SURAT DALAM BOTOL
Karya Angga Mardian
Malam ini rasanya berbeda dari biasanya, pelanggan di café tempat Via bekerja mendadak lebih sepi. Padahal biasanya selalu ramai dikunjungi orang. Seperti biasanya pula Via dan rekan-rekannya sudah berdandan cantik dan menunggu tamu-tamu yang akan membayar.
Ya, Via adalah pekerja malam atau yang biasa disebut kupu-kupu malam, sudah bertahun-tahun café tempat Via bekerja itu merangkap jadi ‘Rumah Bordir’. Malam itu adalah malam keenam Via melakukan pekerjaannya, dia masih terbilang ‘barang baru’ bagi pelanggannya.
Seorang pemuda tampan berkulit putih memasuki ‘special area’ di café itu. Tempat dimana bisa mendapatkan salah satu wanita cantik ditempat itu untuk satu malam.
“berikan yang baru dan segar”,ucap lelaki itu sembari menyodorkan amplop tebal pada ‘seseorang’ di area itu. Terlihat senyum mengembang diwajah Mami Zaira, orang tersebut. Beberapa saat kemudian lelaki muda itu sudah membawa yang dia inginkan.
Ya, Via adalah pekerja malam atau yang biasa disebut kupu-kupu malam, sudah bertahun-tahun café tempat Via bekerja itu merangkap jadi ‘Rumah Bordir’. Malam itu adalah malam keenam Via melakukan pekerjaannya, dia masih terbilang ‘barang baru’ bagi pelanggannya.
Seorang pemuda tampan berkulit putih memasuki ‘special area’ di café itu. Tempat dimana bisa mendapatkan salah satu wanita cantik ditempat itu untuk satu malam.
“berikan yang baru dan segar”,ucap lelaki itu sembari menyodorkan amplop tebal pada ‘seseorang’ di area itu. Terlihat senyum mengembang diwajah Mami Zaira, orang tersebut. Beberapa saat kemudian lelaki muda itu sudah membawa yang dia inginkan.
Via dibawa keluar café, menuju sebuah cottage mungil ditepi pantai. Setelah merebahkan badannya, Denny/lelaki yang mem-booking Via tadi mengajaknya mengobrol. Via pun meresponnya dengan hangat, hanya berfikir untuk membuat pelanggannya itu puas. Selang beberapa menit kemudian, Denny bermaksud pergi sebentar untuk membeli beberapa pengaman. Via diminta untuk menunggunya sebentar.
Sepeninggal Denny, Via merebahkan badannya. Menyiapkan pose untuk menyambut Denny, ketika asyik bergonta-ganti pose, Via merasa menindih sesuatu. Ternyata sebuah botol , sebuah botol yang berisi secarik kertas didalamnya.
“wah, surat nih”, gumam Via. Sekejap kemudian dia buka botol itu dan membaca tulisan di surat itu. Sejurus lamanya Via mendalami kata demi kata, paragraf demi paragraf dalam surat itu.
“Namaku Fatimah, aku terlahir dari keluarga yang terbilang kurang sekali dari cukup. Walau begitu, aku tetap bersyukur karena aku memiliki orang tua angkat yang baik, yang mau menyekolahkan aku hingga selesai. Setelah sekolahku selesai, orang tua angkatku tetap tak hanya diam. Aku dicarikan pekerjaan pula, sungguh mulia. Namun ketika tahu pekerjaan yang aku dapat itu apa, aku merubah drastis pandanganku terhadap mereka. Aku jadi menyayangkan kebaikan mereka selama ini.
Malam itu, tepat pada saat aku menulis surat ini. Aku sedang menunggu detik-detik hilangnya kehormatanku, dengan hati yang hancur aku menulis surat dalam botol ini. Sebelum dia mengambil kehormatanku, aku akan segera pergi, menghadap pada Kuasa. Mungkin Dia akan marah padaku, namun, kuyakin Dia tahu dan mungkin bisa mengerti akan keadaanku.
Bagi siapapun yang menemukan dan membaca surat ini, Pergilah!. Jika kau juga di posisi yang sama denganku saat ini, Hentikanlah kegilaan ini!. Jangan biarkan mereka merenggut kehormatan kita!”
Tanpa sadar, air mata Via jatuh berlinangan membasahi pipinya. Via menangis dengan setulus hatinya. Tanpa memikirkan Denny yang belum juga kembali, Via pergi meninggalkan cottage itu.
Keesokan harinya setelah menyatakan berhenti dari pekerjaannya, Via pergi ke desa tempat Fatimah dulu tinggal. Bermaksud untuk mencari makam Fatimah dan berterimakasih. Dari kejauhan, Denny tersenyum melihat Via telah meninggalkan perkerjaanya itu.
Sepeninggal Denny, Via merebahkan badannya. Menyiapkan pose untuk menyambut Denny, ketika asyik bergonta-ganti pose, Via merasa menindih sesuatu. Ternyata sebuah botol , sebuah botol yang berisi secarik kertas didalamnya.
“wah, surat nih”, gumam Via. Sekejap kemudian dia buka botol itu dan membaca tulisan di surat itu. Sejurus lamanya Via mendalami kata demi kata, paragraf demi paragraf dalam surat itu.
“Namaku Fatimah, aku terlahir dari keluarga yang terbilang kurang sekali dari cukup. Walau begitu, aku tetap bersyukur karena aku memiliki orang tua angkat yang baik, yang mau menyekolahkan aku hingga selesai. Setelah sekolahku selesai, orang tua angkatku tetap tak hanya diam. Aku dicarikan pekerjaan pula, sungguh mulia. Namun ketika tahu pekerjaan yang aku dapat itu apa, aku merubah drastis pandanganku terhadap mereka. Aku jadi menyayangkan kebaikan mereka selama ini.
Malam itu, tepat pada saat aku menulis surat ini. Aku sedang menunggu detik-detik hilangnya kehormatanku, dengan hati yang hancur aku menulis surat dalam botol ini. Sebelum dia mengambil kehormatanku, aku akan segera pergi, menghadap pada Kuasa. Mungkin Dia akan marah padaku, namun, kuyakin Dia tahu dan mungkin bisa mengerti akan keadaanku.
Bagi siapapun yang menemukan dan membaca surat ini, Pergilah!. Jika kau juga di posisi yang sama denganku saat ini, Hentikanlah kegilaan ini!. Jangan biarkan mereka merenggut kehormatan kita!”
Tanpa sadar, air mata Via jatuh berlinangan membasahi pipinya. Via menangis dengan setulus hatinya. Tanpa memikirkan Denny yang belum juga kembali, Via pergi meninggalkan cottage itu.
Keesokan harinya setelah menyatakan berhenti dari pekerjaannya, Via pergi ke desa tempat Fatimah dulu tinggal. Bermaksud untuk mencari makam Fatimah dan berterimakasih. Dari kejauhan, Denny tersenyum melihat Via telah meninggalkan perkerjaanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar