Berikut ini adalah Naskah Drama Malam Jahanam Karya Motinggo Boesje:
Dipinggiran laut kota kami, para nelayan tampak selalu gembira meskipun miskin. Rumah mereka terdiri dari gubuk, tiang bambu beratap daun kelapa. Suara mereka yang keras dan gurauan kasar mereka, seolah mengesankan bahwa mereka kurang ajar. Begitu pula pakaian mereka, yang lelaki bercelana katok dan berbaju kaos hitam denang golok diikat di pinggang.
Kain sarung terselempang, berkopiah dan mata yang tajam mengesankan darah yang keras.
Perermpuan disini berbicara pedas, penuh gairah dan pahit. Pakaian mereka mencolok di tubuh padatnya, mencolok seperti ketawanya yang keras, sambil bibir bergincu itu melemparkan senyum yang seolah-olah kurang ajar.
Tetapi betapun sebenarnya, mereka, seperti dimana-mana mempunyai juga kelembutan hati dan ketulusan, biarpun mungkin ketulusan yang agak bodoh.
Malam ini semua itu terjadi.
IMalam ini, perkampungan nelayan itu, dirumah mat kontan dan soleman tampak sepi. Barangkali hampir seisi kampung melihat ubruk, sebab bunyi ubruk disebelah timur begitu sayu menikam-nikam.Hanya ujung atap dan tonggak bambu rumah soleman saja yang tampak dikiri. Dekat tonggak bambu itu tergantung sebuah lentera yang diombang-ambing angin barat. Ada sebuah bangku dibawah lentera itu, biasa dipakai oleh soleman untuk duduk-duduk, tapi malam ini bangku itu kosong.Rumah yang dihadapan rumah soleman itulah rumahnya mat kontan, seorang yang terkenal sombong di kampung itu. Pintu rumahnya tertutup. Biasanya, disebelah kanan pintu itu ia duduk di sebuah bangku bambu panjang. Dengan menaiki bangku itu ia sering bersiul mempermainkan perkututnya di dalam sangkar yang tergantung pada ujung atap. Dikiri pintu ada beberapa pelepah kelapa teronggok. Sebuah tiang jemuran di depan rumah masih disangkuti pakaian, perlahan terhembus oleh bias yang berhembus dari balik rumahnya bersama kertas-kertas.Di kejauhan kelam, samar buntut perahu, beberapa tiang temali perahu mengabur. Sunyi makin tertekan karena suara ubruk di kejauhan itu semakin mengeras.IITiba-tiba sunyi itu dipecahkan oleh suara tertawa pendek geli dari si utai setengah pandir yang baru keluar dari pintu rumah mat kontan. Ia terus berlari dan bersembunyi di dekat pojokan rumah soleman. Tertawanya tertinggal di sana. Tak lama sesudah itu keluar paijah istri mat kontan berteriak sambil mencari-cari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar