Cerpen Sedih - Dalam kehidupan ini pastilah ada Senang dan ada sedih, Seperti Cerpen Berjudul Tidak! Aku Diam Kiriman dari sahabat Harry PN yang telah sudi mengirimkan karyanya di blog Loker Seni ini, Okelah langsung saja untuk membaca Cerpen Sedih - Tidak! Aku Diam dibawah ini.
TIDAK!! AKU DIAM |
Cerpen Harry PN
“Hari ini kau mau datang.
dan kamarku sudah bersih…………..”
Langit sebentar lagi akan berhias warna kemerah-merahan dari cahaya matahari yang condong ke barat. Sedikit awan putih mungkin akan menambah manis biasnya. Warna langit sore ini sama seperti dua puluh tujuh tahun yang lalu ketika aku masih belajar menggambar pemandangan gunung dengan kelepak burung-burung kecil, sawah-sawah yang terjejer rapi, gubug-gubug yang terlihat damai dan satu jalanan yang bengkok membelah kertas gambar, serta langit yang merah marah.
Pernah sesekali ibu bertanya,
“Nak kenapa langitnya berwarna merah bukan jingga?”
“Langitnya sedang marah, bunda!” seruku sambil menatap mata ibu yang teduh.
Lalu pasti ibuku akan tersenyum dan memberikanku krayon warna kuning, dan berkata
“Nak, langit itu baik. Dia tidak pernah marah pada kita, karena Dia sangat baik terhadap orang yang baik.”
Aku tersenyum dan menuruti kata-kata ibuku, dengan sigap aku tumpuk warna merah yang sudah tergambar dengan warna kuning agar menjadi jingga. Iya! jingga yang utuh, jingga yang murni, jingga setiap siapa saja melewatinya pasti akan menyukainya karena Dia baik memberikan keindahan pada kadang akhirnya.
Sekarang, semua itu sudah tidak ada lagi, sudah menjadi ingatan yang bergalayut di langit-langit batok kepala dan tidak mau dipetik. Ibu sudah meninggal, tepat di senja yang merah beberapa bulan lalu setelah luka kecil yang menimbulkan lubang menembus payudara dan paru-parunya. Pada akhirnya ibu menyerah melawan luka dan tidak bisa bernafas lagi. Sedetik setelah ibu menghembuskan nafas terakhirnya, aku tercekat dalam kesedihan pertanyaan, cara terakhir seperti inikah yang Kau berikan pada ibuku. Bukankah beliau adalah manusia yang selalu mengagumi dan memujaMu. Selayaknya pengagum setia, dia pantas mendapatkan akhir yang lebih baik dari ini semua. – Dan aku heran mengapa ibu masih sempat tersenyum dan menyebut-nyebut namaMu sebelum tidur panjangnya?
***
Bagiku selalu mengerikan melewati senja yang seperti ini, kemerahan langitnya dengan semilir menelisik perlahan melewati jendela kamar yang sengaja aku biarkan terbuka, sedang jiwaku merasa seperti akan dirampas oleh hembusan angin.
Inikah waktunya Tuhan?
Waktuku.
Sekelebat bayangan berlalu dihadapanku.
***
Setelah beberapa waktu aku menjadi terbiasa dengan senja yang seperti ini, terbiasa mengahadapinya dengan tersenyum karena aku tahu bahwa tidak lama lagi Kau juga akan datang untukku. Dalam kamar yang tidak begitu luas ini, hanya tiga kali empat meter saja. Tembok yang berwarna putih pucat disalah satu sisi temboknya tersusun beberapa foto tua milik ibu. Lantai keramik tempat membumikan semangat yang luntur diguyur kerasnya kehidupan, langit-langit yang cukup tinggi untuk memasang mimpi kalau khayalan kelewat batas, - celaka. Disalah satu sudutnya ada lemari tempat menyimpan kesombongan dan keserakahan, lalu aku hanya akan mengenakan pakaian biasa yang rombeng. Disampingnya ada meja tulis terdiri disitu, hampir tidak pernah aku gunakan. Satu ranjang tidur yang juga jarang aku tiduri, satu loker berada ditepian penuh dengan buku. Dua pasang jendela kaca yang kalau hujan rintik aku bisa mengintipnya dari situ dan kalau Kau sedang bermurah hati memberikan senja, maka aku bisa menyaksikan senja yang merah murung.
Dan kamarku sudah bersih…
Tapi sebenarnya bukan itu semua yang sudah aku persiapkan untukMu saat ini. Setiap langkah dari kehidupan telah aku hitung menurut jangka aturanMu, walau aku tahu apa yang sedang aku cela, aku hujati terhadap takdir-takdir gila yang Kau berikan padaku, pada orang-orang disekitar yang sangat aku sayang adalah semata kekesalanku yang spontan dan masih dalam batas kewajaran tidak menerima keputusanMu. Ketika kembali banyak hal terbuka maka tidak bisa aku tampik bahwa betapa sinergi kekuasaanMu melebih dari apa yang aku pikirkan, lalu aku menyerah dan berbenah seperti sekarang.
Sungguh kamar ini hanya media yang coba aku rapikan sebelum Kau benar-benar tahu siapa aku dan mengambilku dari kamar ini setelah ibuku.
-mungkin kau akan menilaiku dari apa yang ada disekitarku.
Maaf jika aku berburuk sangka padaMu tentang sebuah penilaian, tapi dengan jujur aku mengatakan, aku takut semuanya buruk hanya karena hal sepele duniawi ini. Bukankah aku juga akan menyusul ibuku dengan senyuman? – Begitu banyak cerita tertekan dalam otak dan hati saling ingin menyudahi satu sama lain, Buruk.
Aku…
Baik, mari aku beri tahu sedikit tentang hal ikhwal siapa aku sebelum Kau benar-benar datang hari ini, karena siapapun aku pasti Kau akan lebih memahaminya jauh daripada aku sendiri.
Aku adalah orang yang banyak merasa dan sedikit mengerti, tersesat dalam labirin-labirin berlendir menjijikan sang waktu. Walau banyak buku aku baca, walau banyak bijak aku tanya lalu aku akan selalu terkapar lemas memandangi langit yang diam terhadap ribuan bahkan jutaan hal yang tidak bisa aku mengerti atau setidaknya diberi pengertian, -perhatian.
Aku adalah orang yang tidak mau terdefinisi dan mendifinisi oleh jeratan mata kasat, selagi semuanya menoleh kekanan bisa jadi aku sedang menoleh kekiri. Dan pandanganku yang nanar ketika satu wujud berdiri dihadapanku maka akan selalu terlihat seperti amoeba yang membelah diri jadi dua, empat, delapan dan seterusnya. Ketidak-konsistenan wujud terletak terhubung berbeda pada setiap pemikiran masing-masing dan aku bukan bagian dari yang memutuskan untuk menolak untuk menerima.
Aku adalah orang yang berjejal ingin keluar dari sebuah kungkungan ketidakabadian ini. Berlarian melupakan, kalau perlu dengan sorak rendah riuh aku akan menggeser tukar perwujudan ini. Melompati kilang kegelisahan dan tetap melantunkan berbagai bunyi, agar lebih hangat apa yang sudah aku jalani. Bagiku hidup sama artinya menyerahkan kemenangan dan menukarnya dengan kekalahan beruntun sebelum waktu yang Kau tentukan.
Aku adalah orang yang meruang dengan segala langkah terbawa sampai ke puncak tinggi dan seloroh ke pantai-pantai, namun akan kembali pada kamar ini dengan membawa segala rindu dan dendam dan berakhir dalam banyak tulisan, mengerikan. Sebuah labuhan yang harus aku kunjungi ketika apa yang menggerogoti bentuk-bentuk mulai mengganas dan tak kenal ampun, walau aku sendiri adalah tuan terhadap apa yang aku pikirkan.
“Bakar…bakar” cuma itu bisikan yang terdengar ketika sebentuk naskah selesei tepat sebelum menemui ajalnya - sama seperti aku nanti.
Aku adalah orang yang hanya akan ada di titik yang tidak mungkin disentuh walau sangat dekat, menemani, berkawan dengan kepedihan dan luka-luka. Sedang sebab kenapa aku harus hidup ternyata kadang pikiranku memang seperti itu. Aku menjemput takdirku sendiri, menginginkan awan gemawang runtuh jadi hujan dan disitulah berbeda antara aku dan hujan.
Aku adalah orang yang sangat pekat, berjarak ribuan kilo dari pemikiran manusia pada umumnya, sesekali aku menolak, sesekali aku bermuara pada kebingungan pementasan hidup, Ahh…sungguh culasnya aku. Tapi bisakah Kau rasakan energi yang meledak dari bentuk-bentuk ketidak patuhanku ini? – mata adalah jala yang menjaring makna dan segala yang terdetik dalam pikiran dan hati hanyalah tipuan.
-Tiada reinkarnasi.
Cukup
Ahhh! tapi sungguh Kau pasti mengenaliku lebih dari aku sendiri, sungguh benar hidup cuma seperti permainan yang berputar bekutat membalik pada titik azimtut, tua, lemah dan siap untuk tidak di ingat.
Dan aku mulai berbaring memejamkan mata, sambil mengatur ritme nafas, tersenyum seindah mungkin. Ibu, senyuman ibuku yang kudus seakan mensucikan kegundahan ini.
Ayo! Silahkan sesiap apapun akan ada ragu, tapi biarlah aku sisakan sedikit keraguan sepantasnya manusia yang tetap masih manusia.
Jika kamu jadi datang hari ini aku sudah bersiap,
dan kamar sudah bersih.
*Langit sedang cerah dan layar-layar siap dikembangkan.
Bawalah aku, kemanapun Kau berkehendak.
pun aku tidak percaya reinkarnasi dan kehidupan sesudah mati, tapi biarkan aku setidaknya bisa tersenyum.
*|dipiuh dari naskah sang nabi (kahlil gibran)
Dan Sebelumnya saya ucapkan terimakasih untuk kiriman Cerpennya, Semoga Cerpen ini menjadi manfaat bagi dunia sastra Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar