Minggu, 26 Februari 2012

Merdeka - Cerpen Pendidikan

MERDEKA 
Cerpen Putu Wijaya

Agustus sudah berlalu..Satu dua kali hujan mulai turun. Bendera-bendera merah-putih yang berjajar di sepanjang jalan sudah lenyap. Memang ada juga beberapa pedagang yang masih saja ngotot memasang. Umumnya penduduk sudah menyimpan kembali benderanya untuk dikeluarkan lagi nanti tahun depan. Tetapi bendera merah-putih raksasa yang berkibar di rumah orang kaya itu masih belum diturunkan.
“Ini bukan tidak ada maksudnya,” kata Amat curiga. “Mengapa dulu dia segan memasang, tetapi sekarang justru bandel membiarkan bendera kepanasan dan kehujanan. Apakah kamu tidak perlu ke sana lagi dan bertanya, Ami?”

Ami menggeleng.
“Saya sudah kapok, Pak. Kalau Bapak mau silakan saja tapi jangan bawa-bawa Ami.”
“Kenapa?”
“Kami anak-anak muda tak tertarik lagi dengan sandiwara over actingnya itu.”
“Apa maksudmu dengan over acting?”
“Mantan wakil rakyat itu dengan segala macam caranya sedang berusaha memikat perhatian kita. Tak usah diladeni. Masih masih orang yang lebih pintar dari dia yang perlu kita perhatikan.”
“Siapa?”
“Kami.”
“Kami siapa?”
“Ami misalnya.”
“Karena kamu anak muda?”
“Jelas!”
“Tapi apa kamu punya uang 5 milyar?”

Ami terbelalak. Amat segera berpakaian. Mengenakan sepatu dan baju batik. Ami terpaksa bertanya.
“Bapak mau ngapain?”
“Ke rumah orang kaya itu.”
“Menanyakan mengapa dia tidak menurunkan bendera?”
‘Tidak. Menagih janjinya untuk menyumbang 5 milyar. Kalau gagal, baru menanyakan mengapa dia tidak menyimpan bendera padahal sudah tahu sekarang kita hampir memasuki musim hujan.”
“Kenapa Bapak jadi ngurus sumbangan orang?”
“Sebab Bapak tidak mau dia menjadi terkenal hanya karena mengancam akan menytumbang 5 milyar. Kalau mau nyumbang, nyumbang saja seperak juga akan diterima baik. Jangan menyebar kabar sabun menyumbang 5 milyar tapi tidak ada prakteknya. Itu kan membuat semua orang mimpi.”

Ami masih terus hendak mendesak, tapi Amat menutup percakapan.
“Nanti saja kalau Bapak sudah pulang dari sana!”

Ami geleng-geleng kepala. Dia kasihan kepada bapaknya yang sudah tua dijadikan permainan oleh orang banyak. Ditokohkan sebagai nara sumber dan panutan. Tapi giliran menagih sumbangan didaulat untuk jalan kaki sendirian bagaikan pengemis pada orang kaya yang pasti tidak akan sudi membuka dompetnya dengan selembar rupiah pun. Apalagi 5 milyar.
“Orang kaya tidak akan mungkin berduit kalau tidak pelit. Lihat saja nanti hasilnya pasti nol!” kata Ami mengadu pada ibunya.
“Biar saja Ami, daripada bapakmu ngerecokin di rumah, biar dia ke sana, siapa tahu beneran.”
“Ibu jangan begitu. Meskipun sudah pensiun, tetapi Bapak itu masih sama bergunanya dengan orang lain, asal jangan memposisikan dirinya sudah tua.”
“Tapi Bapakmu kan memang sudah tua.”
“Memang, tapi keberadaan orang tua sama pentingnya dengan anak muda.”
“Ya itu dia. Makanya Bapakmu sekarang ke sana mengusut sumbangan 5 milyar itu. Kalau kejadian kan kita semua untung. Sekolah berdiri dan kita dapat 10 persen.”

Ami terkejut.
“Sepuluh persen apa?”
“Lho kamu tidak tahu toh? Siapa saja yang berhasil mengumpulkan uang sumbangan untuk melanjutkan pembangunan gedung sekolah kita dapat bagian 10 persen dari sumbangan itu..”

Ami tertegun. Andaikan benar, tak usah sepuluh, satu persen dari 5 milyar saja kehidupan keluarga Amat akan bersinar. Ami langsung bermimpi. Apa saja yang akan dia beli kalau missi bapaknya berhasil. Ia sampai terlena di kursi menunggu bapaknya pulang.
Ketika Amat masuk rumah, ia heran melihat Ami menggeletak di kursi.
“Bangun Ami, nanti kamu masuk angin.”

Ami terkejut, tapi kemudian langsung bertanya.
“Bapak berhasil?”
“Ya.”

Ami berteriak: yes!
“Stttt jangan teriak sudah tengah malam ini.”
“Jadi Bapak akan dapat sepuluh persen?”
“Ya.”
“Sepuluh persen dari 5 milyar?”
“Tidak. Dia mengubah angkanya.”
“Berapa. Sepuluh milyar?”
“Seratus ribu.”
“Ah? Berapa?”
“Seratus ribu.”
“Lho kenapa?”
“Bapak bilang kepada dia baik-baik. Tidak usahlah menyumbang sebanyak itu. Malah nanti akan menimbulkan persoalan dan pertengkaran kita di sini. Di mana-mana duit biasanya membuat cekcok. Jadi Bapak bilang, daripada kawasan kita yang damai ini menjadi neraka yang penuh dengan saling curiga-mencurigai, lebih baik jangan membuat persoalan. Sumbang yang wajar saja, seratus ribu sudah cukup untuk memancing para warga lain menyumbang.”

Ami ternganga.
“Aduh, Bapak kenapa jadi bego begitu?”
‘Karena Bapak tahu semua omongan 5 milyarnya itu hanya isapan jempol. Daripada dia terkenal karena hisapan jempolnya itu, kan lebih baik dipaksa bertindak yang konkrit saja dengan nyumbang seratus ribu. Itu untuk menutupi rasa malunya sudah keceplosan ngomong 5 milyar, sampai-sampai dia tidak berani lagi tinggal di rumah karena takut ditagih. Itu sebabnya selama ini dia menghilang bersama keluarganya, makanya benderanya tidak pernah diturunkan. Sekarang beres, dia sudah nyumbang seratus ribu, ini duitnya. Dan benderanya sudah diturunkan. Paham?”
“Tidak.”

Amat terhenyak. Lalu menjatuhkan badannya ke kursi seperti nangka busuk.
“Bapak juga tidak paham. Mengapa dia mau. Padahal Bapak hanya mengertak maksudku supaya dia malu dan langsung nyumbang 5 milyar!”

Baca Juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar