Senin, 19 Maret 2012

Terlilit - Cerpen Pengalaman Pribadi

TERLILIT
Cerpen Wahyu Falah

Hari ini hanya satu kapal yang berlayar. MV. Express Cantika 88. Biasanya ada dua kapal yang berlayar dari Baubau – Kendari. Kapal yang satunya lagi, MV. Sagori Express 2 mengalami kerusakan mesin, hari ini tidak bisa berlayar. Bakal menumpuk nanti penumpang, pikirku.
“Mohon ditunjukkan tiketnya pak?, nomor berapa?”, seorang ABK menanyaiku di tangga pintu masuk kapal. Aku menunjukkan tiketku, VIP 23. “ Silahkan naik ke atas dan lurus pak”, ABK mempersilahkanku sambil mengangkat tangan kirinya dan menunjuk tangga naik di bagian tengah kapal.

Kulirik HP nexi’anku, 07:15 tertera dilayar. Pintu masuk ruang VIP seperti pintu-pintu kapal lainnya. Bentuknya khas, berbentuk segiempat panjang dengan sudut halus disetiap sisinya dan tampak seperti di iris dari dinding kapal. Disertai pengait yang menutup secara otomatis. “Selamat pagi pak, nomor berapa kursinya?”, suara merdu pramugari menyapaku. Sedikit menghangatkan ruang VIP yang full AC.
“Nomor 23, dimana ya?”, aku mencoba mengakrabkan diri. Padahal sebenarnya aku sudah tahu dimana kursi nomor 23 itu berada. Aku cukup sering menumpang kapal ini, khususnya ruang VIP. Bagiku dengan memilih ruang VIP, perasaan menjadi nyaman, tidak berdesakan, tidak takut barang bawaan tertukar dan dekat dengan ruang terbuka. Ruang terbuka disini adalah disebelah kanan kiri ruang anjungan(ruang nakhoda).

Setelah menyimpan tas di bawah depan kursiku, aku mengamati sekeliling ruang VIP. Para penumpang yang baru masuk tampak mencari-cari kursinya dibantu oleh pramugari-pramugari yang cantik. Diantara para penumpang itu, beberapa wajah kukenali biasa menumpang kapal ini. Kami bertatapan dan menukar senyum sekilas. Kami memang tidak saling mengenal, namun aktivitas kami yang sering bolak-balik Baubau – Kendari menjadikan kami seakan saling melengkapi.

Cerpen Terlilit
Alunan musik mulai terdengar bersamaan dengan munculnya gambar tayangan video di televisi layar datar berukuran besar di depan ruang VIP. Seorang penyanyi Maluku melantunkan suara merdunya. Jadi ingat Broery Marantika. Memang, sebagian besar ABK kapal ini adalah putra Maluku. Kabarnya pula pemilik kapal ini adalah seorang berketurunan Cina Ambon.

Aku bersandar di kursiku menikmati dua buah lagu Maluku. Tiba-tiba volume lagu mengecil dan berganti dengan suara Nakhoda. “Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, Selamat pagi, disampaikan kepada para pengantar, buruh-buruh bagasi, pedagang untuk segera turun dari kapal. Dan kepada penumpang yang masih berada di dermaga, segera naik ke kapal, kapal MV. Express Cantika 88 segera lepas tambat, terima kasih, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatuh”. Kulirik HP nexi’anku lagi, 07:35.  Seiring dengan berakhirnya suara Nakhoda, deru mesin kapal berbunyi. “bruuum..bum..bum...”, seperti suara mobil ketika pertama kali distater.
Lima belas menit kemudian....

Kulihat ke jendela kapal, ternyata sudah berada di selat antara pulau Buton dan pulau Muna. Rupanya aku terlelap sekejap saat kapal lepas tambat meninggalkan pelabuhan Murhum Baubau. Tampak jejeran rumah-rumah panggung dengan atap bersusun khas daerah Buton. Kalau tidak salah kampung ini adalah Baruta, pikirku. Dahulu, saat musim “kapal kayu” di selat ini ada anak-anak nelayan yang beratraksi dekat kapal menyelam dan “berburu” koin yang dilemparkan oleh penumpang “kapal kayu”. Aku teringat nama-nama Paelangkuta, Ilologading, Bawakaraeng. Perjalanan menggunakan “kapal kayu” dari Baubau – Kendari memakan waktu sehari semalam. Alhamdulillah, dengan kapal viber jet sekarang, waktu tempuh Baubau – Kendari paling lama 6 jam, dengan transit di pelabuhan Raha.
“Mau selimut pak?”. Aku tersentak dari lamunanku. Wajah ayu nan cantik berdiri di hadapanku. “Oh eh...Iya.., terima kasih”, aku masih kaget oleh tawaran pramugari kapal. Memang AC diruang VIP ini cukup dingin, namun aku sudah terbiasa. Aku menerimanya saja sebagai bentuk penghargaan terhadap tawarannya. Dia tersenyum padaku, terasa begitu manis, giginya yang rapi serta lesung di pipi kirinya menambah elok wajahnya. Rambutnya diikat ekor kuda dan tubuhnya dibungkus baju batik serta rok hitam. Wangi parhumnya terhembus ke arah hidungku ketika ia berjalan menuju penumpang di belakangku. Aku ingin memandang wajahnya sekali lagi, namun aku gengsi untuk menengok ke belakang. Hatiku seperti terlilit oleh kenangan masa lalu.

Aku mengenal wajah-wajah pramugari di kapal ini. Iya, dia pasti pramugari baru. Aku akan berkenalan nanti, tekadku. Untuk menghilangkan rasa grogiku, ku buka tasku, dan kuambil sebuah buku berjudul “Guru dalam tinta emas”. Kubaca beberapa halaman, aku larut dalam bacaan. Lagu Maluku dan lagu Manado silih berganti mendayu pada soundsystem kapal, tentu saja diiringi tayangan gambar yang berformat karaoke.
“Maaf pak, tiketnya”. Dia lagi. Mahluk manis berwajah ayu itu menghentikan bacaanku secara paksa. Aku menarik nafas dalam, lalu mengambil dompet di saku belakang celanaku. Kukeluarkan tiket dan kuserahkan padanya. Siapa namanya non?, sudah berapa lama di Cantika? Kayaknya kita pernah kenalan ya?. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu tertahan di tenggorokanku, tidak berbunyi. Aku terpana menatap dia yang sedang merobek bagian tengah tiketku. “Makasi pak, ini tiketnya”, sambil menyerahkan tiket padaku. Tak sengaja jariku bersentuhan dengan jarinya. Seakan ada sengatan listrik tegangan tinggi mengalir ditubuhku. Nampaknya dia mengalami hal yang sama pula. “eh, maaf”. Kami saling berucap dan bertukar senyum. Hatiku seperti terlilit mimpi dan kenangan yang tidak jelas wujudnya. Aku harus berkenalan dengannya, tekadku. Dia berlalu meninggalkan wangi parfumnya.

Sepuluh menit kemudian....
“Assalamu alaikum warahmatullah wabarakaatuh dan selamat pagi. Disampaikan kepada para penumpang, beberapa saat lagi kapal MV. Cantik Express 88 akan merapat di pelabuhan Raha, periksa barang bawaan anda, jangan sampai ada yang ketinggalan. ABK dek siap muka belakang”. Kali ini bukan suara Nakhoda. Tapi suaranya. Aku semakin terlilit.
“Buk...bunyi karet ban kapal bersentuhan dengan karet ban pelabuhan Raha ketika kapal merapat. Terasa guncangan yang cukup keras. Diiringi suara hentakan-hentakan kaki yang saling berebutan naik ke kapal dari para buruh pelabuhan. Teriakan-teriakan mereka terdengar jelas, karena pintu penghubung ruang VIP dan ekonomi terbuka. Demikian juga pintu ruang VIP dan ruang nakhoda.
“Pikul, pikul, pikul, pikul tasnya pak, pikul tasnya bu”, para buruh perebut menarik hati penumpang untuk menyewakan jasanya. Aku berdiri dari kursiku. Mengawasi para buruh yang hilir mudik menawarkan jasa. “Gogos telur masak, gogos lemper aqua, kacang,...kacang”, para pedagang datang menghambur menawarkan jualannya.
“Lemper, kacang, aqua, pak. Seperti biasa sepuluh ribu”, seorang pedagang asongan menyerahkannya dalam kantong plastik hitam kepadaku. Namanya, Udin. Aku memang sering membeli sama dia. Dia jujur. Bermula beberapa bulan yang lalu, ketika perjalananku dari Kendari – Baubau dan transit di Raha. Aku sangat haus. Kubeli aqua botol. Uangku pecahan seratus ribu. Udin tidak memiliki kembalian. Dia berjanji akan menukarkan uangku sebelum kapal berangkat lagi. Udin berjalan keluar kapal sambil membawa uang seratus ribu. Aqua botol sudah ditanganku. Sebentar lagi kapal akan berangkat. Hatiku was-was, jangan-jangan uangku sudah dibawa kabur Udin. Aku berdiri dengan gelisah. Kutarik nafas panjang. Baiklah, kalau tidak kembali tidak apa-apa, hitung-hitung sedekah.
“Ini kembaliannya pak”, tiba-tiba saja Udin mengagetkanku dari belakang. Bersamaan dengan suara sang Nakhoda pada soundsystem kapal yang mengabarkan kapal akan segera meninggalkan pelabuhan Raha. Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, Udin sudah bergegas meninggalkan kapal, karena sebentar lagi kapal akan lepas tambat. Aku terharu, diusianya yang masih belia, Udin bekerja penuh tanggung jawab. Sejak saat itu, setiap kali singgah di pelabuhan Raha, aku menunggu Udin untuk membeli dagangannya.

Lima belas menit berlalu....
Pelabuhan Raha terlihat semakin mengecil. Aku berdiri di sebelah kanan luar ruang anjungan. Sebenarnya di depan pintu ruang anjungan tertulis, SELAIN ABK DAN YANG BERKEPENTINGAN DILARANG MASUK. Tapi beberapa penumpang VIP berada di ruang anjungan dan aku juga kini. Kulirik nakhoda, ia sibuk memerintahkan ABK pemegang kemudi dengan perintah-perintah yang tidak kumengerti. Beberapa penumpang VIP dan dua orang ABK sedang asik merokok. Nakhoda memang memberi izin penumpang yang ingin merokok ke anjungan. Malah disiapkan kursi plastik di seblah kanan kiri ruang anjungan. Ada seorang turis Jepang yang sedang asik dengan kamera Nikonnya. Dia bersama seorang penerjemah.

Aku kembali ke ruang VIP. Ruang VIP tampak sesak, karena penumpang dari Raha telah mengisi kursi-kursi yang kosong. Aku melihat tinggal dua baris kursi VIP paling belakang yang belum terisi. Aku melihatnya lagi......dan hatiku berdebar.

Dia duduk di kursi belakang ruang VIP dekat pintu toilet ruang VIP. Dia melemparkan senyum padaku seakan-akan ingin memanggilku untuk berkenalan. Aku berjalan ke arahnya. Semakin dekat......
“Ada orang”, aku bertanya kepadanya sambil menunjuk pintu toilet. Gengsi rasanya langsung menanyakan namanya, jadi kupura-pura saja ke toilet. “ga ada pak, silahkan”, jawabnya. Aku masuk ke toilet. Dalam toilet aku mencoba menyusun kata-kata. Tetapi semakin kususun semakin berantakan. Akhirnya aku tarik nafas dan membuka pintu toilet.
“Boleh duduk di sini”, kataku padanya sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya.
“Boleh pak, silahkan”, jawabnya sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Maaf, kamu baru jadi pramugari disini ya?”, aku memberanikan diri membuka pembicaraan.
“Iya pak, baru dua hari. Bapak sudah sering naik Cantika ya?”, dia menjawab dan mencoba berbasa basi kepadaku. Aku mengangguk.

Namanya Yanti, bapaknya orang Buton, ibunya orang Tolaki. Tinggal di jalan mayjend Sutoyo nomor 23 Baubau. Anak pertama dari tiga bersaudara. Dua perempuan dan satu laki-laki. Nomor HP nya.........kayaknya ga usah kuberitahu ke pembaca, cukup untuk aku saja yang tahu.

Suasana mencair, kami ngobrol ke sana ke mari. Mulai dari gosip artis sampai gosip politik. Aku menyesuaikan diri dengan pembicaraannya. Tidak mungkin aku bercerita tentang permendiknas, panduan EDS, atau resensi buku kan?. Namanya wanita, lebih suka kalau cerita gosip, jadi aku menyesuaikan agar suasana menjadi lebih akrab.
Terdengar sayup-sayup suara mesin kapal. Tiba-tiba.....
Suara mesin kapal semakin kecil dan berhenti, kapal sedikit oleng karena mesin kapal berhenti tiba-tiba. Kepanikan melanda. Yanti minta diri ke ruang anjungan. Aku menangguk. Aku berdiri dan melihat keluar melalui jendela kapal. Apa gerangan yang terjadi.Semua orang di ruangan VIP pada berdiri dan saling bertanya. Ada apa.

Seorang ABK menerobos masuk pintu penghubung ruang VIP dan ruang ekonomi. Sayup-sayup ku dengar keributan di ruang ekonomi, menanyakan hal yang sama. Ada apa?
ABK itu langsung masuk ke ruang anjungan. Ku lihat Yanti sekilas saat pintu ruang anjungan terbuka oleh ABK itu. Semua orang bingung dan bertanya-tanya. Ada apa ini?
Lima menit kemudian, ABK tadi keluar dari ruang anjungan dengan membawa peralatan selam. Banyak yang bertanya kepadanya tapi dia cuek saja sambil berlalu.

Yanti keluar dari ruang anjungan dan menenangkan penumpang VIP. Ada sedikit masalah teknis, demikian penjelasannya. Bersamaan dengan itu terdengar suara nakhoda pada soundsystem kapal.
“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatuh dan selamat siang, disampaikan kepada seluruh penumpang untuk tetap tenang dan duduk ditempatnya masing-masing, ada sedikit masalah teknis dan sekarang sedang diperiksa dan dibenahi, mohon sekali lagi untuk tetap tenang dan tetap duduk ditempatnya masing-masing, terima kasih atas kerjasamanya”.

Aku bergegas ke kursi nomor 23. Aku masih penasaran, apa gerakan yang terjadi. Kurasakan kapal bergeser perlahan ke kanan, kayaknya terbawa arus. Mudah-mudahan masalahnya cepat selesai, batinku.
Sepuluh menit kemudian. ABK yang tadi masuk ke ruang VIP dengan handuk melilit di lehernya, pakaiannya telah berganti. Dia masuk ke ruang anjungan. Beberapa saat kemudian, mesin kapal di hidupkan kembali. Alhamdulillah....

ABK tadi keluar dari ruang anjungan. Wajahnya tidak setegang sebelumnya.
“Ada apa bang?”, aku bertanya padanya ketika dia berada di tentangan kursiku. “Baling-baling terlilit tali”, jawabnya singkat kemudian dia berlalu untuk kembali ke tempat tugasnya dibawah.

Kapal melaju kembali.
Kuberdiri dari kursiku, kulirik Yanti tengah asik duduk di belakang sambil mendengarkan musik dari earphone handphonenya. Ku melangkah ke ruang anjungan. Aku duduk di kursi yang ada diruang anjungan. Nakhoda sedang berbicara dengan ABK petugas kemudi.
Aku menatap lurus ke depan. Kuteringat anak dan istriku di Kendari. Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah, .....
Dia telah melilit hatiku. Aku sudah punya anak dan istri. Aku membayangkan perjuanganku mendapatkan istriku. Alangkah berdosanya diriku.
Dari kejauhan terlihat riak-riak ombak laut Banda dengan buih putih di atasnya. Dalam hati aku berdoa semoga tidak ada lagi tali yang melilit.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar