ANEHNYA INDONESIAKU
Cerpen Dilla Fadlilla
Pagi itu, Genta menggeliat di tempat tidurnya sebentar, dan memebuka matanya. Terlihat jarum jam menunujukkan angka 5 tepat. Bergegaslah dia mengambil sepeda bututnya untuk membeli sarapan.
“Mau kemana, cah bagus?” ujar Pak Hasan yang tak lain Ayah dari Genta. Genta adalah anak dari Pak Hasan dan Bu Ayu. Ibu Genta sudah meninggal sejak dua tahun lalu akibat tubuh beliau digeroti oleh kanker yang ganas.
“Oala, Bapak ini buat Genta kaget saja. Seperti biasa, pak. Membeli sarapan untuk kita”
“Hati-hati, nak. Setelah sarapan nanti, bergegaslah kamu mandi dan mencari pekerjaan. Masa lulusan fakultas management tak memepunyai pekerjaan tetap?”
“Baik, pak” jawab Genta dengan tersenyum
Genta terus mengayuh sepedanya. Sesampainya di pasar, Genta segera mencari warteg dan membeli makanan. Dia memilih nasi uduk untuk sarapan dan sayur bayam, tempe goreng dan sambal untuk lauk makan siang Pak Hasan nanti ketika ia pergi nanti. Tujuh belas ribu rupiah semuanya. Yah lumayan, Ta. Masih bisa makan walau cuma makanan kampung gumam Genta dalam hati.
Di tengah perjalanan pulang, Genta bertemu dengan Osa. Osa adalah seorang gadis yang sepermainan dengan Genta yang kerjaannya hanya menunggu undian dari TV atau Radio karena juga tidak mempunyai pekerjaan tetap sama halnya seperti Genta.
“Bang Genta!” panggil Osa
“Eh, Osa. Mau kemana?”
“Ini, Bang. Radioku rusak. Padahal, nanti siang undian berhadiah. Hadiahnya uang tunai sebesar lima juta rupiah. Lumayan, buat tambah uang belanja”
“Ya sudah sana. Aku pulang dulu. Kasihan Bapakku, sudah menunggu daritadi”
Sesampainya di rumah, Genta segera menyandarkan sepedanya didepan teras rumahnya. Dia segera masuk, dan sarapan bersama Pak Hasan. Sesudah sarapan, Genta bergegas mandi, dan mencari pekerjaan.
“Pak, Genta pergi dulu. Di meja makan, sudah saya siapkan nasi beserta lauk pauk untuk makan siang Bapak nanti” jelas Genta
“Iya, cah bagus. Sudah sana cari kerja. Hati-hati ya nak ya”
Setelah diberi wejangan oleh Pak Hasan, Genta segera pergi kembali dengan sepeda bututnya untuk mencari kerja. Dia melewati gang gang tikus untuk segera mencapai kota. Saat sampai di cakruk gang kenanga, dia bertemu dengan Kang Tarto. Kang Tarto sebenarnya seorang Sarjana Pendidikan. Namun, dia malas mencari pekerjaan. Dan sekarang, Kang Tarto hanya nongkrong bersama preman kampung sambil bermain kartu gaple.
“Permisi, Kang” ucap Genta sembari melewati cakruk
“Genta, berhenti kamu!” seru Kang Tarto
“Ada apa, Kang?”
“Mau kemana kamu? Cari kerja lagi?” gerdik Kang Taro sembari berjalan menuju arah Genta. Genta hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Hah, jaman segini, cari kerja sulit. Mendingan juga nongkrong atau nyopet di pasar. Hasil banyak, hidup tak terkatung-katung” lanjutnya
“Hus! Kang Tarto ngacau kan. Kita mesti cari kerjaan halal, Kang. Memang sulit. Tapi, tidak ada salahnya kita mencobanya”
“Sok suci kamu! Kamu liat wakil kita di pusat sana?” tanya Kang Tarto sinis. Genta hanya mengangkat alisnya.
“Mereka hanya menyalah gunakan kewenangan untuk mengambil uang rakyat! Apa itu perbuatan yang benar? Hah?” desak Kang Tarto. Genta diam seribu bahasa. Benar juga apa kata Kang Tarto. Tapi, mencari pekerjaan yang halal pasti lebih mulia batin Genta.
“Sudahlah, Kang. Genta permisi dulu” pamit Genta.
Diperjalanan, Genta masih terngiang akan ucapan Kang Tarto tadi. Namun, Genta tak menghiraukannya. Dia terus menyusuri gang-gang tikus dan melewati rumah-rumah yang berhimpitan layaknya kardus bekas yang disusun rapi di loteng.
Tiga puluh menit kemudian, Genta sampai di kota. Dia mulai menentukan nasibnya kelak. Dari toko-toko kecil dia masuki. Ijazah kelulusan dari perguruan tinggi di kota pelajar ia tunjukkan. Beraneka cacian dia terima.
Hingga tengah hari, Genta belum mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari makan terlebih dahulu. Genta kembali mengayuh hingga dia sampai di warteg dekat pasar kembang. Tak sengaja, dia melihat seorang anak yang ada didalam keramaian pasar yang berniat untuk mencopet dompet salah seorang wanita tua. Genta mengejar anak itu hingga disebuah tempat asing yang sangat kumuh.
“Abang kenapa kejar saya? Abang tidak tahu kalau saya sedang bekerja untuk mencari sesuap nasi?” ucap pencopet cilik itu sembari mengusap peluhnya.
“Kamu bilang mencopet itu pekerjaan? Apa kamu tidak takut jika dikeroyok warga dan ditangkap polisi?”
“Ah, abang ini. Itu sudah sering terjadi” Genta hanya menganga mendengar pengakuan pencopet itu.
“Siapa yang menyuruhmu untuk bekerja seperti ini?” tanya Genta penasaran
“Bosku” jawab si pencopet singkat
“Kau yang hanya seorang pencopet mempunyai seorang bos? Mustahil!” bantah Genta
“Ayo bang ikut aku kalau kau kurang percaya!”
Genta memutuskan untuk mengikuti anak itu. Setelah lima belas menit, mereka sampai di markas besar si pencopet. Markas si pencopet hanya sebuah bangunan bekas yang berdebu.
“Tuh, bang. Bosku ada situ” ucap si pencopet sambil menunjuk bosnya yang sedang duduk disebuah kain yang diikatkan di sebuah besi yang berkarat. Perlahan Genta berjalan mendekati bos si pencopet. Tiba-tiba...
“Faisal! Kenapa kau membawa orang asing masuk ke markas kita?” tanya si bos kepada si pencopet yang bernama Faisal itu.
“Si abang ini ngeyel, bos!” jawab Faisal dengan santai
“Ya sudah sana, kembali bekerja! Orang ini, biar aku yang menghadapinya” perintah si Bos.
“Siap, Pak Bos!” jawab Faisal sembari mengedipkan mata kanannya.
Di markas itu tinggal Genta dan Pak Bos. Genta agak merinding menghadapi orang ini. Genta memberanikan diri untuk berbicara dengan Pak Bos.
Pak Bos ini bernama Pak Wayan. Sebetulnya, Pak Wayan ini orang baik. Hanya saja postur badan dan dandanannya yang sangar membuat orang ngeri melihatnya. Cukup lama Genta ada ditempat itu. Hingga Genta melihat ada gerombolan pencopet yang jumlahnya lima belas anak yang usianya berkisar sepuluh hingga enam belas tahun.
Genta di tempat itu sampai jam tiga sore. Pak Wayan sengaja menyuruh Genta untuk berada di tempat itu hingga semua anak buah Pak Wayan datang.
“Loh, abang ini belum pulang ya, bos?” tanya Faisal sambil menggaruk kepalanya
“Memang kenapa? Abang ini datang dengan niat baik kok” ujar Pak Wayan sambil mengusap kepala Faisal.
Pak Wayan menjelaskan kepada Genta bahwa dia memiliki lima belas anak buah. Bukan hanya budaya saja yang beragam. Namun, nama-nama pencopet anak buah Pak Wayan juga beragam. Mulai dari copet pasar yang dipimpin oleh Faisal, copet bus kota yang menyamar sebagai pelajar yang dipimpin oleh Edo, dan copet yang berkelas yaitu copet Mall yang dipimpin oleh Joe.
Usai semua anak buah Pak Wayan berkumpul dan memberikan hasil copetan kepada Pak Wayan, Pak Wayan mulai mengenalkan Genta kepada anak buahnya. Selain itu, Pak Wayan juga memberitahukan maksud kedatangan Genta.
“Bocah-bocah, kalian tahu abang yang ada disampingku ini?” tanya Pak Wayan kepada semua anak buahnya. Dan Genta hanya menundukkan kepalanya sambil melontarkan senyuman kepada anak-anak itu.
“Abang ini namanya Bang Genta. Bang Genta ini nih, mau mengajak kita bekerja sama. Mulai dari sekarang, hasil kerja kalian akan diberikan kepada abang sepuluh persen. Kalian setuju?” tanya Pak Wayan.
“Bos! Kita rugi dong! Hasil susah payah kita-kita mau diambil sama si Abang jelek itu? Aku nggak sudi!” bantah Joe.
“Betul, bos! Ditambah lagi nih pendapatan kita belum tentu banyak! Sepuluh persen banyak, bos!” tambah Edo. Suasana di markas para pencopet itu semakin memanas.
“Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin bekerja sama saja. Hasil kalian yang sepuluh persen, tujuh persen akan ku tabung di salah satu bank syariah dan tiga persen lagi untuk menggajiku. Maka, kalian akan mendapatkan bunga. Lantas, uang yang sudah terkumpul itu bisa kalian jadikan modal untuk membuka usaha yang lebih bersih. Seperti menjadi pedagang asongan, atau mengamen” ucap Genta membela diri.
“Menjadi pedagang asongan? Hasil sedikit, bang! Ngamen? Apalagi tuh. Main gitar aja gue gak bisa, bang!” timpal Faisal.
“Diam semua!” seru Pak Wayan melerai pertikaian itu.
“Mulai lusa, kalian akan diberi pendidikan oleh Bang Genta! Biar kalian semua tidak bodoh seperti ini! Sudah cepatlah kalian ke belakang untuk tidur!” bentak Pak Wayan.
Akhirnya, Genta berpamitan meninggalkan markas itu. Dia mengayuh kembali sepedanya sampai rumahnya.
“Assalammu’alaikum” ucap Genta sambil mengetuk pintu rumahnya
“Waalaikumsalam. Kok sampai larut malam begini kamu itu to, nak. Bapak ini khawatir” tentu saja Pak Hasan resah ditinggal pergi anak semata wayangnya ini walaupun untuk mencari pekerjaan.
“Bapak tidak perlu mengkhawatir kan saya. Saya kan sudah dewasa, pak. Sudah ayo kita makan malam bersama. Genta belikan abon sapi agar awet hingga dua hari ke depan” jelas Genta.
Malam itu, Genta dan Pak Hasan bercengkrama cukup lama. Dan tak lupa, Pak Hasan menanyakan tentang pekerjaan putra kesayangannya itu. Yah, Genta masih menyembunyikan pekerjaannya, yaitu sebagai pembimbing dari para pencopet.
Ketika ufuk timur telah mengeluarkan suryanya, rutinitas Genta dimulai kembali. Hanya saja, pagi ini dia mencari tenaga kerja untuk membantunya membimbing para pencoopet itu.
“Abah, Osa ada?” tanya Genta kepada ayah Osa. Tentu saja, orang yang akan dia datangi pertama adalah Osa. Abah segera memanggilkan Osa untuk bertemu dengan Genta.
“Eh, Bang Genta. Kenapa, bang rajin banget kesini. Hmmm, ada udang dibalik batu ini pasti. Ayo bang, ngaku!” desak Osa
“Iiih, kau ini. Aku kesini Cuma mau nawarin kerjaan aja kok. Mau kan kamu jadi tutor musik anak? Gajinya lumayan nih. Lagi pula, kamu kan mahir main gitar sama bersenandung gitu deh. Daripada kamu terus-terusan nungguin undian yang gak jelas gitu. Mending ikut aku aja. Mau? Tapi...”
“Tapi napa, bang? Osa sih mau mau aja. Mau diajak ke tempatnya sekarang juga boleh” ujar Osa sambil tersenyum lebar
“Anak-anaknya jadi c-co-copet. Kamu mau beneran? Anak-anaknya unik unik kok” Genta berusaha membuat Osa tertarik dengan pekerjaan itu. Osa melotot mendengar itu. Awalnya Osa ingin menolaknya. Tapi, Osa berinisiatif untuk mencoba pekerjaan itu. Apalagi, pekerjaan itu sesuai dengan keahliannya.
“Oke dah aku mau. Kapan nih mulai kerjanya? Gajinya berapa sih, bang?”
“Kita kerja mulai besok. Aku ngajarin mereka berhitung dan tentang akhlak. Nah, nyopetnya belum tentu nih hasilnya. Kalau kemarin ku tanya bosnya, sehari bisa dapet jutaan. Katanya sih paling sedikit sehari dapet sejuta. Kurang lebih kita sebulan seratus ribu dah” jelas Genta.
“He?! Sejuta, bang? Banyak amat. Mustahil, bang! Seratus ribu? Boleh tuh. Daripada buat pusing Abah melulu” tambah Osa. Setelah Genta berhasil merayu Osa, dia meminta Osa untuk membantunya merayu Kang Tarto. Reflek Kang Tarto hampir sama dengan Osa. Alhasil, Kang Tarto mau menerimanya. Lengkap sudah pembimbing untuk anak-anak brandal yang kelak menjadi penerus bangsa ini. Semoga seperti yang aku, Osa, Kang Tarto dan Pak Wayan harapkan batin Genta
Kukuruyuuuuuuuuukkkkkk.......
Ciap ciap ciap, cuiiitttt cuit.....
Tak terasa, hari telah berganti. Hari ini adalah hari pertama Genta, Osa, dan Kang Tarto bekerja. Mereka bergegas menuju markas anak-anak copet dengan mengayuh sepeda mereka masing-masing. Melewati gang-gang tikus, sarang-sarang manusia yang berhimpitan, jalan setepak dan usai tiga puluh menit mereka sampai di tempat kerja mereka alias markas anak-anak copet.
Osa dan Kang Tarto menganga melihat tempat itu. Seolah mereka berada di tempat pembuangan limbah pabrik yang kumuh, dan bau. Genta yang sudah terbiasa dengan tempat itu segera menemui Pak Wayan untuk mengenalkan partnernya untuk membimbing anak-anak copet itu nanti.
“Pagi, Pak Wayan” sapa Genta kepada Pak Wayan sambil memberikan senyuman hangat. Disusul dengan Osa dan Kang Tarto yang berjabat tangan dengan Pak Wayan sambil memperkenalkan diri.
“Pagi, Genta, Osa, Kang Tarto. Mau dimulai kapan bimbingannya? Biar anak-anak saya yang urus” ujar Pak Wayang yang tak sabar untuk melihat anak buahnya belajar. “Lebih cepat kan lebih, Pak. Mungkin, bisa dimulai sekarang” jawab Genta. Pak Wayan mulai mengumpulkan anak buahnya dengan meniup peluit yang dikalungkan dilehernya.
Cukup dengan satu peluit panjang, anak buah Pak Wayan berlarian untuk berkumpul. “Hari ini, Bang Genta kemari gak sendiri nih. Kalian belajar mulai jam tujuh sampai jam dua belas di loteng atas yang kalian bersihkan kemarin, habis itu kalian nyopet seperti biasa” kata Pak Wayan memberikan sekilas pengarahan. Anak-anak copet segera menuju ke loteng tempat mereka belajar sebentar lagi. Diikuti dengan Pak Wayan yang berniat mengantar Genta, Osa, dan Kang Tarto.
Tak membuang waktu, Genta segera mengenalkan Osa dan Kang Tarto. Genta mempersilahkan Osa dan Kang Tarto untuk mengenalkan diri.
“Adik adik, kata pepatah ni tak kenal maka tak sayang. Nama kakak Cahyani Osa. Kalian panggil aku Mbak Osa. Mbak akan membimbing kalian buat jadi pengamen yang berkwaliatas! Tidak hanya pengamen yang ecek-ecek” oceh Osa. Anak-anak copet hanya diam mendengarnya dan tak menghiraukan Osa.
“Nama saya Tarto. Panggil saja Kang Tarto. Akang akan jadi guru serbaguna kalian. Ada yang mau ditanyakan dari Akang?” tawar Kang Tarto. Edo mengangkat tangan kanannya. “Kang Tarto, gimana caranya nyopet biar gak ditangkap sama pak pak tua yang jelek itu?” tanya Edo dengan muka yang sangat polos.
“Do, Kang Tarto tidak akan mengajarkan kalian hal itu. Tanyakan pada Pak Wayan. Kau ini” tegur Genta pada Edo. “Iya iya, Bang Genta” balas Edo dengan sewot.
Akhirnya pembelajaran dimulai. Banyak hal baru yang didapat oleh Genta, Osa dan Kang Tarto. Anak-anak copet sekarang juga bisa mandi setiap hari. Ya, sebelumnya anak-anak copet mandi bila turun hujan saja.
Waktu terus berputar seperti roda pedati, tak terasa sepuluh bulan telah berlalu. Anak-anak copet perlahan-lahan berubah. Faisal dan copet pasar lainnya, sekarang menjadi pedagang asongan yang berkeliling di pasar. Edo dan copet bus kota menjadi pedagang di terminal. Dan terakhir, Joe dan copet Mall menjadi pengamen yang berkeliling warteg. Mungkin, penghasilannya tak seberapa dari mencopet. Namun, itu sudah menjadi kesuksesan tersendiri bagi Genta, Osa dan Kang Tarto.
Suatu hari, Pak Hasan menanyakan profesi anaknya, Genta. Genta terlihat bingung menjawabnya.
“Apa itu hal yang sangat penting untuk Bapak?” tanya Genta yang mulai sedikit terdesak.
“Ya jelas. Kalau ada tetangga menanyakan profesimu yang bekerja sama dengan Osa, apa yang harus Bapak jawab?” pinta Pak Hasan. Genta hanya terdiam mendengar itu. Genta memutuskan untuk tidak mengatakannya.
“Waktu yang akan menjawab, pak” sahut Genta dengan tersenyum dan mencium tangan Ayahandanya dan berpamitan untuk bekerja.
Kali ini, Genta berhasil lolos. Namun, tidak dengan Osa. Osa juga diintrogasi oleh Abahnya. Nasib Osa berbeda dengan Genta. Abahnya mengajak Pak Hasan untuk mengikuti Osa sampai tempat kerja anak-anaknya.
Betapa terkejutnya Genta dan Kang Tarto setelah mengetahui apabila Osa diikuti oleh Abah dan Pak Hasan. Apapun yang disembunyikan, pasti akan terbongkar di suatu hari nanti. Akhirnya, hal yang paling ditakutkan Genta, Osa dan Kang Tarto pun datang.
Orang tua Genta dan Osa marah besar. Pak Wayan dan anak-anak copet tercengang melihatnya. Ini pertanda bahwa profesi Genta, Osa, dan Kang Tarto sebagai tutor anak-anak copet akan berakhir. Genta yang melihat itu, segera mengatakan pada Pak Wayan. Pak Wayan mengerti apa yang dimaksud oleh Genta. Genta dan Osa mengejar orang tuanya masing-masing. Sesampainya di rumah, Pak Hasan segera mengelurkan gula, kopi, beras dan semua barang yang dibeli oleh Genta.
“Pak, kenapa semuanya dikeluarkan? Genta mencari dengan susah payah. Apa Bapak tidak menghargai hasil kerja keras anaknya ini?” tanya Genta dengan mata yang berkaca-kaca.
“Lebih baik Bapak tidak makan hasil jerih payahmu ini. Ini, ambillah! Bapak tidak sudi mengkonsumsi barang haram ini!” bentak Pak Genta sambil memberikan barang hasil kerja keras Genta.
Tak berbeda dengan keadaan dirumah Osa. Hanya saja, Osa mendapat cacian yang tajam, dan dilarang untuk bergaul kembali dengan Genta.
Sekarang, keadaan seprti dimulai dari nol kembali. Osa hanya menunggu undian berhadiah dari TV atau Radio, Kang Tarto kembali dengan segerombolan preman kampung dan nongkrong di cakruk, sedangkan Genta terus berusaha mencari pekerjaan.
Seminggu kemudian, Genta mendapatkan pekerjaan. Yaitu sebagai petugas SPBU. Saat Genta istirahat, Genta selalu makan siang di warteg dekat tempat kerjanya. Dan, dilain hari, Genta bertemu Joe dan mantan copet Mall lainnya. Cukup lama mereka bersenda gurau. Namun bunyi sirine petugas Sat Pol PP merusak keadaan hangat itu. Joe dan teman-temannya segera berlari. Genta ikut berlari menyelamatkan mantan anak asuhnya itu. Ketika petugas Sat Pol PP sudah mulai mendekat, Genta menahan petugas itu.
“Kenapa kalian lebih memilih menangkap anak-anak itu?” tanya Genta
“Mereka mengganggu kenyaman warga. Kalau anda tidak ingin saya tangkap, lebih baik anda jangan lindungi anak-anak nakal itu” tukas petugas sat Pol PP
“Kenapa kalian tidak menangkap tikus-tikus kantor saja? Mereka juga mengganggu kenyaman warga! Bahkan mempermainkan rakyat kecil seperti kita! Kalian bodoh! Tangkap aku saja! Jangan tangkap mereka yang berusaha mencari sebutir beras dengan cara yang halal!” timpal Genta dengan nada membentak. Akhirnya, Genta ditangkap petugas Sar Pol PP itu dan menyelamatkan Joe dan kawanannya.
Ini akhir ceritanya. Begitulah Indonesia, korupsi dimana-mana. Hanya rakyat kecil yang disiksa. Apa gunanya Indonesia disebut negara hukum apabila hukum tidak berlaku pada orang besar? Apa hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil yang tidak mampu memberi uang tutup mulut pada hakim? Anehnya Indonesiaku.
-Dilla-
SMP N 1 Wonosari 2011/2012
Pagi itu, Genta menggeliat di tempat tidurnya sebentar, dan memebuka matanya. Terlihat jarum jam menunujukkan angka 5 tepat. Bergegaslah dia mengambil sepeda bututnya untuk membeli sarapan.
“Mau kemana, cah bagus?” ujar Pak Hasan yang tak lain Ayah dari Genta. Genta adalah anak dari Pak Hasan dan Bu Ayu. Ibu Genta sudah meninggal sejak dua tahun lalu akibat tubuh beliau digeroti oleh kanker yang ganas.
“Oala, Bapak ini buat Genta kaget saja. Seperti biasa, pak. Membeli sarapan untuk kita”
“Hati-hati, nak. Setelah sarapan nanti, bergegaslah kamu mandi dan mencari pekerjaan. Masa lulusan fakultas management tak memepunyai pekerjaan tetap?”
“Baik, pak” jawab Genta dengan tersenyum
Genta terus mengayuh sepedanya. Sesampainya di pasar, Genta segera mencari warteg dan membeli makanan. Dia memilih nasi uduk untuk sarapan dan sayur bayam, tempe goreng dan sambal untuk lauk makan siang Pak Hasan nanti ketika ia pergi nanti. Tujuh belas ribu rupiah semuanya. Yah lumayan, Ta. Masih bisa makan walau cuma makanan kampung gumam Genta dalam hati.
Di tengah perjalanan pulang, Genta bertemu dengan Osa. Osa adalah seorang gadis yang sepermainan dengan Genta yang kerjaannya hanya menunggu undian dari TV atau Radio karena juga tidak mempunyai pekerjaan tetap sama halnya seperti Genta.
“Bang Genta!” panggil Osa
“Eh, Osa. Mau kemana?”
“Ini, Bang. Radioku rusak. Padahal, nanti siang undian berhadiah. Hadiahnya uang tunai sebesar lima juta rupiah. Lumayan, buat tambah uang belanja”
“Ya sudah sana. Aku pulang dulu. Kasihan Bapakku, sudah menunggu daritadi”
Sesampainya di rumah, Genta segera menyandarkan sepedanya didepan teras rumahnya. Dia segera masuk, dan sarapan bersama Pak Hasan. Sesudah sarapan, Genta bergegas mandi, dan mencari pekerjaan.
“Pak, Genta pergi dulu. Di meja makan, sudah saya siapkan nasi beserta lauk pauk untuk makan siang Bapak nanti” jelas Genta
“Iya, cah bagus. Sudah sana cari kerja. Hati-hati ya nak ya”
Setelah diberi wejangan oleh Pak Hasan, Genta segera pergi kembali dengan sepeda bututnya untuk mencari kerja. Dia melewati gang gang tikus untuk segera mencapai kota. Saat sampai di cakruk gang kenanga, dia bertemu dengan Kang Tarto. Kang Tarto sebenarnya seorang Sarjana Pendidikan. Namun, dia malas mencari pekerjaan. Dan sekarang, Kang Tarto hanya nongkrong bersama preman kampung sambil bermain kartu gaple.
“Permisi, Kang” ucap Genta sembari melewati cakruk
“Genta, berhenti kamu!” seru Kang Tarto
“Ada apa, Kang?”
“Mau kemana kamu? Cari kerja lagi?” gerdik Kang Taro sembari berjalan menuju arah Genta. Genta hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Hah, jaman segini, cari kerja sulit. Mendingan juga nongkrong atau nyopet di pasar. Hasil banyak, hidup tak terkatung-katung” lanjutnya
“Hus! Kang Tarto ngacau kan. Kita mesti cari kerjaan halal, Kang. Memang sulit. Tapi, tidak ada salahnya kita mencobanya”
“Sok suci kamu! Kamu liat wakil kita di pusat sana?” tanya Kang Tarto sinis. Genta hanya mengangkat alisnya.
“Mereka hanya menyalah gunakan kewenangan untuk mengambil uang rakyat! Apa itu perbuatan yang benar? Hah?” desak Kang Tarto. Genta diam seribu bahasa. Benar juga apa kata Kang Tarto. Tapi, mencari pekerjaan yang halal pasti lebih mulia batin Genta.
“Sudahlah, Kang. Genta permisi dulu” pamit Genta.
Diperjalanan, Genta masih terngiang akan ucapan Kang Tarto tadi. Namun, Genta tak menghiraukannya. Dia terus menyusuri gang-gang tikus dan melewati rumah-rumah yang berhimpitan layaknya kardus bekas yang disusun rapi di loteng.
Tiga puluh menit kemudian, Genta sampai di kota. Dia mulai menentukan nasibnya kelak. Dari toko-toko kecil dia masuki. Ijazah kelulusan dari perguruan tinggi di kota pelajar ia tunjukkan. Beraneka cacian dia terima.
Hingga tengah hari, Genta belum mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari makan terlebih dahulu. Genta kembali mengayuh hingga dia sampai di warteg dekat pasar kembang. Tak sengaja, dia melihat seorang anak yang ada didalam keramaian pasar yang berniat untuk mencopet dompet salah seorang wanita tua. Genta mengejar anak itu hingga disebuah tempat asing yang sangat kumuh.
“Abang kenapa kejar saya? Abang tidak tahu kalau saya sedang bekerja untuk mencari sesuap nasi?” ucap pencopet cilik itu sembari mengusap peluhnya.
“Kamu bilang mencopet itu pekerjaan? Apa kamu tidak takut jika dikeroyok warga dan ditangkap polisi?”
“Ah, abang ini. Itu sudah sering terjadi” Genta hanya menganga mendengar pengakuan pencopet itu.
“Siapa yang menyuruhmu untuk bekerja seperti ini?” tanya Genta penasaran
“Bosku” jawab si pencopet singkat
“Kau yang hanya seorang pencopet mempunyai seorang bos? Mustahil!” bantah Genta
“Ayo bang ikut aku kalau kau kurang percaya!”
Genta memutuskan untuk mengikuti anak itu. Setelah lima belas menit, mereka sampai di markas besar si pencopet. Markas si pencopet hanya sebuah bangunan bekas yang berdebu.
“Tuh, bang. Bosku ada situ” ucap si pencopet sambil menunjuk bosnya yang sedang duduk disebuah kain yang diikatkan di sebuah besi yang berkarat. Perlahan Genta berjalan mendekati bos si pencopet. Tiba-tiba...
“Faisal! Kenapa kau membawa orang asing masuk ke markas kita?” tanya si bos kepada si pencopet yang bernama Faisal itu.
“Si abang ini ngeyel, bos!” jawab Faisal dengan santai
“Ya sudah sana, kembali bekerja! Orang ini, biar aku yang menghadapinya” perintah si Bos.
“Siap, Pak Bos!” jawab Faisal sembari mengedipkan mata kanannya.
Di markas itu tinggal Genta dan Pak Bos. Genta agak merinding menghadapi orang ini. Genta memberanikan diri untuk berbicara dengan Pak Bos.
Pak Bos ini bernama Pak Wayan. Sebetulnya, Pak Wayan ini orang baik. Hanya saja postur badan dan dandanannya yang sangar membuat orang ngeri melihatnya. Cukup lama Genta ada ditempat itu. Hingga Genta melihat ada gerombolan pencopet yang jumlahnya lima belas anak yang usianya berkisar sepuluh hingga enam belas tahun.
Genta di tempat itu sampai jam tiga sore. Pak Wayan sengaja menyuruh Genta untuk berada di tempat itu hingga semua anak buah Pak Wayan datang.
“Loh, abang ini belum pulang ya, bos?” tanya Faisal sambil menggaruk kepalanya
“Memang kenapa? Abang ini datang dengan niat baik kok” ujar Pak Wayan sambil mengusap kepala Faisal.
Pak Wayan menjelaskan kepada Genta bahwa dia memiliki lima belas anak buah. Bukan hanya budaya saja yang beragam. Namun, nama-nama pencopet anak buah Pak Wayan juga beragam. Mulai dari copet pasar yang dipimpin oleh Faisal, copet bus kota yang menyamar sebagai pelajar yang dipimpin oleh Edo, dan copet yang berkelas yaitu copet Mall yang dipimpin oleh Joe.
Usai semua anak buah Pak Wayan berkumpul dan memberikan hasil copetan kepada Pak Wayan, Pak Wayan mulai mengenalkan Genta kepada anak buahnya. Selain itu, Pak Wayan juga memberitahukan maksud kedatangan Genta.
“Bocah-bocah, kalian tahu abang yang ada disampingku ini?” tanya Pak Wayan kepada semua anak buahnya. Dan Genta hanya menundukkan kepalanya sambil melontarkan senyuman kepada anak-anak itu.
“Abang ini namanya Bang Genta. Bang Genta ini nih, mau mengajak kita bekerja sama. Mulai dari sekarang, hasil kerja kalian akan diberikan kepada abang sepuluh persen. Kalian setuju?” tanya Pak Wayan.
“Bos! Kita rugi dong! Hasil susah payah kita-kita mau diambil sama si Abang jelek itu? Aku nggak sudi!” bantah Joe.
“Betul, bos! Ditambah lagi nih pendapatan kita belum tentu banyak! Sepuluh persen banyak, bos!” tambah Edo. Suasana di markas para pencopet itu semakin memanas.
“Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin bekerja sama saja. Hasil kalian yang sepuluh persen, tujuh persen akan ku tabung di salah satu bank syariah dan tiga persen lagi untuk menggajiku. Maka, kalian akan mendapatkan bunga. Lantas, uang yang sudah terkumpul itu bisa kalian jadikan modal untuk membuka usaha yang lebih bersih. Seperti menjadi pedagang asongan, atau mengamen” ucap Genta membela diri.
“Menjadi pedagang asongan? Hasil sedikit, bang! Ngamen? Apalagi tuh. Main gitar aja gue gak bisa, bang!” timpal Faisal.
“Diam semua!” seru Pak Wayan melerai pertikaian itu.
“Mulai lusa, kalian akan diberi pendidikan oleh Bang Genta! Biar kalian semua tidak bodoh seperti ini! Sudah cepatlah kalian ke belakang untuk tidur!” bentak Pak Wayan.
Akhirnya, Genta berpamitan meninggalkan markas itu. Dia mengayuh kembali sepedanya sampai rumahnya.
“Assalammu’alaikum” ucap Genta sambil mengetuk pintu rumahnya
“Waalaikumsalam. Kok sampai larut malam begini kamu itu to, nak. Bapak ini khawatir” tentu saja Pak Hasan resah ditinggal pergi anak semata wayangnya ini walaupun untuk mencari pekerjaan.
“Bapak tidak perlu mengkhawatir kan saya. Saya kan sudah dewasa, pak. Sudah ayo kita makan malam bersama. Genta belikan abon sapi agar awet hingga dua hari ke depan” jelas Genta.
Malam itu, Genta dan Pak Hasan bercengkrama cukup lama. Dan tak lupa, Pak Hasan menanyakan tentang pekerjaan putra kesayangannya itu. Yah, Genta masih menyembunyikan pekerjaannya, yaitu sebagai pembimbing dari para pencopet.
Ketika ufuk timur telah mengeluarkan suryanya, rutinitas Genta dimulai kembali. Hanya saja, pagi ini dia mencari tenaga kerja untuk membantunya membimbing para pencoopet itu.
“Abah, Osa ada?” tanya Genta kepada ayah Osa. Tentu saja, orang yang akan dia datangi pertama adalah Osa. Abah segera memanggilkan Osa untuk bertemu dengan Genta.
“Eh, Bang Genta. Kenapa, bang rajin banget kesini. Hmmm, ada udang dibalik batu ini pasti. Ayo bang, ngaku!” desak Osa
“Iiih, kau ini. Aku kesini Cuma mau nawarin kerjaan aja kok. Mau kan kamu jadi tutor musik anak? Gajinya lumayan nih. Lagi pula, kamu kan mahir main gitar sama bersenandung gitu deh. Daripada kamu terus-terusan nungguin undian yang gak jelas gitu. Mending ikut aku aja. Mau? Tapi...”
“Tapi napa, bang? Osa sih mau mau aja. Mau diajak ke tempatnya sekarang juga boleh” ujar Osa sambil tersenyum lebar
“Anak-anaknya jadi c-co-copet. Kamu mau beneran? Anak-anaknya unik unik kok” Genta berusaha membuat Osa tertarik dengan pekerjaan itu. Osa melotot mendengar itu. Awalnya Osa ingin menolaknya. Tapi, Osa berinisiatif untuk mencoba pekerjaan itu. Apalagi, pekerjaan itu sesuai dengan keahliannya.
“Oke dah aku mau. Kapan nih mulai kerjanya? Gajinya berapa sih, bang?”
“Kita kerja mulai besok. Aku ngajarin mereka berhitung dan tentang akhlak. Nah, nyopetnya belum tentu nih hasilnya. Kalau kemarin ku tanya bosnya, sehari bisa dapet jutaan. Katanya sih paling sedikit sehari dapet sejuta. Kurang lebih kita sebulan seratus ribu dah” jelas Genta.
“He?! Sejuta, bang? Banyak amat. Mustahil, bang! Seratus ribu? Boleh tuh. Daripada buat pusing Abah melulu” tambah Osa. Setelah Genta berhasil merayu Osa, dia meminta Osa untuk membantunya merayu Kang Tarto. Reflek Kang Tarto hampir sama dengan Osa. Alhasil, Kang Tarto mau menerimanya. Lengkap sudah pembimbing untuk anak-anak brandal yang kelak menjadi penerus bangsa ini. Semoga seperti yang aku, Osa, Kang Tarto dan Pak Wayan harapkan batin Genta
Kukuruyuuuuuuuuukkkkkk.......
Ciap ciap ciap, cuiiitttt cuit.....
Tak terasa, hari telah berganti. Hari ini adalah hari pertama Genta, Osa, dan Kang Tarto bekerja. Mereka bergegas menuju markas anak-anak copet dengan mengayuh sepeda mereka masing-masing. Melewati gang-gang tikus, sarang-sarang manusia yang berhimpitan, jalan setepak dan usai tiga puluh menit mereka sampai di tempat kerja mereka alias markas anak-anak copet.
Osa dan Kang Tarto menganga melihat tempat itu. Seolah mereka berada di tempat pembuangan limbah pabrik yang kumuh, dan bau. Genta yang sudah terbiasa dengan tempat itu segera menemui Pak Wayan untuk mengenalkan partnernya untuk membimbing anak-anak copet itu nanti.
“Pagi, Pak Wayan” sapa Genta kepada Pak Wayan sambil memberikan senyuman hangat. Disusul dengan Osa dan Kang Tarto yang berjabat tangan dengan Pak Wayan sambil memperkenalkan diri.
“Pagi, Genta, Osa, Kang Tarto. Mau dimulai kapan bimbingannya? Biar anak-anak saya yang urus” ujar Pak Wayang yang tak sabar untuk melihat anak buahnya belajar. “Lebih cepat kan lebih, Pak. Mungkin, bisa dimulai sekarang” jawab Genta. Pak Wayan mulai mengumpulkan anak buahnya dengan meniup peluit yang dikalungkan dilehernya.
Cukup dengan satu peluit panjang, anak buah Pak Wayan berlarian untuk berkumpul. “Hari ini, Bang Genta kemari gak sendiri nih. Kalian belajar mulai jam tujuh sampai jam dua belas di loteng atas yang kalian bersihkan kemarin, habis itu kalian nyopet seperti biasa” kata Pak Wayan memberikan sekilas pengarahan. Anak-anak copet segera menuju ke loteng tempat mereka belajar sebentar lagi. Diikuti dengan Pak Wayan yang berniat mengantar Genta, Osa, dan Kang Tarto.
Tak membuang waktu, Genta segera mengenalkan Osa dan Kang Tarto. Genta mempersilahkan Osa dan Kang Tarto untuk mengenalkan diri.
“Adik adik, kata pepatah ni tak kenal maka tak sayang. Nama kakak Cahyani Osa. Kalian panggil aku Mbak Osa. Mbak akan membimbing kalian buat jadi pengamen yang berkwaliatas! Tidak hanya pengamen yang ecek-ecek” oceh Osa. Anak-anak copet hanya diam mendengarnya dan tak menghiraukan Osa.
“Nama saya Tarto. Panggil saja Kang Tarto. Akang akan jadi guru serbaguna kalian. Ada yang mau ditanyakan dari Akang?” tawar Kang Tarto. Edo mengangkat tangan kanannya. “Kang Tarto, gimana caranya nyopet biar gak ditangkap sama pak pak tua yang jelek itu?” tanya Edo dengan muka yang sangat polos.
“Do, Kang Tarto tidak akan mengajarkan kalian hal itu. Tanyakan pada Pak Wayan. Kau ini” tegur Genta pada Edo. “Iya iya, Bang Genta” balas Edo dengan sewot.
Akhirnya pembelajaran dimulai. Banyak hal baru yang didapat oleh Genta, Osa dan Kang Tarto. Anak-anak copet sekarang juga bisa mandi setiap hari. Ya, sebelumnya anak-anak copet mandi bila turun hujan saja.
Waktu terus berputar seperti roda pedati, tak terasa sepuluh bulan telah berlalu. Anak-anak copet perlahan-lahan berubah. Faisal dan copet pasar lainnya, sekarang menjadi pedagang asongan yang berkeliling di pasar. Edo dan copet bus kota menjadi pedagang di terminal. Dan terakhir, Joe dan copet Mall menjadi pengamen yang berkeliling warteg. Mungkin, penghasilannya tak seberapa dari mencopet. Namun, itu sudah menjadi kesuksesan tersendiri bagi Genta, Osa dan Kang Tarto.
Suatu hari, Pak Hasan menanyakan profesi anaknya, Genta. Genta terlihat bingung menjawabnya.
“Apa itu hal yang sangat penting untuk Bapak?” tanya Genta yang mulai sedikit terdesak.
“Ya jelas. Kalau ada tetangga menanyakan profesimu yang bekerja sama dengan Osa, apa yang harus Bapak jawab?” pinta Pak Hasan. Genta hanya terdiam mendengar itu. Genta memutuskan untuk tidak mengatakannya.
“Waktu yang akan menjawab, pak” sahut Genta dengan tersenyum dan mencium tangan Ayahandanya dan berpamitan untuk bekerja.
Kali ini, Genta berhasil lolos. Namun, tidak dengan Osa. Osa juga diintrogasi oleh Abahnya. Nasib Osa berbeda dengan Genta. Abahnya mengajak Pak Hasan untuk mengikuti Osa sampai tempat kerja anak-anaknya.
Betapa terkejutnya Genta dan Kang Tarto setelah mengetahui apabila Osa diikuti oleh Abah dan Pak Hasan. Apapun yang disembunyikan, pasti akan terbongkar di suatu hari nanti. Akhirnya, hal yang paling ditakutkan Genta, Osa dan Kang Tarto pun datang.
Orang tua Genta dan Osa marah besar. Pak Wayan dan anak-anak copet tercengang melihatnya. Ini pertanda bahwa profesi Genta, Osa, dan Kang Tarto sebagai tutor anak-anak copet akan berakhir. Genta yang melihat itu, segera mengatakan pada Pak Wayan. Pak Wayan mengerti apa yang dimaksud oleh Genta. Genta dan Osa mengejar orang tuanya masing-masing. Sesampainya di rumah, Pak Hasan segera mengelurkan gula, kopi, beras dan semua barang yang dibeli oleh Genta.
“Pak, kenapa semuanya dikeluarkan? Genta mencari dengan susah payah. Apa Bapak tidak menghargai hasil kerja keras anaknya ini?” tanya Genta dengan mata yang berkaca-kaca.
“Lebih baik Bapak tidak makan hasil jerih payahmu ini. Ini, ambillah! Bapak tidak sudi mengkonsumsi barang haram ini!” bentak Pak Genta sambil memberikan barang hasil kerja keras Genta.
Tak berbeda dengan keadaan dirumah Osa. Hanya saja, Osa mendapat cacian yang tajam, dan dilarang untuk bergaul kembali dengan Genta.
Sekarang, keadaan seprti dimulai dari nol kembali. Osa hanya menunggu undian berhadiah dari TV atau Radio, Kang Tarto kembali dengan segerombolan preman kampung dan nongkrong di cakruk, sedangkan Genta terus berusaha mencari pekerjaan.
Seminggu kemudian, Genta mendapatkan pekerjaan. Yaitu sebagai petugas SPBU. Saat Genta istirahat, Genta selalu makan siang di warteg dekat tempat kerjanya. Dan, dilain hari, Genta bertemu Joe dan mantan copet Mall lainnya. Cukup lama mereka bersenda gurau. Namun bunyi sirine petugas Sat Pol PP merusak keadaan hangat itu. Joe dan teman-temannya segera berlari. Genta ikut berlari menyelamatkan mantan anak asuhnya itu. Ketika petugas Sat Pol PP sudah mulai mendekat, Genta menahan petugas itu.
“Kenapa kalian lebih memilih menangkap anak-anak itu?” tanya Genta
“Mereka mengganggu kenyaman warga. Kalau anda tidak ingin saya tangkap, lebih baik anda jangan lindungi anak-anak nakal itu” tukas petugas sat Pol PP
“Kenapa kalian tidak menangkap tikus-tikus kantor saja? Mereka juga mengganggu kenyaman warga! Bahkan mempermainkan rakyat kecil seperti kita! Kalian bodoh! Tangkap aku saja! Jangan tangkap mereka yang berusaha mencari sebutir beras dengan cara yang halal!” timpal Genta dengan nada membentak. Akhirnya, Genta ditangkap petugas Sar Pol PP itu dan menyelamatkan Joe dan kawanannya.
Ini akhir ceritanya. Begitulah Indonesia, korupsi dimana-mana. Hanya rakyat kecil yang disiksa. Apa gunanya Indonesia disebut negara hukum apabila hukum tidak berlaku pada orang besar? Apa hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil yang tidak mampu memberi uang tutup mulut pada hakim? Anehnya Indonesiaku.
-Dilla-
SMP N 1 Wonosari 2011/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar