Minggu, 26 Februari 2012

Kemerdekaan - Cerpen Putu Wijaya

KEMERDEKAAN 
Cerpen Putu Wijaya

Seorang maestro menyerahkan karyanya yang terbaru kepada Gubernur sebagai hadiah untuk Peringatan Hari Proklamasi yang ke-63. Pelukis yang karyanya sudah menembus angka 3 milyar di Balai Lelang Singapura itu, ingin mengabadikan namanya di Gubernuran. Tentu saja semua menyambut gembira.

Gubernur menyelenggarakan resepsi khusus untuk pembukaan bungkusan lukisan dan sekaligus upacara penggantungan karya itu di ruang tamu Gubernuran. Seorang sutradara film yang yang filmnya lagi laku keras, ditarik dari tempat shooting film barunya, untuk mempimpin.
“Kalau China menyelenggarakan upacara pembukaan olimpiade begitu spektakuler, kita juga akan menandinginya dengan perayaan 17 Agustus yang tidak kalah pamornya,”kata Gubernur.

Para wartawan dikerahkan untuk hadir. Sekitar seribu orang tamu memenuhi ruang dalam dan halaman gubernuran. Di antaranya ada yang sengaja datang dari Jakarta, ingin menyaksikan peristiwa yang menelan biaya ratusan juta itu.
“Saudara-saudar hadirin, para tamu, undangan yang saya muliakan,”kata Gubernur dengan wajah berseri-seri membuka malam peringatan itu. ” Sebentar lagi kita akan memasuki genap 63 tahun merdeka. Selama ini kita tidak meragukan partisipasi semua orang di dalam merebut, menjaga dan kemudian mempertahankan kemerdekaan. Tetapi malam ini benar-benar istimewa, karena kita akan melihat bukti bahwa seorang seniman, tidak lagi hanya sibuk mengurus seni, tapi juga ngutus bangsa dan negara. Pelukis besar kita ini, menunjukkan langkah konkrit, sumbangannya pada negara dengan menyumbangkan sebuah katyanya yang berjudul Kemerdekaan. Silakan dibuka!”

Semua berkeplok tangan. Lalu sorot menyala. Seorang penari muncul. Dengan lemah gemulai dia mendekati bungkusan lukisan dan mulai membukanya perlahan-lahan. Tetapi gagal. Kemudian muncul 10 penari laki-laki. Mereka menggebrak. Tetapi bungkusan itu masih tetap tidak bisa dibuka. Akhirnya muncul puluhan penari lagi. Mereka mengangkat lukisan itu. Cahaya lampur berpedar-pedar. Asap mengepul. Tapi bungkus lukisan itu masih belum terbuka. Lalu terdengar suara seorang yang menembangkan puisi:
“Tak mungkin membuka kemerdekaan sendiri. Tak bisa mengejar kebebasan terpisah-pisah. Duaratus dua puluh juta tangan harus bergerak seretak, satu hentakan untuk membuat masa depan menjadi nyata. Kemerdekaan adalah persatuan. Kemerdekaan adalah kebersamaan. Kemerdekaan adalah melupakan perbedaan dengan tulus ikhlas dan dengan cinta menempuh jalan bersama dalam damai.”

Tiba-tiba bungkus lukisan itu terurai. Nampak lukisan itu. Tetapi belum jelas. Masih terhalang oleh bungkus kertas dengan tulisan: Kemerdekaan. Semua orang lalu mengaraknya dan menggantungkannya di dinding. Sesudah itu perlahan-lahan semuanya kembali. Panggung pun sepi.
Dengan diiringi lagu Rayuan Pulau Kelapa, Gubernur maju dan merobek kertas pembungkus. Lampu menyorot. Lalu terlihat lukisan itu secara utuh. Tetapi semua orang terkejut.

Lukisan itu ternyata sebuah bendera merah-putih yang compang-camping karena tercabik-cabik angin. Di bawahnya nampak tumpukan mayat. Matahari kelihatan garang menyala menyemburkan api. Beberapa orang berdiri garang seperti hendak memotong tiang bendera dan menggantikannya dengan sebuah bendera yang lain.
“Ya Tuhan mengerikan sekali!” bisik beberapa ibu pejabat.

Gubernur pun bengong. Ia tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Para wartawan cepat bergerak mengabadikan lukisan itu dengan jepretan bertubi-tubi. Gubernur terlambar mengangkat tangan.
” Stop! Stop! Jangan dipotret!”

Para petugas muncul dan mengamankan. Terjadi keributan, karena wartawan-wartawan terus mendesak ingin memotret. Seorang petugas merebut kamera seorang wartawan. Yang punya kamera mempertahankan mati-matian. Akhirnya agar tidak menjadi kekacauan Gubernur terpaksa membiarkan lukisan itu dipotret. Tetapi kemudian ia berpidato panjang.
“Saudara-saudara, lukisan ini, adalah kesaksian dari seorang maestro yang sekarang hidupnya lebih banyak di luar negeri. Kata orang, semakin jauh orang, sebenarnya ia semakin pulang. Dari luar negeri, wajah negeri kita konon nampak lebih jelas. Inilah salah satu gambarannya. Kita boleh tidak suka,. Karena kita menginginkan wajah yang lebih baik. Tetapi atas nama kemerdekaan, inilah salah satu penglihatan tentang siapa sebenarnya kita. Apakah saudara-saudara setuju lukisan ini akan kita gantung di sini?”

Tidak ada yang menjawab. Mungkin sekali tidak berani.
“Bapak sendiri bagaimana?” tanya seorang mahasiswa.
“Selaku pribadi, saya memang ingin memajang lukisan maestro kita ini sebagai tanda penghormatan. Tetapi selaku gubernur, pejabat pilihan saudara-saudara sendiri, saya wajib menjalankan kehendak saudara-saudara. Jadi bukan perasaan saya yang penting, namun perasaan kalian semuanya. Apakah kalian setuju kalau lukisan yang melukiskan diri kita yang te****ang ini, kita gantung di sini agar semua tamu melihatnya?”

Tidak ada yang menjawab.
“Apakah saudara-saudara tidak malu te****ang bulat di depan tamu?”
“Te***jang bulat bagaimana, Pak,”tanya seorang Ibu.
“Bendera kita yang compang-camping dan sudah hampir terbakar, belum lagi ada orang hendak menggantikannya dengan bendera lain. Itu gambaran blak-blakan yang sama saja artinya kita bu##l; tanpa selembar kain pun di depan orang. Betul tidak?”
“Maksud Bapak p**no?”

Gubernur berpikir tapi kemudian menjawab tegas.
“Ya, p**no!!”

Semua terdiam.
“Kalau saudara-saudara setuju pornographi ini digantung di sini, di ruang tamu sehingga semua tamu melihatnya, selaku Gubernurb pilihan rakyat saya tidak bisa berkata lain, ya pasang saja. Tapi kalau saudara bilang kemerdekaan itu dibatasi oleh kemerdekaan otang lain yang tidak membenarkan kita memajang hal-hal yang bersifat p**no, saya akan copot sekarang juga? Bagaimana?”

Tak ada yang menjawab.
“Bapak sendiri bagaimana?”
“Lho, saya mewakili kepentingan saudara-saudara. Kalau saudara-saudara setuju, baik akan saya gantung. Tapi kalau tidak, buat apa digantung?”

Semuanya terdiam. Tiba-tiba sang maestro yang melukis Kemerdekaan itu maju..
“Lebih baik jangan dipajang, Pak Gubernur!”

Gubernur mengernyitkan dahinya.
“Kenapa? Karena p**no?”
“Semula saya memang membuat lukisan Kemerdekaan ini untuk digantung di sini. Tetapi begitu tadi melihat sendiri dia sudah tergantung, hati saya berontak. Lebih baik Kemerdekaan digantung di dalam hati saja. Karena kalau sudah diobral begini, akan jadi p**no, kita akan cepat sekali lupa!”

Baca Juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar