SELEMBAR KALIGRAFI DIKAMAR MANDI
Cerpen Sujud Kabisat
Aku terperanjat, langsung menghentikan langkah. Begitu mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba ada bayangan berkelebatan datang menepuk bahuku
“Tunggu!”
Kulihat tidak ada siapa-siapa. Tidak kujumpai setapakpun jejak manusia kecuali hanya segelintir angin menempel di tembok, celana dalam menggantung di kapstok, tempat sampah, puntung rokok, sisa-sisa amonia yang meranggas di sela-sela pintu kamar yang sedikit terbuka. Dengan dada gemetar, aku memberanikan diri mencari bayangan itu sampai ke setiap persinggungan ceruk ruang, semak belukar pusaran taman, pos satpam, daerah perbukitan, sampai kawasan perbatasan desa di mana orang selalu menabuh genderang malam seiring puji-pujian keharibaan Tuhan—tidak ada sahutan—tidak ada siapa-siapa—begitu juga dengan bayangan itu.
“Hei! Siapa yang berani menepuk bahuku malam-malam begini. Apakah kalian semacam setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?!”
Di depan kamar mandi, aku menggerutu, mengetuk pintu sebanyak dua kali, “Hei! Siapa yang berani mempermainkanku malam-malam begini?!”
“Brakkk!” Dengan emosi kutendang pintu itu. Kamar mandi menganga. Pintu terbuka. Samar-samar, dari rambatan cahaya purnama yang menyelinap masuk dari celah jendela kamar, aku melihat bayangan hitam teronggok di pojok ruangan. Wajahnya kusam. Bola matanya hitam. Sekujur tubuhnya serba hitam. Kemudian bayangan itu perlahan-lahan berjalan mendekatiku dengan wajah yang menyeramkan. Semakin menyeramkan. Dan….
Subhanallah. Ternyata Ibu yang keluar dari kamar mandi. Wajahnya sungguh teduh. Kulitnya bersih. Gaunnya sunyi. Kemudian kuikuti langkah Ibu sampai memasuki kamarnya. Aku memberanikan diri duduk di sebelahnya. Kurebahkan kepalaku di pangkuannya. Kugenggam jari tangannya.
“Kenapa buyung, rona matamu kelihatan menerawang gamang, seluruh aliran darahmu nampak tegang.”
“Ah, tidak ada apa-apa kok. Apakah yang berada di kamar mandi menepuk bahuku tadi Ibu?”
“Bukan, Ibu hanya pipis sebentar, habis itu berwudlu.”
“Tapi, Bu?!”
“Sudahlah, Buyung. Di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi. Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal sepele yang sering kurang kita pahami. Kamu salah sedikit saja melangkah, bisa jadi malah polah kepradah berlawanan arah. Kamar mandi itu bentuknya bukan hanya persegi. Tapi mempunyai seribu sisi.”
Ibu diam. Sesekali mengusap air wudlu dari balik wajahnya yang teduh. Serat kulitnya yang bersih. Dari pantulan gaunnya yang sunyi. Kemudian Ibu beranjak melangkahkan kaki untuk solat tahajud.
Dalam benak panjangku, malam itu, aku masih ragu ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu. Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
Aku terperanjat, langsung menghentikan langkah. Begitu mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba ada bayangan berkelebatan datang menepuk bahuku
“Tunggu!”
Kulihat tidak ada siapa-siapa. Tidak kujumpai setapakpun jejak manusia kecuali hanya segelintir angin menempel di tembok, celana dalam menggantung di kapstok, tempat sampah, puntung rokok, sisa-sisa amonia yang meranggas di sela-sela pintu kamar yang sedikit terbuka. Dengan dada gemetar, aku memberanikan diri mencari bayangan itu sampai ke setiap persinggungan ceruk ruang, semak belukar pusaran taman, pos satpam, daerah perbukitan, sampai kawasan perbatasan desa di mana orang selalu menabuh genderang malam seiring puji-pujian keharibaan Tuhan—tidak ada sahutan—tidak ada siapa-siapa—begitu juga dengan bayangan itu.
“Hei! Siapa yang berani menepuk bahuku malam-malam begini. Apakah kalian semacam setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?!”
Di depan kamar mandi, aku menggerutu, mengetuk pintu sebanyak dua kali, “Hei! Siapa yang berani mempermainkanku malam-malam begini?!”
“Brakkk!” Dengan emosi kutendang pintu itu. Kamar mandi menganga. Pintu terbuka. Samar-samar, dari rambatan cahaya purnama yang menyelinap masuk dari celah jendela kamar, aku melihat bayangan hitam teronggok di pojok ruangan. Wajahnya kusam. Bola matanya hitam. Sekujur tubuhnya serba hitam. Kemudian bayangan itu perlahan-lahan berjalan mendekatiku dengan wajah yang menyeramkan. Semakin menyeramkan. Dan….
Subhanallah. Ternyata Ibu yang keluar dari kamar mandi. Wajahnya sungguh teduh. Kulitnya bersih. Gaunnya sunyi. Kemudian kuikuti langkah Ibu sampai memasuki kamarnya. Aku memberanikan diri duduk di sebelahnya. Kurebahkan kepalaku di pangkuannya. Kugenggam jari tangannya.
“Kenapa buyung, rona matamu kelihatan menerawang gamang, seluruh aliran darahmu nampak tegang.”
“Ah, tidak ada apa-apa kok. Apakah yang berada di kamar mandi menepuk bahuku tadi Ibu?”
“Bukan, Ibu hanya pipis sebentar, habis itu berwudlu.”
“Tapi, Bu?!”
“Sudahlah, Buyung. Di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi. Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal sepele yang sering kurang kita pahami. Kamu salah sedikit saja melangkah, bisa jadi malah polah kepradah berlawanan arah. Kamar mandi itu bentuknya bukan hanya persegi. Tapi mempunyai seribu sisi.”
Ibu diam. Sesekali mengusap air wudlu dari balik wajahnya yang teduh. Serat kulitnya yang bersih. Dari pantulan gaunnya yang sunyi. Kemudian Ibu beranjak melangkahkan kaki untuk solat tahajud.
Dalam benak panjangku, malam itu, aku masih ragu ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu. Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
Ah, kulihat dari celah jendela kamar, kemerlip cahaya bintang sudah nampak redup dan hampir padam. Purnama mulai beriring-iringan beranjak pergi untuk pamitan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak kuasa menterjemahkan apa yang terjadi. Kecuali, sebelum sinar matahari terlanjur enggan menyapa selamat pagi, di atas selembar kertas kwarto, aku hanya bisa menulis selembar kaligrafi, “Berdoa Dulu Sebelum Masuk Kamar Mandi.”
***
Sejak kejadian itu, antara percaya dan tidak, sungguh! Sekarang aku menjadi was-was jika mau masuk ke kamar mandi. Bayangan hitam itu seolah-olah sudah stand- by di sekitar kamar mandi dengan cengkraman tangannya yang kuat. Dengan wajahnya yang mengerikan.
Kadang, aku juga sering terperanjat, dan langsung menghentikan langkah. Begitu mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba selalu ada saja bayangan berkelabatan menepuk bahuku
“Tunggu!”
Apakah semacam setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?
Tidak? Tidak! Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada setapakpun kujumpai jejak manusia kecuali hanya aku termangu di depan pintu sembari memilang-miling selembar kaligrafi itu. “Tulisanmu bagus juga buyung,” kata keluargaku, saudaraku, dan kata siapa saja yang melihat selembar tulisan kaligrafi itu.
Aku melempar senyum. Sementara itu dari hari ke hari tamu yang berkunjung ke rumahku datang dan pergi silih berganti. Setiap ada tamu, dan mereka hendak numpang ke belakang untuk istinjak, membasuh muka, mengganti pepes anaknya atau mau apa saja, aku selalu mengikuti mereka dari belakang. Aku selalu mengendap-endap dari tembok samping kamar mandi mengamati gerak-gerik mereka dengan teliti. Ada di antara mereka ketika mau masuk kamar mandi membaca selembar kaligrafi itu dulu, kemudian mulutnya mendesah komat-kamit, seperti berdoa. Ada juga yang masuk dengan santai tanpa melihat selembar kaligrafi itu. Banyak juga di antara mereka yang melihat selembar kaligrafi itu malah tertawa, nyengir, kemudian sesekali tangannya yang basah ditempelkan pas di tengah selembar kaligrafi itu hingga membentuk seperti bubuhan cap lima jari.
Semula tidak terjadi apa-apa. Aman. Tapi selang lima hari, dua minggu, sebulan, ahirnya, perasaan paling mendebarkan muncul juga tatkala para tamu dari lingkungan desa sudah memenuhi rumahku untuk acara pertemuan arisan. Mbah Abas, selaku sesepuh desa kami memulai acara dengan pembacaan doa. Ruangan tamu cukup sesak. Berbaur dengan semilir angin dari rerimbunan pohon di depan rumah. Membuat suasana agak sedikit gaduh.
“Tapi, kamar mandi itu, lagi-lagi pikirku cemas. “Wah, jangan-jangan…”
Untuk ke sekian kalinya aku tergeragap. Belum sempat sejengkal kakipun aku melangkah. Belum sempat para tamu mendongakkan kepala, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menjerit kesakitan, “Wataauuuuuuuu...!!!”
“Itu suara ragil, anakkuuu…!!!” teriak Ibunya cemas.
Spontan semua yang berada di dalam rumah langsung berhamburan ke belakang. Acara buyar. Orang-orang panik. Takut kalu terjadi apa-apa pada diri ragil.
“Dobrak saja pintunya,” teriak Om Brahman.
“Jangan, kita harus lapor ke polisi,” ujar Bulek Parmi.
“Ya, tetangga desa sebelah ada pak polisi cakep membawa pistol. Kita lapor saja, nanti biar di dorrrr orang yang mengganggu Mas Ragil,” sambung Budhe Lasmi.
“Ini bukan masalah kriminal lho, Mbak Yu,” tegas Bapak, “Sebaiknya kita dobrak saja pintunya. Bagaimanapun juga, kalau terjadi apa-apa nanti kita yang disalahkan.”
“Ya, dobrak saja pintunya!”
Alhasil, kami semua sepakat mendobrak pintu. Hanya dengan empat gebrakan, dengan bantuan beberapa orang yang berbadan cukup besar, pintu kamar mandi langsung roboh. Kulihat darah segar berceceran di kamar mandi. Ragil terkapar. Lemas. Tak sadarkan diri. Mulutnya menganga. Kancing celananya sedikit terbuka.
“Masya Allah,” teriak kami, ketika dengan kasat mata melihat Upik juga tergeletak lemas tak sadarakan diri, dengan posisi tengkurap di samping Ragil.
Om Brahman, Bapak, dibantu dengan beberapa orang segera membopong mereka ke ruang tamu. Mereka berdua mengalami pendarahan yang luar biasa, terutama Upik. Menurut desas-sesus yang tersiar dari warga setempat, Upik telah mengandung dua bulan. Keluarganya membiarkan begitu saja anaknya bebas berkeliaran dan kumpul kebo dengan siapa saja.
“Bagaimana denyut nadinya?” tanya Mbah Abas seraya meredamkan suasana.
Om Brahman, yang tergolong masih family dengan Upik memegang lengan mereka bergantian. Dan untuk terahir kalinya, wajahnya terlihat muram. Ia menghela nafas panjang. Menundukkan kepala. “Upik sudah tiada,” jawabnya dengan suara datar.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Aku tidak habis pikir, di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi. Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal sepele yang sering kurang kita pahami. Memang benar nasehat Ibu, kamar mandi itu bentuknya bukan hanya persegi, tapi mempunyai seribu sisi.
Sejak musibah menimpa Ragil dan Upik, sampai sekarang, atau bahkan selamanya, aku masih ragu ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu. Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
Yang jelas, sampai saat ini, ketika mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba selalu ada saja bayangan berkelebatan datang menepuk bahuku
“Tunggu!”
Jogja, 2003
Baca juga Cerpen Islam yang lainnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar