Karya Dyah Indra Mertawirana
Kupanggil ia ibu. Perempuan yang menyimpan kesunyian benih-benih padi, membajak petak-petak sawah, dan menyiangi lini-lini rumput di tiap ruas. Selalu riang ia dengan lagu-lagu ketika kaki-kakinya menapak pematang. Angin bahkan menebarkan suaranya mengisi seluruh petak sawah yang menghampar. Di dalam bakul yang ia gendong, ada nasi dengan lauk teri dan sambal pedas yang akan meruapkan liur jika siang datang. Ia membungkusnya sendiri ketika embun masih menggumpal di ujung daun. Lalu sesampai di sawah, ia akan jinjingkan jariknya kemudian mencelupkan kedua kakinya ke dalam lumpur yang kelak akan mengikat kehidupan anak dan cucunya.
Ia membajak sendiri. Baron, kerbau dungu, selalu ia menyebut-nyebut nama hewan itu jika kesal. Kerbau yang diantar oleh seorang tukang angon, si bocah lelaki kecil. Ia mengikat leher Baron pada luku dan membunyikan cambuknya. Maka mulailah ia membajak dan bercakap-cakap dengan Baron seolah ia bercakap-cakap dengan suaminya sampai tanah-tanah itu tersingkap kemudian ditebarnya kompos beserta tahi Baron ke situ. Hingga setiap sawah di kampung ini, suatu hari, dipenuhi oleh perempuan, sebab setiap lelaki turun gunung membangun kota dengan tangan-tangan mereka dan pulang menjelang larut atau kadang sampai berbulan-bulan. Ia, perempuan yang kupanggil ibu itu adalah perempuan yang membunuh birahinya terhadap Rahwana juga Rama. Kelak itu yang aku tahu ketika aku tumbuh dewasa.
Senja, ibu akan pulang bersama Baron ke rumah. Lalu aku akan menurunkan tumpukan jerami untuk santap malam Baron. Kemudian ibu akan segera membakar sebagian tahi Baron untuk menghangatkan tubuh kami dan mengusir nyamuk-nyamuk. Baron tidur di kandangnya yang terletak di samping kiri rumah kami. Dan jika kenyang ia akan melenguh lalu tertidur. Suatu hari aku tak akan lagi jumpai semua itu, dan itu ternyata yang paling aku rindu.
Lelaki di kampung ini telah pergi. Ayahku juga. Tapi ayahku sungguh baik hati. Pernah ketika libur datang, ayah membawa oleh-oleh pupuk dari kota, katanya, supaya ibu tak terlalu sibuk di sawah. Juga bibit-bibit yang cantik. Lalu pernah lagi ketika pulang ayahku membawa televisi. Benda bertabung yang bisa menyala itu, aih lucu sekali menurutku. Bagaimana orang bisa muat berada di dalam tabung sekecil itu. Tak perlu lagi pergi ke sawah, tontonlah telenovela dan berdandanlah seperti bintang film, begitu katanya pada ibu. Lalu aku diberinya jadwal khusus untuk melihat sinetron, siapa tahu rezekimu datang dan kau bisa jadi bintang hingga tak perlu lagi tinggal di kampung, begitu ayahku bilang. Tapi, ah!
Kota masih sesuatu yang asing yang mendengung-dengung di telingaku dari antena radio dan televisi yang pertama kali singgah bertamu di rumah kami. Ke mana ibu yang selalu terbangun oleh kluruk ayam jantan Lik Bawuk dan langsung menyalakan tungku kemudian menjerang air. Ke mana ibu yang mencuci beras di pancuran dekat bilik belakang rumah. Ke mana ibu yang mengenakan jarik dijinjing dan dengan sigap menyiangi rumput-rumput yang mengejar padi. Ke mana ibu yang selalu ajarkan alif ba ta jika selepas magrib. Ke mana ibu yang membenahi selimutku sebelum akhirnya ia juga lelap.
Pagi dini aku sudah mulai membaca. Dan koran-koran mulai berdatangan ke rumahku menebar apa saja. Televisi di rumah kami juga tak berhenti menyiarkan iklan. Maka kebiasaan ibuku mulai berubah. Maka ibuku mulai suka pergi berbelanja ke pasar-pasar. Tapi barang-barang itu tak ditemuinya di pasar. Hingga suatu hari tumbuh mall dan jalan-jalan besar di kampung kami, menepikan sawah, padang tempat domba-domba kami merumput, juga rumah-rumah. Sementara pasar-pasar menjadi semakin kumuh dan tenggelam di sudut rumah. Maka pergilah ibuku ke mall dan berbelanja di sana sampai berjam-jam. Ia jadi lupa jika padi kami harus disiangi. Juga lupa tentang nasi yang ditinggalkannya telah mengerak. Ah, ibu, keluhku. Lalu setiap ibu akan pergi selalu ia berpesan padaku, jangan lupa tebarkan pupuk-pupuk yang dibawa ayahmu. Ingat takarannya. Angkat jemuran dan tanakan nasi. Jangan lupa buat sambal terasi untuk ayahmu jika ia pulang.
Kami tak lagi sibuk menyiangi padi. Padi kami tumbuh lebih setia, tak rewel seperti ibu yang semakin hari semakin asyik memadukan warna lipstik dan baju juga sepatunya buat kondangan ke tetangga seberang rumah. Tapi entah, kenapa lama-kelamaan pupuk itu harus selalu kami beli. Juga ibu yang semakin jarang di rumah. Ibu yang tak lagi memiliki cerita dan dongeng masa lalu untukku, ah kuno, cobalah gaya hidup yang lebih modern, begitu katanya padaku. Ayah membelikan aku koleksi play stasion, sementara ibu membelikanku boneka barbie. Aku tak lagi main engklek atau dakocan. Tak ada kawan. Kami sibuk memperlihatkan apa yang kami miliki, memamerkan satu dengan yang lain dan jika tak memiliki apa yang dimiliki yang lain maka ketika pulang akan merengek lagi.
Zaman telah berubah, jangan ketinggalan. Kau harus lebih sering menonton televisi dan mengikuti perkembangan. Jangan kita dibilang kampungan. Itu memalukan, kata ibu padaku ketika kami makan malam.
Tapi aku lebih suka menatap sawah. Hingga pupuk semakin mahal dan rumah kami tergenang oleh genangan got yang mampat dari sampah pasar yang meruapkan bau tak karuan. Aku lebih suka desau ilalang dan bau tanah yang terguyur hujan. Juga kerlip bintang pari yang kadang timbul tenggelam.
Sampai suatu malam, ibu tak pulang dan ayah tak menceritakan ke mana ibu pergi. Pun aku tak tahu di mana ibu sekarang. Aku hanya berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga semakin hari sawah kami tumbuh semakin menyempit. Entah apa sebab. Ketika ibu menyuruh menjualnya, aku protes. Satu-satunya yang bisa aku nikmati di sini hanya sawah itu. Sebab itu, ibu tak pulang berhari-hari. Tapi aku masih berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga Baron pergi dari kandangnya dan digantikan motor baru. Tapi motor ini tak bisa membajak sawah, pikirku. Dan aku cuma bisa diam selama kami masih baik-baik saja. Ya, kami tetap baik-baik saja.
Musim bediding datang hampir merontokkan gigiku, kembang-kembang mangga banyak yang rontok dan yang tersisa akan menjadi buah masak. Dingin yang menusuk sumsum nyaris tak bisa membuatku tidur. Sebab tahi Baron tak lagi menghangatkan rumah kami. Ayah lupa membeli penghangat ruangan, besok katanya. Aku beranjak ke kamar ibu untuk mengambil jarik, barangkali bisa sedikit memberi hangat untuk selimut, menurutku.
Aku membuka lemari ibu, memilah-milah lipatan tumpukan baju, tapi aku hanya menemukan lembaran kutang dan celana dalam. Akhirnya aku membongkar hingga ke laci-lacinya, tetap tak ada. Aku mencoba mencari di pelosok kamar ibu barangkali ia menyimpan jarik dan kebayanya di tempat lain selain di lemari. Tapi tak juga ada. Beberapa majalah tergeletak sembarangan, sedang di depan cermin berderak kosmetik ibu. Barangkali ibu menjualnya ke tukang loak entah kapan, ketika kutanya ke Lik Kaseno tukang loak yang biasa lewat di depan rumah kami dan sesekali menjajakan barang rongsokan yang masih sedikit bisa dipakai dari rumah ke rumah-- esok harinya, lelaki itu tak tahu-menahu dan bilang ibu tak pernah menjual loakan apa pun kepadanya. Lalu barangkali ibu memberikannya ke kerabat, sebab aku rasa benda itu keramat, maka kutanya ke beberapa nama dan alamat tanpa rasa malu, tapi tak juga kutemu. Karena kesal aku malam itu tak pulang dan berjalan mengelilingi kota yang mulai tumbuh di kampungku. Lampu-lampu nyaris menubruk bola mataku. Kunang-kunang yang tadinya selalu kutangkap dan kuintip di tangkupan kedua tanganku seolah lenyap tertimbun lampu-lampu yang tak bisa kutangkup. Sesampainya di simpang, di sebuah warung abang kulihat ayah tengah menenggak bir bintang dan memegang kartu as. Aku biarkan saja, barang sekali dua tak apalah untuk mengaso. Di mana ibu, malam-malam begini. Meski aku masih berpikir bahwa ibuku akan baik-baik saja. Sampailah aku di dekat sebuah hotel dan kulihat ibu berdiri di samping pintu gerbangnya. Tersenyum ke setiap lelaki yang lewat di depannya sambil sesekali memegang tangan mereka. Lipstik ibu sungguh tebal seperti ketika sedang menghadiri kondangan di kampung, waktu dulu dan terakhir tiga hari yang silam di tempat Mr John yang kata ibu adalah teman dekatnya. Entah kapan kenal dengannya, sebab sejak dulu di kampungku tak ada yang dipanggil Mister. Aku melihatnya, ibu digandeng seorang lelaki ke dalam hotel itu. Dan aku masih meyakini ibuku akan baik-baik saja.
Besok malamnya aku kembali mengikuti ke mana ibu pergi. Jelang pagi kulihat ibu kenakan jarik dan kemben itu. Ah, lega rasanya. Ternyata ibu masih menyimpannya dan membawa kemana pun ia pergi, aku sedikit riang. Tapi baju keramat itu tak lagi dipakainya menyiangi rumput di sawah kami. Di situ, di antara para lelaki dan sedikit perempuan ibuku menari hingga akhirnya tel****ng dan menjelma sawah yang bisa dibajak dan disiangi siapa saja. Dan ibu tak lagi meluku. Juga ayahku tak ada di situ. Bahkan aku yang ada di situ di salah satu sudut ruang yang temaram dari sebuah pub hanya diam. Barangkali juga ayahku. Sebab tak pernah ada pertengkaran di rumah kami. Hingga aku yakin ibuku baik-baik saja. Esok pagi kami masih bersitatap di rumah meski kulihat kemudian ia tertidur dan aku yang membereskan semua pekerjaan di dapur. Pernah aku masih berpikir untuk mencuri jarik dan kebaya itu dari ibu. Sebab aku ingin sekali memakainya, nanti, ketika menikah dengan sedikit harap masih bisa menemukan sepetak sawah dan menganai padi-padinya. Tapi tak ada lagi yang kumiliki. Hanya kenangan tentang ayah, ibu, sawah hijauku, akar-akar juga Baron, kerbauku.
Sebab keesokan harinya ketika aku bangun tak ada lagi pupuk, sebab ayah telah menjual sawah itu. Juga Baron yang telah pergi lebih dulu, dijual ibu. Dan akhirnya, kami bermetamorfosa seperti kupu-kupu.
Kupanggil ia ibu. Perempuan yang menyimpan kesunyian benih-benih padi, membajak petak-petak sawah, dan menyiangi lini-lini rumput di tiap ruas. Selalu riang ia dengan lagu-lagu ketika kaki-kakinya menapak pematang. Angin bahkan menebarkan suaranya mengisi seluruh petak sawah yang menghampar. Di dalam bakul yang ia gendong, ada nasi dengan lauk teri dan sambal pedas yang akan meruapkan liur jika siang datang. Ia membungkusnya sendiri ketika embun masih menggumpal di ujung daun. Lalu sesampai di sawah, ia akan jinjingkan jariknya kemudian mencelupkan kedua kakinya ke dalam lumpur yang kelak akan mengikat kehidupan anak dan cucunya.
Ia membajak sendiri. Baron, kerbau dungu, selalu ia menyebut-nyebut nama hewan itu jika kesal. Kerbau yang diantar oleh seorang tukang angon, si bocah lelaki kecil. Ia mengikat leher Baron pada luku dan membunyikan cambuknya. Maka mulailah ia membajak dan bercakap-cakap dengan Baron seolah ia bercakap-cakap dengan suaminya sampai tanah-tanah itu tersingkap kemudian ditebarnya kompos beserta tahi Baron ke situ. Hingga setiap sawah di kampung ini, suatu hari, dipenuhi oleh perempuan, sebab setiap lelaki turun gunung membangun kota dengan tangan-tangan mereka dan pulang menjelang larut atau kadang sampai berbulan-bulan. Ia, perempuan yang kupanggil ibu itu adalah perempuan yang membunuh birahinya terhadap Rahwana juga Rama. Kelak itu yang aku tahu ketika aku tumbuh dewasa.
Senja, ibu akan pulang bersama Baron ke rumah. Lalu aku akan menurunkan tumpukan jerami untuk santap malam Baron. Kemudian ibu akan segera membakar sebagian tahi Baron untuk menghangatkan tubuh kami dan mengusir nyamuk-nyamuk. Baron tidur di kandangnya yang terletak di samping kiri rumah kami. Dan jika kenyang ia akan melenguh lalu tertidur. Suatu hari aku tak akan lagi jumpai semua itu, dan itu ternyata yang paling aku rindu.
Lelaki di kampung ini telah pergi. Ayahku juga. Tapi ayahku sungguh baik hati. Pernah ketika libur datang, ayah membawa oleh-oleh pupuk dari kota, katanya, supaya ibu tak terlalu sibuk di sawah. Juga bibit-bibit yang cantik. Lalu pernah lagi ketika pulang ayahku membawa televisi. Benda bertabung yang bisa menyala itu, aih lucu sekali menurutku. Bagaimana orang bisa muat berada di dalam tabung sekecil itu. Tak perlu lagi pergi ke sawah, tontonlah telenovela dan berdandanlah seperti bintang film, begitu katanya pada ibu. Lalu aku diberinya jadwal khusus untuk melihat sinetron, siapa tahu rezekimu datang dan kau bisa jadi bintang hingga tak perlu lagi tinggal di kampung, begitu ayahku bilang. Tapi, ah!
Kota masih sesuatu yang asing yang mendengung-dengung di telingaku dari antena radio dan televisi yang pertama kali singgah bertamu di rumah kami. Ke mana ibu yang selalu terbangun oleh kluruk ayam jantan Lik Bawuk dan langsung menyalakan tungku kemudian menjerang air. Ke mana ibu yang mencuci beras di pancuran dekat bilik belakang rumah. Ke mana ibu yang mengenakan jarik dijinjing dan dengan sigap menyiangi rumput-rumput yang mengejar padi. Ke mana ibu yang selalu ajarkan alif ba ta jika selepas magrib. Ke mana ibu yang membenahi selimutku sebelum akhirnya ia juga lelap.
Pagi dini aku sudah mulai membaca. Dan koran-koran mulai berdatangan ke rumahku menebar apa saja. Televisi di rumah kami juga tak berhenti menyiarkan iklan. Maka kebiasaan ibuku mulai berubah. Maka ibuku mulai suka pergi berbelanja ke pasar-pasar. Tapi barang-barang itu tak ditemuinya di pasar. Hingga suatu hari tumbuh mall dan jalan-jalan besar di kampung kami, menepikan sawah, padang tempat domba-domba kami merumput, juga rumah-rumah. Sementara pasar-pasar menjadi semakin kumuh dan tenggelam di sudut rumah. Maka pergilah ibuku ke mall dan berbelanja di sana sampai berjam-jam. Ia jadi lupa jika padi kami harus disiangi. Juga lupa tentang nasi yang ditinggalkannya telah mengerak. Ah, ibu, keluhku. Lalu setiap ibu akan pergi selalu ia berpesan padaku, jangan lupa tebarkan pupuk-pupuk yang dibawa ayahmu. Ingat takarannya. Angkat jemuran dan tanakan nasi. Jangan lupa buat sambal terasi untuk ayahmu jika ia pulang.
Kami tak lagi sibuk menyiangi padi. Padi kami tumbuh lebih setia, tak rewel seperti ibu yang semakin hari semakin asyik memadukan warna lipstik dan baju juga sepatunya buat kondangan ke tetangga seberang rumah. Tapi entah, kenapa lama-kelamaan pupuk itu harus selalu kami beli. Juga ibu yang semakin jarang di rumah. Ibu yang tak lagi memiliki cerita dan dongeng masa lalu untukku, ah kuno, cobalah gaya hidup yang lebih modern, begitu katanya padaku. Ayah membelikan aku koleksi play stasion, sementara ibu membelikanku boneka barbie. Aku tak lagi main engklek atau dakocan. Tak ada kawan. Kami sibuk memperlihatkan apa yang kami miliki, memamerkan satu dengan yang lain dan jika tak memiliki apa yang dimiliki yang lain maka ketika pulang akan merengek lagi.
Zaman telah berubah, jangan ketinggalan. Kau harus lebih sering menonton televisi dan mengikuti perkembangan. Jangan kita dibilang kampungan. Itu memalukan, kata ibu padaku ketika kami makan malam.
Tapi aku lebih suka menatap sawah. Hingga pupuk semakin mahal dan rumah kami tergenang oleh genangan got yang mampat dari sampah pasar yang meruapkan bau tak karuan. Aku lebih suka desau ilalang dan bau tanah yang terguyur hujan. Juga kerlip bintang pari yang kadang timbul tenggelam.
Sampai suatu malam, ibu tak pulang dan ayah tak menceritakan ke mana ibu pergi. Pun aku tak tahu di mana ibu sekarang. Aku hanya berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga semakin hari sawah kami tumbuh semakin menyempit. Entah apa sebab. Ketika ibu menyuruh menjualnya, aku protes. Satu-satunya yang bisa aku nikmati di sini hanya sawah itu. Sebab itu, ibu tak pulang berhari-hari. Tapi aku masih berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga Baron pergi dari kandangnya dan digantikan motor baru. Tapi motor ini tak bisa membajak sawah, pikirku. Dan aku cuma bisa diam selama kami masih baik-baik saja. Ya, kami tetap baik-baik saja.
Musim bediding datang hampir merontokkan gigiku, kembang-kembang mangga banyak yang rontok dan yang tersisa akan menjadi buah masak. Dingin yang menusuk sumsum nyaris tak bisa membuatku tidur. Sebab tahi Baron tak lagi menghangatkan rumah kami. Ayah lupa membeli penghangat ruangan, besok katanya. Aku beranjak ke kamar ibu untuk mengambil jarik, barangkali bisa sedikit memberi hangat untuk selimut, menurutku.
Aku membuka lemari ibu, memilah-milah lipatan tumpukan baju, tapi aku hanya menemukan lembaran kutang dan celana dalam. Akhirnya aku membongkar hingga ke laci-lacinya, tetap tak ada. Aku mencoba mencari di pelosok kamar ibu barangkali ia menyimpan jarik dan kebayanya di tempat lain selain di lemari. Tapi tak juga ada. Beberapa majalah tergeletak sembarangan, sedang di depan cermin berderak kosmetik ibu. Barangkali ibu menjualnya ke tukang loak entah kapan, ketika kutanya ke Lik Kaseno tukang loak yang biasa lewat di depan rumah kami dan sesekali menjajakan barang rongsokan yang masih sedikit bisa dipakai dari rumah ke rumah-- esok harinya, lelaki itu tak tahu-menahu dan bilang ibu tak pernah menjual loakan apa pun kepadanya. Lalu barangkali ibu memberikannya ke kerabat, sebab aku rasa benda itu keramat, maka kutanya ke beberapa nama dan alamat tanpa rasa malu, tapi tak juga kutemu. Karena kesal aku malam itu tak pulang dan berjalan mengelilingi kota yang mulai tumbuh di kampungku. Lampu-lampu nyaris menubruk bola mataku. Kunang-kunang yang tadinya selalu kutangkap dan kuintip di tangkupan kedua tanganku seolah lenyap tertimbun lampu-lampu yang tak bisa kutangkup. Sesampainya di simpang, di sebuah warung abang kulihat ayah tengah menenggak bir bintang dan memegang kartu as. Aku biarkan saja, barang sekali dua tak apalah untuk mengaso. Di mana ibu, malam-malam begini. Meski aku masih berpikir bahwa ibuku akan baik-baik saja. Sampailah aku di dekat sebuah hotel dan kulihat ibu berdiri di samping pintu gerbangnya. Tersenyum ke setiap lelaki yang lewat di depannya sambil sesekali memegang tangan mereka. Lipstik ibu sungguh tebal seperti ketika sedang menghadiri kondangan di kampung, waktu dulu dan terakhir tiga hari yang silam di tempat Mr John yang kata ibu adalah teman dekatnya. Entah kapan kenal dengannya, sebab sejak dulu di kampungku tak ada yang dipanggil Mister. Aku melihatnya, ibu digandeng seorang lelaki ke dalam hotel itu. Dan aku masih meyakini ibuku akan baik-baik saja.
Besok malamnya aku kembali mengikuti ke mana ibu pergi. Jelang pagi kulihat ibu kenakan jarik dan kemben itu. Ah, lega rasanya. Ternyata ibu masih menyimpannya dan membawa kemana pun ia pergi, aku sedikit riang. Tapi baju keramat itu tak lagi dipakainya menyiangi rumput di sawah kami. Di situ, di antara para lelaki dan sedikit perempuan ibuku menari hingga akhirnya tel****ng dan menjelma sawah yang bisa dibajak dan disiangi siapa saja. Dan ibu tak lagi meluku. Juga ayahku tak ada di situ. Bahkan aku yang ada di situ di salah satu sudut ruang yang temaram dari sebuah pub hanya diam. Barangkali juga ayahku. Sebab tak pernah ada pertengkaran di rumah kami. Hingga aku yakin ibuku baik-baik saja. Esok pagi kami masih bersitatap di rumah meski kulihat kemudian ia tertidur dan aku yang membereskan semua pekerjaan di dapur. Pernah aku masih berpikir untuk mencuri jarik dan kebaya itu dari ibu. Sebab aku ingin sekali memakainya, nanti, ketika menikah dengan sedikit harap masih bisa menemukan sepetak sawah dan menganai padi-padinya. Tapi tak ada lagi yang kumiliki. Hanya kenangan tentang ayah, ibu, sawah hijauku, akar-akar juga Baron, kerbauku.
Sebab keesokan harinya ketika aku bangun tak ada lagi pupuk, sebab ayah telah menjual sawah itu. Juga Baron yang telah pergi lebih dulu, dijual ibu. Dan akhirnya, kami bermetamorfosa seperti kupu-kupu.
Bandar Lampung, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar