KEJUTAN UNTUK TIGA KARAKTER
Cerpen Nur Afiani
Pagi itu, Fuad, Faiza, dan Fatia akan berangkat ke sekolah. Sebelumnya, mereka telah sarapan terlebih dahulu. Kemudian, mereka pamit kepada ummi dan abi.
“Kami pergi dulu ya, Ummi, Abi! Assalamu’alaikum!” pamit mereka bertiga.
“Wa’alaikumsalam!” jawab ummi dan abi.
Fuad, Faiza, dan Fatia adalah tiga anak kembar yang selalu hidup rukun. Mereka selau berangkat bersama. Mereka berangkat dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dengan rumah mereka tidak terlalu jauh. Tapi, mereka berbeda kelas. Fuad dan Fatia kelas 8c, sedangkan Faiza kelas 8e.
Sesampainya di sekolah…
“Hai, Tiga Karakter!” sapa Zahrul teman sekelas Faiza.
Begitulah teman-teman si Kembar sering memanggil mereka Tiga Karakter. Kalian tahu kenapa? Karena Fuad, Faiza, dan Fatia adalah anak-anak yang istimewa di sekolahnya. Mereka meiliki kelebihan yang hebat. Fuad sang kakak, ia pendiam dan pandai dalam hal agama. Faiza adalah anak terpintar di sekolah. Dan si bungsu Fatia pandai sekali memasak, masakannya tidak kalah dengan masakan para chef.
“Hai juga, Rul!” balas Tiga Karakter.
“Ada apa, nih? Tumben kamu nyapa kita pagi-pagi begini?” tanya Fatia menyelidik.
“Aku tak ada urusan denganmu, Fatia. Aku ada perlu dengan Faiza,” jawab Zahrul.
“Perlu? Perlu apa?” sambung Faiza.
“Hehehe… lihat tugas Bahasa Indonesiamu dong, Faiza! Please!” pinta Zahrul manja.
“Enak saja, aku yang capek-capek bikin kamu tinggal nyalin. Enggak bisa gitu, dong!” protes Faiza.
“Ayo, dong! Sekali ini saja. Kamu tahu kan, Bu Mayla itu killer abis,” rayu Zahrul.
Faiza tidak menghiraukannya. Ia bersama kedua saudaranya pergi meninggalkan Zahrul ke kelas masing-masing. Dasar pelit! Batin Zahrul.
Di kelas 8c…
“Hei, Fat! Ke sini, deh!” panggil Lisa teman dekat Fatia di kelas.
“Ada apa, Lis?” tanya Fatia.
“Tahu, nggak, kemarin Faiza dan Fuad ngomongin kamu ke anak-anak lain?” kata Lisa.
“Maksudmu apa sih, Lis?” Fatia menatap Lisa bingung.
“Mereka bilang kalau kamu, tuh, cerewet. Terus mereka juga bilang kalau kamu sok pintar masak, sok masakannya enak padahal sebenarnya nggak enak,” ujar Lisa panjang lebar.
“Masa sih, Lis? Kamu jangan mengada-ngada, deh! Aku lebih kenal mereka dan mereka baik sama aku,” sangkal Fatia tak percaya.
“Yeee… jelas-jelas, kemarin aku dengar mereka bilang begitu. Di depan kamu, mereka baik, tapi kalau di belakang, mereka menusuk kamu,” ucap Lisa meyakinkan.
Fatia berpikir sejenak. Memang akhir-akhir ini, Fatia suka cerewet. Tapi, apakah mungkin kedua saudaranya tega menusuknya dari belakang? Dipandanginya Fuad yang sedang membaca Al-Qur’an. Fatia yang mudah marah itu menatapnya dengan penuh kebencian dan ingin sekali menampar wajah saudaranya itu. Sedangkan Lisa yang merasa Fatia telah memercayainya, merasa senang melihat sikap Fatia.
Aku tak bisa memaafkanmu, gumam Fatia dalam hati.
Sesaat kemudian, bel masuk berbunyi. Semua murid memasuki kelasnya masing-masing untuk memulai tadarus Al-Qur’an. Setelah tadarus, mereka memulai pelajarannya.
Saat istirahat Fatia memilih pergi ke kantin dengan Lisa. Biasanya, ia ke kantin dengan Faiza. Tapi, kali ini tidak. Bahkan, ia tidak membalas ketika Faiza menegurnya. Melihat sikap saudaranya yang tidak biasa Faiza menjadi bingung.
“Fatia kenapa ya, Sil? Kok, dia seperti menghindariku,” tanya Faiza kepada Fatia ketika mereka berada di kantin menikmati istirahat. Sila adalah teman sebangku Faiza.
Sila menyahut, “Enggak tahu deh, Za. Mungkin, ada ucapan atau perbuatanmu yang membuatnya marah kali.”
“Apa mungkin, ya? Kayaknya…” Belum sempat Faiza melanjutkan perkataanya, Sila langsung memotongnya.
“Oh ya, Za. Kemarin, aku dengar dari teman-teman Fatia dan Fuad menggunjingkanmu kepada teman-teman sekelas mereka. Mereka bilang kalau kamu sombong mentang-mentang anak terpintar di sekolah. Dan mereka juga bilang kalau kamu pelit. Suka tidak mau mengajari mereka jika mereka mendapat kesulitan dalam belajar. Mungkin itu yang membuat Fatia marah,” ujar Sila panjang lebar.
Faiza mengernyitkan keningya. “Fatia mungkin saja berbeuat seperti itu, tapi kalau Fuad masa’ iya, sih? Dia, kan, pendiam dan paham betul agama.”
“Setiap manusia tidak ada yang sempurna. Seseorang itu bisa saja berubah, Za. Justru sikap pendiamnya itu yang bisa membuat dia menutupi keburukannya,” ucap Sila.
“Kamu benar, Sil!” kata Faiza sambil menganggukan kepala.
Sementara itu, di kelas, Fuad juga mendapat kabar yang hampir sama dengan Faiza. Tomi, temannya mengatakan bahwa Faiza dan Fatia menggosipkannya di belakang.
“Mereka juga bilang kalau kamu sok alim dan sok pendiam supaya kamu dibilang orang yang baik,” ujar Tomi dengan nada serius.
“Astaghfirullah! Kamu jangan asal ngomong, Tom! Saudari-saudariku tidak seperti itu!” timpal Fuad. Fuad yang pendiam kini ikut berbicara.
“Beneran, Ad,” kata Tomi meyakinkan.
“Ah, aku enggak percaya sama kamu,” balas Fuad.
“Ya, terserah kamu saja. Yang jelas, aku sudah memberitahumu,” kata Tomi.
Fuad tak membalas ucapan Tomi. Ia yakin, kedua adiknya tidak mungkin melakukan itu.
Bel pulang sekolah berbunyi. Saatnya murid-murid untuk pulang ke rumah masing-masing. Hari ini, hari Selasa. Jadi, ini waktunya Faiza untuk piket.
“Fat, kamu enggak nungguin Faiza?” tanya Fuad kepada Fatia yang hendak menuju pagar sekolah.
Fatia tidak menjawab dan langsung mempercepat langkahnya. Ada apa dengan Fatia? Apa jangan-jangan…? Ah, enggak mungkin, Fuad membatin. Ia mulai berpikir saudarinya benar-benar membencinya. Sambil memikirkan hal itu, Fuad melangkah menuju kelas Faiza.
“Za, kamu sudah selesai?” tanya Fuad ketika ia sudah sampai di kelas Faiza. Sama seperti Fatia, Faiza pun tak menjawab pertanyaan Fuad. Jangan-jangan mereka memang marah padaku. Fuad yang awalnya tidak percaya, sekarang mulai percaya.
Fuad tetap menunggu Faiza menyelesaikan tugas piketnya. Setelah selesai, mereka pulang bersama. Tidak seperti biasanya, mereka tidak berbincang-bincang. Selama perjalanan, suasana menjadi hening. Hanya sesekali suara deru mobil ataupun motor yang melintas di sekitar mereka.
“Assalamu ‘alaikum!” seru Fuad dan Fatia hampir berbarengan ketika mereka sampai di rumah.
“Wa’alaikumsalam. Kok, kalian tidak pulang bareng Fatia?” tanya ummi. Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. “Kalian kenapa?” tanya ummi lagi.
“Tidak apa-apa kok, Ummi. Fuad mau ngerjain PR dulu, ya!” ucap Fuad sambil pergi menuju kamarnya.
“Aku juga mau istirahat dulu, Ummi,” Faiza iku-ikutan meninggalkan umminya. Ia takut kalau ummi akan bertanya terus tentang masalah mereka.
Ummi tersenyum melihat sikap ketiga anak kembarnya. Sebelumnya, ummi juga bertanya pada Fatia yang pulang lebih dulu. Fatia juga membuat alasan seperti Fuad dan Faiza. Apa yang terjadi dengan Tiga Karakter?
Esoknya saat sarapan, Fuad, Faiza, dan Fatia masih saja saling tidak mau bicara.
“Siasat kita berhasil, Mi,” bisik abi kepada ummi.
Ummi tersenyum, lalu berkata kepada abi, “Tapi, kita tidak bisa membiarkan mereka begitu terus, Bi.”
“Itu ujian untuk mereka, Mi. Mereka akan mendapat hikmah dari semua itu. Tinggal dua hari lagi, kok, Ummi,” kata abi pelan.
Fuad, Faiza, dan Fatia menatap bingung kedua orang tuanya. Apa yang mereka bicarakan, ya? pikirnya.
“Kami berangkat, Ummi, Abi! Assalamu ‘alaikum!” seru Tiga Karakter sambil mencium tangan abi dan ummi.
“Wa’alaikumsalam,” jawab abi dan ummi berbarengan.
Sesampainya di sekolah, Fuad. Faiza, dan Fatia melihat Sila, Lisa, dan Tomi yang sedang berbincang-bincang di kelas 8c. Tiga Karakter menatapnya heran, karena Sila, Lisa, dan Tomi bersikap sedikit aneh ketika mengetahui keberadaan si Tiga Karakter. Sila, Lisa, dan Tomi langsung menghentikan pembicaraan mereka.
“Hai, Tiga Karakter!” sapa Sila, Lisa, dan Tomi.
Si Tiga Karakter hanya membalasnya dengan senyuman. Kemudian, mereka masuk ke kelas masing-masing.
“Huf, untung saja mereka tidak curiga sama kita! Sebenarnya, aku tidak tega melihat mereka bermusuhan seperti itu,” seru Sila.
“Sama, Sil. Mau bagaimana lagi? Kita, kan, hanya diperintah,” Tomi menimpali.
“Tenang saja. Aku yakin, suatu saat nanti mereka akan saling percaya satu sama lain,” kata Lisa.
“Semoga saja,” balas Lisa dan Tomi.
Detik, menit, dan jam terus berlalu. Tiga Karakter belum juga berbaikan. Meskipun mereka marah, mereka tidak pernah menggunakan kekerasan atau ucapan yang kotor untuk mengungkapkan perasaan itu. Mereka hanya tidak mau bicara satu sama lain. Bahkan, Faiza dan Fatia yang satu kamar tetap saling diam. Mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing.
Sekarang hari Jumat. Abi dan ummi sedang mempersiapkan sesuatu. Entah itu apa, yang jelas Tiga Karakter tidak mengetahuinya.
“Ummi sudah bilang temannya Faiza dan Fatia untuk membawanya ke suatu tempat saat shalat Jumat?” tanya abi.
“Alhamdulillah, sudah, Bi,” jawab ummi.
Sementara itu di sekolah Tiga Karakter, murid-murid masih belajar dengan seriusnya. Beberapa menit kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Hari Jumat SMPIT Al –Vita pulang lebih cepat. Fuad belum pulang karena harus melaksanakan shalat Jumat di sekolah. Semua siswa laki-laki wajib melakukannya sebelum pulang. Sedangkan Faiza, ia diajak Sila ke rumahnya untuk membantu mengerjakan PR. Dan Fatia diajak Lisa ke rumahnya untuk membuat kue.
Usai shalat Jumat, Tiga Karakter akan kembali ke rumah mereka. Sila dan Lisa juga ikut, lho! Sampai di depan rumah, mereka berpapasan. Mereka saling membuang muka. Dan saat Fuad membuka pintu…
“KEJUTAN!! HAPPY BIRTHDAY TIGA KARAKTER!!” teriak abi, ummi, dan teman-teman sekelas Tiga Karakter yang tiba-tiba sudah ada di rumah mereka.
Tiga Karakter terlonjak kaget.
“Astaghfirullah!” pekik Fuad.
“Aku hampir lupa ulang tahun kita jika kalian tidak mengingatkan,” lanjut Fatia senang.
Tomi menghampiri Tiga Karakter. “Jangan berantem lagi, dong!” ucapnya.
“Kami minta maaf, ya! Aku, Lisa, dan Tomi telah memfitnah kalian. Kalian jadi berantem, deh!” sambung Sila.
“Abi dan Ummi yang menyuruh mereka,” tambah Abi.
Mendengar apa yang dikatakan abi, Tiga Karakter ternganga tak percaya.
“Jadi, semua ini sudah direncanakan?” tanya Fuad terheran-heran.
“Ya. Di hari ulang tahun kalian ini, Abi berharap kejadian itu bias menjadi pelajaran untuk kalian agar tidak mudah terpengaruh oleh orang lain dan tetap saling memercayai sesama saudara. Tidak asal bertambah umur, tapi harus disertai dengan penambahan cara berpikir yang lebih dewasa,” ujar abi panjang lebar.
Tiga Karakter saling memandang.
“Aku… minta… ma… maaf, Faiza, Fuad!” ucap Fatia. Kata-katanya terbata-bata karena menahan isak tangis.
Faiza melirik ke arah Fatia. “Aku juga minta maaf, Saudariku!” balas Faiza yang kemudian memeluk adiknya itu.
“Maafkanlah juga kakakmu yang lemah iman ini!” Fuad tak mau kalah. Mereka larut dalam keharuan.
Di sela-sela keharuan mereka, ummi berkata, “Nah, gitu, dong! Ini baru anak Ummi dan Abi!”
Semua orang yang ada di sana, ikut terharu melihat Tiga Karakter. Itu semua dapat dijadikan pelajaran bagi mereka juga walaupun mereka tidak mengalami kejadian yang sama seperti Tiga Karakter.
“Kami pergi dulu ya, Ummi, Abi! Assalamu’alaikum!” pamit mereka bertiga.
“Wa’alaikumsalam!” jawab ummi dan abi.
Fuad, Faiza, dan Fatia adalah tiga anak kembar yang selalu hidup rukun. Mereka selau berangkat bersama. Mereka berangkat dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dengan rumah mereka tidak terlalu jauh. Tapi, mereka berbeda kelas. Fuad dan Fatia kelas 8c, sedangkan Faiza kelas 8e.
Sesampainya di sekolah…
“Hai, Tiga Karakter!” sapa Zahrul teman sekelas Faiza.
Begitulah teman-teman si Kembar sering memanggil mereka Tiga Karakter. Kalian tahu kenapa? Karena Fuad, Faiza, dan Fatia adalah anak-anak yang istimewa di sekolahnya. Mereka meiliki kelebihan yang hebat. Fuad sang kakak, ia pendiam dan pandai dalam hal agama. Faiza adalah anak terpintar di sekolah. Dan si bungsu Fatia pandai sekali memasak, masakannya tidak kalah dengan masakan para chef.
“Hai juga, Rul!” balas Tiga Karakter.
“Ada apa, nih? Tumben kamu nyapa kita pagi-pagi begini?” tanya Fatia menyelidik.
“Aku tak ada urusan denganmu, Fatia. Aku ada perlu dengan Faiza,” jawab Zahrul.
“Perlu? Perlu apa?” sambung Faiza.
“Hehehe… lihat tugas Bahasa Indonesiamu dong, Faiza! Please!” pinta Zahrul manja.
“Enak saja, aku yang capek-capek bikin kamu tinggal nyalin. Enggak bisa gitu, dong!” protes Faiza.
“Ayo, dong! Sekali ini saja. Kamu tahu kan, Bu Mayla itu killer abis,” rayu Zahrul.
Faiza tidak menghiraukannya. Ia bersama kedua saudaranya pergi meninggalkan Zahrul ke kelas masing-masing. Dasar pelit! Batin Zahrul.
Di kelas 8c…
“Hei, Fat! Ke sini, deh!” panggil Lisa teman dekat Fatia di kelas.
“Ada apa, Lis?” tanya Fatia.
“Tahu, nggak, kemarin Faiza dan Fuad ngomongin kamu ke anak-anak lain?” kata Lisa.
“Maksudmu apa sih, Lis?” Fatia menatap Lisa bingung.
“Mereka bilang kalau kamu, tuh, cerewet. Terus mereka juga bilang kalau kamu sok pintar masak, sok masakannya enak padahal sebenarnya nggak enak,” ujar Lisa panjang lebar.
“Masa sih, Lis? Kamu jangan mengada-ngada, deh! Aku lebih kenal mereka dan mereka baik sama aku,” sangkal Fatia tak percaya.
“Yeee… jelas-jelas, kemarin aku dengar mereka bilang begitu. Di depan kamu, mereka baik, tapi kalau di belakang, mereka menusuk kamu,” ucap Lisa meyakinkan.
Fatia berpikir sejenak. Memang akhir-akhir ini, Fatia suka cerewet. Tapi, apakah mungkin kedua saudaranya tega menusuknya dari belakang? Dipandanginya Fuad yang sedang membaca Al-Qur’an. Fatia yang mudah marah itu menatapnya dengan penuh kebencian dan ingin sekali menampar wajah saudaranya itu. Sedangkan Lisa yang merasa Fatia telah memercayainya, merasa senang melihat sikap Fatia.
Aku tak bisa memaafkanmu, gumam Fatia dalam hati.
Sesaat kemudian, bel masuk berbunyi. Semua murid memasuki kelasnya masing-masing untuk memulai tadarus Al-Qur’an. Setelah tadarus, mereka memulai pelajarannya.
Saat istirahat Fatia memilih pergi ke kantin dengan Lisa. Biasanya, ia ke kantin dengan Faiza. Tapi, kali ini tidak. Bahkan, ia tidak membalas ketika Faiza menegurnya. Melihat sikap saudaranya yang tidak biasa Faiza menjadi bingung.
“Fatia kenapa ya, Sil? Kok, dia seperti menghindariku,” tanya Faiza kepada Fatia ketika mereka berada di kantin menikmati istirahat. Sila adalah teman sebangku Faiza.
Sila menyahut, “Enggak tahu deh, Za. Mungkin, ada ucapan atau perbuatanmu yang membuatnya marah kali.”
“Apa mungkin, ya? Kayaknya…” Belum sempat Faiza melanjutkan perkataanya, Sila langsung memotongnya.
“Oh ya, Za. Kemarin, aku dengar dari teman-teman Fatia dan Fuad menggunjingkanmu kepada teman-teman sekelas mereka. Mereka bilang kalau kamu sombong mentang-mentang anak terpintar di sekolah. Dan mereka juga bilang kalau kamu pelit. Suka tidak mau mengajari mereka jika mereka mendapat kesulitan dalam belajar. Mungkin itu yang membuat Fatia marah,” ujar Sila panjang lebar.
Faiza mengernyitkan keningya. “Fatia mungkin saja berbeuat seperti itu, tapi kalau Fuad masa’ iya, sih? Dia, kan, pendiam dan paham betul agama.”
“Setiap manusia tidak ada yang sempurna. Seseorang itu bisa saja berubah, Za. Justru sikap pendiamnya itu yang bisa membuat dia menutupi keburukannya,” ucap Sila.
“Kamu benar, Sil!” kata Faiza sambil menganggukan kepala.
Sementara itu, di kelas, Fuad juga mendapat kabar yang hampir sama dengan Faiza. Tomi, temannya mengatakan bahwa Faiza dan Fatia menggosipkannya di belakang.
“Mereka juga bilang kalau kamu sok alim dan sok pendiam supaya kamu dibilang orang yang baik,” ujar Tomi dengan nada serius.
“Astaghfirullah! Kamu jangan asal ngomong, Tom! Saudari-saudariku tidak seperti itu!” timpal Fuad. Fuad yang pendiam kini ikut berbicara.
“Beneran, Ad,” kata Tomi meyakinkan.
“Ah, aku enggak percaya sama kamu,” balas Fuad.
“Ya, terserah kamu saja. Yang jelas, aku sudah memberitahumu,” kata Tomi.
Fuad tak membalas ucapan Tomi. Ia yakin, kedua adiknya tidak mungkin melakukan itu.
Bel pulang sekolah berbunyi. Saatnya murid-murid untuk pulang ke rumah masing-masing. Hari ini, hari Selasa. Jadi, ini waktunya Faiza untuk piket.
“Fat, kamu enggak nungguin Faiza?” tanya Fuad kepada Fatia yang hendak menuju pagar sekolah.
Fatia tidak menjawab dan langsung mempercepat langkahnya. Ada apa dengan Fatia? Apa jangan-jangan…? Ah, enggak mungkin, Fuad membatin. Ia mulai berpikir saudarinya benar-benar membencinya. Sambil memikirkan hal itu, Fuad melangkah menuju kelas Faiza.
“Za, kamu sudah selesai?” tanya Fuad ketika ia sudah sampai di kelas Faiza. Sama seperti Fatia, Faiza pun tak menjawab pertanyaan Fuad. Jangan-jangan mereka memang marah padaku. Fuad yang awalnya tidak percaya, sekarang mulai percaya.
Fuad tetap menunggu Faiza menyelesaikan tugas piketnya. Setelah selesai, mereka pulang bersama. Tidak seperti biasanya, mereka tidak berbincang-bincang. Selama perjalanan, suasana menjadi hening. Hanya sesekali suara deru mobil ataupun motor yang melintas di sekitar mereka.
“Assalamu ‘alaikum!” seru Fuad dan Fatia hampir berbarengan ketika mereka sampai di rumah.
“Wa’alaikumsalam. Kok, kalian tidak pulang bareng Fatia?” tanya ummi. Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. “Kalian kenapa?” tanya ummi lagi.
“Tidak apa-apa kok, Ummi. Fuad mau ngerjain PR dulu, ya!” ucap Fuad sambil pergi menuju kamarnya.
“Aku juga mau istirahat dulu, Ummi,” Faiza iku-ikutan meninggalkan umminya. Ia takut kalau ummi akan bertanya terus tentang masalah mereka.
Ummi tersenyum melihat sikap ketiga anak kembarnya. Sebelumnya, ummi juga bertanya pada Fatia yang pulang lebih dulu. Fatia juga membuat alasan seperti Fuad dan Faiza. Apa yang terjadi dengan Tiga Karakter?
Esoknya saat sarapan, Fuad, Faiza, dan Fatia masih saja saling tidak mau bicara.
“Siasat kita berhasil, Mi,” bisik abi kepada ummi.
Ummi tersenyum, lalu berkata kepada abi, “Tapi, kita tidak bisa membiarkan mereka begitu terus, Bi.”
“Itu ujian untuk mereka, Mi. Mereka akan mendapat hikmah dari semua itu. Tinggal dua hari lagi, kok, Ummi,” kata abi pelan.
Fuad, Faiza, dan Fatia menatap bingung kedua orang tuanya. Apa yang mereka bicarakan, ya? pikirnya.
“Kami berangkat, Ummi, Abi! Assalamu ‘alaikum!” seru Tiga Karakter sambil mencium tangan abi dan ummi.
“Wa’alaikumsalam,” jawab abi dan ummi berbarengan.
Sesampainya di sekolah, Fuad. Faiza, dan Fatia melihat Sila, Lisa, dan Tomi yang sedang berbincang-bincang di kelas 8c. Tiga Karakter menatapnya heran, karena Sila, Lisa, dan Tomi bersikap sedikit aneh ketika mengetahui keberadaan si Tiga Karakter. Sila, Lisa, dan Tomi langsung menghentikan pembicaraan mereka.
“Hai, Tiga Karakter!” sapa Sila, Lisa, dan Tomi.
Si Tiga Karakter hanya membalasnya dengan senyuman. Kemudian, mereka masuk ke kelas masing-masing.
“Huf, untung saja mereka tidak curiga sama kita! Sebenarnya, aku tidak tega melihat mereka bermusuhan seperti itu,” seru Sila.
“Sama, Sil. Mau bagaimana lagi? Kita, kan, hanya diperintah,” Tomi menimpali.
“Tenang saja. Aku yakin, suatu saat nanti mereka akan saling percaya satu sama lain,” kata Lisa.
“Semoga saja,” balas Lisa dan Tomi.
Detik, menit, dan jam terus berlalu. Tiga Karakter belum juga berbaikan. Meskipun mereka marah, mereka tidak pernah menggunakan kekerasan atau ucapan yang kotor untuk mengungkapkan perasaan itu. Mereka hanya tidak mau bicara satu sama lain. Bahkan, Faiza dan Fatia yang satu kamar tetap saling diam. Mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing.
Sekarang hari Jumat. Abi dan ummi sedang mempersiapkan sesuatu. Entah itu apa, yang jelas Tiga Karakter tidak mengetahuinya.
“Ummi sudah bilang temannya Faiza dan Fatia untuk membawanya ke suatu tempat saat shalat Jumat?” tanya abi.
“Alhamdulillah, sudah, Bi,” jawab ummi.
Sementara itu di sekolah Tiga Karakter, murid-murid masih belajar dengan seriusnya. Beberapa menit kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Hari Jumat SMPIT Al –Vita pulang lebih cepat. Fuad belum pulang karena harus melaksanakan shalat Jumat di sekolah. Semua siswa laki-laki wajib melakukannya sebelum pulang. Sedangkan Faiza, ia diajak Sila ke rumahnya untuk membantu mengerjakan PR. Dan Fatia diajak Lisa ke rumahnya untuk membuat kue.
Usai shalat Jumat, Tiga Karakter akan kembali ke rumah mereka. Sila dan Lisa juga ikut, lho! Sampai di depan rumah, mereka berpapasan. Mereka saling membuang muka. Dan saat Fuad membuka pintu…
“KEJUTAN!! HAPPY BIRTHDAY TIGA KARAKTER!!” teriak abi, ummi, dan teman-teman sekelas Tiga Karakter yang tiba-tiba sudah ada di rumah mereka.
Tiga Karakter terlonjak kaget.
“Astaghfirullah!” pekik Fuad.
“Aku hampir lupa ulang tahun kita jika kalian tidak mengingatkan,” lanjut Fatia senang.
Tomi menghampiri Tiga Karakter. “Jangan berantem lagi, dong!” ucapnya.
“Kami minta maaf, ya! Aku, Lisa, dan Tomi telah memfitnah kalian. Kalian jadi berantem, deh!” sambung Sila.
“Abi dan Ummi yang menyuruh mereka,” tambah Abi.
Mendengar apa yang dikatakan abi, Tiga Karakter ternganga tak percaya.
“Jadi, semua ini sudah direncanakan?” tanya Fuad terheran-heran.
“Ya. Di hari ulang tahun kalian ini, Abi berharap kejadian itu bias menjadi pelajaran untuk kalian agar tidak mudah terpengaruh oleh orang lain dan tetap saling memercayai sesama saudara. Tidak asal bertambah umur, tapi harus disertai dengan penambahan cara berpikir yang lebih dewasa,” ujar abi panjang lebar.
Tiga Karakter saling memandang.
“Aku… minta… ma… maaf, Faiza, Fuad!” ucap Fatia. Kata-katanya terbata-bata karena menahan isak tangis.
Faiza melirik ke arah Fatia. “Aku juga minta maaf, Saudariku!” balas Faiza yang kemudian memeluk adiknya itu.
“Maafkanlah juga kakakmu yang lemah iman ini!” Fuad tak mau kalah. Mereka larut dalam keharuan.
Di sela-sela keharuan mereka, ummi berkata, “Nah, gitu, dong! Ini baru anak Ummi dan Abi!”
Semua orang yang ada di sana, ikut terharu melihat Tiga Karakter. Itu semua dapat dijadikan pelajaran bagi mereka juga walaupun mereka tidak mengalami kejadian yang sama seperti Tiga Karakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar