Minggu, 26 Februari 2012

Hardiknas - Cerpen Putu Wijaya

HARDIKNAS
Cerpen Putu Wijaya

Ali mendapat inspirasi dari Elvira supir trans Jakarta Blok M-Kota yang memakai pakaian daerah Palembang pada hari Kartini. Semingggu sebelum dan sesudah Hari Pendidikan nasional (2 Mei), ia ke sekolah memakai pakaian daerah.
Beberapa hari pertama, ia sempat menarik perhatian. Para murid tercengang. Tapi tidak ada yang berani bertanya. Semuanya hanya senyum-senyum menganggap guru itu mau sok nyentrik. Guru-guru lain hanya pandang-pandangan. Mereka pikir Ali sedang berusaha untuk menarik perhatian. Ada kabar burung ia jatuh cinta pada Bu Ani, guru baru yang selalu mengajar dengan memakai baju kurung.

Tetapi ketika Ali masih terus memakai pakaian daerah selama seminggu, Kepala Sekolah, kontan memanggil.
“Pak Ali, apa sebenarnya missi Pak Ali, mengajar dengan memakai pakaian daerah?”

Ali terkejut. Ia sendiri ketika pertama kali memakai pakaian daerah merasa kikuk. Tetapi setelah satu minggu, ia lupa itu pakaian daerah. Ia menganggapnya sebagai pakaian biasa. Baru ketika Kepala Sekolah menegur, ia sadar kembali ia sudah memakai pakaian daerah.
“Maaf Pak, saya tidak ada missi apa-apa. Saya hanya mencoba menyambut Hari Pendidikan Nasional, untuk mengingatkan anak-anak betapa pentingnya pendidikan. Sebab kebanyakan mereka nampaknya sekolah karena terpaksa, dipaksa oleh orang tuanya.”
“Tapi kan hari Pendidikan sudah lewat?”
“Betul, Pak.”
“Berapa lama Pak Ali mau pakai pakaian daerah begini?”
“Ya kalau diperkenankan, untuk seterusnya, Pak.”

Kepala Sekolah terkejut.
“Tapi kita kan sudah punya seragam sekolah. Pak Ali tidak suka seragam kita? Ini protes?”
“Sama sekali tidak, Pak..”
“Kalau begitu, saya minta supaya Pak Ali kembali mengenakan seragam sekolah saja kalau sedang mengajar. Di luar sekolah terserah Pak Ali.”

Ali tidak menjawab. Sebenarnya kalau tidak disuruh berhenti, ia memang sudah merencanakan untuk kembali mengajar dengan pakaian seragam guru. Tapi karena dilarang, tiba-tiba ia ingin melawan.
“Maaf Pak, “kata Ali kemudian dengan sopan, “apa memakai pakai daerah kalau sedang mengajar itu membuat ilmu yang kita ajarkan kepada murid-murid jadi cacad?”

Kepala sekolah ketawa.
“Tentu saja tidak.”
“Kalau begitu apa salahnya guru memakai pakaian daerah ke sekolah, Pak?”
“Tidak ada.”
“Tapi kenapa saya dilarang?”
“Karena sekolah kita sudah punya seragam untuk guru yang sedang mengajar. Kalau di luar jam pelajaran, Pak Ali memakai pakaian apa juga terserah. Kesepakatan sebaiknya tidak dilanggar, Pak Ali, nanti jadi preseden yang buruk Kita guru harus menjadi teladan murid-murid, Pak Ali.”

Ali terdiam. Kepala Sekolah merasa Ali sudah setuju. Tapi esoknya, Ali tetap saja mengajar dengan memakai pakaian daerag. Tentu saja ia kembali dipanggil.
“Pak Ali kelihatannya belum mengerti maksud saya, silakan memakai seragam guru kalau sedang mengajar.” Kata Kepala Sekolah dengan nada mulai keras.
“Saya sudah mencoba, Pak. Tapi badan saya tidak mau berangkat kalau pakai seragam. Jadi saya terpaksa memakai pakaian daerah kembali.”

Kepala Sekolah hampir saja tersenyum karena jawaban itu lugu dan lucu. Tapi guru-guru lain yang mendengar percakapan itu sudah terlebih dahulu ketawa. Kepala Sekolah, lalu menaikkan suaranya.
“Kalau Pak Ali tidak mau mematuhi aturan sekolah, lebih baik jangan mengajar!”
“Kenapa Pak?”
“Sebab desiplin adalah salah satu yang lemah dalam pendidikan kita. Kita pintar membuat aturan, tetapi tidak mampu melaksanakannya, sehingga semua aturan itu mubazir. Kita baru saja memperingat Hari Pendidikan. Memegang desiplin adalah salah satu dari usaha yang konkrit kalau mau memperingati Hari Pendidikan dengan sungguh-sungguh. Pak Ali mengerti maksud saya?”
“Saya mengerti. Bapak melarang saya mengajar memakai pakaian adat.”
“Bukan.!”

Ali tercengang.
“Saya melarang semua guru di sini untuk melanggar kesepakatan yang sudah kita sepakati bersama. Guru kalau mengajar harus memakai pakaian seragam guru sebagaimana juga murid kalau masuk harus memakai pakaian seragam murid. Kita tidak hanya mendidik murid menjadi pintar, tetapi kita juga mendidik jiwa murid untuk dewasa dengan memegang tegun desiplin. Dan itu caranya dengan memberikan contoh. Saya tidak memperkenankan guru memberi contoh buruk, melanggar desiplin! Paham?”
Ali terkejut karena suara Kepala Sekolah lantang, sehingga guru-guru yang lain mendengar. Meskipun tidak menjawab, esoknya, Ali tetap saja ke sekolah memakai pakaian daerah.

Ketika Ali hendak masuk gerbang sekolah, satpam langsung menahan.
“Maaf Pak Ali, kami tidak mengizinkan Bapak mengajar tanpa memakai pakaian seragam sekolah.”
“Tapi ini pakaian daerah, ini lebih tinggi dari pakaian seragam sekolah.”
“Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah.”
“Dalam militer yang pangkatnya lebih tinggi, dihormati oleh yang pangkatnya di bawah.”
“Tapi ini sekolah, Pak!”
“Sama saja. Kalau mau belajar desiplin, militer adalah biangnya. Jadi kalau mau menegakkan desiplin harus menghormati yang pangkatnya lebih tinggi! Buka pintunya!”

Satpam itu bingung. Tapi ketika Ali mau masuk, satpam cepat menghalangi.
“Aku guru, aku mau mengajar!”
“Saya hanya menjalankan tugas, Pak!”

Terjadi ketegangan. Tiba-tiba entah siapa mulai terjadi perkelahian. Murid-murid keluar dari ruangan dan kemudian rama-ramai melerai. Kedua belah pihak ditenangkan. Setelah semuanya reda, lalu Bu Ani maju dan berbicara kepada semuanya.
“Anak-anakku semua para pelajar, itulah tadi contoh ketidakseimbangan pendidikan kita. Sekolah seyogyanya menumbuhkan kecerdasan dan sekalian kebijakan, sehingga kita tidak perlu berantem karena hal-hal yang tidak perlu. Keplok tangan buat Pak Ali, Bapak Kepala Sekolah dan Satpam yang sudah memerankan peranannya dengan bagus!”
Semua murid berikut para guru berkeplok riuh.

Baca Juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar