Vegetus Libertas
Cerpen Dewi Lestari
Keengganan umum menjadi vegetarian antara lain enggan jadi repot dan terbatas. Di dunia mayoritas omnivora ini, seorang vegetarian yang bepergian harus dari jauh hari memesan menu khusus ke maskapai penerbangan. Saya harus memberitahu tante saya yang mengadakan hajatan, supaya ia tidak kecewa jika sambal goreng atinya tidak disentuh. Setiap ke luar kota, survei kecil yang selalu saya lakukan adalah mencari restoran vegetarian. Sebagai vegetarian pemula yang masih beradaptasi, saya sering merenung: apakah ini keterbatasan, atau tantangan? Keterbatasan adalah gagal menemukan makanan vegetarian, lalu dengan hati masygul makan nasi pakai sayur dan sambal tok, sesekali melirik iri piring teman-teman yang berlimpahkan lauk-pauk. Apalagi baru jadi vegetarian beberapa bulan, segala rasa daging masih kuat bercokol di memori. Saya tahu persis, bahkan lidah ini seperti masih bisa mengecap tanpa perlu mengunyah, rasa ayam bakar, sop buntut, gule kambing, babi kecap, udang goreng mentega.
Tantangan adalah menghadapi situasi dan piring yang sama dengan penuh kemenangan. Dan demikianlah upaya saya menyikapi hidup vegetaris. Menjadi vegetarian adalah tantangan dalam satuan hari. Besok adalah tantangan baru, dan seterusnya. Tantangan mengubah persepsi keterbatasan menjadi permainan seru yang dengan serius menantang saya untuk terus menggali etika bermanusia dalam konteks realitas hari ini. Tantangan saya artikan sebagai pembatasan, dan itu tidak sama dengan keterbatasan. Pembatasan adalah kesadaran aktif untuk mengurangi pilihan yang tak perlu. Sejak dulu, saya paling tidak tahan berada di belakang truk yang mengangkut hewan. Entah itu sapi, ayam, kambing, atau babi.
Cepat-cepat saya susul, atau terpaksa terus memalingkan muka. Namun tampang memelas mereka tidak seberapa dibanding kontradiksi yang menyerang saya: saya iba, tapi lewat industri makanan, saya masih membunuhi mereka. Hingga kini rasa iba itu tidak hilang. Namun kontradiksi itu lenyap sudah. Dan saya merasakan kebebasan. Sebulan belakangan ini saya juga menyadari sesuatu, daerah rambahan saya di supermarket menjadi lebih sempit. Saya akan berjalan melewati jajaran panjang aneka daging segar, mengabaikan rak-rak berisi sosis, kornet, dan hanya mampir di bagian sayur, buah, serta rak pendingin tempatnya tahu dan tempe.
Kadang saya menoleh ke belakang, melihat banyaknya pilihan yang saya lewati, dan lucunya, saya justru merasa lebih bebas. Berapa banyak pilihan yang sebenarnya sanggup kita tangani? Sering juga saya renungi itu. Ketika seseorang memiliki enam mobil, dua ratus potong baju, lima puluh sepatu, adakah itu membebaskan? Saya selalu merasa ada batas tegas antara butuh dan koleksi. Ketika batas kebutuhan dilampaui hingga memasuki tahap koleksi, maka angka berapapun tak akan pernah cukup. Ketika makanan bukan lagi sarana untuk keberlangsungan hidup, tapi ajang koleksi kenikmatan indrawi, seluruh hewan di Bumi tidak akan pernah cukup.
Refleks kita pasti menangkis 'apa salahnya?', 'kalau ada uangnya kenapa tidak?'. Percayalah, saya pun masih menyimpan refleks yang sama. Gen primordial kita sebagai ras yang pernah berjuang antara hidup dan mati demi tidak kelaparan akan selalu mendorong kita untuk sebanyak-banyaknya menumpuk lemak dan protein. Adalah tantangan untuk mengubah refleks primordial dengan sistem akal budi berbasiskan realitas baru, bahwa dunia hari ini sudah punya cukup teknologi untuk kita bisa bergizi tanpa membunuh hewan secara massal, dan dunia hari ini mengalami krisis karena banyak manusia sibuk menggemukkan hewan ternaknya dan lupa bahwa manusia lain kelaparan, bahwa dibutuhkan sepuluh kilo tumbuhan bergizi untuk menghasilkan satu kilo daging. Amati kehidupan kita sendiri: apakah pola konsumsi kita masih dalam koridor butuh, atau sudah koleksi? Setelah itu, barulah lihat kehidupan sekitar kita, dan simpulkan dengan akal sehat: apakah masih etis untuk menerapkan pola koleksi? Jika tidak, sesuatu pasti bisa kita upayakan untuk mengurangi berlebihnya pilihan, membiarkan mereka yang betulan terbatas untuk melangsungkan hidup dengan jumlah pilihan yang layak. Jumlah yang perlu kita bagi. Di sebuah food court dengan puluhan stand, saya memilih satu: stand nasi pecel dan gado-gado. Teman saya berkomentar: 'Kasihan kamu, makannya cuma bisa itu.' Padahal, meski pesan menu lain, ia juga sama-sama makan satu piring. Jika ada food haven yang menyediakan ribuan stand sekalipun, setiap pengunjung pada akhirnya memilih satu. Malamnya, ketika iseng buka-buka kamus Bahasa Latin (salah satu hobi saya memang mengoprek kamus), saya menemukan sebuah frase: Vegetus libertas. Artinya, hidup yang menguatkan budi.
Saya jadi teringat makan siang tadi. Di food court itu, tanpa disadari, saya telah bertemu kebebasan dalam pembatasan. Hidup yang berbudi ternyata dapat dihikmati melalui sepiring nasi pecel.
Cerpen Dewi Lestari
Keengganan umum menjadi vegetarian antara lain enggan jadi repot dan terbatas. Di dunia mayoritas omnivora ini, seorang vegetarian yang bepergian harus dari jauh hari memesan menu khusus ke maskapai penerbangan. Saya harus memberitahu tante saya yang mengadakan hajatan, supaya ia tidak kecewa jika sambal goreng atinya tidak disentuh. Setiap ke luar kota, survei kecil yang selalu saya lakukan adalah mencari restoran vegetarian. Sebagai vegetarian pemula yang masih beradaptasi, saya sering merenung: apakah ini keterbatasan, atau tantangan? Keterbatasan adalah gagal menemukan makanan vegetarian, lalu dengan hati masygul makan nasi pakai sayur dan sambal tok, sesekali melirik iri piring teman-teman yang berlimpahkan lauk-pauk. Apalagi baru jadi vegetarian beberapa bulan, segala rasa daging masih kuat bercokol di memori. Saya tahu persis, bahkan lidah ini seperti masih bisa mengecap tanpa perlu mengunyah, rasa ayam bakar, sop buntut, gule kambing, babi kecap, udang goreng mentega.
Tantangan adalah menghadapi situasi dan piring yang sama dengan penuh kemenangan. Dan demikianlah upaya saya menyikapi hidup vegetaris. Menjadi vegetarian adalah tantangan dalam satuan hari. Besok adalah tantangan baru, dan seterusnya. Tantangan mengubah persepsi keterbatasan menjadi permainan seru yang dengan serius menantang saya untuk terus menggali etika bermanusia dalam konteks realitas hari ini. Tantangan saya artikan sebagai pembatasan, dan itu tidak sama dengan keterbatasan. Pembatasan adalah kesadaran aktif untuk mengurangi pilihan yang tak perlu. Sejak dulu, saya paling tidak tahan berada di belakang truk yang mengangkut hewan. Entah itu sapi, ayam, kambing, atau babi.
Cepat-cepat saya susul, atau terpaksa terus memalingkan muka. Namun tampang memelas mereka tidak seberapa dibanding kontradiksi yang menyerang saya: saya iba, tapi lewat industri makanan, saya masih membunuhi mereka. Hingga kini rasa iba itu tidak hilang. Namun kontradiksi itu lenyap sudah. Dan saya merasakan kebebasan. Sebulan belakangan ini saya juga menyadari sesuatu, daerah rambahan saya di supermarket menjadi lebih sempit. Saya akan berjalan melewati jajaran panjang aneka daging segar, mengabaikan rak-rak berisi sosis, kornet, dan hanya mampir di bagian sayur, buah, serta rak pendingin tempatnya tahu dan tempe.
Kadang saya menoleh ke belakang, melihat banyaknya pilihan yang saya lewati, dan lucunya, saya justru merasa lebih bebas. Berapa banyak pilihan yang sebenarnya sanggup kita tangani? Sering juga saya renungi itu. Ketika seseorang memiliki enam mobil, dua ratus potong baju, lima puluh sepatu, adakah itu membebaskan? Saya selalu merasa ada batas tegas antara butuh dan koleksi. Ketika batas kebutuhan dilampaui hingga memasuki tahap koleksi, maka angka berapapun tak akan pernah cukup. Ketika makanan bukan lagi sarana untuk keberlangsungan hidup, tapi ajang koleksi kenikmatan indrawi, seluruh hewan di Bumi tidak akan pernah cukup.
Refleks kita pasti menangkis 'apa salahnya?', 'kalau ada uangnya kenapa tidak?'. Percayalah, saya pun masih menyimpan refleks yang sama. Gen primordial kita sebagai ras yang pernah berjuang antara hidup dan mati demi tidak kelaparan akan selalu mendorong kita untuk sebanyak-banyaknya menumpuk lemak dan protein. Adalah tantangan untuk mengubah refleks primordial dengan sistem akal budi berbasiskan realitas baru, bahwa dunia hari ini sudah punya cukup teknologi untuk kita bisa bergizi tanpa membunuh hewan secara massal, dan dunia hari ini mengalami krisis karena banyak manusia sibuk menggemukkan hewan ternaknya dan lupa bahwa manusia lain kelaparan, bahwa dibutuhkan sepuluh kilo tumbuhan bergizi untuk menghasilkan satu kilo daging. Amati kehidupan kita sendiri: apakah pola konsumsi kita masih dalam koridor butuh, atau sudah koleksi? Setelah itu, barulah lihat kehidupan sekitar kita, dan simpulkan dengan akal sehat: apakah masih etis untuk menerapkan pola koleksi? Jika tidak, sesuatu pasti bisa kita upayakan untuk mengurangi berlebihnya pilihan, membiarkan mereka yang betulan terbatas untuk melangsungkan hidup dengan jumlah pilihan yang layak. Jumlah yang perlu kita bagi. Di sebuah food court dengan puluhan stand, saya memilih satu: stand nasi pecel dan gado-gado. Teman saya berkomentar: 'Kasihan kamu, makannya cuma bisa itu.' Padahal, meski pesan menu lain, ia juga sama-sama makan satu piring. Jika ada food haven yang menyediakan ribuan stand sekalipun, setiap pengunjung pada akhirnya memilih satu. Malamnya, ketika iseng buka-buka kamus Bahasa Latin (salah satu hobi saya memang mengoprek kamus), saya menemukan sebuah frase: Vegetus libertas. Artinya, hidup yang menguatkan budi.
Saya jadi teringat makan siang tadi. Di food court itu, tanpa disadari, saya telah bertemu kebebasan dalam pembatasan. Hidup yang berbudi ternyata dapat dihikmati melalui sepiring nasi pecel.