Sebelumnya dikenal sebagai pemain sandiwara di akhir 1950-an, Ia lahir pada 22 September 1933 tepatnya di Pandeglang Jawa Barat dan Ia menempuh Pendidikan ASDRAFI Yogyakarta (1954-1955), ATNI (1957-1961), dan East West Centre University of Hawaii (1963).waktu masih menggunakan nama Steve Lim Tjoan Hok dalam pementasan-pemantasan yang diadakan oleh ATNI. Walaupun juga sudah mendapat pendidikan dan sekaligus praktek pembuatan film pada Perusahaan Film Negara (PFN) namun Teguh Karya
masih belum berkecimpung di film. Teguh masih tetap
“setia” dengan dunia seni pertunjukan atau teaternya, terlebih setelah pada 1965 membentuk Teater Populer.
Baru pada 1971 dia benar-benar aktif di film dengan membuat Wajah Seorang Laki-laki. Film yang cerita dan skenarionya ditulis Teguh Karya sendiri itu, walaupun kurang mendapat sambutan penonton namun para kritikus dan sejumlah media menilai dan menyambut sebagai sesuatu yang positif. Keberadaan film Teguh ini bahkan dikatakan sebagai film unikum yang patut dipuji.
Selesai itu, Teguh Karya terus membuat film, namun sesekali tetap memproduksi dan menyutradarai pertunjukan teater bersama Teater Populer-nya. Film-film yang lahir dari tangannya senantiasa meraih penghargaan dari berbagai festival baik dalam maupun luar negeri.
|
Teguh Karya |
Walaupun film telah dikenal Teguh Karya saat masih kuliah di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) pada 1950-an akhir, dan bahkan sempat mengikuti program workshop produksi film yang diselenggaraklan oleh PFN (Perusahaan Film Negara) pada awal 1960-an, namun Teguh Karya masih tetap setiap dengan kegiatan teaternya.
Teater dengan nama Teater Populer
yang didirikan dan dipimpinnya itu tak terhitung berapa kali sudah tampil mementaskan naskah-naskah dari pengarang besar seperti Alice Gerstenberg, Norman Barash, Nikolai Gogol dan lain-lain. Setiap kali tampil pada masa itu, sambutan penonton luar biasa. Garapan teater Teguh sangat komunikatif. Kekuatan bukan saja ada pada kempuan akting aktor-aktris panggung yang terlibat tetapi juga penyutradaraan, penataan set panggung, manajemen pertunjukan, dan lain-lain. Maka, pada masa itu, setiap kali Teater Populer tampil di berbagai tempat seperti antara lain Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta dan lain-lain, orang-orang sudah siap menanti. Teguh bukan saja sebagai sutradara, tetapi dia memposisikan diri sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas semuanya, tentu dengan pendekatan pembinaan sesuai yang dimiliki. Dan pendekatan itu selalu memberikan kekaguman serta kebanggaan bagi murid-muridnya.
Simaklah apa kata Slamet Rahardjo, salah seorang muridnya yang tumbuh dan dibesarkan lewat
Teater Populer: “
Teguh Karya adalah ‘suhu’. Dia menjadi semacam sentrum magnit yang gelombang getarannya sanggup membuat para anggota kelompok terus-menerus merasa ‘demam berkesenian’. Terus-menerus merasa harus menggali agar kekurangan bisa dilengkapi. Terus menerus ‘hanya’ memikirkan teater dan seni. Dia adalah guru, sahabat, dan sekaligus juga bapak. Pada Teguh, para anak didiknya tidak hanya belajar teater dan kesenian saja, tetapi sekaligus juga belajar tentang kehidupan agar bisa tetap berdiri meski kesulitan datang bertubi-tubi.”
Bahkan Asrul Sani saat melihat kegiatan dan hasil karya teater Teguh Karya, memberikan pendapat:
“Semenjak semula bagi Teguh Karya, teater adalah sesuatu yang serius”.
Berteater hingga bertahun-tahun bersama anak didiknya, tak pernah membuat Teguh merasa lelah. Bahkan kerasnya
“pertarungan” Teguh ini sempat mendapat sorotan dari media massa.
Media massa mengangap, Teguh Karya terlalu keras pada pendiriannya untuk setia pada teater, sementara itu “bekerja” sebagai orang teater masih belum memungkinkan untuk memberikan penghidupan yang layak. Menanggapi hal ini, saat itu, Teguh Karya menjawab: “Semuanya harus dicari, dibentuk, dan dipelihara. Semuanya membutuhkan kerja keras. Tetapi jangan juga salah, semakin kita dekat dan bisa membuka pintu teater maka sesungguhnya semakin susah. Karena itulah kita terpanggil untuk tetap berada di dalamnya.”
Keakraban Teguh Karya bersama kelompoknya pada teater, menjadikannya begitu kental dengan dunia kesenian. Hingga sampai pada suatu masa, ketika Teguh menganggap bahwa teater memiliki keterbatasan dalam mengekspresikan idenya, maka lalu dipilihlah film sebagai media baru. Tahun 1971 adalah awal persentuhan Teguh Karya dengan dunia film. Pada tahun tersebut, dari tangannya lahir film Wajah Seorang Laki-laki yang pemainnya adalah rata-rata mereka yang biasa bermain pada teaternya sebelum-sebelumnya seperti Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, dan lain-lain.
Secara bisnis film pertama Teguh Karya ini gagal. Secara artistik pun kurang mendapat tempat di Festival Film Indonesia (FFI) 1972. Namun, apa yang menjadi kelebihan dalam film ini banyak dibicarakan oleh para kritikus dan media masa. Bahkan juga dianggap memiliki kecenderungan gaya yang berbeda dibandingkan dengan karya-karya sutradara lainnya pada masa itu. Teguh dianggap berpotensi untuk melahirkan film-film berkualitas setelah film pertamanya itu.
Tahun-tahun berikutnya, benar saja, Teguh tampil memberi warna baru dalam sejarah perfilman nasional. Pengaruh latar belakang sebagai orang teater yang sangat dekat dengan kesenian, apalagi sebelumnya sangat dikenal dengan detailnya baik terkait dengan penanganan akting para pemain, setting atau property, komposisi, dramatic, irama dan lain sebagainya, sangat terasa. Hal-hal inilah yang menjadikan karya-karya film Teguh bukan saja sekedar beda dengan kecenderungan karya-karya film sutradara lain tetapi juga memiliki makna dan nilai yang sangat berarti bagi masyarakat penontonnya.
Hampir semua film-film Teguh Karya, akhirnya, setelah Wajah Seorang Laki-laki (1971) sampai dengan karyanya yang terakhir Pacar Ketinggalan Kereta (1989) sukses meraih penghargaan di berbagai festival baik dalam mapun luar negeri.dan inilah Teguh Karya Dalam Biografi.