MAWAR TERAKHIR
Karya Annisa Maulidya
Jam masih menunjukan pukul enam tepat, tapi rumah niken sudan terlihat sepi. Hanya Niken dan Bi minah yang tengah menyiapkan sarapan pagi untuk satu-satunya penghuni rumah─yang biasanya terbuang percuma.
Niken tengah terdiam disudut tempat tidurnya sejak lima belas menit yang lalu. Tanganya tidak berhenti memekan-nekan pundaknya yang benar-benar terasa kaku. Diliriknya jam disudut kamar, pukul enam lewat lima menit. Dengan malas diambilnya tas selempang yang hanya berisi dua buku tulis. Langkahnya cepat menuruni anak tangga. Dilewatinya ruang makan tanpa melirik sarapan yang disiapkan Bi Minah, menuju garase.
”Non tidak sarapan dulu?” ucap Bi minah yang tengah menyapu halaman depan
”Nggak bi. Kalau bibi mau, makan aja. Saya nggak laper bi” ucap Niken lemas.
Bi Minah hanya bisa terdiam dan melanjutkan pekerjaanya. Sudah hal yang biasa bila Niken tidak melirik apalagi menyentuh sarapan paginya. Ia tau niken tidak memiliki selera makan bila dirumah.
Dipacunya motor hitam itu melewati jalanan yang masih sepi.
☼ ☼ ☼
Riko terdiam kaget ketika melihat salah satu motor yang terparkir di area parkir gedung B SMA Triutama. Bagaimanapun terasa janggal bagi Riko jika motor itu sudah terparkir disana sepagi ini.
Ia tau persis siapa pemilik motor itu. Niken Satria Andriani. Salah satu murid yang selalu datang tepat waktu—dalam artian yang ”benar-benar” tepat— dan sesuai jadwal, yaitu beberapa detik sebelum gerbang utama ditutup. Biasanya mereka yang tepat waktu inilah yang akan mendapatkan sumpah serapah paling banyak dari siswa lain. Selain karena motor mereka yang masuk dalam salah satu motor yang paling diincar polisi—karena pake knalpot yang bising banget— dan sering bikin kesal siswa lain karena dengan terpaksa mereka harus menghindar dari jalan utama supaya nggak kena tabrak sama mereka-mereka yang biasanya sering ugal-ugalan, ditambah lagi biasanya gerbang akan langsung ditutup sesudah mereka masuk.
Riko berjalan santai menuju kelasnya dilantai dua gedung B. Dilewatinya anak tangga itu satu persatu. Mencoba menikmati udara segar yang masih tersisa pagi ini.
☼ ☼ ☼
Niken duduk terdiam disudut kelasnya. Fokus matanya lemah menatap keluar jendela. Badanya sakit dan pikiranya benar-benar terasa kacau. Lapar diperutnya sama sekali tak dihiraukanya.
Niken masih terdiam saat Riko memasuki ruangan kelas 11 IPA 2 itu. Diletakanya tas selempang yang hanya berisi dua buah buku itu dan langsung dihampirinya sahabat karibnya yang tengah terdiam seperti mayat hidup
”Pagi ken” ucapnya sambil menarik salah satu bangku terdekat dan diletakanya disamping Niken yang masih terdiam tanpa suara. Sepertinya pikiranya sedang tidak ditempat.
”Aw!!” teriaknya kesakitan ”sakit begok!” gerutunya lagi
”Mentang-mentang dapat nilai bagus terus walaupun cabut hampir tiap hari. Gue dibilang begok. Tega banget” Riko cemberut.
”Eeeeh. Elo rik. Gue kira siapa. Sorry-sorry. Jangan ngambek yaaa. Pleasee” niken yang tadi diam kini berubah menjadi lebih bersuara.
“Tau ah. Gue ngambek” riko memalingkan muka dengan senyum geli.
“Ih. Kayak gitu banget lo sama gue? Maaf dong rik. Lo itu yang salah. Badan gue pada sakit semua gara-gara balapan semalam ” gerutunya
”Kok jadi elo yang ngambek? Gue Cuma bercanda aja kok ken. Perasaan biasanya kalau habis balapan lo baik-baik aja deh ken”. Nada heran terdengar dan tergambar jelas diwajah riko. Niklen sudah biasa mengikuti balapan liar, tapi baru kali ini ia mendengar sahabatnya ini sakit hanya karena balapan.
Niken menarik nafas panjang dan menghelanya secara perlahan.
”Semalem gue nggak konsen. Kepeleset, terus jatuh ” jawab niken pelan.
”Nggak konsen? Kok bisa? Biasanya lo semangat banget kalau balapan? Apa lo lagi ada masalah? Jangan bilang kalau lo ribut lagi sama rendra?” Riko melontarkan beberapa pertanyaan dan mencoba menerka jawabanya sendiri. Rasa heran dalam pikiranya semakin tinggi. Bagi Niken, balapan adalah salah satu hobi, bukan tempat pelampiasan rasa frustasi yang selalu menghantui. Penghapus rasa sunyi dan pedih yang selalu menghantui dengan pisau es yang dingin.
”Kok lo tau?” pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Niken.
”Jelaslah.” ucap Riko tandas. ”Nggak mungkin banget kalau masalah lo bersumber dari bokap lo. Kalian berduakan kayak orang yang nggak kenal satu sama lain. Buktinya, lko balapan aja dia nggak peduli. Yang ngejemputin lapor lo pas akhir tahun ajaran aja juga bukan dia.”
”Haha, bener banget. Itu orang nggak pernah peduliin gue” Niken hanya tertawa geli mendengar pernyataan Riko tersebut. Bagaimanapun Niken dan ayahnya memang tidak terlalu dekat—seperti yang dibilang Riko— mereka seperti orang yang tidak kenal satu sama lain. Hal ini sangat berbeda dengan suasana keluarga mereka waktu masih utuh. Ayah Niken sibuk dengan pekerjaanya sebagai direktur salah satu perusahaan swasta ternama di daerah Jakarta Pusat. Sedangkan Niken, dia lebih banyak meghabiskan waktu dengan teman-temanya sesama bomber—sebutan untuk pembuat Grafiti— dan team balapnya.
”Mau cerita masalahnya apa?” tanya Riko santai. Bagaimanapun ia tidak ingin memaksa sahabatnya ini untuk menceritakan semuanya sekarang.
Niken melirik jam ditangan kirinya seiring dengan makin banyak teman sekelasnya yang datang.
”Hmm, kayaknya ntar aja deh rik. Udah rame banget nih” ucap niken lemah.
”Ya udah deh. Terserah lo aja. Gue nggak maksa kok. Betewe nih, lo udah makan belum?”
”Belum sih. Lo gimana?” ucap Niken sembari memegang perutnya yang mulai keroncongan.
”Kok keras banget bunyinya ken?” riko tersenyum geli, membuat wajah Niken menjadi cemberut. ”Semalam lo pasti nggak makan ya? Masih ada lima menit lagi. Makan yuk. Gue yang bayarin.”
”Tumben lo traktir gue? Biasanya gue terus yang traktir lo?” Niken tertawa.
”Sekali-sekali gue yang bayarin kan nggak apa-apa. Ayolah. Lebih cepat, lebih baik. Gue udah laper banget nih.”Riko berjalan meninggalkan Niken menuju kantin.
”Riko... Tungguin gue napa? Jangan main ninggalin gitu deh. Gue juga laper nih” Niken berteriak lengking. Hampir semua murid lain dikelas menutup telinga mereka yang paling dekat dengan sumber suara. Riko tetap berjalan tanpa menoleh kebelakang. Bahkan kini langkahnya lebih cepat dari pada yang tadi. Akhirnya dengan tangan memegang perut, Niken berlari mengejar Riko yang sudah melai menuruni anak tangga.
☼ ☼ ☼
Hari ini kelas 11 IPA 2 benar-benar berbeda dari biasanya. Kelas itu lebih hening dan tentram karena murid yang biasanya membuat kelas itu hingar-bingar, mendadak menjadi diam tanpa suara.
Jam pelajaran pertama dilalui Niken dengan pikiran yang benar-benar kacau. Gelisah dan rasa sesak akan kekecewaan membuat dadanya terasa sakit. Hampir tiap sepuluh menit Niken mengubah pandangannya, dari keluar jendela, kemudian kedepan, keluar jendela lagi, dan begitu seterusnya.
Riko memperhatikan gerak-gerik Niken yang semakin lama semakin aneh dan membuatnya kawatir. Diraihnya ponsel disakunya dan langsung diketiknya sebuah pesan singkat.
Gelisah bngt ken?
Lo baik2 aja kan?
Gue kwatir...
Dikirimnya sms itu keorang yang tidak begitu jauh darinya. Semenit kemudian, sms balasan dari Niken masuk ke ponsel Riko
Gue fine2 aja kok
Nggak ada yg perlu lo kwatirin
Niken menoleh kearah Riko dan tersenyum tipis. Senyum yang mengandung banyak makna.
Sepeluh menit sebelum jam pelajaran kedua berakhir. Wajah Niken masih terlihat kosong. Pikirannya masih melayang entah kemana. Tidak ada setitikpun pelajaran yang ditangkapnya pagi ini. Buku catatannya pun masih sama seperti kemarin, tidak ada tambahan dari materi yang sudah dijelaskan ibu fika yang dicatatnya. Diliriknya jam tangan hitamnya. Kemudian diraihnya ponsel yang berada dilaci meja. Dengan cepat diketiknya sebuah sms.
Riko.. gue mau cabut ni
Lo ikut kagak?
Gue harap sih iya
Ada hal penting yg pengen gue omongin ma elo.
Sms itu mendarat tepat pada ponsel Riko. Niken menoleh kearah riko dengan wajah yang memelas sendu. Rasa segan dan sedih bercampur dihatinya. Dengan berat dianggukanya kepalanya dua kali tanda setuju.
Kita cabut waktu jam istirahat pertama aja
Biasanya jam segitu satpamnya lagi makan
Pagar juga nggak kekunci
Jadi bisa lebih mudah
Riko kembali menganggukan kepalanya dua kali tanda setuju. Walaupun hari ini ia ingin sekali mengikuti pelajaran full sampai sore. Tapi ia sama sekali tak habis hati jika harus membiarkan sahabatnya dalam keterpurukan yang mengerikan seperti saat ini. Yaitu keterpurukan yang telah membuat Niken berubah seratus delapan puluh derajat.
☼ ☼ ☼
Bel istirahat pertama berbunyi nyaring. Membuat puluhan murid mulai berlari meninggalkan kelas dan meuju kantin. Hanya Niken dan Riko yang berjalan menuju area parkir gedung B.
”Mau cabut kemana?” Tanya Riko penasaran.
”Lo ikutin gue aja. Susah kalau neranginya sekarang. Lo nggak bakalan tau.” ucap Niken tandas.
”Oke, terserah lo aja”
Keduanya memacu motor mereka keluar area sekolah dengan hati-hati. Satpam yang biasa berjaga sedang istirahat dikantornya. Niken mengarahkan motornya kearah puncak, diikuti dengan Riko dibelakangnya. Jalanan yang tidak begitu ramai membuat Riko lebih mudah menyesuaikan kecepatan motornya dengan Niken. Walaupun begitu, ada banyak pertanyaan dalam benak Riko yang akan terjawab ketika mereka sampai.
☼ ☼ ☼
Kurang dari waktu tempuh sewajarnya, Niken dan Riko sampai ditempat tujuan mereka. Riko melepas helm yang melindungi kepalanya. Dingin udara gunung segera memeluk tubunhnya.
Dengan bingung Riko mengikuti Niken yang sudah berjalan terlebih dahulu melewati sebuah gapura yang ditutupi tumbuhan merambat. Dirinya benar-benar kaget dengan penataan bentuk dan tata ruang bangunan dibalik gapura itu. Hanya saja tempat ini jelas tidak terawat karena telah lama tidak didatangi pemiliknya.
Niken duduk bersila diatas sebuah pondok dengan fokus mata menatap kearah kolam ikan. Hening. Hanya gemerecik air dan kicau burung yang terdengar mengisi sunyi.
Riko hendak melontarkan pertanyaan kepada Niken, namun langsung diurungkanya niat itu ketika dilihatnya niken pucat pasi. Tubuhnya seperti tidak dialiri darah sama sekali. Fokus matanya pun terlihat begitu kosong dan hampa. Diputuskanya untuk juga diam dan bersila disamping sahabatnya itu.
”Riko. Kalau andai kata selama ini ada hal yang gue tutupin ke elo. Lo marah nggak sama gue?” setelah beberapa menit diam, akhirnya Niken membuka mulutnya.
”Nggak. Gue nggak bakalan marah kok sama lo” jawabnya sambil tersenyum.
”Janji?”
”Janji! Emangnya ada apaan sih ken?” tanya Riko penasaran.
”Gue kanker darah ko” ucap niken lemah. Ada nada perih bercampu ragu terdengar didalamnya. Ada penyesalan dan keinginan agar itu tak pernah terjadi.
”Hah? Kanker darah?“ Riko benar-benar kaget dengan kenyataan itu. ”bercanda lo nggak lucu ken” Riko murung.
”Gue serius banget ko. Gue, Niken Satria Andriani. Menderita Leukimia—Kanker darah— stadium empat.” Ucapnya dengan intonasi yang ditekankan pada bagian tertentu.
Riko terdiam hening. Matanya menatap lekat dan kasihan kepaa sahabatnya ini. Niken bukanlah cewek yang berfisik lemah. Jenis olahraga banyak diikutinya dengan telaten. Nilainyapun termasuk dalam kategori sangat baik. Rengking empat walupun cabut hampir tiap hari dalam seminggu.
”Bokap lo tau?” tanya Riko datar.
Niken tak menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya petanda tidak. Riko merasa bodoh telah melontarkan pertanyaan yang seharusnya ia tau jawabanya apa.
”Yang tabah ya ken” dirangkulnya tubuh Niken. Rasa dingin terasa dibagian tangan yang tersentuh oleh jemari Riko. Niken tersenyum getir. ”Hmm... Ada masalah apa lagi lo sama Rendra?”
Niken menarik nafas panjang. Kemudian dengan mata tetap terfokus pada kolam, dihempuskanya kembali dengan berat dan pelan. Ia berusaha untuk sebisa mungkin rileks.
”Nggak ada, Gue Cuma lagi break aja sama tu anak”
”Kok bisa? Siapa yang mintak?”
”Gue yang mintak rik. Habisnya akhir-akhir ini dia mulai berubah drastis. SMS gue udah jarang dia bales. Kalau telponan pun palingan cuma lima menit. Padahal biasanya bisa sejam. Dua hari yang lalu, gue minjam ponselnya dia, juga nggak dapet sama dia.” jelas Niken dengan nafas yang terdengar berat.
Pertahananya mulai runtuh. Topeng yang selama ini melindunginya tidak mampu menutup retakan kecil yang sudah ada semenjak tadi pagi. Alhasil pertahanan Niken runtuh dan satu air mata mulai jatuh dan menetes kedalam. Riko sadar dengan keadaan temanya dan akhirnya memilih untuk diam.
Lama terdiam didalam pikiran dan emosi masing-masing. Akhirnya Niken memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Riko hanya ikut dengan ajakan Niken, walaupun dirinya kawatir dengan keadaan Niken. Emosional dan pikiranya terlalu kacau untuk bisa membawa motor dijalanan yang mulai padat. Pucat diwajahnya masih belum hilang sedikitpun.
☼ ☼ ☼
Rendra dan Tiva memilih untuk makan siang disebuah cafe dijalan lintas Jakarta-Bogor. Mereka terlihat benar-benar dekat. Bahkan sepertinya lebih dari teman. Mereka PACARAN!!!.
Rendra memilih kursi didepan cafe dibawah pohon peneduh cafe tersebut. Senyum sumringah tercetak diwajah Rendra dan Tiva. Mereka memang sudah saling menyukai semenjak awal bertemu di pesta ulang tahun Rakha. Tapi bagaimanapun, saat itu Rendra adalah pacar Niken—sampai sekarangpun masih— yang notabene adalah temanya.
☼ ☼ ☼
Masih setengah jalan dari Bogor menuju Jakarta, Perut Niken dan Riko sudah merasa keroncongan. Maklum, sudah masuk jam makan siang dan ditambah lagi salah satu hal yang tidak pernah diam jika jadwalnya telambat adalah perut.
Akhirnya mereka berhenti disebuah cafe, yang ternyata bersebrangan dengan cafe temnpat Rendra dan Tiva berada sekarang. Sekilas Riko melihat kalau itu adalah Rendra. Tapi ia masih ragu. Akhirya keraguan itu terhapus ketika Niken melihat mereka berdua tengah asyik bemesraan diseberang sana.
Dengan cepat niken memencet nomor-nomor diponselnya. Membentuk deretan angka yang berjumlah dua belas. Langsung di tekanya tombol call.
☼ ☼ ☼
Ponsel Rendra tiba-tiba berbunyi. Niken Memanggil. Dengan cepat diangkatnya panggilan itu agar Niken tidak curiga. Sungguh itu semua sia-sia.
”Halo ken” ucap Rendra tenang.
”Halo ren. Lo lagi dimana sekarang? Bisa ketemu nggak?” Niken bertanya seolah-olah ia sama sekali tidak berada diseberang jalan itu.
”Lagi dirumah temen gue ken. Kayaknya gue nggak bisa deh. Sibuk” Rendra berbohong.
”Ya udah deh. Bye” telpon itu terputus. Wajah Niken berubah menjadi merah padam. Emosinya benar-benar bergejolak.
”Ternyata kalian berdua benar-benar hebat. Pacar yang paling gue percaya, selingkuh sama teman gue sendiri. Biadab” desis nya kesal. Riko hanya diam dan tak ingin ikut campur.
“Riko, kita pulang aja. Selera makan gue hilang. Gue kenyang ngeliat mereka” Niken berdiri dan langsung menghidupkan motornya.
“Iya-iya. Tunggu bentar.”
☼ ☼ ☼
Malam semakin larut. Keriuhan kota Jakarta kini berubah menjadi suara-suara kecil dibawah remang-remang lampu jalanan. Niken duduk terdiam ditengah hutan kota itu semenjak satu jam yang lalu. Sesekali diambilnya batu kecil dan dilemparkanya ketengah danau yang memantulkan cahaya bulan. Perih dihatinya benar-benar tidak dapat terobati. Rasa sesak semakin menghimpit hulu hatinya. Menciptakan rasa teramat sakit.
Lama duduk terdiam ditengah taman itu, Niken sama sekali tidak menyadari jika jam telah menunjukan waktu pertukaran hari. Dengan lemah Niken berjalan menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari sisi danau. Tanganya beruasaha menekan tengkuk kepalanya yang terasa benar-benar sakit. Darah segar mengalir dari hidungnya dan jatuh ketanah.
”Sial. Kenapa harus sekarang?!” desisnya pelan.
Ditinggalkanya taman sunyi itu sendiri ditengah remang-remang cahaya lampu taman. Dipacunya motornya secepat mungkin dengan salah satu tangan dihidungnya. Ia berusaha menghentikan darah yang terus mengalir.
Fokus mata Niken mulai memudar. Jalan didepanya menjadi memudar dan berubah gelap. Tanpa mampu ditahanya, badan itu kini jatuh kepelukan bumi. Motornya jatuh kesisi yang berlawanan.wajah Niken benar-benar pucat. Darah dari hidungnya mulai berhenti. Hal terakhir yang diketahuinya hanya bulan yang sinarnya ditutupi awan. Setelah itu tidak ada hal yang ia ketahui. Niken kehilangan kesadaranya
☼ ☼ ☼
Keesokan harinya...
Pagi ini Riko tidak melihat motor Niken terparkir di area biasanya cewek itu memarkirkan motor hitamnya. Benar. Hingga jam pelajaran pertama usai, niken sama sekali belum melihatkan batang hidungnya. Riko kawatir apakah temanya itu baik-baik saja.
Pertukaran jam pelajaran pertama dimanfaatkan Riko untuk menelpon Niken.
”Halo, selamat pagi. Ini siapa?” yang menjawab sama sekali bukan niken.
”Nikenya ada bi? Kok hari ini dia nggak masuk ya bi?” tanya Riko kawatir.
”Non Niken sakit mas. Dia dirawat dirumah sakit Harapan Bunda mas.” ucap bi minah datar
”Kalau gitu terima kasih bi” telpon itu kemudian terputus. Satu-satunya yang terpikirkan dalam otak Riko adalah penyakit Niken.
Akhirnya Riko tidak bisa konsentrasi belajar. Hingga jam pelajaran kelima dirinya meminta izin untuk pulang kepada guru piket. Dipacunya motornya menuju Rumah sakit Harapan Bunda yang letaknya tidak jauh dari SMA Triutama.
Niken terbaring lemah disina. Ayahnya berdiri disampingnmya sambil mengelus kening putri bungsunya yang selama ini tidka peernah ia pedulikan. Rasa bersalah terlihat jelas diwajah sang ayah.
Riko membuka pintu kamar itu dan melihat Niken yang dalam keadaan terbaring lemah. Niken terbangun sesaat setelah Riko datang. Dimintanya sang ayah untuk meninggalkan mereka berdua disana.
”Riko, Ada yang mau gue titipin ke elo. Tapi sebelumnya lo bisa sms Rendra bentar? Bilang kalau gue lagi dirumah sakit” ucap Niken lirih.
”Oke-oke. Emang lo mau nitip apa?”
”Diloker gue ada kotak. Dalamnya da mawar merah sama surat kecil. Nanti selepas gue pergi. Lo kasihin kotak itu ke Rendra ya rik. ” suara Niken mulai terbata-bata.
”Iya nanti gue kasihin ke dia. Sekarang lo istirahat dulu aja ya ken.”
☼ ☼ ☼
Rendra datang lima belas menit kemudian. Dia berlari menyusuri koridor menuju ruangan tempat Niken dirawat. Tepat didepan pintu langkahnya dicegat oleh Riko.
”Niken mana?” tanya Rendra tandas.
”Buat apa lo masih datang kesini? Lo Cuma bikin dia sakit!” rendra kesal.
”Maksud lo?” Rendra sama sekali tidak memahami apa yang dibicarakan Riko.
”Niken kecelakaan gara-gara elo begok!” nada suara Rendra meninggi.
”Loh? Kok gue sih?” Rendra masih merasa tidak memiliki kesalahan yang mampu membuat Niken menjadi seperti ini.
”Lo nggak sadar sama kesalahan lo? Lo nggak sadar kalau kemaren Niken ngeliat lo jalan berdua sama Tiva?” Nada Riko meninggi.
”Suka-suka gue dong. Ngapain lo yang sewot? Udah minggir sana” Rendra tidak ambil pusing dengan penjelasan Riko. Dicobanya menerobos pembatas hidup itu. Mustahil. Dia gagal.
”Apa?” Riko memegang kerah baju Rendra. ”Lo masih bisa bilang kayak gitu? Emangnya lo kira Niken itu apa? Permen karet? Habis lo bikin dia cinta mati sama lo, lo duain dia kayak gitu? Kejam banget tau nggak!” dengan emosi tertahan, Riko menggenggam kerah baju Rendra. Membuat badan cowok itu sedikit terangkat.
”Coba lo pikir. Berapa banyak pengorbanan dia buat elo hah? Tapi lo Cuma bisa ngebalesnya dengan cara kayak gini? Gue kecewa!” Desis Riko geram.
Rendra hanya terdiam. Hening. Rasa bersalah terlihat dari raut wajah dan matanya. Ia menyesal. Namun penyesalan itu tak akan berguna. Niken telah pergi tepat sesudah penyesalan itu datang merasuki jiwa Rendra.
Riko berlari memasuki ruangan itu ketika ayah Niken berteriak memanggil nama anaknya. Niken telah pergi. Ia pergi dengan membawa tangisan kedalam alam sana. Pedih hatinya tidak terobati sampai detik terakhirnya. Bahkan orang yang benar-benar diharapkanya sama sekali tidak sadar dengan kesalahanya. Begitu malang nasib cewek tomboy yang selalu berusaha tegar.
☼ ☼ ☼
Uapara pemakaman Niken diiringi dengan tangisan dan rasa kehilangan di hati teman-temanya. Bagaimanapun Niken adalah pribadi yang unik. Meskipun ia termasuk anak yang memiliki tingkat kasus terparah. Tapi jauh dari itu semua Niken adalah sosok yang baik. Sosok yang selalu tegar dengan segala masalah. Sosok yang selalu membuat orang tersenyum. Sosok yang dapat diandalkan dalam segala bidang.
Riko menyerahkan kotak yang dititipkan Niken kepada Rendra setelah acara pemakaman selesai. Rendra menerimanya dengan perasaan bersalah dan beribu tanda tanya.
”Niken nitip itu ke gue. Katanya itu buat lo. Gue nggak tau apa isinya. Yang jelas satu pesan gue. Lo ngebacanya pake hati. Jangan pake lidah” ucap Riko datar.
Rendra menerima kotak itu dengan suara tecekat ditenggorokan. Ia sama sekali tidak tau apa yang harus ia ucapkan saat ini. Bagaimanapun rasa bersalah telah membunuh rasa bahagianya. Hanya senyum tipis yang getir yang dapat diperlihatkanya pada Riko.
Riko beranjak pergi, sama seperti pelayat lain yang juga telah mulai meninggalkan rumah duka. Kini hanya ada sang ayah yang juga tercekal rasa penyesalan dan bersalah.
☼ ☼ ☼
Rendra bersila diatas tempat tidurnya. Fokus matanya tertuju kepada kotak yang terbungkus kertas berwarna merah muda. Rasa perih dan bersalah begitu menekan dadanya hingga sesak. Semua bayangan akan kenangan saat masih bersama Niken─yang selama ini telah ”mati suri” ─ hidup kembali. Menyarang sistem pertahanan yang dengan susah payah dibangunya kembali.
Perlahan tapi pasti, dibukanya kertas yang menutupi apa yang ada didalam kotak itu. Tiga tangkai bunga mawar merah, beberapa lembar foto paparazi dirinya dan tentunya sepucuk surat dari sang kekasih yang kini telah pergi untuk selamanya.
Dengan pertahanan dan kesadaran yang masih tersisa setengah, Rendra membuka surat yang terdapat ddidalam kotak tadi. Ada keraguan dan sesak yang langsung menghujam jantungnya ketika dibukanya amplop surat itu.
Untuk yang pernah ku cintai dan menyakitiku
Rendra Wijaya Putra.
Niken tengah terdiam disudut tempat tidurnya sejak lima belas menit yang lalu. Tanganya tidak berhenti memekan-nekan pundaknya yang benar-benar terasa kaku. Diliriknya jam disudut kamar, pukul enam lewat lima menit. Dengan malas diambilnya tas selempang yang hanya berisi dua buku tulis. Langkahnya cepat menuruni anak tangga. Dilewatinya ruang makan tanpa melirik sarapan yang disiapkan Bi Minah, menuju garase.
”Non tidak sarapan dulu?” ucap Bi minah yang tengah menyapu halaman depan
”Nggak bi. Kalau bibi mau, makan aja. Saya nggak laper bi” ucap Niken lemas.
Bi Minah hanya bisa terdiam dan melanjutkan pekerjaanya. Sudah hal yang biasa bila Niken tidak melirik apalagi menyentuh sarapan paginya. Ia tau niken tidak memiliki selera makan bila dirumah.
Dipacunya motor hitam itu melewati jalanan yang masih sepi.
☼ ☼ ☼
Riko terdiam kaget ketika melihat salah satu motor yang terparkir di area parkir gedung B SMA Triutama. Bagaimanapun terasa janggal bagi Riko jika motor itu sudah terparkir disana sepagi ini.
Ia tau persis siapa pemilik motor itu. Niken Satria Andriani. Salah satu murid yang selalu datang tepat waktu—dalam artian yang ”benar-benar” tepat— dan sesuai jadwal, yaitu beberapa detik sebelum gerbang utama ditutup. Biasanya mereka yang tepat waktu inilah yang akan mendapatkan sumpah serapah paling banyak dari siswa lain. Selain karena motor mereka yang masuk dalam salah satu motor yang paling diincar polisi—karena pake knalpot yang bising banget— dan sering bikin kesal siswa lain karena dengan terpaksa mereka harus menghindar dari jalan utama supaya nggak kena tabrak sama mereka-mereka yang biasanya sering ugal-ugalan, ditambah lagi biasanya gerbang akan langsung ditutup sesudah mereka masuk.
Riko berjalan santai menuju kelasnya dilantai dua gedung B. Dilewatinya anak tangga itu satu persatu. Mencoba menikmati udara segar yang masih tersisa pagi ini.
☼ ☼ ☼
Niken duduk terdiam disudut kelasnya. Fokus matanya lemah menatap keluar jendela. Badanya sakit dan pikiranya benar-benar terasa kacau. Lapar diperutnya sama sekali tak dihiraukanya.
Niken masih terdiam saat Riko memasuki ruangan kelas 11 IPA 2 itu. Diletakanya tas selempang yang hanya berisi dua buah buku itu dan langsung dihampirinya sahabat karibnya yang tengah terdiam seperti mayat hidup
”Pagi ken” ucapnya sambil menarik salah satu bangku terdekat dan diletakanya disamping Niken yang masih terdiam tanpa suara. Sepertinya pikiranya sedang tidak ditempat.
”Aw!!” teriaknya kesakitan ”sakit begok!” gerutunya lagi
”Mentang-mentang dapat nilai bagus terus walaupun cabut hampir tiap hari. Gue dibilang begok. Tega banget” Riko cemberut.
”Eeeeh. Elo rik. Gue kira siapa. Sorry-sorry. Jangan ngambek yaaa. Pleasee” niken yang tadi diam kini berubah menjadi lebih bersuara.
“Tau ah. Gue ngambek” riko memalingkan muka dengan senyum geli.
“Ih. Kayak gitu banget lo sama gue? Maaf dong rik. Lo itu yang salah. Badan gue pada sakit semua gara-gara balapan semalam ” gerutunya
”Kok jadi elo yang ngambek? Gue Cuma bercanda aja kok ken. Perasaan biasanya kalau habis balapan lo baik-baik aja deh ken”. Nada heran terdengar dan tergambar jelas diwajah riko. Niklen sudah biasa mengikuti balapan liar, tapi baru kali ini ia mendengar sahabatnya ini sakit hanya karena balapan.
Niken menarik nafas panjang dan menghelanya secara perlahan.
”Semalem gue nggak konsen. Kepeleset, terus jatuh ” jawab niken pelan.
”Nggak konsen? Kok bisa? Biasanya lo semangat banget kalau balapan? Apa lo lagi ada masalah? Jangan bilang kalau lo ribut lagi sama rendra?” Riko melontarkan beberapa pertanyaan dan mencoba menerka jawabanya sendiri. Rasa heran dalam pikiranya semakin tinggi. Bagi Niken, balapan adalah salah satu hobi, bukan tempat pelampiasan rasa frustasi yang selalu menghantui. Penghapus rasa sunyi dan pedih yang selalu menghantui dengan pisau es yang dingin.
”Kok lo tau?” pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Niken.
”Jelaslah.” ucap Riko tandas. ”Nggak mungkin banget kalau masalah lo bersumber dari bokap lo. Kalian berduakan kayak orang yang nggak kenal satu sama lain. Buktinya, lko balapan aja dia nggak peduli. Yang ngejemputin lapor lo pas akhir tahun ajaran aja juga bukan dia.”
”Haha, bener banget. Itu orang nggak pernah peduliin gue” Niken hanya tertawa geli mendengar pernyataan Riko tersebut. Bagaimanapun Niken dan ayahnya memang tidak terlalu dekat—seperti yang dibilang Riko— mereka seperti orang yang tidak kenal satu sama lain. Hal ini sangat berbeda dengan suasana keluarga mereka waktu masih utuh. Ayah Niken sibuk dengan pekerjaanya sebagai direktur salah satu perusahaan swasta ternama di daerah Jakarta Pusat. Sedangkan Niken, dia lebih banyak meghabiskan waktu dengan teman-temanya sesama bomber—sebutan untuk pembuat Grafiti— dan team balapnya.
”Mau cerita masalahnya apa?” tanya Riko santai. Bagaimanapun ia tidak ingin memaksa sahabatnya ini untuk menceritakan semuanya sekarang.
Niken melirik jam ditangan kirinya seiring dengan makin banyak teman sekelasnya yang datang.
”Hmm, kayaknya ntar aja deh rik. Udah rame banget nih” ucap niken lemah.
”Ya udah deh. Terserah lo aja. Gue nggak maksa kok. Betewe nih, lo udah makan belum?”
”Belum sih. Lo gimana?” ucap Niken sembari memegang perutnya yang mulai keroncongan.
”Kok keras banget bunyinya ken?” riko tersenyum geli, membuat wajah Niken menjadi cemberut. ”Semalam lo pasti nggak makan ya? Masih ada lima menit lagi. Makan yuk. Gue yang bayarin.”
”Tumben lo traktir gue? Biasanya gue terus yang traktir lo?” Niken tertawa.
”Sekali-sekali gue yang bayarin kan nggak apa-apa. Ayolah. Lebih cepat, lebih baik. Gue udah laper banget nih.”Riko berjalan meninggalkan Niken menuju kantin.
”Riko... Tungguin gue napa? Jangan main ninggalin gitu deh. Gue juga laper nih” Niken berteriak lengking. Hampir semua murid lain dikelas menutup telinga mereka yang paling dekat dengan sumber suara. Riko tetap berjalan tanpa menoleh kebelakang. Bahkan kini langkahnya lebih cepat dari pada yang tadi. Akhirnya dengan tangan memegang perut, Niken berlari mengejar Riko yang sudah melai menuruni anak tangga.
☼ ☼ ☼
Hari ini kelas 11 IPA 2 benar-benar berbeda dari biasanya. Kelas itu lebih hening dan tentram karena murid yang biasanya membuat kelas itu hingar-bingar, mendadak menjadi diam tanpa suara.
Jam pelajaran pertama dilalui Niken dengan pikiran yang benar-benar kacau. Gelisah dan rasa sesak akan kekecewaan membuat dadanya terasa sakit. Hampir tiap sepuluh menit Niken mengubah pandangannya, dari keluar jendela, kemudian kedepan, keluar jendela lagi, dan begitu seterusnya.
Riko memperhatikan gerak-gerik Niken yang semakin lama semakin aneh dan membuatnya kawatir. Diraihnya ponsel disakunya dan langsung diketiknya sebuah pesan singkat.
Gelisah bngt ken?
Lo baik2 aja kan?
Gue kwatir...
Dikirimnya sms itu keorang yang tidak begitu jauh darinya. Semenit kemudian, sms balasan dari Niken masuk ke ponsel Riko
Gue fine2 aja kok
Nggak ada yg perlu lo kwatirin
Niken menoleh kearah Riko dan tersenyum tipis. Senyum yang mengandung banyak makna.
Sepeluh menit sebelum jam pelajaran kedua berakhir. Wajah Niken masih terlihat kosong. Pikirannya masih melayang entah kemana. Tidak ada setitikpun pelajaran yang ditangkapnya pagi ini. Buku catatannya pun masih sama seperti kemarin, tidak ada tambahan dari materi yang sudah dijelaskan ibu fika yang dicatatnya. Diliriknya jam tangan hitamnya. Kemudian diraihnya ponsel yang berada dilaci meja. Dengan cepat diketiknya sebuah sms.
Riko.. gue mau cabut ni
Lo ikut kagak?
Gue harap sih iya
Ada hal penting yg pengen gue omongin ma elo.
Sms itu mendarat tepat pada ponsel Riko. Niken menoleh kearah riko dengan wajah yang memelas sendu. Rasa segan dan sedih bercampur dihatinya. Dengan berat dianggukanya kepalanya dua kali tanda setuju.
Kita cabut waktu jam istirahat pertama aja
Biasanya jam segitu satpamnya lagi makan
Pagar juga nggak kekunci
Jadi bisa lebih mudah
Riko kembali menganggukan kepalanya dua kali tanda setuju. Walaupun hari ini ia ingin sekali mengikuti pelajaran full sampai sore. Tapi ia sama sekali tak habis hati jika harus membiarkan sahabatnya dalam keterpurukan yang mengerikan seperti saat ini. Yaitu keterpurukan yang telah membuat Niken berubah seratus delapan puluh derajat.
☼ ☼ ☼
Bel istirahat pertama berbunyi nyaring. Membuat puluhan murid mulai berlari meninggalkan kelas dan meuju kantin. Hanya Niken dan Riko yang berjalan menuju area parkir gedung B.
”Mau cabut kemana?” Tanya Riko penasaran.
”Lo ikutin gue aja. Susah kalau neranginya sekarang. Lo nggak bakalan tau.” ucap Niken tandas.
”Oke, terserah lo aja”
Keduanya memacu motor mereka keluar area sekolah dengan hati-hati. Satpam yang biasa berjaga sedang istirahat dikantornya. Niken mengarahkan motornya kearah puncak, diikuti dengan Riko dibelakangnya. Jalanan yang tidak begitu ramai membuat Riko lebih mudah menyesuaikan kecepatan motornya dengan Niken. Walaupun begitu, ada banyak pertanyaan dalam benak Riko yang akan terjawab ketika mereka sampai.
☼ ☼ ☼
Kurang dari waktu tempuh sewajarnya, Niken dan Riko sampai ditempat tujuan mereka. Riko melepas helm yang melindungi kepalanya. Dingin udara gunung segera memeluk tubunhnya.
Dengan bingung Riko mengikuti Niken yang sudah berjalan terlebih dahulu melewati sebuah gapura yang ditutupi tumbuhan merambat. Dirinya benar-benar kaget dengan penataan bentuk dan tata ruang bangunan dibalik gapura itu. Hanya saja tempat ini jelas tidak terawat karena telah lama tidak didatangi pemiliknya.
Niken duduk bersila diatas sebuah pondok dengan fokus mata menatap kearah kolam ikan. Hening. Hanya gemerecik air dan kicau burung yang terdengar mengisi sunyi.
Riko hendak melontarkan pertanyaan kepada Niken, namun langsung diurungkanya niat itu ketika dilihatnya niken pucat pasi. Tubuhnya seperti tidak dialiri darah sama sekali. Fokus matanya pun terlihat begitu kosong dan hampa. Diputuskanya untuk juga diam dan bersila disamping sahabatnya itu.
”Riko. Kalau andai kata selama ini ada hal yang gue tutupin ke elo. Lo marah nggak sama gue?” setelah beberapa menit diam, akhirnya Niken membuka mulutnya.
”Nggak. Gue nggak bakalan marah kok sama lo” jawabnya sambil tersenyum.
”Janji?”
”Janji! Emangnya ada apaan sih ken?” tanya Riko penasaran.
”Gue kanker darah ko” ucap niken lemah. Ada nada perih bercampu ragu terdengar didalamnya. Ada penyesalan dan keinginan agar itu tak pernah terjadi.
”Hah? Kanker darah?“ Riko benar-benar kaget dengan kenyataan itu. ”bercanda lo nggak lucu ken” Riko murung.
”Gue serius banget ko. Gue, Niken Satria Andriani. Menderita Leukimia—Kanker darah— stadium empat.” Ucapnya dengan intonasi yang ditekankan pada bagian tertentu.
Riko terdiam hening. Matanya menatap lekat dan kasihan kepaa sahabatnya ini. Niken bukanlah cewek yang berfisik lemah. Jenis olahraga banyak diikutinya dengan telaten. Nilainyapun termasuk dalam kategori sangat baik. Rengking empat walupun cabut hampir tiap hari dalam seminggu.
”Bokap lo tau?” tanya Riko datar.
Niken tak menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya petanda tidak. Riko merasa bodoh telah melontarkan pertanyaan yang seharusnya ia tau jawabanya apa.
”Yang tabah ya ken” dirangkulnya tubuh Niken. Rasa dingin terasa dibagian tangan yang tersentuh oleh jemari Riko. Niken tersenyum getir. ”Hmm... Ada masalah apa lagi lo sama Rendra?”
Niken menarik nafas panjang. Kemudian dengan mata tetap terfokus pada kolam, dihempuskanya kembali dengan berat dan pelan. Ia berusaha untuk sebisa mungkin rileks.
”Nggak ada, Gue Cuma lagi break aja sama tu anak”
”Kok bisa? Siapa yang mintak?”
”Gue yang mintak rik. Habisnya akhir-akhir ini dia mulai berubah drastis. SMS gue udah jarang dia bales. Kalau telponan pun palingan cuma lima menit. Padahal biasanya bisa sejam. Dua hari yang lalu, gue minjam ponselnya dia, juga nggak dapet sama dia.” jelas Niken dengan nafas yang terdengar berat.
Pertahananya mulai runtuh. Topeng yang selama ini melindunginya tidak mampu menutup retakan kecil yang sudah ada semenjak tadi pagi. Alhasil pertahanan Niken runtuh dan satu air mata mulai jatuh dan menetes kedalam. Riko sadar dengan keadaan temanya dan akhirnya memilih untuk diam.
Lama terdiam didalam pikiran dan emosi masing-masing. Akhirnya Niken memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Riko hanya ikut dengan ajakan Niken, walaupun dirinya kawatir dengan keadaan Niken. Emosional dan pikiranya terlalu kacau untuk bisa membawa motor dijalanan yang mulai padat. Pucat diwajahnya masih belum hilang sedikitpun.
☼ ☼ ☼
Rendra dan Tiva memilih untuk makan siang disebuah cafe dijalan lintas Jakarta-Bogor. Mereka terlihat benar-benar dekat. Bahkan sepertinya lebih dari teman. Mereka PACARAN!!!.
Rendra memilih kursi didepan cafe dibawah pohon peneduh cafe tersebut. Senyum sumringah tercetak diwajah Rendra dan Tiva. Mereka memang sudah saling menyukai semenjak awal bertemu di pesta ulang tahun Rakha. Tapi bagaimanapun, saat itu Rendra adalah pacar Niken—sampai sekarangpun masih— yang notabene adalah temanya.
☼ ☼ ☼
Masih setengah jalan dari Bogor menuju Jakarta, Perut Niken dan Riko sudah merasa keroncongan. Maklum, sudah masuk jam makan siang dan ditambah lagi salah satu hal yang tidak pernah diam jika jadwalnya telambat adalah perut.
Akhirnya mereka berhenti disebuah cafe, yang ternyata bersebrangan dengan cafe temnpat Rendra dan Tiva berada sekarang. Sekilas Riko melihat kalau itu adalah Rendra. Tapi ia masih ragu. Akhirya keraguan itu terhapus ketika Niken melihat mereka berdua tengah asyik bemesraan diseberang sana.
Dengan cepat niken memencet nomor-nomor diponselnya. Membentuk deretan angka yang berjumlah dua belas. Langsung di tekanya tombol call.
☼ ☼ ☼
Ponsel Rendra tiba-tiba berbunyi. Niken Memanggil. Dengan cepat diangkatnya panggilan itu agar Niken tidak curiga. Sungguh itu semua sia-sia.
”Halo ken” ucap Rendra tenang.
”Halo ren. Lo lagi dimana sekarang? Bisa ketemu nggak?” Niken bertanya seolah-olah ia sama sekali tidak berada diseberang jalan itu.
”Lagi dirumah temen gue ken. Kayaknya gue nggak bisa deh. Sibuk” Rendra berbohong.
”Ya udah deh. Bye” telpon itu terputus. Wajah Niken berubah menjadi merah padam. Emosinya benar-benar bergejolak.
”Ternyata kalian berdua benar-benar hebat. Pacar yang paling gue percaya, selingkuh sama teman gue sendiri. Biadab” desis nya kesal. Riko hanya diam dan tak ingin ikut campur.
“Riko, kita pulang aja. Selera makan gue hilang. Gue kenyang ngeliat mereka” Niken berdiri dan langsung menghidupkan motornya.
“Iya-iya. Tunggu bentar.”
☼ ☼ ☼
Malam semakin larut. Keriuhan kota Jakarta kini berubah menjadi suara-suara kecil dibawah remang-remang lampu jalanan. Niken duduk terdiam ditengah hutan kota itu semenjak satu jam yang lalu. Sesekali diambilnya batu kecil dan dilemparkanya ketengah danau yang memantulkan cahaya bulan. Perih dihatinya benar-benar tidak dapat terobati. Rasa sesak semakin menghimpit hulu hatinya. Menciptakan rasa teramat sakit.
Lama duduk terdiam ditengah taman itu, Niken sama sekali tidak menyadari jika jam telah menunjukan waktu pertukaran hari. Dengan lemah Niken berjalan menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari sisi danau. Tanganya beruasaha menekan tengkuk kepalanya yang terasa benar-benar sakit. Darah segar mengalir dari hidungnya dan jatuh ketanah.
”Sial. Kenapa harus sekarang?!” desisnya pelan.
Ditinggalkanya taman sunyi itu sendiri ditengah remang-remang cahaya lampu taman. Dipacunya motornya secepat mungkin dengan salah satu tangan dihidungnya. Ia berusaha menghentikan darah yang terus mengalir.
Fokus mata Niken mulai memudar. Jalan didepanya menjadi memudar dan berubah gelap. Tanpa mampu ditahanya, badan itu kini jatuh kepelukan bumi. Motornya jatuh kesisi yang berlawanan.wajah Niken benar-benar pucat. Darah dari hidungnya mulai berhenti. Hal terakhir yang diketahuinya hanya bulan yang sinarnya ditutupi awan. Setelah itu tidak ada hal yang ia ketahui. Niken kehilangan kesadaranya
☼ ☼ ☼
Keesokan harinya...
Pagi ini Riko tidak melihat motor Niken terparkir di area biasanya cewek itu memarkirkan motor hitamnya. Benar. Hingga jam pelajaran pertama usai, niken sama sekali belum melihatkan batang hidungnya. Riko kawatir apakah temanya itu baik-baik saja.
Pertukaran jam pelajaran pertama dimanfaatkan Riko untuk menelpon Niken.
”Halo, selamat pagi. Ini siapa?” yang menjawab sama sekali bukan niken.
”Nikenya ada bi? Kok hari ini dia nggak masuk ya bi?” tanya Riko kawatir.
”Non Niken sakit mas. Dia dirawat dirumah sakit Harapan Bunda mas.” ucap bi minah datar
”Kalau gitu terima kasih bi” telpon itu kemudian terputus. Satu-satunya yang terpikirkan dalam otak Riko adalah penyakit Niken.
Akhirnya Riko tidak bisa konsentrasi belajar. Hingga jam pelajaran kelima dirinya meminta izin untuk pulang kepada guru piket. Dipacunya motornya menuju Rumah sakit Harapan Bunda yang letaknya tidak jauh dari SMA Triutama.
Niken terbaring lemah disina. Ayahnya berdiri disampingnmya sambil mengelus kening putri bungsunya yang selama ini tidka peernah ia pedulikan. Rasa bersalah terlihat jelas diwajah sang ayah.
Riko membuka pintu kamar itu dan melihat Niken yang dalam keadaan terbaring lemah. Niken terbangun sesaat setelah Riko datang. Dimintanya sang ayah untuk meninggalkan mereka berdua disana.
”Riko, Ada yang mau gue titipin ke elo. Tapi sebelumnya lo bisa sms Rendra bentar? Bilang kalau gue lagi dirumah sakit” ucap Niken lirih.
”Oke-oke. Emang lo mau nitip apa?”
”Diloker gue ada kotak. Dalamnya da mawar merah sama surat kecil. Nanti selepas gue pergi. Lo kasihin kotak itu ke Rendra ya rik. ” suara Niken mulai terbata-bata.
”Iya nanti gue kasihin ke dia. Sekarang lo istirahat dulu aja ya ken.”
☼ ☼ ☼
Rendra datang lima belas menit kemudian. Dia berlari menyusuri koridor menuju ruangan tempat Niken dirawat. Tepat didepan pintu langkahnya dicegat oleh Riko.
”Niken mana?” tanya Rendra tandas.
”Buat apa lo masih datang kesini? Lo Cuma bikin dia sakit!” rendra kesal.
”Maksud lo?” Rendra sama sekali tidak memahami apa yang dibicarakan Riko.
”Niken kecelakaan gara-gara elo begok!” nada suara Rendra meninggi.
”Loh? Kok gue sih?” Rendra masih merasa tidak memiliki kesalahan yang mampu membuat Niken menjadi seperti ini.
”Lo nggak sadar sama kesalahan lo? Lo nggak sadar kalau kemaren Niken ngeliat lo jalan berdua sama Tiva?” Nada Riko meninggi.
”Suka-suka gue dong. Ngapain lo yang sewot? Udah minggir sana” Rendra tidak ambil pusing dengan penjelasan Riko. Dicobanya menerobos pembatas hidup itu. Mustahil. Dia gagal.
”Apa?” Riko memegang kerah baju Rendra. ”Lo masih bisa bilang kayak gitu? Emangnya lo kira Niken itu apa? Permen karet? Habis lo bikin dia cinta mati sama lo, lo duain dia kayak gitu? Kejam banget tau nggak!” dengan emosi tertahan, Riko menggenggam kerah baju Rendra. Membuat badan cowok itu sedikit terangkat.
”Coba lo pikir. Berapa banyak pengorbanan dia buat elo hah? Tapi lo Cuma bisa ngebalesnya dengan cara kayak gini? Gue kecewa!” Desis Riko geram.
Rendra hanya terdiam. Hening. Rasa bersalah terlihat dari raut wajah dan matanya. Ia menyesal. Namun penyesalan itu tak akan berguna. Niken telah pergi tepat sesudah penyesalan itu datang merasuki jiwa Rendra.
Riko berlari memasuki ruangan itu ketika ayah Niken berteriak memanggil nama anaknya. Niken telah pergi. Ia pergi dengan membawa tangisan kedalam alam sana. Pedih hatinya tidak terobati sampai detik terakhirnya. Bahkan orang yang benar-benar diharapkanya sama sekali tidak sadar dengan kesalahanya. Begitu malang nasib cewek tomboy yang selalu berusaha tegar.
☼ ☼ ☼
Uapara pemakaman Niken diiringi dengan tangisan dan rasa kehilangan di hati teman-temanya. Bagaimanapun Niken adalah pribadi yang unik. Meskipun ia termasuk anak yang memiliki tingkat kasus terparah. Tapi jauh dari itu semua Niken adalah sosok yang baik. Sosok yang selalu tegar dengan segala masalah. Sosok yang selalu membuat orang tersenyum. Sosok yang dapat diandalkan dalam segala bidang.
Riko menyerahkan kotak yang dititipkan Niken kepada Rendra setelah acara pemakaman selesai. Rendra menerimanya dengan perasaan bersalah dan beribu tanda tanya.
”Niken nitip itu ke gue. Katanya itu buat lo. Gue nggak tau apa isinya. Yang jelas satu pesan gue. Lo ngebacanya pake hati. Jangan pake lidah” ucap Riko datar.
Rendra menerima kotak itu dengan suara tecekat ditenggorokan. Ia sama sekali tidak tau apa yang harus ia ucapkan saat ini. Bagaimanapun rasa bersalah telah membunuh rasa bahagianya. Hanya senyum tipis yang getir yang dapat diperlihatkanya pada Riko.
Riko beranjak pergi, sama seperti pelayat lain yang juga telah mulai meninggalkan rumah duka. Kini hanya ada sang ayah yang juga tercekal rasa penyesalan dan bersalah.
☼ ☼ ☼
Rendra bersila diatas tempat tidurnya. Fokus matanya tertuju kepada kotak yang terbungkus kertas berwarna merah muda. Rasa perih dan bersalah begitu menekan dadanya hingga sesak. Semua bayangan akan kenangan saat masih bersama Niken─yang selama ini telah ”mati suri” ─ hidup kembali. Menyarang sistem pertahanan yang dengan susah payah dibangunya kembali.
Perlahan tapi pasti, dibukanya kertas yang menutupi apa yang ada didalam kotak itu. Tiga tangkai bunga mawar merah, beberapa lembar foto paparazi dirinya dan tentunya sepucuk surat dari sang kekasih yang kini telah pergi untuk selamanya.
Dengan pertahanan dan kesadaran yang masih tersisa setengah, Rendra membuka surat yang terdapat ddidalam kotak tadi. Ada keraguan dan sesak yang langsung menghujam jantungnya ketika dibukanya amplop surat itu.
Untuk yang pernah ku cintai dan menyakitiku
Rendra Wijaya Putra.
Semoga kamu hidup bahagia sekarang. Tentu saja kamu bahagia tanpa aku yang selalu merepotkan kamu. Aku yang selalu cerewet. Aku yang selalu mengatur mu dengan semua aturan-aturan itu.
Rendra, andaikan kau tau. Betapa hatiku merasa sakit ketika melihat kau bersama tiva. Entahlah. Mungkin dia memang lebih baik dari diri ini. Aku tau itu. Rendra, aku sayang sama kamu. Aku berharap kita bisa selalu bersama. Namun harapan itu hilang ketika kamu pergi dengan Tiva. Aku bersyukur pada tuhan karena mencabut nyawaku sekarang. Dengan begitu aku tak akan menahan sakit yang lebih lama lagi. Tapi bagaimanapun aku tidak akan pernah balas dendam akan apa yang telah kau lakukan padaku. Aku akan menganggap itu sebuah kenangan.
Rendra, ada mawar yang kusimpan dalam kotak ini. Mungkin ini adalah mawar pertama dan mawar terakhir ku untukmu. Aku minta maaf atas semua kesalahan ku. Dan aku juga sudah memaafkamu terlebih dahulu..
Salam hangat dan sayang
Niken
Tanpa disadarinya air mata Rendra jatuh mengalir dipipinya. Penyesalan semakin membuatnya terpuruk dan menyesakan dadanya yang memang sudah terasa sesak. Kekecewaan yang dibawa mati oleh Niken menjadi beban yang teramat berat baginya. Bagimanapun Niken telah pergi, bersama kenangan yang juga dibawanya pergi.
Salam hangat dan sayang
Niken
Tanpa disadarinya air mata Rendra jatuh mengalir dipipinya. Penyesalan semakin membuatnya terpuruk dan menyesakan dadanya yang memang sudah terasa sesak. Kekecewaan yang dibawa mati oleh Niken menjadi beban yang teramat berat baginya. Bagimanapun Niken telah pergi, bersama kenangan yang juga dibawanya pergi.
Untuk dia yang telah berusaha dengan semua senyuman. Untuk dia yang telah berusaha tegar. Untuk dia yang selalu menerima dengan ketulusan hati. Untuk dia yang kini dipeluk bumi. Untuk dia yang kini terdiam dalam tidurnya. Selamat jalan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar