Senin, 25 Juli 2011

Cerpen Guruji Karya Dewi Lestari

Guruji
Cerpen Dewi Lestari
Ada yang janggal dari wajahmu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Jejak cambangmu yang kehijauan setelah habis bercukur. Itu aneh. Kulitmu bening bersemu merah seperti bayi, bibirmu merah berkilap seperti dioles gincu, dan kacamata itu hadir sedemikian rupa membuatmu seperti anak baru lulus sekolah dasar. Kamu tak seharusnya memiliki cambang. Aku yang lebih pantas. Tapi hidup terkadang buta menentukan siapa yang layak dan tidak. Kamu selalu membuatku merasa kurang perempuan. Ada yang mengganjalku sejak dulu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Dulu aku menduga kamu banci. Kamu terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Berbicara denganmu mengundang sampah hatiku untuk muntah keluar. Sesama perempuan dengan mudah menjadi pencahar rahasia dan gelisahku. Tapi tidak pernah laki-laki. Kamu menelanjangiku tanpa penawar rasa malu.

Dan kendati aku ingin menempel padamu seperti benalu, mengisap balik rahasia dan gelisahmu, satu kali pun belum pernah aku menuai sesuatu. Ketenanganmu, kendalimu atas intonasi dan gejolak emosi, membuatku merasa kurang adab. Kurang manusia. Dari baris-baris kalimatku tadi, aku memilih sepotong yang terakhir. Kutuliskan pada kertas yang tadi dibagikan dan sekarang sudah harus dikumpulkan. Tercetak di sana dengan tulisan komputer: Apa pendapat Anda tentang Guruji? Lalu terteralah tulisan tanganku: Kurang manusia. Di pojok kanan bawah, tercetak kembali tulisan komputer: Tidak usah menuliskan identitas. Seusai pelatihan Emotional Healing yang merupakan sesi terakhir pelatihan sepekan ini, Guruji dan anak buahnya membaca hasil angket tadi, dan sesuai prediksiku, mereka tahu itu aku.

Bisik-bisik dan tatapan tidak terima merajami dari kiri-kanan saat aku berjalan melewati muridmurid senior Guruji. Mereka, yang sudah duluan menjadi pelatih dan kelak mewarisi padepokan ini. Statusku masih trainee. Dan sepertinya akan mentok sampai di situ. Berbeda dengan mereka, Guruji menyambutku dengan tatapan hangat, bersahabat, penuh kasih. Sebagaimana ia menatapku bulan kemarin, kemarin lusa, atau lima menit yang lalu. 'Ari. Silakan masuk. Tolong pintunya ditutup,' katanya dengan ritme bicara seperti lagu ninabobo. Anggun, ia melepaskan kacamata minusnya, meletakkannya di meja. Guruji, tidakkah kamu merasa aneh? Nama kita sama. Tapi kamu laki-laki, aku perempuan. 'Barangkali tujuan kamu baru tercapai kalau diberi kesempatan untuk bicara langsung,' lanjutnya lagi. 'Bicara tentang apa?' 'Tentang saya. Tentang kamu. Tentang kita.' Nadanya meninggi di ujung-ujung kata, seolah-olah ia bertanya. Begitulah caranya memindahkan bola. Membuatku menjadi pihak yang seolah-olah menginginkan pertemuan ini. Refleks aku menoleh lagi ke pintu, memastikannya benar-benar tertutup. 'Ari Guruj Ari... ini tidak wajar! Untuk memanggilmu saja aku bingung!' hardikku langsung. 'Kamu boleh panggil aku apa saja. Aku tidak akan bingung.

Selama hati kamu yang memanggil, aku akan tahu siapa yang dimaksud.' Refleks berikutnya, tanganku terangkat, menahan banjiran kalimat bijaknya. 'Stop. Stop! Mari kita sama-sama menjadi Ari yang biasa, oke?' 'Memangnya ada yang kamu lihat tidak biasa?' Ingin kucengkeram kerah bajunya, kuguncang-guncang hingga kepalanya membentur-bentur tembok seperti berlatih bola basket, dan kuteriakkan ini: aku kangen. Manusia yang paling kau rindu ada di hadapanmu dan tetap tak kau temukan apa yang kau cari. Tidakkah itu membuat siapapun ingin gila? Tiga tahun yang lalu aku masih bisa mencengkeram bajunya, kadang kutanggalkan dengan sopan, kadang brutal. Tergantung besaran dan jenis energi yang hinggap, katanya menganalisa. Dan kami berdua selalu berkomitmen untuk pasrah dan manut terhadap apapun yang kami rasa. Ari memang bukan manusia standar.

Aku tahu itu sejak pertama kali kami bertemu, menyebutkan nama masing-masing, lalu tertawa berdua. Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, bersama kami tenggelam dalam sebuah lautan ingatan, dan dia bergumam, 'Kita pernah bertemu.' Waktu itu, aku tidak terlalu paham maksudnya, tapi kuputuskan untuk ikut arus, dan kubalas ucapannya dengan: 'Apa kabar? Ke mana saja selama ini?' Kami tidak berpisah sedetik pun sesudah itu, dia bahkan bermalam di rumahku. Ari melihat-lihat dan membolak-balik koleksi bukuku, dari mulai teknik melihat aura hingga perjalanan astral. Ia memainkan kartu-kartu Tarotku yang beraneka ragam, dari mulai Tarot malaikat sampai vampir. Ia memperhatikan dengan saksama bagaimana caraku melipat selimut dan membentangkan seprai di atas sofa untuknya tidur. Lagi, ia bergumam, 'Kamu nyaris tidak berubah.

Aku benar-benar pulang ke rumah.' Dan malam itu dia tidak jadi tidur di sofa. Sofa kastanya tamu, dan Ari bukan tamu. Dia penghuni rumah. Dia penghuni hatiku. Hanya saja dibutuhkan seperempat abad untuk ruang dan waktu mewujudkannya. Ari selalu tertarik pada penyembuhan, di bidang itulah permatanya berkilau gemilang. Tangannya yang lentik dan halus telah mengubah hidup banyak orang. Hanya masalah waktu dia menjadi Ari yang sekarang. Sang Guruji. Dia bahkan mengubah namanya dengan bahasa Sansakerta yang tak bisa kuingat dan kuucap dengan baik.

 Dulu, kami dikenal dengan sebutan Duo Plasenta. Ari-Ari. Yang satu menyembuhkan, yang satu merecoki. Dan mereka, para pemuja Ari si penyembuh, yang penampilannya santun-santun dan religius, memandang jengah kadang iri padaku, perempuan aneh bergaya Gypsy yang disayang Ari lebih dari apapun dan siapapun. Kalau jawara Gunung Kawi jimatnya gelang akar bahar, maka jimat Ari adalah aku. Jadi jangan pernah meremehkan penggembira yang satu ini, cibirku dalam hati. Hingga tibalah momen yang mereka semua harapkan. Manusia tak ayal berevolusi, dan hidup ini tak pelak mengubah kanal alirannya jika memang sudah waktunya.

Dan Ari melakukan itu dengan tiba-tiba, seketika. Hari itu hari cinta, Valentine's Day, dan aku dapat order baca Tarot selama dua hari di luar kota. Saat aku pulang, Ari sudah tidak ada. Tak ada satu pun barangnya yang tertinggal, ia mengemas semuanya rapi. Plasentaku, jiwaku yang terbelah, pergi tanpa pesan selain beberapa helai anak rambutnya yang menyisa di bantal. Keterhubungan kami sudah sampai pada level telepatik. Ari selalu percaya aku mampu tahu isi hatinya tanpa perlu komunikasi verbal. Ia lupa, mengetahui tidak selalu berarti paham dan sepakat. Aku tak pernah memahami apalagi setuju atas kepergiannya. Dan lantas ia mengharapkanku rela? Let go, let flow, katanya satu hari, saat bertemu tak sengaja di restoran vegetarian langganan kami. Tanpa bisa menjelaskan lebih rinci. Saat itu, aku makan sendirian dengan baju hitam-hitam. Dia ditemani lima belas orang berbaju putih yang semua wajahnya bercahaya akibat rutin meditasi. Inilah misteri yang perlu kujawab, yang menjadi motor penggerak hidupku setiap hari sejak Ari pergi: apakah kerelaan bisa lahir tanpa adanya perkawinan lebih dulu antara memahami dan menyepakati? Ari berubah menjadi hantu dalam rumahku, hantu dalam hatiku. Semua tentangnya kudapat dari tangan kedua; cerita orang-orang, artikel majalah, carikan surat kabar. Semua tentangnya tiba padaku dalam bentuk rekaman dan bayangan.

Mengikuti pelatihan di padepokannya adalah perjudianku yang terakhir. Upaya maksimalku untuk menjawab teka-teki yang ia tinggalkan bersama helaian anak rambut di bantal. Sungguh aku tidak peduli apa yang kupelajari seminggu ini. Aku hanya ingin mencari Ari, plasentaku, dalam wujud manusia yang mereka sebut Guruji.

Setiap malam dalam sepekan ini aku pulang dalam tangis tak terkendali. Ari sepertinya memang sudah tidak ada. Manusia kurang manusia bergelar Guruji itu bukan dia. Jadi, haruskah kerelaan ini kulahirkan paksa tanpa adanya benih pemahaman yang lebur bersama kesepakatan? Bagaimana mungkin hidup bisa begitu tidak alamiah? Setiap malam aku mengeluarkan sehelai plastik dari laci meja riasku dan bertanya-tanya, kapankah bisa kulepaskan benda itu ke tempat sampah? Anak rambutnya, yang kukumpulkan dengan pinset dan kusimpan setahun lebih sudah. Bagian nyata dari Ari yang kini punah. 'Apa yang kamu inginkan dari aku, Ari?' Guruji bertanya layaknya pada anak yang memelas minta mainan. Aku mencoba bertelepati, dan rasanya seperti menabrak dinding. Aku terus mencoba, dan mencoba, hingga mataku berkaca-kaca. Bahkan ketenangannya meluruhkan kemampuanku bicara. Siapa kamu? Siapa kamu? Aku berteriak-teriak dalam hati. Airmata mulai berlinangan di pipiku. Kembali aku menangis tanpa isak, hanya banjiran air yang dipompa mata tanpa bisa distop.

Bedanya, kini aku menangis tidak hanya bertemankan plastik berisi rambut, melainkan di hadapan si empunya rambut yang sudah menggunduli kepalanya licin seperti biksu. Dia, yang dulu sebulan sekali creambath di salon, kini tak lagi menyentuhkan tangannya untuk bersalaman. Guruji yang sejak tadi menatapku dengan datar mulai mengerdip, beberapa detik ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Hatiku seketika melonjak, dan tanpa berpikir kurengkuh wajahnya, kupelototi kedua matanya, 'Ari? Apakah itu kamu?' Sesaat kutemukan gejolak yang kukenal. Sesaat kutemukan jejak emosi. Sesaat dia kembali menjadi cerminku. Namun seperti badai yang reda seketika oleh tongkat ajaib, cepat ia kembali tersenyum tipis, dan dengan gerakan tenang terkendali melepaskan tanganku yang menangkupi wajahnya. 'Ari... lepaskan saya seperti saya melepaskan kamu. Hanya dengan begitu kamu tidak pernah kehilangan saya. Kamu tidak pernah kehilangan apapun,' ucapnya setengah membisik. 'Aku cuma ingin tahu, mana Ari? Apa kabar dia? Ke mana saja selama ini?' balasku, tersengal. Isak itu mulai menyusul hadir. Tangisku melengkap. 'Bahkan sedetik yang lalu pun kita bukan manusia yang sama,' jawabnya, tapi mata itu menatap ruang kosong di balik punggungku. Kami terdiam. Lama.

Hanya isakanku dan embusan napas panjang teraturnya yang menghidupkan ruangan itu. Perlahan kusadari sesuatu, inilah perpisahan yang kucari. Utang karma kami yang belum lunas. Hantu yang mengejar-ngejarku setahun lebih. Aku hanya ingin mengucap selamat tinggal pada belahan jiwaku yang telah menemukan keutuhannya dalam dirinya sendiri. Aku dan rumahku adalah persinggahan yang harus ia tempuh, tapi bukan untuk ia miliki. Kakiku pun bergeser, beringsut hendak meninggalkannya. Misteri ini kuanggap usai. Tak ada lagi detektif pengintai. Kamu bebas, Ari, Guruji, siapapun namamu. Kamu bebas. Namun tangan halus itu tiba-tiba menahanku. 'Kamu punya lima menit untuk melakukan apapun yang kamu mau,' ia berkata. Aku terenyak. Air muka itu... sorot matanya... seperti air bah yang menelanku tiba-tiba. Ari yang kucari ternyata masih ada. Berlindung di balik topeng Guruji. Atau justru Ari-kah topeng yang barusan dikenakannya lagi agar urusan kami tuntas? Rinduku yang sudah mengerontang bagai Sahara tahu-tahu dibalas dengan limpahan air Niagara. Aku betulan tidak siap. Tubuhku terkunci. 'Apapun... kamu bisa melakukan apapun....' bisiknya lagi. Seketika tanganku melayang, mengambil sebuah bantal yang terhampar mengelilingi kami, dan aku mulai memukulinya. Bertubi-tubi. Ari tersungkur, tak melawan, tak melindungi diri.

Tanganku terus melayang memukulkan bantal, sekuat tenaga, sekuat segala perasaan yang tersisa, sekuat hantunya yang bercokol di rumah serta hatiku dan sekarang kuusir pergi. Tangan kiriku menyambar satu lagi bantal dan kupuli dia dengan kedua tangan. Habis-habisan. Ia terlentang tak berdaya di lantai kayu beralas tikar, pasrah menerima setiap pukulanku. Dan terus kuhujani dia tanpa jeda, tanpa ampun, hingga lenganku tiba-tiba berhenti. Tubuhku mengisyaratkan  cukup. Terengah dan tersengal aku bangkit berdiri. Ari perlahan juga bangkit, merapikan kemeja linennya yang kusut bukan kepalang, dan ia mulai kembali bersila dengan posisi lotus. Pipinya basah. Beberapa butir airmata masih tersembul dari pelupuknya. Badannya gemetar. 'Guruji,' aku menunduk dan memberikan salam namaste. Ia membalas dengan gerakan serupa. Lalu tangannya membentang, menunjuk pintu, menyilakanku keluar. Pintu membuka. Kulewati mereka yang kini menatapku dengan lebih takjub lagi.

Mataku yang merah sisa menangis, rambutku yang acak-acakan, bajuku kusut masai, tapi ada ketenangan yang tak tertandingi siapa pun sore itu. Tak juga Guruji. Semua ini hanya topeng yang dipakai dan ditanggalkan kapan saja kita mau. Kumusnahkan kedok kami barusan. Kuhancurkan hingga berkeping-keping. Ari dan Ari dan Guruji. Dan kini aku kembali menjadi aku, siapapun itu, aku tak tahu. Aku hidup. Aku utuh. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar