Menyibak Aku Melalui Kamu
Cerpen Dewi Lestari
Lebih dari setahun yang lalu, saya pernah membuat sebuah tulisan berjudul "Brunch and Lunch With God" di blog saya. Di sana, saya menggunakan personifikasi Lucky Luke, tokoh komik berprofesi koboi pengelana, yang tak pernah menetap di satu tempat, dan tak mengikatkan diri pada apa pun. Dalam penelusuran spiritual, seringkali (jika tidak selalu) saya merasa seperti Lucky Luke, Sang Lonesome Cowboy, berkuda sendirian menghadap matahari terbenam.
Ketika akhirnya memutuskan ikut retreat Enlightenment Intensive yang diadakan di Ubud tanggal 3-5 Agustus 2007 lalu, saya pun melenggang seperti seorang Lucky Luke, sendirian dan tanpa pengharapan. Dalam tiga hari ke depan kala itu, enambelas peserta akan menjalankan satu metode bernama Dyad (berasal dari bahasa Latin yang berarti 'dua'). Fasilitator kami, Jack Wexler (Zyoah), sudah berpuluh tahun menjalankan metode ini, dan bahkan mengembangkannya ke berbagai format. Metode yang pertama kali digagas oleh seorang spiritualis bernama Charles Berner ini pada dasarnya adalah kontemplasi mendalam terhadap koan Zen yang didesain sedemikian rupa agar jerat logika pikiran dapat tertransendensi. Bedanya, jika seseorang lazimnya memecahkan koan Zen dengan bermeditasi diam berhari-hari, dalam Dyad koan tersebut digarap oleh dua orang sekaligus dalam bentuk mendengar dan mengungkap. Mendengar dan mengungkap berbeda dengan bertanya dan menjawab.
Dyad bukanlah percakapan. Meski pertanyaan tetap digunakan sebagai pancing, si penanya tidak mengharap jawaban, ia berperan sebagai cermin bagi pasangan Dyad-nya. Cermin sempurna tidaklah bereaksi, tidak mengevaluasi, tidak menjustifikasi, tapi hanya menawarkan keberadaannya secara total. Demikian pula dengan yang ditanya, ia tidak diharap memberi jawaban, melainkan mengungkap apa pun dalam medan kesadarannya yang terpancing oleh koan tersebut, baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Berbekal kail tunggal "tell me who you are", satu putaran Dyad berlangsung selama 40 menit. Dalam satu putarannya, seseorang mendapat giliran empat kali menjadi pendengar, dan empat kali menjadi pengungkap.
Ketika akhirnya memutuskan ikut retreat Enlightenment Intensive yang diadakan di Ubud tanggal 3-5 Agustus 2007 lalu, saya pun melenggang seperti seorang Lucky Luke, sendirian dan tanpa pengharapan. Dalam tiga hari ke depan kala itu, enambelas peserta akan menjalankan satu metode bernama Dyad (berasal dari bahasa Latin yang berarti 'dua'). Fasilitator kami, Jack Wexler (Zyoah), sudah berpuluh tahun menjalankan metode ini, dan bahkan mengembangkannya ke berbagai format. Metode yang pertama kali digagas oleh seorang spiritualis bernama Charles Berner ini pada dasarnya adalah kontemplasi mendalam terhadap koan Zen yang didesain sedemikian rupa agar jerat logika pikiran dapat tertransendensi. Bedanya, jika seseorang lazimnya memecahkan koan Zen dengan bermeditasi diam berhari-hari, dalam Dyad koan tersebut digarap oleh dua orang sekaligus dalam bentuk mendengar dan mengungkap. Mendengar dan mengungkap berbeda dengan bertanya dan menjawab.
Dyad bukanlah percakapan. Meski pertanyaan tetap digunakan sebagai pancing, si penanya tidak mengharap jawaban, ia berperan sebagai cermin bagi pasangan Dyad-nya. Cermin sempurna tidaklah bereaksi, tidak mengevaluasi, tidak menjustifikasi, tapi hanya menawarkan keberadaannya secara total. Demikian pula dengan yang ditanya, ia tidak diharap memberi jawaban, melainkan mengungkap apa pun dalam medan kesadarannya yang terpancing oleh koan tersebut, baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Berbekal kail tunggal "tell me who you are", satu putaran Dyad berlangsung selama 40 menit. Dalam satu putarannya, seseorang mendapat giliran empat kali menjadi pendengar, dan empat kali menjadi pengungkap.
Jujur, awalnya saya tidak bisa membayangkan bagaimana momen pencerahan atau satori dapat terjadi dengan 'kebisingan' komunikasi ini. Belum lagi luberan audio dari kanan-kiri, karena kami melakukan Dyad ini bersama-sama dalam satu ruangan. Sekilas pintas, saya melihatnya seperti ajang curhat massal, di mana terdapat enam belas orang psikiater dadakan yang merelakan kupingnya selama tiga hari ke depan untuk menampung curhat dan sampah batin orang lain, sekaligus mengambil giliran jadi pasien sekaligus. Namun ketika dijalankan, saya mulai menemukan banyak pengalaman menarik. Setiap pasangan ternyata menghadirkan dinamika yang berbeda-beda dan tak terduga-duga. Terkadang kami tertawa bersama, bahkan bernyanyi bersama, atau malah bisu bersama. Dan jika kita membuka diri secara total pada keberadaan seseorang, ternyata setiap dari kita memancarkan kecantikan dan keindahan yang luar biasa, terlepas dari penilaian fisik yang berlaku umum di masyarakat. Selama Dyad, tak jarang saya hanya menangis, mengagumi kesempurnaan yang terhampar melalui partner saya, dan membuat saya merenung: jangan-jangan di dunia ini tidak ada yang sesungguhnya tidak indah, hanya kita yang tak pernah memberikan perhatian penuh sehingga keindahan itu kerap luput.
Proses Dyad juga bisa menjadi perjuangan yang melelahkan. Saat pikiran dan batin kita benar-benar dikuras, saat kita jenuh setengah mati dengan kegiatan mengungkap dan mendengar, durasi lima menit bisa serasa lima jam. Jangan tanya berapa kali saya berkeinginan untuk mencelat keluar ruangan, atau berencana membuat perhitungan dengan sahabat saya yang menawarkan retreat ini. Kalimat "tell me who you are" bisa terdengar seperti hukuman. Hari terakhir. Retreat akan selesai beberapa jam lagi. Seusai istirahat siang, saya berjalan kembali ke ruangan dengan satu kegelisahan: dalam tiga hari ini, saya menyadari begitu banyak mutiara yang telah saya dapat, tapi si 'itu' yang saya cari sepertinya belum ketemu, sementara batin dan benak ini rasanya sudah kehabisan bahan. Kosong. Tak ada lagi yang ingin diungkap. Tak ada lagi yang ingin dibagi. Duduklah saya di hadapan partner saya siang itu.
Sungguh tak tahu harus beraksi apa lagi. Tiga dari empat kali lima menit saya habiskan dengan tertawa terpingkal-pingkal. Sejadi-jadinya. 'Kekosongan' itu mendadak terasa lucu luar biasa. Pada giliran terakhir, tawa saya mereda dan sesuatu merambat naik ke medan kesadaran, bertepatan dengan suara kokok ayam jantan dari kejauhan. Dan terjadilah... pada saat yang paling tak diduga, pada momen yang sungguh tak ditunggu, kokok ayam itu membangunkan saya dari mimpi; dari belitan realitas yang disusun oleh pikiran dan interior mental saya. Dengan mata terbuka, saya menyadari apa yang selama ini ada bersama dengan saya tapi tak disadari keberadaannya.
Dan saya mencari 'itu' persis seperti ikan dalam akuarium yang mencari-cari air. Sama halnya dengan hampir semua pengalaman meditasi, bahwa kata-kata hanyalah penunjuk dan bukan realitas yang sesungguhnya, maka deskripsi atas pengalaman tadi amat sangat susah diungkapkan, jika memang tak mungkin. Barangkali kalau saya bercerita bahwa sesudah momen itu saya jadi melihat warna-warni aura, atau terbang menembus awan, kisah ini akan lebih dramatis dan meyakinkan.
Sayangnya bukan itu yang terjadi. Yang terjadi adalah sejenak lepasnya ego, yakni konsep 'aku' yang dibentuk oleh persepsi, ruang, dan waktu. Sejenak, 'Dewi Lestari' berhenti menjadi pusat, melainkan objek dalam medan kesadaran itu sendiri. Segala perasaan, kenangan, dan buah pikiran tidak lagi menjadi properti eksklusif si 'aku'. Yang tercipta adalah sebuah kesadaran egaliter, inklusif, dan bukan semata-mata kesadaran versinya 'Dewi Lestari'. Jika dalam semua Dyad sebelumnya saya masih 'bercerita', pada momen itu saya berhenti 'menceritakan', berhenti 'mendeskripsikan', melainkan berintegrasi langsung dengan kenyataan yang berjalan momen demi momen. Koan "tell me who you are" kali ini dijawab bukan oleh saya, melainkan oleh kokok ayam, kicau burung, kepak kupu-kupu yang melintas, desir angin, dan apa pun yang melintas dalam medan kesadaran... apa adanya. Si 'aku' tak lagi menjadi perintang, dan tak lagi mencoba menjembatani.
Proses Dyad juga bisa menjadi perjuangan yang melelahkan. Saat pikiran dan batin kita benar-benar dikuras, saat kita jenuh setengah mati dengan kegiatan mengungkap dan mendengar, durasi lima menit bisa serasa lima jam. Jangan tanya berapa kali saya berkeinginan untuk mencelat keluar ruangan, atau berencana membuat perhitungan dengan sahabat saya yang menawarkan retreat ini. Kalimat "tell me who you are" bisa terdengar seperti hukuman. Hari terakhir. Retreat akan selesai beberapa jam lagi. Seusai istirahat siang, saya berjalan kembali ke ruangan dengan satu kegelisahan: dalam tiga hari ini, saya menyadari begitu banyak mutiara yang telah saya dapat, tapi si 'itu' yang saya cari sepertinya belum ketemu, sementara batin dan benak ini rasanya sudah kehabisan bahan. Kosong. Tak ada lagi yang ingin diungkap. Tak ada lagi yang ingin dibagi. Duduklah saya di hadapan partner saya siang itu.
Sungguh tak tahu harus beraksi apa lagi. Tiga dari empat kali lima menit saya habiskan dengan tertawa terpingkal-pingkal. Sejadi-jadinya. 'Kekosongan' itu mendadak terasa lucu luar biasa. Pada giliran terakhir, tawa saya mereda dan sesuatu merambat naik ke medan kesadaran, bertepatan dengan suara kokok ayam jantan dari kejauhan. Dan terjadilah... pada saat yang paling tak diduga, pada momen yang sungguh tak ditunggu, kokok ayam itu membangunkan saya dari mimpi; dari belitan realitas yang disusun oleh pikiran dan interior mental saya. Dengan mata terbuka, saya menyadari apa yang selama ini ada bersama dengan saya tapi tak disadari keberadaannya.
Dan saya mencari 'itu' persis seperti ikan dalam akuarium yang mencari-cari air. Sama halnya dengan hampir semua pengalaman meditasi, bahwa kata-kata hanyalah penunjuk dan bukan realitas yang sesungguhnya, maka deskripsi atas pengalaman tadi amat sangat susah diungkapkan, jika memang tak mungkin. Barangkali kalau saya bercerita bahwa sesudah momen itu saya jadi melihat warna-warni aura, atau terbang menembus awan, kisah ini akan lebih dramatis dan meyakinkan.
Sayangnya bukan itu yang terjadi. Yang terjadi adalah sejenak lepasnya ego, yakni konsep 'aku' yang dibentuk oleh persepsi, ruang, dan waktu. Sejenak, 'Dewi Lestari' berhenti menjadi pusat, melainkan objek dalam medan kesadaran itu sendiri. Segala perasaan, kenangan, dan buah pikiran tidak lagi menjadi properti eksklusif si 'aku'. Yang tercipta adalah sebuah kesadaran egaliter, inklusif, dan bukan semata-mata kesadaran versinya 'Dewi Lestari'. Jika dalam semua Dyad sebelumnya saya masih 'bercerita', pada momen itu saya berhenti 'menceritakan', berhenti 'mendeskripsikan', melainkan berintegrasi langsung dengan kenyataan yang berjalan momen demi momen. Koan "tell me who you are" kali ini dijawab bukan oleh saya, melainkan oleh kokok ayam, kicau burung, kepak kupu-kupu yang melintas, desir angin, dan apa pun yang melintas dalam medan kesadaran... apa adanya. Si 'aku' tak lagi menjadi perintang, dan tak lagi mencoba menjembatani.
Masih ada dua kali Dyad sore itu. Dan dalam sesi Dyad yang terakhir, barulah saya temukan cara paling mendekati untuk mengungkap 'itu'. Saya memohon izin pada pasangan saya untuk menggenggam tangannya, lalu meletakkannya di atas degup jantung saya. Kapankah jantung kita berada di masa lalu atau di masa depan? Satu kali pun tak pernah. Ia bahkan takkan sanggup untuk itu. Jantung kita mendegupkan hidupnya selalu di saat ini. Kita tak mampu memutar balik degup jantung kita yang lewat, atau memproyeksikan degup jantung kita di waktu yang akan datang. Dan di sanalah 'itu' ada.
Dalam saat ini. Tak satu pun kata mampu meringkusnya. Dyad selama tiga hari dua malam di Ubud menjadi pengalaman yang unik, karena tidak hanya saya mengalami momen satori tersebut dalam kondisi mata terbuka, tapi juga dengan seorang pasangan. Bukan dalam gelap dan kesendirian. Dan barangkali itu jugalah satu sisi yang saya luput dari profil Lucky Luke. Selama ini saya melihat dia sendirian, padahal tidak. Lucky Luke berkelana di atas pelana Jolly Jumper.
Dan dibutuhkan kesadaran yang egaliter dan inklusif untuk mampu melihat signifikansi peran Jolly Jumper dalam perjalanan koboi soliter itu. Lucky Luke dalam analogi ini melambangkan figur 'aku' sebagai pusat yang eksklusif, dan semua selain 'aku' menjadi fenomena sekunder. Namun ketika dominasi 'aku' mereda, kesadaran pun mengembang, merangkul semua, dan tak ada lagi hierarki primer-sekunder. Jolly Jumper bertransendensi sebagai pasangan yang bergandeng tangan dengan sang koboi, bukan lagi figuran. Bukan pula semata kebetulan jika salah satu sahabat yang saya profilkan dalam artikel "Brunch and Lunch with God" menjadi pasangan Dyad saya terakhir di Ubud. Kehadirannya melengkapkan kesimpulan saya bahwa penelusuran spiritual ini tidak sesendirian yang saya duga.
Dalam dinamika kehidupan kita, semua manusia dan makhluk berperan sebagai kail pancing untuk menemukan kesejatian itu, tak terkecuali ayam jago yang kokoknya ikut 'membangunkan' saya yang sampai retreat selesai pun tidak bisa saya alokasi keberadaannya, namun sungguh saya rasakan kehadirannya. Andai ayam itu bisa saya temukan, saya ingin membungkuk, berterima kasih dan berkata: melalui kamu, aku menyibak 'aku'. Sebagaimana saya membungkuk dan berterima kasih pada semua partner Dyad saya, Zyoah, dan langit biru Ubud.
Dalam saat ini. Tak satu pun kata mampu meringkusnya. Dyad selama tiga hari dua malam di Ubud menjadi pengalaman yang unik, karena tidak hanya saya mengalami momen satori tersebut dalam kondisi mata terbuka, tapi juga dengan seorang pasangan. Bukan dalam gelap dan kesendirian. Dan barangkali itu jugalah satu sisi yang saya luput dari profil Lucky Luke. Selama ini saya melihat dia sendirian, padahal tidak. Lucky Luke berkelana di atas pelana Jolly Jumper.
Dan dibutuhkan kesadaran yang egaliter dan inklusif untuk mampu melihat signifikansi peran Jolly Jumper dalam perjalanan koboi soliter itu. Lucky Luke dalam analogi ini melambangkan figur 'aku' sebagai pusat yang eksklusif, dan semua selain 'aku' menjadi fenomena sekunder. Namun ketika dominasi 'aku' mereda, kesadaran pun mengembang, merangkul semua, dan tak ada lagi hierarki primer-sekunder. Jolly Jumper bertransendensi sebagai pasangan yang bergandeng tangan dengan sang koboi, bukan lagi figuran. Bukan pula semata kebetulan jika salah satu sahabat yang saya profilkan dalam artikel "Brunch and Lunch with God" menjadi pasangan Dyad saya terakhir di Ubud. Kehadirannya melengkapkan kesimpulan saya bahwa penelusuran spiritual ini tidak sesendirian yang saya duga.
Dalam dinamika kehidupan kita, semua manusia dan makhluk berperan sebagai kail pancing untuk menemukan kesejatian itu, tak terkecuali ayam jago yang kokoknya ikut 'membangunkan' saya yang sampai retreat selesai pun tidak bisa saya alokasi keberadaannya, namun sungguh saya rasakan kehadirannya. Andai ayam itu bisa saya temukan, saya ingin membungkuk, berterima kasih dan berkata: melalui kamu, aku menyibak 'aku'. Sebagaimana saya membungkuk dan berterima kasih pada semua partner Dyad saya, Zyoah, dan langit biru Ubud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar