli hatinya melihat ia yang tiada beralih-alih dari halam yang dibacanya itu. Beberapa kali telah ia tegur Tariyang melamun menghadapi buku, tetapi hal itu tiada diperdulikannya. Tak beberapa lama kemudian, kembalilah Tari kekamarnya, mukanya pucat merengut. Dengan suara yang gemetar oleh amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Putri “ kamu jahat benar kak, menipu saya seperti itu.” Banyak yang tak dapat dikatakannya, lalu dibantingkannya badannya ke tempat tidur, seraya menangis tersedu-sedu.”Engkau selalu mengganggu saya, engkau tidak tahu bagaimana perasaan saya” ujar Tari tersendu-sendu.
“Tidak…. Tidak…., saya tidak akan mengganggumu lagi, saya menyesal akan perbuatan saya tadi. Maafkanlah saya Tari….” Di tariknya tangan Tari perlahan-lahan supaya melihat kepadanya lalu berkatalah dia “ Tari mengapa engkau sebodoh itu……” Putri hanya berolok-olok .
“Masa yang seperti itu sudah menangis, kamu bukan anak-anak lagi”
“Ya… kamu ngak tahu perasaan saya , bagaimana ibanya hati saya” jawab Tari  dengan nada yang agak tinggi bunyinya, seraya menelan sedunya dan menghapus air matanya.
“Masakan saya tidak tahu perasaanmu, sebab saya tahu perasaanmulah saya hendak member nasihat kepadamu…” sebentar terhenti Putri seraya melihat kepada adiknya itu, lalu katanya pula ” Tari….kamu I ni terlampau menuruti perasaanmu.”
Tari tiada dapat menahan hatinya lagi. Ia hendak mempertahankan dirinya, ia tidak boleh memperkenankan cintanya kepada Andika di cela seperti itu. Dengan suara yang terang menyatakan tiada senang hatinya mendengar nasihat saudaranya itu, katanya “saya cinta kepadanya dengan seluruh hati saya. Maumu saya berbohong dan pura-pura tidak mencintai dia gitu.”

Putri berbuat seolah-olah dia tidak tahu bahwa saudaranya marah dengan nasihatnya. Dengan sabar dan tenang sebentar-sebentar menekan perkataannya, seolah-olah hendak menenangkan fikirannya senyata-nyatanya mungkin, berkatalah ia “ maksud saya bukan menyuruh kamu berbohong dan pura-pura tidak cinta dengan dia.”
“Tidak sama sekali saya menyuruh kamu begitu.”
“Saya hendak menunjukkan kepadamu bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti sekarang ini, bearti merendahkan dirimu kepadanya.”
“terlampau kamu menyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa kamu tidak dapat hidup lagi , kalau tiada dengan dia.”

Ah…. Kamu ingin mengatur orang pula, saya cinta padanya. Biarlah saya mati daripada saya berpisah dari dia.”
“Apapun akan saya kerjakan untuknya.”
“Saya tidak takut dijadikan sahaya. Saya tahu dia cinta juga kepada saya.”
“Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya itu padanya.” Jawab Tari dengan tegas mematahkan segala perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu karena di nasihati kakaknya seperti tadi.
“ Engkau tidak usah memperdulikan urusan saya, saya tidak minta nasihatmu.”
Rupa-rupanya hendak menyala pula amarah Putri, jika dia tidak dapat menyabarkan dirinya. Setelah itu, sunyilah di dalam kamar itu. Putri memaksa dirinya untuk membaca buku, tatapi gelisah duduknya terang menyatakan bahwa hatinya belum reda. Dan ti tempat tidur diam terlentang Tari dengan hati yang iba bercampur sebal dan amarah.

Sunyi sepi, hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Tari di rumah sakit. Ada kalanya setiap hari dia bertemu dengan ayahnya yang sedang ada disana, tetapi ada pula kalanya sampai seminggu tiada dikunjungi orang. Sekali-kali datang orang yang tiada di sangka-sangkanya, kenalan yang hendak mengunjungi kerabatnya yang dirawat di rumah sakit itu. Hal itu membawa kegembiraan hatinya yang tiada disangka-sangka baginya.

Sejak  dari semula Tari tahu bahwa diantara orang sakit yang banyak itu dia termasuk orang yang berat sakitnya. Kadang-kadang berhari-hari panas badannya, ia batuk-batuk memuntahkan darah. Waktu yang demikian tiadalah dia boleh meninggalkan tempat tidurnya. Dan apabila senua orang pergi ke luar berjalan-jalan di sekitar rumah sakit itu, melayanglah pikirannya kepada sekalian orang yang di kasihinya. Kekasihnya,ayahnya,dan saudaranya.kadang-kadang tringat dia akan bundanya  yang telah lama berpulang. Dalam waktu yang demikian amat terasa kemalangan hidupnya di rumah sakit yang sepi di lereng gunung itu. Jika ia masih dapat mengangkat badannya, maka seringlah dia melihat dari jendela kaca ke luar kearah pegunungan yang indah. Sering tiada dapat ia iba hatinya dan menangislah ia tersendu-sendu.

Tetapi apabila badannya agak sehat dan ia di perbolehkan keluar untuk berjalan-jalan layaknya seperti orang sakit yang lain,maka dirinya seperti hidup kembali. Puaslah ia mengecap keindahan daerah disekeliling rumah sakit yang susah di cari tandingannya itu. Tiada terasa kepadanya waktu habis, apabila ia berjalan di antara kembang-kembang aneka warna yang amat subur naik ditanah pegunungan itu. Laksana hidup di surgalah dirinya yang suka akan warna dan kepermaian itu, melancong-lancong di sekitar rumah sakit itu.

Semua rempat yang dekat disitu dikunjunginya, selalu kakinya yang lemah itu, tiada terasa penat-penat kakinya namun ia masih tetap saja berjalan menikmati indahnya alam pegunungan disekitar rumah sakit itu. Nikmat terasa olehnya pemandangan dari bangku tempat duduk di dataran rendah , nikmat terasa kepadanya menengadah ke atas melihat ke puncak gunung yang bersembunyi di balik awan. Dan kemana sekalipun dia memandangang ,di segala penjuru nampak kepadanya kegirangan hidup yang mesra di atas tanah yang mewah membagikan kekayaan kepada dunia.

Sejak dari pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, berama-sama dengan angin kuatyang begitu dahsyat. Pohon-pohon sekitar rumah sakit itu terbuai tertunduk-tunduk  seraya gemuruh menderu-deru dan berciut-ciut. Di gunung-gunung kabut yang tebal berkejar-kejaran, sangat cepat tiada habis-habis lakunya. Langit yang putih kelabu berat turun kebawah samapai menyatu dengan pelarian kabut di lereng gunung.

Pada pagi yang seolah-olah seluruh alam mengamuk itu, terbaring Tari tiada bergerak-gerak di tempat tidurnya. Matanya memandang jauh kehadapan, tetapi tidak ada sesuatu apapun yang kelihatan olehnya. Kecil dan jauh terpencil, ditinggalkan segala orang terasa kepadanya, dirinya pada pagi-pagi yang gemuruh itu. Rasa iba dan pilu melayangkan pikirannya, tiada tertahan-tahan. Sebentar ia ingat kepada kekasihnya Andika yang sudah lama dan hampir jarang mengunjunginya.

Teringat kepadanya, bahwa ia akan meminta kepada juru rawat dan dokter, supaya Putri dan Andika dapat tiap-tiap hari datang mengunjunginya. Ah, rasanya permintaan itu akan di kabulkan, sebab hari senin seminggu lagi telah habis pula libur orang berdua itu dan lama pula ia akan berjumpa lagi dengan mereka.
Tari mengubah letak bantalnya sedikit, sebab ia hendak menghadap kepada jendela kaca yang tertutup, yang lantang memberi pemandangan kesebelah barat. Nampak kepadanya sebentar kabut terangkat dan terlihatlah puncak gunung yang berwarna hijau kehitam-hitaman. Bersandar pada langit yang rata putih kelabu-labuan. Di lerengnya masih berkejar-kejar kabut menutup pemandangan, tetapi agak kebawah banyak kelihatan kehijau-hijauan hutan dan kebun, mengabur dalam hujan yang turun tiada henti-hentinya.

Pemandangan yang  suram kea rah gunung yang dibaluti awan dan kabut,  bertambah dalam perasaan sayu dalam hati Tari. Terasa benar kepadanya kemalangan nasibnya. Telah hampir dua bulan ia terbaring dalam rumah sakit itu. Usahakan penyakitnya berkurang, dua hari yang lalu ia dipindahkan ke kamar khusus seorang diri. Tahu ia, bahwa ia di asingkan itu oleh karena penyakitnya bertambah parah. Telah banyak orang yang diasingkan kemari tiada hidup lagi keluar. Sering ia bertanya kepada dirinya “ akan demikian pulakah nasib ku ini…..”
Dan pagi-pagi ini pertanyaan itu lebih-lebih datang  merasuk kedalam hatinya.
“Kalau begini rasa-rasanya saya hanya menunggu waktunya saja lagi.”
“Betapakah akan rasanya nanti mati, tidak lagi melihat dan mendengar, menunggalkan segala hal yang dicintai dan disayangi untuk selama-lamanya.


Matahari telah hampir terbenam dibalik gunung tanah baru. Bernyala-nyala rupa mega diwarnainya, kuning, merah, dan ungu. Di lembah-lembah dan di lereng gunung telah turun kekaburan senja, tetapi puncak-puncak yang menengadah ke langit merah membara turut menyayikan laguan warna.
Di seluruh rumah sakit yang putih jernih  dikaki pegunungan itu, sunyi senyap seolah-olah iapun tiada hendak mengusik kepermaian alam pada senjanya itu.

Dalam kamar tempat Tari masih Putri dan Andika duduk tiada bercakap-cakap diatas bangku masing-masing. Kesunyian alam di luar masuk kedalam kamar kecil yang bersih itu,berat mengeri menyelap kedalam qalbu orang bertiga itu.

Hari ini adalah hari yang terakhir bagi Putri  dan  Andika untuk mengunjungi Tari. Pagi-pagi besok keduanya akan bertolak ke Jakarta, sebab libur mereka telah habis. Sangat berat terasa kepada mereka akan meninggalkan Tari, apalagi oleh karena penyakitnya yang rupa-rupanya makin bertambah parah. Dokter sudah berbisik kepada Andika, bahwa penyakit Tari sudah susah untuk mengobatinya. Dinyatakan kekhawatirannya kalau usahanya hanya sia-sia.

Bagi Tari perpisahan dengan kedua orang yang dicintainya itu lebih berat lagi. Meskipun penyakitnya tiada menjadi ringan barang sedikitpun, tetapi dalam seminggu ini tiada terkata-kata bahagia rasa hatinya setiap hari bisa bertemu dengan tunangannya dan kakaknya itu. Dan sekarang waktunya ia akan di tinggalkan Andika dan Putri itu, betapa amat pilu rasa hatinya dan berbagai-bagai pikiran menghantui dirinya.
Dari tempat tidurnya Tari memandangkan matanya keluar jendela. Keindahan  permainan benda di langit datang mendorong kalbunya tiada tertahan-tahan lagi. Dan sedang di lamun kesedihan perpisahan dengan kedua orang yang di cintainya itu. Lebih-lebih terasa kepadanya perbedaan keadaan dirinya dengan keindahan tamasya alam di sekelilingnya.Tetapi meskipun demikian sekejab tertarik terhanyut juga hatinya yang pemuja keindahan itu oleh kepermaian  pemandangan ketika itu, sehingga sebelum dapat di insyafkannya telah keluarlah dari mulutnya antara kedengaran atau tidak “Alangkah indahnya tamasya di senja ini, coba kalau saya masih bisa menikmatinya pasti akan saya rasakan ….”
Mendengar ucapan Tari itu Andika dan Putri sejurus memalingkan matanya ke luar jendela dan keindahan alam pada pertukaran siang dan malam itu masuk kedalam kalbu  mereka mendalamkan perasaan sayu dan pilu akan perpisahan yang amat lekas, tiada dapat ditunda lagi.
Andika mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar seperti riak air yang tiada berarti dan bermakna.” Lima belas menit lagi pukul enam.”

Di tundukannyalah kepalanya melihat ujung sepatunya.  Sekejap lamanya diangkatnya pula mukanya dan iapun melihat kepada kekasihnya yang terbaring di tempat tidur. Pada saat itu bertemu matanya dengan mata Tari yang kebetulan sedang mengamat-amati perangai tunangannya itu. Senyum yang di paksa membayang pada muka yang berjorokan tulang itu menyerupai seringai dan berat mengeluh selaku setelah perjuagan batin yang hebat itu.

Andika berdiri pula sambil mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar kata-kata” tinggal dua menit lagi pukul enam.” Kedua-duanya berdiri tegak dekat kepala Tari untuk mengucapkan selamat tinggal. Sama-sama mereka bersungguh-sungguh memberi nasihat kepada Tari supaya jangan menuruti hatinya, ia jangan sekali-kali berputus asa. Sekali lagi Putri dan Andika memberi nasihat kepada Tari, sekali lagi mereka mengatakan bahwa ia mesti sembuh, maka diucapkan merekalah” selamat tinggal kepada juru rawat dan Tari.”

Dalam senja raya yang sejuk itu berjalanlah orang berdua itu dengan tiada bercakap-cakap barang sepatah katapun. Diseluruh tanah pegunungan itu malam telah mulai menyiratkan gelapnya. Mega hanya tinggal kekelabu-labuan dan disana-sini masih tampak kekabur-kaburan warna ungu lembayun, laksana jejak cahaya matahari yang telah turun dibalik gunung padu perkasa yang biru hitam rupanya. Di langit bertambah lama bertambah banyak kelihatan bintang kemilau mengerlip memandang dunia.
Andika dan Putri terus berjalan ke bawah menuju auto yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Berbagai-bagai pikiran dan perasaan mengacaukan jiwa mereka. Waktu terus berjalan. Keresik gugur, gugur ke bumi dan puncak muda memecah, memecah pula di ujung dahan.” Hhuuhh…. Alangkah lekasnya waktu berjalan…..”
Hari masih pagi-pagi dan di perkuburan dekat kota Baru, tiada beberapa jauh dari rumah Andika sunyi senyap. Tempat manusia melepas lelahnya setelah perjuangan hidupnya itu, ketika itu tempat beristirahat yang sunyi dan aman. Tak ada suatu bunyi ataupun suara yang ganjil yang mengusik ketenangan yang mulia dan kudus itu.

Dari kejauhan terlihat dua orang anak muda datang sambil membawa untaian bunga mawar yang indah.mereka tidak lain adalah Andika dan Putri. Mereka datang ke kuburan itu hanya untuk berjiarah ke makam orang yang sama-sama di cintainya itu.
Pada batu nisan pualam putih terlukiskan sebuah nama yang tiada lain adalah Tari.
“Tari berpulang  10 Januari 1992.”

Ia wafat dalam usia yang ke 22 tahun.
Tidak lama kemudian, perkebunan itupun sepi kembali tanpa ada satu suarapun. Sementara itu,Putri dan Andika telah beranjak pergi meninggalkan perkuburan itu, walaupun berat hati kedua orang itu meninggalkan tempat itu. Terus, auto mereka melancar, berbelok-belok menurun kebawah ke tempat kerja manusia di tengah-tengah perjuangan dengan sedih dan senangnya………….
TAMAT

Baca Juga Cerpen Sedih dan Cerpen Cinta lainnya.

Telepon Untuk Ayah (Cerpen Ayah)

TELEPON UNTUK AYAH
Cerpen Zakiyah Sholihah

Film yang barusan kami tonton sangat tidak seru. Kuberi tahu Kau, film itu sangat membosankan, lima menit pertama ketika tokoh utama bermain peran, Kau pasti sudah menguap berkali-kali.
“Kau saja yang memang bukan tipe penonton film itu Ra,” Stella menyanggah komentarku sambil tertawa. Yang benar saja, sudah banyak cerita-cerita membosankan seperti itu. Gadis yang sedang mencari jati diri, lalu tidak sengaja bertemu lelaki idaman, lelaki idaman tiba-tiba dikabarkan mengidap penyakit mematikan, lelaki idaman kemudian meninggal, sang gadis menangis ditinggal mati pasangan. Bah, yang benar saja.
“Ra? Kau tak mau acara kita ini jadi membosankan hanya karena film itu bukan film kesukaanmu, lalu kau tak mau mengajakku bicara?” Stella sudah berdiri tepat di depanku, memelototiku dan berkacakpinggang. Aku menengadahkan tangan anggun, berlagak layaknya pengeran, “Tidak nona, apapun kulakukan untukmu,” Stella tertawa.
Stella mengajakku jalan-jalan ke Taman Kota. Hari ini adalah ulang tahunnya. Katanya ia butuh teman baik untuk menemani hari spesialnya. Ia membayar semua yang kami nikmati. Aku hanya memberinya sebingkai foto dan sketsa tentang dirinya.
“Sera! Ini indah sekali!” katanya, lalu memelukku ketika hadiah dariku dibukanya.
Aku menikmati juga acara hari ini (kecuali bagian acara menonton film). Kami makan es krim, berjalan di Taman Kota saat sepertiga isi kota pergi kesana, berbelanja, makan makanan khas kota, berbelanja souvenir untuk keluarga Stella, minum jus, dan jalan-jalan lagi.
Sepanjang perjalanan di Taman Kota, Stella membawa hadiahku di tangannya, sesekali memeluknya erat.

***

Aku memeriksa foto-foto yang berhasil aku potret pagi hari ini. Cukup bagus, bahkan beberapa diantaranya (menurutku) sangat menarik. Foto-foto yang kupotret pada saat acara ulang tahun Stella juga tak kalah menarik. Objek yang kuambil tepat, begitu menurut salah satu dosen di fakultasku ketika melihat foto-foto yang pernah kupotret. Aku tak sia-sia memilih seni rupa dan fotografi sebagai jurusanku. Teman-temannya menyenangkan. Mereka memiliki gaya yang berbeda satu sama lain. Tak ada yang bisa dibosankan di jurusan fotografi, dan selalu ada kejutan di jurusan seni rupa. Semua anak bisa menjadi perhatian jika karya baru yang dibuatnya menarik. Ada saja segala hal yang dilakukan mahasiswanya. Meja mereka tak pernah bersih dari coretan gambar. Kelas selalu ramai dan selalu ada hal baru disana.

Stella bukan teman dari kedua jurusanku, tapi masih satu fakultas denganku. Ia mengambil jurusan seni sastra. Kalau meja mahasiswa seni rupa dipenuhi oleh gambar-gambar, mungkin meja Stella dipenuhi tulisan. Mungkin. Karena blog Stella penuh dengan postingan tulisannya yang tidak bisa dibilang pendek. Lima puluh postingannya dalam dua bulan yang kesemuanya hasil karya tulisna seperti cerpen buatannya, catatan harian, resensi buku dan film kesukaannya, dan ilmu sastra yang baru diperolehnya di kelas.

Walaupun berbeda dari teman-teman jurusanku, Stella telah menjadi bagian besar dari kehidupanku di kota ini. Kota yang jauh dari kota kelahiranku, rumahku yang sesungguhnya.

Aku menengok jam tangan, pukul 10.35 pagi. Kegiatan memotretku pagi ini cukup menghabiskan banyak waktu.
Aku menengok jam tangan, pukul 10.35 pagi. Kegiatan memotretku pagi tadi cukup menghabiskan waktu. Kubereskan laptop, kamera, dan alat-alat gambarku. Kemudian bersiap manuju kampus, bertemu Stella, dan menebak-nebak kejutan apa lagi yang datang dari kelas seni rupa.

Hari ini cerah. Aku sedang berbunga-bunga. Berjalan seperti lagaknya orang kaya, merasa seluruh universitas ini milik sendiri, senyum-senyum pada setiap yang kulihat di jalan. Tapi yang kudapat hanya tatapan aneh orang-orang yang kusenyumi. Belum pernah melihat orang senangkah mereka?
Karikatur buatanku dinilai paling bagus dari seluruh kelas seni rupa. Padahal itu karikatur pertama yang kubuat. Tak ada perasaan dengki dari seluruh teman-teman sekelas. Kami memang bersaing sportif dalam hal berkarya. Aku menjadi perhatian di kelas. Menjadi bahan pembicaraan untuk hari ini dan mungkin hari-hari berikutnya.

Tidak berbeda di kelas fotografi. Beberapa teman meminta softcopy hasil foto-foto potretanku. Mereka bilang foto-foto potertanku luar biasa indah dan tampak nyata. Banyak pula yang bertanya dimana aku memotret semua foto-foto ini. Bahkan beberapa teman yang lahir di kota ini tidak tahu tempat-tempat yang kupotret dari kotanya. Salah satu dosen menawariku mengikuti kompetisi fotografi. Oh, Tuhan.. aku tak tahu apalagi yang bisa kulakukan untuk menyambut keberuntungan hari ini kecuali dengan bersyukur, berdoa, dan senyum-senyum pada setiap langkah yang kuambil.
Stella, ketika tahu kabarku, ia langsung tersenyum, ikut bahagia.
“kau memang pantas mendapatkannya Ra,” katanya. “Kau tahu? Mama sangat suka bingkai hadiah darimu Ra, ia bilang indah sekali foto-fotonya dan sketsanya benar-benar bagus. Bahkan adik-adikku berebut minta digambari. Aku bilang pada mereka kau sangat sibuk, jadi tidak bisa meladeni fans-fans kecil seperti mereka. Lalu aku menawari diri untuk menggantikanmu menggambarnya, dan mereka bilang lebih baik tidak digambari dibanding aku gambari! Kurang ajar sekali mereka!” Stella berkacak pinggang, berpura-pura marah. Aku tertawa. Sudah banyak komentar seperti itu yang kuterima sejak aku tahu aku mulai berbakat dalam menggambar.

Hei! Sejak kapan aku mulai berbakat dalam menggambar? Ah, itu kuceritakan nanti saja. Hari ini aku sedang senang. Kau tahu, orang yang sedang senang tidak suka diganggu dengan cerita-cerita masa lalu. Tapi masa yang akan datang seakan semakin dekat dan semakin cerah saja.
***

Asap dari cokelat panas mengepul membuat kacamataku berembun. Aku mengelapnya, melanjutkan kembali menggambar komik-komik ilustrasi untuk sebuah penerbit ternama yang akan meluncurkan buku terbaru mereka, serial novel-komik, yang melibatkan aku sebagai ilustrator komik dan seorang penulis novel yang hebat. Aku bekerja keras dalam hal ini. Karena pekerjaanku inilah aku lumayan dikenali teman-teman mahasiswa satu fakultas dan pembaca-pembaca yang tertarik pada komik-komikku. Karena pekerjaan ini juga aku selalu sibuk, belum lagi urusan kuliah yang mengambil dua jurusan.
 
Terkadang Stella tidak suka melihatku selalu bekerja keras. Aku mengira karena alasan itulah Stella mengajakku menemaninya dalam hari istimewanya kemarin. Dia bahkan kaget ketika aku membawakannya sebuah hadiah untuknya, karena dia tahu aku tak punya waktu untuk melakukan hal-hal sepele. Hingga kemudian dia memelukku, mengacak-acak rambut pendekku.

Dari gaji komik-komikku, aku bisa membeli segala yang kuperlukan. Kamera, laptop, alat-alat gambar yang sebenarnya tidak terbilang murah. Dinding kamar penuh dengan karya-karya foto dan gambarku, dan satu foto berbingkai sederhana. Disana ada ayah, kakak, dan aku ketika masa SD-ku dulu. Ketika lelah bekerja dan kemudian merindukan rumah di kota sana, aku memperhatikan foto itu sejenak.
 
Kakak adalah seorang yang menemaniku selama di kota ini sebelum Stella. Ia seorang wanita yang ramah, baik, namu tegas dan berprinsip. Dialah yang menempati kamar ini sebelum akhirnya aku yang menempatinya. Kakak mengambil jurusan biologi. Berbeda denganku, dia tipe wanita yang langsung disenangi wanita manapun. Dia cantik dengan jilbab yang menutupi rambut indahnya. Ketegasannya membuat orang lain tak berani mencoba-coba urusan yang tak penting dengannya. Kecantikannya terwarisi dari ketampanan ayah, dan kelembutannya diwarisi dari ibu.

Ibuku? Wafat ketika aku lahir. Ayah sungguh terpukul dengan itu. Aku tak sempat mengenal ibu. Itu satu-satunya yang kusesali dalam hidup. Aku sering mendengar cerita-cerita kakak tentang kebaikan, kelembutan dan ketegasan ibu.
“ketika kau melakukan hal buruk, ibu tidak akan memarahimu, tapi akan menasehatimu dengan caranya yang membuatmu tak akan mengulangi kelakuanmu  itu hingga dua kali, “Kakak bercerita pada suatu malam di kamar kami.

Ibu bukan wanita yang cantik. Tapi balutan jilbabnya yang begitu rapi, membuat ibu terlihat cantik dari dalam. Sebaliknya, ayah adalah pria yang tampan. Masa mudanya ia malah memilih Ibu yang bersahaya sebagai pendamping hidupnya. Ayah juga bukan tipe ayah idaman. Ayah sangat tegas dan sangat sensitif. Aku sering dimarahinya dulu. Kata kakak, ayah mulai bersifat seperti itu sejak ibu wafat. Kakak bilang, mungkin ayah lelah, sehabis bekerja. Aku tak begitu peduli.

Hanya saat ini, aku tidak menyukai sikap ayah, karena alasan itulah aku menyusul kakak kuliah di kota ini. Mungkin karena alasan itu juga aku jarang menelpon rumah.
***

Sekarang masih pagi. Ponselku berbunyi keras. Aku merasa tidak mengaktifkan alarm kemarin, ternyata telepon dari Luna, teman kelas fotografi.
“Ke kampus sekarang Ra! Sekarang! Oke!” Hanya itu, telepon langsung diputus.

Aku mengikuti kata-katanya, bergegas ke kampus, merebak-rebak bak ada apa sebenarnya. Mungkin ada tugas mendadak yang penting, atau mungkin ada acara kelas, atau pembagian nilai UAS kemarin dan aku dapat nilai paling buruk! Aku rasa aku sudah mengerjakannya dengan baik.

Luna langsung menghampiriku ketika sampai di kampus. Ada beberapa anak sekelas juga bersamanya. Mereka langsung menyambutku dengan senyuman dan pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Sera! Mulai besok aku ikut kau membidik foto-foto!” atau
“Bagaimana caramu melakukannya?” atau
“Kau hebat Ra! Aku juga ikut dengannya membidik foto denganmu besok ya!”
           
Sedangkan aku bingung akan menjawab apa. Ada apa sebenarnya? Belum sempat menjawab dan berpikir, aku sudah ditarik oleh Luna. Sekarang aku akan dibawa kemana?
“Aku tak akan mengatakannya Ra, kamu akan melihat sendiri,” Luna berhenti di depan mading kampus. Awalnya aku tak mengerti, tapi aku menurut. Di depanku ada sebuah artikel yang berisi…. hei, tunggu, benarkah ini? Benarkah artikel gila ini? Benarkah aku memenangkan kompetisi fotografi?
           
Aku kaget, berteriak bahagia. Aku memeluk Luna, yang kupeluk nyengir bahagia. Satu per satu teman-temanku ikut menyalamiku. Tak hentinya aku bersyukur. Aku merasa Tuhan ada di pihakku hari ini. Kuajak teman-teman sekelas hari ini untuk makan malam di restoran kesukaanku.
 
Stella berteriak tertahan ketika aku mengabarinya soal kemenanganku, “Oh my God, Sera, bahkan orang tuaku pasti gembira mendengar ini. Kau harus mengabari orang tuamu!” Stella setengah berteriak. Aku langsung padam. Aku tak menyukai ide itu. Terakhir kali aku hidup bersama orang tuaku (atau lebih tepatnya ayahku) adalah hal yang paling menyakitkan. Ayah marah besar padaku, mengusirku dari rumah. Kakak hanya bisa menghiburku, mencoba agar aku mengambil sisi positif dari kejadian itu. Tapi aku tetap tak bisa menerimanya hingga saat ini.

Stella membujuk, kemudian memaksaku. Aku tersinggung, lalu tak sadar mengatakan hal yang membuat Stella terkejut dengan yang kukatakan, dan pergi meninggalkanku. Sebelum benar-benar pergi dari hadapanku, ia berkata, “Sungguh Ra, orang tuamu pasti akan sedih sekali mendengar perkataanmu tadi.” Katanya lirih, matanya berkaca-kaca. Namun saat itu ketidak pedulian menguasaiku lagi.
***

Acara tadi malam seru sekali. Kami makan sepuasnya di restoran itu. Karena acara itu aku tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang. Aku tak punya waktu untuk memotret seperti biasanya. Aku harus cepat menyelesaikan komik-komikku yang deadline-nya tinggal seminggu. Aku gelagapan. Sebentar lagi kuliah dimulai, aku pasti terlambat. Dengan pakaian seadanya (jaket dan celana jeans), aku pergi ke kampus tanpa makan pagi.

Kelas sudah dimulai ketika aku masuk. Beberapa teman tersenyum padaku, mengingat acara tadi malam. Aku tersenyum tipis. Aku terbayang Stella dan kata-katanya kemarin. Tiba-tiba papan tulis, meja, layar laptop, wajah teman-teman, dan dosen berbayang wajah Stella, ayah dan kakak, bergantian, berulang-ulang. Teringat kejadian dua tahun lalu.

Di kantin, tanpa sengaja aku melihat Stella. Kelaparan yang melanda sejak pagi tiba-tiba menguap, hilang. Aku menghampiri Stella, meminta maaf, mengakui kesalahanku. Tak seharusnya aku marah padanya, karena ini bukan urusannya. Tapi ternyata kata-kataku masih salah, Stella menyanggah.
“Aku tak peduli bagaimana kemarahanmu padaku Ra, aku sedih, bagaimana bisa aku berteman denganmu yang membenci orang tuanya sendiri?” katanya akhirnya menoleh padaku.
“Kau tak mengerti apa-apa tentangku Stella, itu memang bukan urusanmu.”

Stella tampaknya tersinggung dengan kata-kataku. “Sahabat baik selalu peduli dengan apa yang terjadi pada sahabatnya Ra,” Ia kemudian pergi meninggalkanku lagi.

Kenapa Stella berkata seperti itu? Bahkan aku tak pernah peduli pada keluarganya. Tapi aku selalu ingat cerita-cerita padaku tentang mamanya, papa dan adik-adiknya. Dalam nadanya ketika bercerita ia selalu terdengar bahagia. Sedangkan aku tak pernah bercerita tentang keluargaku. Aku lebih senang mendengarkan dan merasakan kebahagiaannya. Sesekali ada keinginan untuk memiliki keluarga bahagia sepertinya. Tapi mana mungkin kan? Terkadang Stella memintaku bercerita tentang keluargaku. Tapi apa yang bisa kuceritakan? Keluargaku bukan siapa-siapa. Kami bukan keluarga terhormat dan berada seperti keluarga Stella.

Pikiranku penuh dengan hal-hal itu. Teringat lagi rumahku yang sebenarnya. Aku sama sekali belum menelepon rumah beberapa bulan terakhir ini.

Diantara kebingungan, rasa bersalah, sedih dan marah, aku putuskan untuk menelepon rumah.
Aku melupakan makan siangku.
***

Agak lama sebelum akhirnya telepon dariku diangkat. Kakak yang pertama kali berbicara disana, memberi salam, terdengar nada kejutan ketika tahu aku yang meneleponnya. Lalu ia bertanya tentang kabarku, kuliahku. Aku menjawab dengan baik kalimat-kalimat kerinduannya. Tak ada yang berubah dari suaranya, toh aku hanya belum meneponnya selama empat bulan terakhir ini. Setidaknya dari suara merdunya aku tahu ia sehat-sehat saja.
“Sekarang aku mengajar di beberapa sekolah dasar. Lain kali kau harus melihatku mengajar Ra! Kau tahu? Mereka lucu sekali. Aku teringat masa kecil kita dulu, ketika kau dihukum di kelas, lalu aku menangis..”

Aku memotong pembicaraannya, “Yah, kau cengeng sekali waktu itu,” aku tertawa.
“Hei, tapi gara-gara akulah kau dikasihani, lalu diperbolehkan pulang kan?”
“bukan aku yang dikasihani, tapi guru kasihan padamu kak, ngomong-ngomong kenapa kau bisa sampai menangis saat itu?” aku membayangkan wajah malu kakak.
“nng.. saat itu, aku sengaja agar kau bisa pulang.. tunggu, bukan itu yang ingin kuceritakan sekarang. sampai maa tadi? Oh iya, sekarang aku dapat merasakan bagaimana menjadi guru yang sesungguhnya, merasakan bagaimana menghadapi anak-anak yang sedikit nakal. Tapi tak sedikit juga yang hebat dalam menggabar, berhitung, dan menari, mengingatkanku pada kau yang hebat menggambar hingga sekarang. ketika aku bercerita pada mereka, mereka takjub dan ingin sekali berjumpa denganmu Ra, eh, bagaimana denganmu?” kakak tiba-tiba tersadar dan bertanya padaku.

Kakak agak terkejut ketika aku bilang padanya aku memenangkan kompetisi fotografi.
“Kukira kau akan lebih hebat di bidang menggambar, kukira kau memenangkan kompetisi menggambar lagi Ra,” Katanya.
“Aku sudah menjadi komikus dan illustrator di beberapa penerbit kak, tak mungkin aku diterima daftar dalam kompetisi menggambar, bisa-bisa aku lagi yang menang kak..” aku terkekeh.

Seperti biasa, kakak mengakhiri pembicaraan kami dengan nasehatnya.
“Kau jangan berhenti mencari ilmu Ra, dan raih prestasi sebanyak-banyaknya. Kau jangan buat malu kakak di universitas itu ya, buat bangga kakak dan ayah,” aku tersenyum.
“komik-komikku tidak membuat kakak bangga? Iya kak, pasti!” tapi justru kata-kata yang terakhir meragukanku. Agaknya ada yang lupa kuucapkan.

Kakak menutup telepon setelah sebelumnya mengucapkan salam penutup. Setiap mendengar  kakak di telepon, aku suka bertanya-tanya, beginikah rasanya jika mendengar suara rindu seorang ibu? Karena kelembutan suara kakak nyaris sama dengan yang diceritakan kakak ketika kakak menceritakan bagaimana ibu. Andai ia masih hidup.

Oh, aku lupa, aku lupa menanyakan kabar ayah. Tapi aku terlalu ragu untuk menelepon kembali. Ternyata dengan cepat aku melupakannya, dan teringat aku belum makan siang.
***

Kuharap pembicaraanku dengan kakak di telepon dapat menjadi bukti untuk membantuku meminta maaf pada Stella. Tapi sejak pagi aku belum melihatnya di jalan, kantin, atau perpustakaan kampus seperti ia biasanya. Aku menghela nafas. Apakah ia masih marah padaku?

Jujur, aku kehilangannya. Ia tidak biasana seperti ini. Biasanya ia menemaniku jalan dan makan siang. Cerita-ceritanya seperti tak pernah habis. Ia tak seperti teman-teman sekelasku. Stella itu pendiam. Tapi jika kau sudah akrab dengannya, ia akan menjadi ceriwis sekali. Seakan setiap detik yang dilewatinya harus selalu kuketahui. Tapi ia juga tak segan membantu, dan sangat rendah hati. Ia tak terlalu akrab dengan teman-teman sekelasnya. “mereka berbeda sekali dengan kau Ra,” katanya waktu itu. Dia pikir aku pengukur standar teman baginya?
Stella sangat manis. Ia menyukai film-film yang bertema kasih sayang. Ia beberapa kali memiliki kekasih, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk hanya memiliki satu kekasih sampai ia menikah nanti, yaitu Tuhannya.
Mengingat Stella, mengingatkanku bahwa ketidak hadirannya mambuatku semakin gelisah, ia juga mengingatkanku dengan perasaan bersalah semacam ini dua tahun sebelum hari ini. Tepat ketika aku menjelang masuk universitas ini.
***

Dua tahun lalu, ketika aku SMA.
Aku bermain di rumah Rio hingga lupa waktu, terlalu asyik. Bukan sekedar bermain sebenarnya. Aku, Dinny, Sena dan Rio merencanakan membuat klub graffiti mural. Sejak masuk SMP aku mulai tertarik pada menggambar. Aku sempat menjuarai tiga kompetensi menggambar di SMP dan empat kejuaraan menggambar tingkat SMA. Akhir-akhir ini semangat menggambarku menyala-nyala. Ditambah aku akhirnya menemukan teman-teman yang satu hobi denganu, menggambar. Kami berkenalan lewat jejaring sosial internet. Mereka sangat hebat. Dinny sangat menyukali menggambar manga (menggambar gaya Jepang), Sena hobi melukis, Rio selalu menghabiskan waktunya untuk membuat graffiti koleksiannya, sedangkan aku suka menggambar komik.

Karena itulah kami sangat kompak. Sejak kami saling kenal, kami selalu bersama-sama. Jalan-jalan, bertukar pikiran, bertukar komik. Pembicaraan kami selalu tentang gambar dan tokoh illustrator atau pelukis idola kami.

Sampai akhirnya kami merencanakan proyek besar- membuat grafiti mural (yaitu gambar yang mengkomplikasikan antara graffiti, gambar, dan lukisan yang bertemakan kehidupan sosial.di salah satu tiang jembatan layang kota kami. Rio bertanggung jawab pada tulisan graffiti mural kami, Dinny dan Sena gambarnya dan aku ide komik dan mural. Ini pasti akan hebat sekali. Kami akan dikenal oleh seluruh kota.
Kami benar-benar menyiapkan mural dengan segala kemampuan kami. Mengorbankan waktu, tugas sekolah, pelajaran dan uang. Sudah beberapa kali kami dimarahi oleh orangtua-orangtua dan guru-guru kami. Tapi kami tidak peduli. Rencana kami terlanjur matang, terlanjur hebat.

Aku beberapa kali dimarahi ayah karena nilaiku yang tiba-tiba menurun. Dulu, aku sering dimarahi ayah karena aku belum juga memakai jilbab dan masih berpakaian pendek, seperti laki-laki, selalu ribut dengan ayah, katanya aku ini anak yang keras kepala. Ayah akan berkata dengan nada yang tegas, “Dimana urat malumu? Sampai saat ini kau belum berpakaian seperti kakakmu? Harusnya kau malu pada Tuhan, pada ibumu.” Atau “apa yang ayah bilang tadi? Keras kepala sekali kau ini.” Atau menyalahkanku, “pasti ini ulah kau kan? Semua ini terjadi?” aku sudah bosan dengan kata-kata itu, hingga membuatku tuli, tak peduli.
Hari ini hari penting. Sudah kami (aku, Dinny, Sena dan Rio) putuskan akan melaksanakan proyek besar yang kami nantikan. Kami sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah kota, “mural yang bagus,” kata mereka. Kami bekerja keras hingga malam hari. Sungguh hebat karya masterpiece kami. Aku yakin orang-orang akan kagum dengan karya ini. Bahkan fotografer akan terkagum-kagum melihat pemandangan ini, tak berhenti memotret.

Sudah kuduga, kejadian hari ini menjadi penentu hidupku nanti. Aku pulang begitu larut malam, dengan jilbab (yang ayah paksa pakai) terbuka dan pakaian penuh warna-warni cat pilox. Ayah murka melihatku. Alisnya menyatu, wajahnya memerah karena marah, dan tangannya tegang, bergetar. Aku hanya diam ketika ayah memarahiku. Kakak, yang saat itu sedang dirumah, ketika mendengarnya ia langsung menahan tangan ayah, memeluknya, menangis. Mengetahui tingkat kemarahan ayah, aku menahan diri untuk tidak membantah, tahu diri. Aku lupa apa yang ayah katakan padaku ketika itu, tetapi yang kuingat, ayah mengatakan, “mulai hari ini ayah lepas tanggung jawabku sebagai ayahmu, terserah apa yang ingin kau lakukan, ayah tak peduli.” Katanya dengan suara bergetar, saat itu aku sudah beranjak masuk kamar.

Beberapa bulan setelah lulus sekolah, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas kakak di luar kota, mencoa melupakan ayah dan peristiwa beberapa bulai lalu. Aku mengambil sisi positifnya- setidaknya ayah bisa hidup tenang tanpa aku dan aku dapat bebas melakukaan hal-hal yang kusukai. Sejak peristiwa penting itu, persahabatanku (aku, Dinny, Sena dan Rio) makin baik, bahkan kami masih suka mengontak satu sama lain hingga sekarang. Dan sejak peristiwa penting itu ayah tak banyak bicara denganku, dan aku diantar menuju kota yang baru tanpa pelukan hangat darinya.
***

Kini aku tahu kenapa Stella tidak masuk dua minggu ini. Tak mengabariku dan tean-temannya selalu berbisik tentangnya. Papa Stella sakit keras, dua minggu ini dirawat di rumah sakit. Mungkin karena Stella sibuk merawatnya, jadi ia tidak bisa masuk kuliah, sementara mama Stella bekerja.
Dan hari ini aku menerima kabar dari salah satu  teman sekelasnya. Papa Stella meninggal tapat pukul tiga pagi tadi. Aku tak bisa bayangkan bagaimana kesedihan Stella saat ini. Ia pasti membutuhkan teman baik disisinya. Ketika mendengar kabar itu, aku bergegas menemui Stella, entah dirumahnya, atau di pemakaman. Tak kupedulikan almamater universitas dan celana gunung yang kupakai.

Pemakaman sangat ramai oleh para pelayat Papa Stella. Aku tak begitu kaget karena aku tahu Papa Stella adalah orang yang terhormat. Pasti sulit untuk menemuinya diantara ratusan pelayat. Aku putuskan untuk menunggu sampai pemakaman tak begitu ramai. Stella ada di sisi kuburan ayahnya saat aku menghampirinya.
“Stella, ini aku.. aku turut bersedih atas kematian papamu. Sungguh, aku sangat menyesal tidak dapat membantumu kemarin-kemarin. Aku tak tahu papamu sakit keras. Aku minta maaf, atas apa yang kuucapkan padamu. Aku salah, sebagai seorang anak aku tak seharusnya berkata sekejam itu bahkan tentang orang tuaku sendiri. Aku tahu perasaanmu kehilangan seseorang yang kau cintai. Tapi pasti akan lebih menyakitkan lagi jika sahabatmu satu-satunya meninggalkanmu kan? Sungguh, aku minta maaf..” kataku lirih, tanpa sadar air mataku jatuh. Sebenarnya aku tak bisa bayangkan bagaimana orang tua yang sempat mencurahkan kasih sayangnya padai anaknya tiba-tiba pergi. Orangtua yang sempat mengasihimu, memelukmu ketika kau takut dan bersedih, menciummu ketika kau bahagia, mendengar cerita-cerita tentang teman-temanmu, sekolahmu, dan cinta pertamamu, kemudian ia meninggalkanmu, pergi ke sisi Tuhanmu, tanpa pernah melihat kau tumbuh dewasa. Secepat itukah kematian datang? Bahkan bagaimana perasaanku nanti jika hal ini terjadi pada ayah sedangkan yang kulakukan terakhir kali padanya adalah berkata kasar dan membantahnya? Akankah ayah memaafkanku? Bagamana mungkin ayah akan bahagia disana nanti?

Kukira Stella akan menolakku mentah-mentah lagi dan mengutukku. Tapi Stella malah menggenggam tanganku. Kurasakan tangannya yang dingin, basah, bergetar. Lalu ia menoleh padaku dan bilang, “janji? Kau tak akan berkata kasar pada orangtuamu lagi?”
“aku janji”

Stella memelukku, “kata-kata itu sudah cukup buatku Ra, aku percaya padamu kau tak akan berkata kasar lagi pada orang tuamu. Aku yakin papa bahagia disana karena kasih sayang yang sempat kami berikan padanya. Terima kasih kau telah datang kemari Ra,” ia tersenum. Aku mengangguk.
Aku sudah berjanji.
***

Stella dan aku kembali menjadi teman baik. Kuceritakan bahwa karenanya aku menempatkan diri menelepon rumah. Stella dengan cepat menemukan semangatnya kembali, beraktivitas seperti biasanya. Sementara aku semakin gelisah, teringat ayah.

Aku sama sekali belum meminta maaf padanya. Aku belum pernah mengatakan bahwa aku sadar aku mencintainya. Aku gelisah, takut terlambat untuk mengatakannya. Ingin rasanya cepat pulang ke rumah, tapi aku sadar aku belum punya cukup uang. Uangku habis untuk acara makan malam waktu itu, dan uang hasil komik-komikku kubelikan jilbab dan baju-baju panjang untukku.

Aku menemukan cara lain. Aku harus meneleponnya. Sudah aku putuskan aku akan menelepon ayah hari ini. Ragu-ragu aku mengambil ponselku, menekan tombol-tombolnya. Bagaimana jika ayah masih marah padaku? Bagaimana jika ayah tak menerima maafku? Atau bagaimana jika ayah malah bertambah marah?

Sekarang ayah adalah seorang pensiunan. Sehari-harinya ia habiskan untuk bersosialisasi dan menjaga rumah. Terakhir aku menjenguknya fisiknya tampak mulai melemah. Tegakah aku untuk tetap tidak peduli dengannya?

Sudah dua kali teleponku tidah diangkat. Aduh, lama sekali.. ada apa dengan ayah? Atau kutunda hingga aku pulang ke rumah saja? Tidak, aku harus meminta maaf sekarang, sebelum terlambat.

Teleponku akhirnya diangkat. Seorang bapak menyapa memberi salam. Ayahku. Tiba-tiba suaraku tercekat, bibirku sulit bergerak.
“halo? Siapa ini?” kata ayah diujung telepon sana.
“ayah, ini aku.. “
“Lila?” ayah menyebut nama kakak. Bukan yah, ini aku..
“ini aku yah, Sera..”

Ayah tak menjawab. Ayo Ra, kau bisa mengatakannya! Tak peduli apa kata ayah nanti, tak peduli jika ini membuatmu tak bisa pulang lagi! Katakan sekarang! katakan bahwa..
“ayah, maafkan aku, maafkan semua kesalahanku.. ayah, aku mencintaimu yah..”
Tanpa sadar air mataku jatuh mengenai jilbab biruku. Mungkin kakak dan Stella akan kaget aku akhirnya telah mengatakannya.
***

Dua tahun lalu, tepat setelah Sera pulang malam dari kegiatannya bersama teman-temannya. Ketika ia pulang dengan jilbab terbuka, pakaian berantakan, dan penuh coretan warna-warni cat pilox.
Setelah Sera dan kakaknya sudah terlelap, tanpa disadari keduanya, ayah masuk ke dalam kamar mereka. Ia menghampiri tempat tidur Sera. Kau tahu? Wajahnya terlihat amat menyesali sesuatu. Ayah berbisik disamping Sera.
“maaf nak, ayah bukan ayah yang baik. Ayah tak bisa banyak bersabar seperti ibumu. Ayah sungguh menyesal dengan kata-kata ayah tadi. Ayah harap, kau akan lebih baik besok. Ayah tak mau dibenci oleh kau nak, anak ayah sendiri.. ayah sungguh minta maaf, ayah masih peduli denganmu, ayah masih mencintaimu nak.. ” kemudian ayah mengecup dahi Sera. Sera tidak tahu.