Sabtu, 28 Januari 2012

Cerpen Persahabatan 2012 - Seporsi Do'a Rani

Cerpen Persahabatan 2012 - Sebelum saya share Cerpen Seporsi Do'a Rani saya akan memperkenalkan postingan saya sebelumnya yakni Cerpen Cinta dan Cerita Lucu, Sahabat memang sangat dibutuhkan dalam hidup ini karena sahabat adalah orang yang paling mngerti keadaan kita dan berbahagialah mereka yang mempunyai sahabat. Okelah langsung saja untuk membaca Cerpen Persahabatan - Seporsi Do'a Rani karya Gyan Pramesty dibawah ini.

SEPORSI DO'A RANI
Cerpen Gyan Pramesty Gunawan

Masa sekolah bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya untuk Rani, masa sekolah adalah masa dimana Ia harus menyatu bersama kepenatan, mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak sang Emak. Lembaran putih catatan takdirnya, dihiasi oleh noktah kecoklatan yang terbentuk oleh peluh, dan terfermentasi oleh keadaan.
“ bulan depan ujian akhir, kalian Bapak panggil ke kantor karena kalian sudah ‘nunggak SPP selama 3 bulan. Kalo sampai bulan depan kalian tidak melunasinya, terpaksa Bapak tidak mengijinkan kalian ikut UAS.”

Sengatan listrik ribuan volt mengalir membekukan jantung Rani. Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali dalam bentuk dentuman-dentuman besar pengabar duka.
******

Adonan tepung putih yang Ia balurkan kepada berpotong-potong pisang menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandangannya tertuju pada satu titik, dimana seorang wanita paruh baya tampak tengah bergulat dengan denting pisau dan sayur-mayur. Butiran peluh menghiasi wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam di belakang kepalanya. Lengan tuanya, dipenuhi gurat-gurat keletihan, tak henti memotong aneka remah hijau yang ada dihadapannya. Kematian sang suami lima tahun silam, merubahnya menjadi srikandi yang harus berjuang menghidupi keempat anaknya, membusurkan panah keinginan dalam ranah takdir. Rani mendesah, potongan duka yang didapatkannya sehari silam Ia simpan rapih, enggan ia sajikan untuk melengkapi kepenatan Emaknya.

Kata-kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus segera melunasi seluruh kekurangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera memberitahukan Emaknya. Sesegera mungkin.

Persetan!! Emak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takan ku bebani Pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan mampu menanggung kebutukan takdirku sendiri, akan pendidikan.

Rani kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan-potongan pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.
******

“ ko’ buru-buru, Ran?” sapaan Hanifah menghentikan langkahnya menyusuri koridor itu.
“ eh iya nih, aku mau ke Bu Barno.” Jawab Rani.
“ ngapain?”
“ biasa, ngurusin kerang.” Jawab Rani singkat, langkahnya kembali teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.

Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan. Setiap detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian senilai dengn sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Emak.

Butiran molekul yang pembentuk terik, gemuruh angin sore, serta kelamnya angin malam selalu menemani perjuangan Rani. Laksana penjelajah ruang dan waktu, Rani berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit. Berkeliling membawa jajanan tradisional yang di buat Emaknya, Mengurusi industri kerang rumahan milik Bu Barno, menjajakan lembaran berita buram diantara celah-celah kendaraan yang dihentikan lampu merah, semua Ia lakukan untuk menebus beban pendidikannya. 3 bulan SPP.
*******

Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik itu menguap, melewati lengkung terakhir. Habis sudah tengat waktu yang diberikan kepala sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah sebanyak 250 ribu. Ia menengadah, gemerincing rupiah yang dihasilkan perasan keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya berderik, matanya lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.

Bulir-bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya yang tertutup debu. Tangisnya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang akan menyambutnya esok hari.

Tuhan, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Emak. Biarlah kulepas semua kenikmatan yang dijanjikan pendidikan, demi Emak. Akan kuhadapi serpihan-serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Emak. Aku menyerah.

Tangis membawanya pulang, kembali pada Emak dan ketiga adiknya. Kembali pada berakhirnya impian Emak punya anak sarjana, kembali kepada titik beku antara Ia dan kebuasan pendidikan.
“ rani, kemana saja kamu?” tanya Emak.

Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan Emak dan menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara kursi-kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Irma, Ratih dan Hanifah, teman sekelas Rani, duduk di sudut ruangan.
“ ada apa ini ?” gumam Rani dalam hati.
“ duduk dulu, Nak,”

Emak membimbing Rani duduk di sampingnya. Rani sibuk membaca berbagai ekspresi yang dipancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut. apa yang terjadi?
“ Ran, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Hanifah, gadis manis berkerudung putih menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.
“ apa nih, Han?” tanya Rani, belum dapat menjamah apa yang sedang terjadi.
“ itu amanat dari temen-temen sekelas, Ran,” jawab Irma “ buka dech.” Lanjutnya.

Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda hitam menggelembung itu. Logikanya seakan menolak apa yang diekspektasikan asanya.
“ apa ini !” pekik rani. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatan dan lembaran benda yang diharapkannya. Rupiah.
“ ini uang kita, Ran. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘ngga pernah cerita apa-apa ke kita, tapi kita tau semuanya, Ran.” Jawab Ratih, seraya mendekati Rani yang duduk tidak jauh darinya.
“ iya, Ran. Hari senen kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya.. sayang kalo kamu berenti di tengah jalan.” Tambah Hanifah.
“ hehehe.. sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,” jawab Ratih.

Gelombang asa yang tiba-tiba menghantamnya, membuatnya tergagu mengahdapi semua rentetan takdir ini. Bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu yang Ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka-duka kembali membasahi pipinya yang masih berdebu, Ia menangis. Air matanya mengalir deras, sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat yang dikaruniakan Tuhan, senyum Emak sebagai hidangan pembuka, serta senyum sahabat-sahabat tercintanya sebagai hidangan penutup.

Tuhan, seporsi doaku telah kau jawab. Sepotong asaku telah kau beri jalan. Terimakasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang keletihanku, ada makna lain. Makan lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum mereka.

Masa sekolah bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya untuk Rani, masa sekolah adalah masa dimana Ia harus menyatu bersama kepenatan, mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak sang Emak. Lembaran putih catatan takdirnya, dihiasi oleh noktah kecoklatan yang terbentuk oleh peluh, dan terfermentasi oleh keadaan.
“ bulan depan ujian akhir, kalian Bapak panggil ke kantor karena kalian sudah ‘nunggak SPP selama 3 bulan. Kalo sampai bulan depan kalian tidak melunasinya, terpaksa Bapak tidak mengijinkan kalian ikut UAS.”

Sengatan listrik ribuan volt mengalir membekukan jantung Rani. Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali dalam bentuk dentuman-dentuman besar pengabar duka.
******

Adonan tepung putih yang Ia balurkan kepada berpotong-potong pisang menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandangannya tertuju pada satu titik, dimana seorang wanita paruh baya tampak tengah bergulat dengan denting pisau dan sayur-mayur. Butiran peluh menghiasi wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam di belakang kepalanya. Lengan tuanya, dipenuhi gurat-gurat keletihan, tak henti memotong aneka remah hijau yang ada dihadapannya. Kematian sang suami lima tahun silam, merubahnya menjadi srikandi yang harus berjuang menghidupi keempat anaknya, membusurkan panah keinginan dalam ranah takdir. Rani mendesah, potongan duka yang didapatkannya sehari silam Ia simpan rapih, enggan ia sajikan untuk melengkapi kepenatan Emaknya.

Kata-kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus segera melunasi seluruh kekurangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera memberitahukan Emaknya. Sesegera mungkin.

Persetan!! Emak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takan ku bebani Pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan mampu menanggung kebutukan takdirku sendiri, akan pendidikan.

Rani kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan-potongan pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.
*****

“ ko’ buru-buru, Ran?” sapaan Hanifah menghentikan langkahnya menyusuri koridor itu.
“ eh iya nih, aku mau ke Bu Barno.” Jawab Rani.
“ ngapain?”
“ biasa, ngurusin kerang.” Jawab Rani singkat, langkahnya kembali teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.

Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan. Setiap detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian senilai dengn sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Emak.

Butiran molekul yang pembentuk terik, gemuruh angin sore, serta kelamnya angin malam selalu menemani perjuangan Rani. Laksana penjelajah ruang dan waktu, Rani berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit. Berkeliling membawa jajanan tradisional yang di buat Emaknya, Mengurusi industri kerang rumahan milik Bu Barno, menjajakan lembaran berita buram diantara celah-celah kendaraan yang dihentikan lampu merah, semua Ia lakukan untuk menebus beban pendidikannya. 3 bulan SPP.
*****

Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik itu menguap, melewati lengkung terakhir. Habis sudah tengat waktu yang diberikan kepala sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah sebanyak 250 ribu. Ia menengadah, gemerincing rupiah yang dihasilkan perasan keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya berderik, matanya lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.

Bulir-bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya yang tertutup debu. Tangisnya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang akan menyambutnya esok hari.

Tuhan, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Emak. Biarlah kulepas semua kenikmatan yang dijanjikan pendidikan, demi Emak. Akan kuhadapi serpihan-serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Emak. Aku menyerah.

Tangis membawanya pulang, kembali pada Emak dan ketiga adiknya. Kembali pada berakhirnya impian Emak punya anak sarjana, kembali kepada titik beku antara Ia dan kebuasan pendidikan.
“ rani, kemana saja kamu?” tanya Emak.

Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan Emak dan menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara kursi-kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Irma, Ratih dan Hanifah, teman sekelas Rani, duduk di sudut ruangan.
“ ada apa ini ?” gumam Rani dalam hati.
“ duduk dulu, Nak,”

Emak membimbing Rani duduk di sampingnya. Rani sibuk membaca berbagai ekspresi yang dipancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut. apa yang terjadi?
“ Ran, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Hanifah, gadis manis berkerudung putih menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.
“ apa nih, Han?” tanya Rani, belum dapat menjamah apa yang sedang terjadi.
“ itu amanat dari temen-temen sekelas, Ran,” jawab Irma “ buka dech.” Lanjutnya.

Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda hitam menggelembung itu. Logikanya seakan menolak apa yang diekspektasikan asanya.
“ apa ini !” pekik rani. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatan dan lembaran benda yang diharapkannya. Rupiah.
“ ini uang kita, Ran. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘ngga pernah cerita apa-apa ke kita, tapi kita tau semuanya, Ran.” Jawab Ratih, seraya mendekati Rani yang duduk tidak jauh darinya.
“ iya, Ran. Hari senen kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya.. sayang kalo kamu berenti di tengah jalan.” Tambah Hanifah.
“ hehehe.. sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,” jawab Ratih.

Gelombang asa yang tiba-tiba menghantamnya, membuatnya tergagu mengahdapi semua rentetan takdir ini. Bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu yang Ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka-duka kembali membasahi pipinya yang masih berdebu, Ia menangis. Air matanya mengalir deras, sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat yang dikaruniakan Tuhan, senyum Emak sebagai hidangan pembuka, serta senyum sahabat-sahabat tercintanya sebagai hidangan penutup.

Tuhan, seporsi doaku telah kau jawab. Sepotong asaku telah kau beri jalan. Terimakasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang keletihanku, ada makna lain. Makan lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum mereka.

Masa sekolah bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya untuk Rani, masa sekolah adalah masa dimana Ia harus menyatu bersama kepenatan, mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak sang Emak. Lembaran putih catatan takdirnya, dihiasi oleh noktah kecoklatan yang terbentuk oleh peluh, dan terfermentasi oleh keadaan.
“ bulan depan ujian akhir, kalian Bapak panggil ke kantor karena kalian sudah ‘nunggak SPP selama 3 bulan. Kalo sampai bulan depan kalian tidak melunasinya, terpaksa Bapak tidak mengijinkan kalian ikut UAS.”

Sengatan listrik ribuan volt mengalir membekukan jantung Rani. Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali dalam bentuk dentuman-dentuman besar pengabar duka.
******

Adonan tepung putih yang Ia balurkan kepada berpotong-potong pisang menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandangannya tertuju pada satu titik, dimana seorang wanita paruh baya tampak tengah bergulat dengan denting pisau dan sayur-mayur. Butiran peluh menghiasi wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam di belakang kepalanya. Lengan tuanya, dipenuhi gurat-gurat keletihan, tak henti memotong aneka remah hijau yang ada dihadapannya. Kematian sang suami lima tahun silam, merubahnya menjadi srikandi yang harus berjuang menghidupi keempat anaknya, membusurkan panah keinginan dalam ranah takdir. Rani mendesah, potongan duka yang didapatkannya sehari silam Ia simpan rapih, enggan ia sajikan untuk melengkapi kepenatan Emaknya.

Kata-kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus segera melunasi seluruh kekurangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera memberitahukan Emaknya. Sesegera mungkin.

Persetan!! Emak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takan ku bebani Pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan mampu menanggung kebutukan takdirku sendiri, akan pendidikan.

Rani kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan-potongan pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.
******

“ ko’ buru-buru, Ran?” sapaan Hanifah menghentikan langkahnya menyusuri koridor itu.
“ eh iya nih, aku mau ke Bu Barno.” Jawab Rani.
“ ngapain?”
“ biasa, ngurusin kerang.” Jawab Rani singkat, langkahnya kembali teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.

Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan. Setiap detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian senilai dengn sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Emak.

Butiran molekul yang pembentuk terik, gemuruh angin sore, serta kelamnya angin malam selalu menemani perjuangan Rani. Laksana penjelajah ruang dan waktu, Rani berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit. Berkeliling membawa jajanan tradisional yang di buat Emaknya, Mengurusi industri kerang rumahan milik Bu Barno, menjajakan lembaran berita buram diantara celah-celah kendaraan yang dihentikan lampu merah, semua Ia lakukan untuk menebus beban pendidikannya. 3 bulan SPP.
*****

Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik itu menguap, melewati lengkung terakhir. Habis sudah tengat waktu yang diberikan kepala sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah sebanyak 250 ribu. Ia menengadah, gemerincing rupiah yang dihasilkan perasan keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya berderik, matanya lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.

Bulir-bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya yang tertutup debu. Tangisnya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang akan menyambutnya esok hari.

Tuhan, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Emak. Biarlah kulepas semua kenikmatan yang dijanjikan pendidikan, demi Emak. Akan kuhadapi serpihan-serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Emak. Aku menyerah.

Tangis membawanya pulang, kembali pada Emak dan ketiga adiknya. Kembali pada berakhirnya impian Emak punya anak sarjana, kembali kepada titik beku antara Ia dan kebuasan pendidikan.
“ rani, kemana saja kamu?” tanya Emak.

Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan Emak dan menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara kursi-kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Irma, Ratih dan Hanifah, teman sekelas Rani, duduk di sudut ruangan.
“ ada apa ini ?” gumam Rani dalam hati.
“ duduk dulu, Nak,”

Emak membimbing Rani duduk di sampingnya. Rani sibuk membaca berbagai ekspresi yang dipancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut. apa yang terjadi?
“ Ran, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Hanifah, gadis manis berkerudung putih menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.
“ apa nih, Han?” tanya Rani, belum dapat menjamah apa yang sedang terjadi.
“ itu amanat dari temen-temen sekelas, Ran,” jawab Irma “ buka dech.” Lanjutnya.

Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda hitam menggelembung itu. Logikanya seakan menolak apa yang diekspektasikan asanya.
“ apa ini !” pekik rani. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatan dan lembaran benda yang diharapkannya. Rupiah.
“ ini uang kita, Ran. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘ngga pernah cerita apa-apa ke kita, tapi kita tau semuanya, Ran.” Jawab Ratih, seraya mendekati Rani yang duduk tidak jauh darinya.
“ iya, Ran. Hari senen kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya.. sayang kalo kamu berenti di tengah jalan.” Tambah Hanifah.
“ hehehe.. sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,” jawab Ratih.

Gelombang asa yang tiba-tiba menghantamnya, membuatnya tergagu mengahdapi semua rentetan takdir ini. Bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu yang Ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka-duka kembali membasahi pipinya yang masih berdebu, Ia menangis. Air matanya mengalir deras, sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat yang dikaruniakan Tuhan, senyum Emak sebagai hidangan pembuka, serta senyum sahabat-sahabat tercintanya sebagai hidangan penutup.

Tuhan, seporsi doaku telah kau jawab. Sepotong asaku telah kau beri jalan. Terimakasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang keletihanku, ada makna lain. Makan lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum mereka.

Baca Juga Cerpen Persahabatan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar