AMA YANG BEGITU MENCINTAI BUNGAN KAMBOJA
Cerpen Achmad Munjid
Ama terlahir tidak untuk meminta. Bibirnya selalu tersenyum. Tapi matanya berkaca-kaca. Pikirannya yang gelisah tak pernah henti bertanya. Adakah hidup adalah bunga Kamboja? Tumbuh suci dalam sepi, menghias kematian yang datang menghampiri. Ia tak mengerti, mengapa hanya kesunyian yang setia menemani. Ia bertanya, tapi ayahnya begitu tenggelam di antara untaian doa dan buku-buku tua. Ia bertanya, tapi ibunya terlampau letih di tengah ladang yang kerontang, menanam setiap harapan untuknya. Tinggallah Ama yang bermain sendiri, merangkai manik-manik air mata yang berderai lepas di pangkuannya. Dan di antara batu-batu nisan, pohon bunga Kamboja itulah yang senantiasa mendekap dan mengusap-usapnya mesra.
"Kenapa orang mati tak bisa bicara?" si Ama kecil bertanya.
"Supaya mereka tidak perlu bertengkar berebut sorga," sang Kamboja menghapus butiran tangis yang meleleh di kedua pipinya.
"Kapan bulan akan mengunjungi kita?"
"Kelak, kalau kamu sudah tumbuh jadi gadis dewasa."
"Tapi, aku takut pada kenangan."
Pohon Kamboja meluruhkan lagi beberapa kuntum bunga di atas kepalanya. Kini Ama pun tersenyum, menyematkan salah satu di antara jepit rambutnya.
"Lihat, kamu secantik senja."
Ama tersipu, merona.
"Kenangan hanyalah bayangan. Ia hadir untuk mempertegas sumber cahaya. Kamu tidak perlu takut. Kegelapanlah yang selalu mengintai dan hendak menerkam kita tiba-tiba."
Si Ama menelungkupkan wajahnya dalam pelukan sang Kamboja.
"Nah, hari sudah mulai petang. Sekarang, pulanglah kamu, Ama. Kudengar doa-doa ayahmu mulai merayapi udara. Dari ladang, ibumu pun tentu segera tiba. Jangan khawatir, nanti akan kukirim setangkai bunga Kamboja yang berkelopak jingga."
"Betul?"
"Ya, akan kukirim untukmu, bersama seorang pangeran sangat tampan yang selalu berkelana menaiki kuda."
"Betulkah?"
"Ya, dalam mimpi."
Ama bergegas menuruni lereng, mengikut bayangan sendiri yang melompat ringan di atas rumputan dan batuan. Capung dan kelelawar bersilewatan, membekaskan sapuan-sapuan temaram di atas garis cakrawala yang melintang remang. Menuju suatu arah, seekor burung terbang menepi. Kepak dan cericitannya yang resah melecut sepi, mengiris langit di atas kepala Ama yang melengkung sunyi. Sepertiku, mungkin ia juga bertanya mengapa malam selalu datang begini tergesa, membuat hati cemas dan pikiran rawan, batin Ama sembari mempercepat langkah kakinya.
Jika hidup adalah bentangan cerita, bagi Ama tak ada yang lebih membahagiakan selain mempercakapkannya dengan bunga Kamboja. Setiap ia terpana oleh pendaran warna baju-baju temannya yang baru dibeli dari kota, oleh kisah-kisah megah perjalanan mereka, juga mainan ajaib aneka rupa yang takkan pernah dimilikinya, begitu saja ia menghambur sedih ke dalam dekapan sang Kamboja. Darinya ia pun segera mendengar segala dongeng purba tentang kehilangan dan luka yang penuh makna. Tentang petaka, tentang penantian, tentang risau, juga harapan yang takkan sia-sia. Berkat kesabaraan bunga Kamboja, Ama lancar pula melantunkan requiem-requiem dan serenada yang kini selalu disenandungkannya perlahan setiap malam sebelum ia terlena. Agar, lewat mimpi, sahabatnya itu tak sampai lupa mengiriminya setangkai bunga Kamboja berkelopak jingga yang diantar sang pangeran berkuda.
Suatu hari, selagi ia asyik bercerita pada bunga Kamboja tentang permusuhan ular dan burung angsa, ibunya datang menyergapnya dengan berlinang air mata. Di belakangnya, ia lihat orang-orang bergerombolan, berdiri membeku. Diam seperti batang-batang pohon pisang yang ditanam tanpa rencana. Setiap kepala tertunduk, mengitari sebuah lubang yang menganga terbuka. Yang tentu telah digali oleh tangan-tangan teramat perkasa, mungkin hingga dasar kedalaman. Ia diberi tahu bahwa yang ada di dalam tandu itu adalah ayahnya yang telah menyempurnakan segala doa dari segenap buku-buku tua. Ia menurut saja, ketika ibunya memapahnya untuk memberi salam terakhir kali pada tandu yang mengusung ayahnya itu. Sebenarnya, ingin ia berjingkrak kegirangan ketika melihat tandu ayahnya juga dihias bunga-bunga Kamboja aneka warna. Tapi, seseorang segera menarik tangan kecilnya menjauh sementara tandu itu mulai diturunkan dari pundak para pemanggulnya. Ia bertanya, tapi semua orang segera merapat mendekati lubang. Ama pun tidak bisa melihat apa-apa selain tanah yang hitam, kaki-kaki yang hitam, tatapan mata yang menghindar dan kelam. Didengarnya kemudian mulut-mulut mereka bergumam menggeremang, menggemakan suara kengerian yang merendap, yang mendesak keluar dari balik setiap dada.
"Apakah ayah masih akan tetap mendoakanku dari dasar lubang itu sepanjang malam?" Ama bertanya hampir putus asa.
"Tentu, Ama. Karena itu, kamu juga mesti berdoa untuknya," ibunya mendekapnya teramat erat.
"Aku akan meminta kepada pohon Kamboja supaya setiap malam ayah juga dikirimi bunga berkelopak jingga yang diantar oleh seorang pangeran berkuda."
Ibunya menangis, orang-orang menangis. Ama tertegun, dan ia pun menangis.
Tapi Ama tak sempat bersedih terlalu lama. Belaian bunga Kamboja yang setia telah membuatnya lupa tentang ayahnya. Sementara ibunya memang tidak lagi berurai air mata, tapi lidahnya tak pernah pula tersentuh kata. Kesunyian begitu penuh mengisi segenap sudut rumah Ama, menyesap setiap makna semata ke dalam dirinya. Beruntunglah bunga Kamboja tak pernah kehabisan cerita. Dan itulah mengapa Ama segera menghambur ke tengah kuburan menemui sahabatnya begitu matahari pagi membangunkannya. Ia hanya pulang ketika hari petang, saat sang pangeran berkuda yang mengantar bunga Kamboja berkelopak jingga sebentar lagi tiba dalam mimpinya.
Telah disusunnya setiap tangkai bunga yang selama ini diterimanya menjadi sebentuk karangan. Ia akan mengalungkannya pada sang pangeran saat pengelana berkuda itu kelak datang membawakan bulan yang dipetik khusus untuknya. Setiap kali bertemu, ingin sekali Ama bertanya tentang negeri asal pangeran nun jauh di sana. Tentang danau saljunya yang berwarna putih selaka. Tentang rusa-rusa betina yang sehalus sutra bulunya. Tentang para peri yang selalu menari dan berdendang mengikuti petikan harpa. Juga tentang anggur elona yang membuat orang mati akan berdecak lidahnya. Tapi fajar selalu lekas merekah dan membuatnya terkesima. Lalu, Ama pun akan dengan terpaksa kembali merawat rindunya. Kerinduan yang dari hari ke hari kian mekar indah di balik dadanya.
"Ketahuilah, Ama. Sekarang kamu telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Ibu telah semakin renta. Seorang lelaki yang sentosa kini datang meminangmu. Kamu akan hidup bahagia bersamanya," di bawah matahari kemarau yang berkilat-kilat membakar pikiran, ibunya menyeruak dan merenggutnya dari pelukan sang Kamboja. Ama yang terkejut hampir-hampir tak lagi mengenali suara ibunya setelah ia tak pernah mendengarnya entah untuk berapa lama.
"Pulanglah, Ama. Ia datang sebagai wujud belas kasih para dewa. Demi duka yang menggantung sepanjang hayat ayahmu, demi sengsara yang menyelimuti seluruh sejarah hidup ibumu, terimalah karunia tak terkira yang dibawanya dengan hati gembira," ibunya menarik paksa tangan Ama sebelum ia sempat bertanya pada sang Kamboja.
"Tapi mengapa ia tak datang lewat mimpi? Tentu ia tak membawakan aku bunga Kamboja berkelopak jingga. Apalagi bulan yang purnama. Apakah mungkin ia adalah pangeranku yang selalu berkelana menaiki kuda?"
Tapi suara ibunya terlanjur lenyap untuk terakhir kalinya. Tinggal sorot matanya yang lelah menerawang, tersaput kesedihan yang tak hendak membersitkan isyarat maupun tanda apa-apa bagi pertanyaan Ama.
Ama memang terlahir tidak untuk meminta. Ia pun berlutut diam di depan bukannya seorang pangeran berkuda, melainkan burisrawa berbaju pedanda. Ialah makhluk berkepala putih-kelabu yang hanya tahu tuak dan bait-bait mantra. Seorang lelaki yang tega begitu rupa menghalau seluruh khayal menakjubkan dari kepala Ama. Oleh sentakan tangan si burisrawa kini berguguranlah serta-merta setiap kelopak jingga bunga Kamboja dari rangkaian yang telah disusun Ama sekian lama.
Mata Ama kian berkaca-kaca. Si burisrawa-pedanda bukan cuma meminta, ia menuntut segalanya. Ia hanya mau, Ama selalu tertawa ria, entah sembari menggendong pagi, menyunggi matahari, dan terutama selama gelap menjelma. Bagi Ama, siang kini adalah hamparan ara-ara membara yang tak seorang pun pernah melihat tepiannya, tanpa tempat bernaung meski sebentar untuknya. Malam adalah lorong-lorong gelap teramat panjang tanpa ada kelip pelita yang sanggup menyala. Kian tertatih kaki Ama mencari, kian tak tahu hendak ke mana ia pergi. Sedang di belakang, telah lama hilang jalan Ama untuk kembali. Seperti tangis bayi di tengah senyap semesta, lolong perih Ama menggelepar tanpa pernah menyentuh telinga siapa pun juga. Rintihannya berluruhan, tersekap di balik lipatan-lipatan hampa bahkan sebelum sempat ia menjadi suara.
Setiap kali hendak bertanya, lidah Ama cuma menancap pada ratusan mata pisau yang berkilap-kilap tersepuh segala mantra si burisrawa. Kucuran darahnya pekat mengalirkan kesaksian, betapa sebagai perempuan ternyata ia adalah sekedar hiasan tentang kerapuhan dan santapan bagi ketakutan yang terus dipelihara atas nama dunia. Dan Ama pun mengerti, betapa laki-laki sebenarnya sama sekali bukanlah pahlawan perkasa. Melainkan, makhluk yang selalu cemas pada kekalahan dengan kepala penuh berjejal prasangka. Ia pun tahu, mengapa si burisrawa sangat membenci bulan. Karena segala tabiat jahat yang disembunyikan di balik jubah pedandanya akan tersingkap sebulatnya saat cahaya purnama. Tapi, tentu saja, yang paling dibenci oleh si burisrawa dari segalanya adalah pertanyaan-pertanyaan Ama.
Setelah entah berapa lama tak lagi bisa bercengkerama dengan bunga-bunga Kamboja, Ama merasa betapa dirinya kini begitu tua. Tubuhnya mengering bertabur luka, jiwanya mengelupas lara. Di balik dadanya terperam beribu-ribu jarum berbisa yang betapa perih terus menusuki segenap relung batinnya. Tapi, seperti dulu juga, bibir Ama selalu tersenyum. Memang ia teramat letih, tapi pikirannya tak hendak berhenti bertanya. Setiap malam, selagi si burisrawa terlelap dalam dengkur, diam-diam kembali disenandungkannya requiem-requiem dan serenada bunga Kamboja, satu-satunya hiburan yang masih tersisa.
Ya, bibir Ama masih selalu tersenyum. Karena, dengan penuh seksama ia sebenarnya telah menata sebuah rencana mulia. Suatu pagi, ia akan meracun si burisrawa yang segera melahap segala yang disodorkan kepadanya tanpa membuka mata. Bangkainya yang berwarna biru toska akan dibaringkannya hati-hati dekat jasad ibunya. Perempuan yang menderita itu telah lebih dulu diselamatkannya dari nestapa tak terperi yang kian menyiksa. Pisau dalam genggaman tangan Ama telah berkelebat melintasi puncak keheningan pada malam sebelumnya, lalu tepat menghunjam jantung ibunya dengan sebuah liukan yang teramat mempesona. Tanpa pekik kesakitan, tanpa tangis penyesalan. Juga tanpa doa-doa usang dari buku-buku tua. Hanya mata Ama yang masih terpejam entah untuk berapa lama, meresapi sisa kenikmatan semburan darah yang tadi begitu hangat mengusap wajahnya. Itulah juga belaian lembut jemari ibunya yang sangat didamba, yang dulu selalu menenteramkan tangis Ama selagi ia masih seorang anak manusia yang belum mengenal apa-apa.
Esoknya Ama akan datang untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada sang Kamboja, sahabatnya, yang telah mengajari bagaimana menghapus rasa takut pada kenangan. Dan bahwa orang mati tak perlu bertengkar memperebutkan sorga. Akan dimintanya sekuntum lagi bunga yang berkelopak jingga, sebagai cinderamata. Lalu, hendak ditunggunya sang pangeran di depan garis cakrawala, saat malam datang menggantikan senja. Ama yang telah sempurna berhias koyak-moyak luka hendak memberikan ciuman perpisahan untuk pangerannya yang selalu berkelana menaiki kuda.
Kini Ama ingin pergi ke mana saja, mengembara hingga ke ujung-ujung dunia. Sendiri, tanpa sang pangeran, tanpa siapa-siapa. Kecuali sekuntum bunga Kamboja yang tersemat sunyi di dadanya. Bergerak perlahan, Ama pun mengendarai angan, di bawah putih cahaya bulan. ***
Yogya-Philadelphia, 25 2001/4
Cerpen Achmad Munjid
Ama terlahir tidak untuk meminta. Bibirnya selalu tersenyum. Tapi matanya berkaca-kaca. Pikirannya yang gelisah tak pernah henti bertanya. Adakah hidup adalah bunga Kamboja? Tumbuh suci dalam sepi, menghias kematian yang datang menghampiri. Ia tak mengerti, mengapa hanya kesunyian yang setia menemani. Ia bertanya, tapi ayahnya begitu tenggelam di antara untaian doa dan buku-buku tua. Ia bertanya, tapi ibunya terlampau letih di tengah ladang yang kerontang, menanam setiap harapan untuknya. Tinggallah Ama yang bermain sendiri, merangkai manik-manik air mata yang berderai lepas di pangkuannya. Dan di antara batu-batu nisan, pohon bunga Kamboja itulah yang senantiasa mendekap dan mengusap-usapnya mesra.
"Kenapa orang mati tak bisa bicara?" si Ama kecil bertanya.
"Supaya mereka tidak perlu bertengkar berebut sorga," sang Kamboja menghapus butiran tangis yang meleleh di kedua pipinya.
"Kapan bulan akan mengunjungi kita?"
"Kelak, kalau kamu sudah tumbuh jadi gadis dewasa."
"Tapi, aku takut pada kenangan."
Pohon Kamboja meluruhkan lagi beberapa kuntum bunga di atas kepalanya. Kini Ama pun tersenyum, menyematkan salah satu di antara jepit rambutnya.
"Lihat, kamu secantik senja."
Ama tersipu, merona.
"Kenangan hanyalah bayangan. Ia hadir untuk mempertegas sumber cahaya. Kamu tidak perlu takut. Kegelapanlah yang selalu mengintai dan hendak menerkam kita tiba-tiba."
Si Ama menelungkupkan wajahnya dalam pelukan sang Kamboja.
"Nah, hari sudah mulai petang. Sekarang, pulanglah kamu, Ama. Kudengar doa-doa ayahmu mulai merayapi udara. Dari ladang, ibumu pun tentu segera tiba. Jangan khawatir, nanti akan kukirim setangkai bunga Kamboja yang berkelopak jingga."
"Betul?"
"Ya, akan kukirim untukmu, bersama seorang pangeran sangat tampan yang selalu berkelana menaiki kuda."
"Betulkah?"
"Ya, dalam mimpi."
Ama bergegas menuruni lereng, mengikut bayangan sendiri yang melompat ringan di atas rumputan dan batuan. Capung dan kelelawar bersilewatan, membekaskan sapuan-sapuan temaram di atas garis cakrawala yang melintang remang. Menuju suatu arah, seekor burung terbang menepi. Kepak dan cericitannya yang resah melecut sepi, mengiris langit di atas kepala Ama yang melengkung sunyi. Sepertiku, mungkin ia juga bertanya mengapa malam selalu datang begini tergesa, membuat hati cemas dan pikiran rawan, batin Ama sembari mempercepat langkah kakinya.
Jika hidup adalah bentangan cerita, bagi Ama tak ada yang lebih membahagiakan selain mempercakapkannya dengan bunga Kamboja. Setiap ia terpana oleh pendaran warna baju-baju temannya yang baru dibeli dari kota, oleh kisah-kisah megah perjalanan mereka, juga mainan ajaib aneka rupa yang takkan pernah dimilikinya, begitu saja ia menghambur sedih ke dalam dekapan sang Kamboja. Darinya ia pun segera mendengar segala dongeng purba tentang kehilangan dan luka yang penuh makna. Tentang petaka, tentang penantian, tentang risau, juga harapan yang takkan sia-sia. Berkat kesabaraan bunga Kamboja, Ama lancar pula melantunkan requiem-requiem dan serenada yang kini selalu disenandungkannya perlahan setiap malam sebelum ia terlena. Agar, lewat mimpi, sahabatnya itu tak sampai lupa mengiriminya setangkai bunga Kamboja berkelopak jingga yang diantar sang pangeran berkuda.
Suatu hari, selagi ia asyik bercerita pada bunga Kamboja tentang permusuhan ular dan burung angsa, ibunya datang menyergapnya dengan berlinang air mata. Di belakangnya, ia lihat orang-orang bergerombolan, berdiri membeku. Diam seperti batang-batang pohon pisang yang ditanam tanpa rencana. Setiap kepala tertunduk, mengitari sebuah lubang yang menganga terbuka. Yang tentu telah digali oleh tangan-tangan teramat perkasa, mungkin hingga dasar kedalaman. Ia diberi tahu bahwa yang ada di dalam tandu itu adalah ayahnya yang telah menyempurnakan segala doa dari segenap buku-buku tua. Ia menurut saja, ketika ibunya memapahnya untuk memberi salam terakhir kali pada tandu yang mengusung ayahnya itu. Sebenarnya, ingin ia berjingkrak kegirangan ketika melihat tandu ayahnya juga dihias bunga-bunga Kamboja aneka warna. Tapi, seseorang segera menarik tangan kecilnya menjauh sementara tandu itu mulai diturunkan dari pundak para pemanggulnya. Ia bertanya, tapi semua orang segera merapat mendekati lubang. Ama pun tidak bisa melihat apa-apa selain tanah yang hitam, kaki-kaki yang hitam, tatapan mata yang menghindar dan kelam. Didengarnya kemudian mulut-mulut mereka bergumam menggeremang, menggemakan suara kengerian yang merendap, yang mendesak keluar dari balik setiap dada.
"Apakah ayah masih akan tetap mendoakanku dari dasar lubang itu sepanjang malam?" Ama bertanya hampir putus asa.
"Tentu, Ama. Karena itu, kamu juga mesti berdoa untuknya," ibunya mendekapnya teramat erat.
"Aku akan meminta kepada pohon Kamboja supaya setiap malam ayah juga dikirimi bunga berkelopak jingga yang diantar oleh seorang pangeran berkuda."
Ibunya menangis, orang-orang menangis. Ama tertegun, dan ia pun menangis.
Tapi Ama tak sempat bersedih terlalu lama. Belaian bunga Kamboja yang setia telah membuatnya lupa tentang ayahnya. Sementara ibunya memang tidak lagi berurai air mata, tapi lidahnya tak pernah pula tersentuh kata. Kesunyian begitu penuh mengisi segenap sudut rumah Ama, menyesap setiap makna semata ke dalam dirinya. Beruntunglah bunga Kamboja tak pernah kehabisan cerita. Dan itulah mengapa Ama segera menghambur ke tengah kuburan menemui sahabatnya begitu matahari pagi membangunkannya. Ia hanya pulang ketika hari petang, saat sang pangeran berkuda yang mengantar bunga Kamboja berkelopak jingga sebentar lagi tiba dalam mimpinya.
Telah disusunnya setiap tangkai bunga yang selama ini diterimanya menjadi sebentuk karangan. Ia akan mengalungkannya pada sang pangeran saat pengelana berkuda itu kelak datang membawakan bulan yang dipetik khusus untuknya. Setiap kali bertemu, ingin sekali Ama bertanya tentang negeri asal pangeran nun jauh di sana. Tentang danau saljunya yang berwarna putih selaka. Tentang rusa-rusa betina yang sehalus sutra bulunya. Tentang para peri yang selalu menari dan berdendang mengikuti petikan harpa. Juga tentang anggur elona yang membuat orang mati akan berdecak lidahnya. Tapi fajar selalu lekas merekah dan membuatnya terkesima. Lalu, Ama pun akan dengan terpaksa kembali merawat rindunya. Kerinduan yang dari hari ke hari kian mekar indah di balik dadanya.
"Ketahuilah, Ama. Sekarang kamu telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Ibu telah semakin renta. Seorang lelaki yang sentosa kini datang meminangmu. Kamu akan hidup bahagia bersamanya," di bawah matahari kemarau yang berkilat-kilat membakar pikiran, ibunya menyeruak dan merenggutnya dari pelukan sang Kamboja. Ama yang terkejut hampir-hampir tak lagi mengenali suara ibunya setelah ia tak pernah mendengarnya entah untuk berapa lama.
"Pulanglah, Ama. Ia datang sebagai wujud belas kasih para dewa. Demi duka yang menggantung sepanjang hayat ayahmu, demi sengsara yang menyelimuti seluruh sejarah hidup ibumu, terimalah karunia tak terkira yang dibawanya dengan hati gembira," ibunya menarik paksa tangan Ama sebelum ia sempat bertanya pada sang Kamboja.
"Tapi mengapa ia tak datang lewat mimpi? Tentu ia tak membawakan aku bunga Kamboja berkelopak jingga. Apalagi bulan yang purnama. Apakah mungkin ia adalah pangeranku yang selalu berkelana menaiki kuda?"
Tapi suara ibunya terlanjur lenyap untuk terakhir kalinya. Tinggal sorot matanya yang lelah menerawang, tersaput kesedihan yang tak hendak membersitkan isyarat maupun tanda apa-apa bagi pertanyaan Ama.
Ama memang terlahir tidak untuk meminta. Ia pun berlutut diam di depan bukannya seorang pangeran berkuda, melainkan burisrawa berbaju pedanda. Ialah makhluk berkepala putih-kelabu yang hanya tahu tuak dan bait-bait mantra. Seorang lelaki yang tega begitu rupa menghalau seluruh khayal menakjubkan dari kepala Ama. Oleh sentakan tangan si burisrawa kini berguguranlah serta-merta setiap kelopak jingga bunga Kamboja dari rangkaian yang telah disusun Ama sekian lama.
Mata Ama kian berkaca-kaca. Si burisrawa-pedanda bukan cuma meminta, ia menuntut segalanya. Ia hanya mau, Ama selalu tertawa ria, entah sembari menggendong pagi, menyunggi matahari, dan terutama selama gelap menjelma. Bagi Ama, siang kini adalah hamparan ara-ara membara yang tak seorang pun pernah melihat tepiannya, tanpa tempat bernaung meski sebentar untuknya. Malam adalah lorong-lorong gelap teramat panjang tanpa ada kelip pelita yang sanggup menyala. Kian tertatih kaki Ama mencari, kian tak tahu hendak ke mana ia pergi. Sedang di belakang, telah lama hilang jalan Ama untuk kembali. Seperti tangis bayi di tengah senyap semesta, lolong perih Ama menggelepar tanpa pernah menyentuh telinga siapa pun juga. Rintihannya berluruhan, tersekap di balik lipatan-lipatan hampa bahkan sebelum sempat ia menjadi suara.
Setiap kali hendak bertanya, lidah Ama cuma menancap pada ratusan mata pisau yang berkilap-kilap tersepuh segala mantra si burisrawa. Kucuran darahnya pekat mengalirkan kesaksian, betapa sebagai perempuan ternyata ia adalah sekedar hiasan tentang kerapuhan dan santapan bagi ketakutan yang terus dipelihara atas nama dunia. Dan Ama pun mengerti, betapa laki-laki sebenarnya sama sekali bukanlah pahlawan perkasa. Melainkan, makhluk yang selalu cemas pada kekalahan dengan kepala penuh berjejal prasangka. Ia pun tahu, mengapa si burisrawa sangat membenci bulan. Karena segala tabiat jahat yang disembunyikan di balik jubah pedandanya akan tersingkap sebulatnya saat cahaya purnama. Tapi, tentu saja, yang paling dibenci oleh si burisrawa dari segalanya adalah pertanyaan-pertanyaan Ama.
Setelah entah berapa lama tak lagi bisa bercengkerama dengan bunga-bunga Kamboja, Ama merasa betapa dirinya kini begitu tua. Tubuhnya mengering bertabur luka, jiwanya mengelupas lara. Di balik dadanya terperam beribu-ribu jarum berbisa yang betapa perih terus menusuki segenap relung batinnya. Tapi, seperti dulu juga, bibir Ama selalu tersenyum. Memang ia teramat letih, tapi pikirannya tak hendak berhenti bertanya. Setiap malam, selagi si burisrawa terlelap dalam dengkur, diam-diam kembali disenandungkannya requiem-requiem dan serenada bunga Kamboja, satu-satunya hiburan yang masih tersisa.
Ya, bibir Ama masih selalu tersenyum. Karena, dengan penuh seksama ia sebenarnya telah menata sebuah rencana mulia. Suatu pagi, ia akan meracun si burisrawa yang segera melahap segala yang disodorkan kepadanya tanpa membuka mata. Bangkainya yang berwarna biru toska akan dibaringkannya hati-hati dekat jasad ibunya. Perempuan yang menderita itu telah lebih dulu diselamatkannya dari nestapa tak terperi yang kian menyiksa. Pisau dalam genggaman tangan Ama telah berkelebat melintasi puncak keheningan pada malam sebelumnya, lalu tepat menghunjam jantung ibunya dengan sebuah liukan yang teramat mempesona. Tanpa pekik kesakitan, tanpa tangis penyesalan. Juga tanpa doa-doa usang dari buku-buku tua. Hanya mata Ama yang masih terpejam entah untuk berapa lama, meresapi sisa kenikmatan semburan darah yang tadi begitu hangat mengusap wajahnya. Itulah juga belaian lembut jemari ibunya yang sangat didamba, yang dulu selalu menenteramkan tangis Ama selagi ia masih seorang anak manusia yang belum mengenal apa-apa.
Esoknya Ama akan datang untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada sang Kamboja, sahabatnya, yang telah mengajari bagaimana menghapus rasa takut pada kenangan. Dan bahwa orang mati tak perlu bertengkar memperebutkan sorga. Akan dimintanya sekuntum lagi bunga yang berkelopak jingga, sebagai cinderamata. Lalu, hendak ditunggunya sang pangeran di depan garis cakrawala, saat malam datang menggantikan senja. Ama yang telah sempurna berhias koyak-moyak luka hendak memberikan ciuman perpisahan untuk pangerannya yang selalu berkelana menaiki kuda.
Kini Ama ingin pergi ke mana saja, mengembara hingga ke ujung-ujung dunia. Sendiri, tanpa sang pangeran, tanpa siapa-siapa. Kecuali sekuntum bunga Kamboja yang tersemat sunyi di dadanya. Bergerak perlahan, Ama pun mengendarai angan, di bawah putih cahaya bulan. ***
Yogya-Philadelphia, 25 2001/4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar