Sabtu, 01 September 2012

Melancholy - Cerpen Remaja

MELANCHOLY
Karya RLR

Aku melirik sinis pada pintu kelas. Teringat olehku, kemarin seseorang melemparkan kotak pensil beserta isinya padaku dengan alasan ingin melihat aku menangis, namun ia gagal dan berakhir di ruang guru. Aku juga teringat pada dua hari yang lalu ketika seseorang tiba-tiba memelukku dengan alasan ingin melihat ekspresiku saat malu. Namun ia gagal dan berakhir di ruang UKS.

Aku memang dikenal galak-aku merasa, lebih baik daripada dibilang tomboy-, berbeda dengan kembaranku. Ya, aku seorang anak kembar. Namaku Dini dan kembaranku Dina. Sifat kami bertolak belakang. Kalau aku dikenal pemarah dan egois, Dina cengeng dan manja. Kalau aku malas dalam belajar maka dia amat giat bahkan dia pernah menjadi peringkat umum ketika masih di SMP. Kalau aku mengikuti ekstrakulikuler karate yang terkesan keras, makan Dina mengikuti les piano yang terdengar lembut. Begitu banyak yang berbeda dari kami, satu-satunya yang sama hanyalah raut wajah. Itu saja.

Karena itu kadang aku sering memarahinya. Aku kesal melihatnya menangis tak jelas. Setiap aku bertanya kenapa, jawabannya simple sekali.
“Tak ada apa-apa.”

Tak ada apa-apa gimana? Kok, bisa sampai nangis gitu kalau tidak ada apa-apa?

Namun kadang dia bersikeras meyakinkanku dengan berkata kalau besok semua masalahnya pasti akan selesai. Hanya saja sampai saat ini, aku merasa masalahnya bukan selesai tapi malah bertambah. Terakhir, dia menangis hanya karena Gilang, pacarnya, berjalan-jalan dengan siswi dari sekolah lain. Karena aku pusing mendengar Dina menangis seharian di kamar akhirnya aku ke rumah Gilang dan membuatnya tak bisa berjalan lagi selama tiga hari.

Kembali ke pintu kelas. Aku mulai membukanya perlahan. Terdengar teriakan nyaring berbunyi.
“DINI! KAMU SUDAH MENYELESAIKAN PR-MU BELUM?”

Ternyata teman sebangkuku, Naila. Ia langsung berlari menghampiriku yang diam di tempat. Aku mengernyitkan dahi.
“Hah! Pr?!!”

Naila memegangi kepalanya. Pusing mungkin punya teman sebangku macam aku. Aku berlari menuju bangku, membuka tasku dan mengeluarkan buku catatanku. Sial! Padahal sudah kutandai dengan banyak tanda panah pada bagian PR-nya. Malah sudah ada keterangan kalau hari ini dikumpul. Aku benar-benar lupa. Dengan cekatan aku mengambil pena dan buku temanku. Aku mesti bekerja ekstra pagi ini!!

TENG TENG TENG!!
Kelas hening sejenak untuk menghitung berapa kali lonceng berbunyi. Setelah lonceng berhenti berbunyi, terdengar teriakan memprihatinkan, “TIDAAAKKKK!!!”

Segera saja semua murid mengambil buku masing-masing lalu duduk di tempatnya untuk menulis secara diam-diam. Akupun begitu.
“Naila, pinjam bukumu ya?” pintaku.

Naila tampak berpikir sejenak kemudian menyerahkan bukunya padaku. Aku kegirangan sesaat, lalu mulai serius menulis. Mulutku tak sadar mengucapkan kata demi kata yang aku tulis. Senyumku mengembang ketika aku hampir menyelesaikan PR yang jumlahnya hanya lima soal essai ini. Sayangnya guru ternyata sudah lama masuk bahkan ketika aku menulis jawaban soal ketiga guru sudah berdiri di belakangku.
“Sudah hampir selesai ya?” ujar guru itu lembut di telinga kananku. Aku menoleh takut padanya. Dan akhirnya, aku dikeluarkan dari kelas secara paksa.
“Jangan masuk kelasku lagi!”

Kira-kira begitulah ucapannya ketika ia mengusirku. Yah, hadapi saja dengan santai. Tetap bersyukur pada Tuhan. Setidaknya, berjalan-jalan di koridor lebih menyenangkan daripada belajar di kelas.

Satu per satu kelas kulewati. Tak terlihat penyesalan dari diriku. Aku justru melewatinya dengan perasaan tetap riang. Inilah kelebihanku-mungkin juga sebenarnya kekurangan-, aku bisa melewati semua masalahku dengan sikap tenang. Berbeda dengan beberapa wanita yang ketika mendapat masalah langsung menangis. Huh, seperti kembaranku. Dikit-dikit nangis.

Setelah sekian lama aku berkeliling koridor akhirnya lonceng pergantian pelajaran berbunyi. Segera aku berlari menuju kelasku. Kalau terlambat, aku bisa ketinggalan masuk kelas dan terpaksa keluar lagi dari pelajaran. Dan yey! Aku masuk tepat waktu.

Aku segera duduk di kursiku. Beberapa siswa kelihatan sedikit gusar. Aku melirik menuju papan tulis. Banyaknya coretan membuatku bertanya, “Belajar apa kalian tadi?”
“Hanya belajar beberapa soal mengenai fungsi limit.”

Aku membulatkan mulutku mengucapkan huruf “O” kemudian mengamati papan tulis sekali lagi. Sumpah, aku bingung dari mana kemana guru kira-kira menjelaskan. Mungkin aku bisa minta bantuan pada Dina, aku yakin dia pasti sudah mempelajarinya.
“Oh iya, pertemuan selanjutnya kita ulangan lho.”
“Ha?!!”

Hening.

(Pulang sekolah)
Aku berjalan lunglai, tidak seperti biasanya. Hal tersebut otomatis membuat Dina bertanya heran padaku.
“Kau kenapa?”
“Hanya sedikit malas.”

Dina kemudian diam untuk beberapa menit selama kami berjalan menuju halte. Aku melirik padanya, dia berjalan dengan langkah yang berat. Bahkan saat aku sedang malas seperti sekarang, aku tetap terlihat lebih bersemangat daripada dia.
“Hei, kamu sudah belajar mengenai fungsi limit?” tanyaku penuh harap padanya. Aku sebenarnya sangat tidak ingin menerima jawaban lain selain ‘iya’. Namun tetap saja realita yang menentukan jawaban Dina.
“Belum, kenapa?”

Aku makin lunglai berjalan ketika mendengar jawabannya. “Aku ada ulangan tentang itu.”
“Kapan?”
“Dua hari lagi,” ujarku lirih. Dua hari sebenarnya waktu yang lama kalau belajar. Sayangnya aku malas belajar, pasti dua hari cepat berlalu. Ah, apa aku keluar dari kelasnya lagi saja, ya?
“Kalau mau, kakak bisa baca buku di perpustakaan saja. Pasti ada buku yang mempelajari fungsi limit.”
“Ah, aku malas ke perpustakaan. Aku cepat bosan di sana.”

Dina tersenyum simpul. Aku tak bisa menebak apa yang ia pikirkan, aku hanya merasa ia tidak akan apa-apa melihatku seperti ini. Dan mungkin juga aku sebenarnya tidak apa-apa. Besok aku pasti sudah bisa menyelesaikan masalahku. Hei, tunggu sebentar. Kenapa cara pikirku seperti Dina?


(Keesokan harinya)
“Maaf, aku terlambat!” teriakku dari balik pintu kelas. Nampak di depanku guru sudah menerangkan sementara murid-murid sedang mencatat. Yup, sekali lagi aku dikeluarkan dari kelas.

Mungkin ini karma, karena aku telah sering membuat beberapa siswa tak bisa berangkat sekolah untuk belajar-jika memang begitu- karena aku beri sedikit pelajaran. Namun sudahlah, berjalan di koridor untuk kesekian kalinya tak ada masalah. Aku sudah terbiasa. Ini bukan kedua kalinya aku dikeluarkan selama pelajaran di mulai dan kurasa ini bukan jadi yang terakhir kalinya.

Entah mengapa, naluri mengantarku ke perpustakaan. Mungkin aku masih kepikiran dengan ulangan itu. Bagaimanapun juga nilai ulangan adalah salah satu nilai yang bisa menutupi sikapku yang kurang bagus agar aku tetap bisa naik kelas. Aku tak bisa membiarkan diriku tidak naik kelas. Aku tak mau itu!
Segera aku berjalan menuju salah satu rak yang berisi kumpulan buku fisika lalu mengambil salah satunya. Aku buka perlahan. Mungkin aku bisa mempelajarinya selama aku dikeluarkan dari kelas. Terlihat olehku, tulisan besar pada subbab bagian pertamanya. “Yap, ini dia yang aku cari!”

Aku duduk di salah satu kursi. Aku baru sadar kalau aku tidak membawa alat tulis. So, bagaimana aku belajar? Kulirik kanan dan kiri. Perpustakaan benar-benar sepi. Aku tak bisa menemukan seseorang untuk meminjam.
Aku putus asa. Kukembalikan buku tersebut pada raknya. Mungkin sebaiknya aku bolos saja besok dan meminta ulangan susulan lain hari. Atau mungkin aku bisa bertukar tempat dengan Dina? Ah, semua akan sadar itu bukan aku. Aku terlalu berbeda dengannya. Mungkin ada baiknya aku meminjam buku dan minta Dina mempelajarinya agar dia bisa mengajariku juga.
“Ada masalah?”

Suara baritone mengagetkanku. Aku menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki sedang menatapku. Dan jika aku tak salah, lelaki itu adalah Yudha, ketua OSIS sekaligus mantan Naila, temanku. Aku mencoba bersikap seperti biasa namun aku tak bisa. Aku sedang bingung dan itu semua terlihat melalui raut wajahku.
“Tidak.”

Aku kembali meletakkan buku yang sebenarnya ingin kupinjam. Sialnya, entah mengapa aku bisa kurang menekan bukunya hingga akhirnya satu lemari isinya tumpah semua di badanku. Yudha kaget, lalu mencoba menolongku. Hingga akhirnya ketika aku sadar Yudha sudah ada di hadapanku. Lebih tepatnya menindih tubuhku.
“MENJAUH KAU!!” spontan aku bertindak dan secara otomatis Yudha terpental ke belakang. Ia mengelus-elus punggungnya yang membentur tembok karena kudorong. Mulutnya membentuk senyuman tipis. Sungguh, hal itu membuatku jijik padanya.
“Kalian?!“ ujar penjaga perpustakaan tak percaya. Ia muncul sambil berkecak pinggang.

Yah, singkat kata saja akhirnya aku dan Yudha membereskan semua buku yang berceceran. Tanganku tak sengaja menyentuh buku fisika yang berisi materi fungsi limit. Kupandangi dalam-dalam buku itu. Tak sadar, aku terlalu lama memandanginya.
“Kau juga ulangan tentang fungsi limit ya?”

Serasa kena jitak, aku tertegun mendengarnya. “Kau juga?”
“Tidak, kelas sebelah mengatakan mereka akan ulangan fisika, tentang fungsi limit.”

Kelas sebelah? Ah, Pasti kelasku.
“Kau mendapat masalah dalam mengerjakan itu ya?”

Aku membuang muka. Aku memang ada masalah, tapi aku gengsi untuk meminta tolong pada laki-laki.
“Akan kuajari kau setelah kita membereskan ini.”
“Kau bisa?”
“Aku sudah mempelajari itu ketika di SMP.”

Benar juga ya. Ketika SMP mungkin aku juga sudah mempelajarinya namun aku jarang mendengarkan penjelasan guru dan lebih memilih bercerita dengan teman sebangku ketika itu. Dan Dina, ah, dia mungkin sedang sakit mata waktu itu.
“Tolong jangan beritahu oranglain kalau aku minta ajari padamu,” pintaku memelas. Tak ada pilihan lain toh?
“Baiklah!”

(Malam hari di rumah)
Aku duduk di tepi kasur, sementara Dina sedang tiduran sambil membaca buku di kasurnya sendiri. Aku senang, hari ini dia tak menangis. Aku bisa tenang mengerjakan soal yang disuruh Yudha untuk mengerjakannya sendiri di rumah. Sungguh! Hari ini aku benar-benar merasa senang. Aku akhirnya bisa mengerti fungsi limit tanpa harus meminjam buku ataupun bertukar posisi dengan Dina. Dan lagi, Yudha berjanji akan mengajari aku lagi jika aku mendapat masalah. Dengan kata lain, tak masalah keluar kelas lagi! Ups, kurasa itu persepsi yang salah ya.

Aku mulai mengerjakan soal pertama. Aku mulai berusaha berkonsentrasi namun langsung buyar dalam satu detik saat terdengar dering ponsel bergetar di meja. Ponsel Dina rupanya. Aku mencoba tak mempedulikannya. Aku harus konsentrasi dengan soal, apapun yang terjadi.
“Hiks, hiks!” Dina mulai meringis. Dan sekali lagi pikiranku buyar.
“Ada apa?” tanyaku geram.
“Gilang-“
“Berjalan dengan siswi lain lagi?” ujarku ketus. “Akan kupatahkan kakinya kali ini!”
“Bukan! Gilang jangan disakiti lagi! Aku ikut sakit jika kau melukainya!” suara Dina terdengar serak.

Dengan nada meninggi aku lantas menjawab, “Jadi kenapa?! Berhentilah menangis untuknya!”
“Dia hanya minta putus. Sudahlah kakak tenang saja, aku tidak apa-apa.”

Tamparan keras mendarat di pipi kanannya. Dengan penuh amarah aku berteriak padanya, “Kalau begitu berhentilah menangis! Aku pusing!!!”

BLAMM!
Aku keluar dari kamar. Terdengar tangisan Dina yang malah semakin menjadi-jadi. Aku terduduk lesu, menyadari aku terlalu cepat marah hari ini padanya. Namun aku sedang dalam keadaan tidak bagus untuk sabar. Harusnya dia menyadari itu.

(Esok harinya di sekolah)
Aku tidak berangkat bersama dengan Dina. Malah aku berangkat duluan daripada dia. Aku terlalu bersemangat untuk ulangan hari ini. Meski semalam aku belum mengerjakan satupun soal yang Yudha berikan, namun aku tetap merasa bahwa aku bisa. Hehe, mungkin sebenarnya aku ini pintar ya. Namun sayang, aku malas.

Aku segera duduk kemudian mengeluarkan buku fisika yang jadi aku pinjam dari perpustakaan. “Naila, lihat! Aku bisa menger-“

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Naila cepat-cepat pergi keluar kelas. Ada kerjaan mungkin. Tapi jika caranya seperti tadi rasanya berbeda dengan Naila yang biasanya. Aku jadi merasa tidak enak dengannya.

(Setelah berjam-jam kemudian)
Sampai jam pulang sekolah, aku tetap merasa tidak enak dengan Naila. Ada yang berubah darinya. Dia bersikap dingin dan tak mau berbicara padaku. Tiap kali aku mengajaknya bicara, dia langsung menajamkan matanya seakan tidak senang padaku.
“Hei, kudengar kemarin dari pulang sekolah sampai sore hari kau berada di perpustakaan ya?” tanya Lili yang mengambil tempat duduk Naila ketika Naila keluar.
“Iya. Kenapa?”
“ha? Berarti benar, ya, kau sedang melakukan pendekatan pada Yudha saat itu?!”

TUUKK!

Kujitak dahi Lili. “Tentu saja tidak! Aku hanya minta ajari fungsi limit padanya. Lihat! Nilaiku bagus kan? Berarti aku tidak bohong!!”
“Wah, pantas Naila sikapnya begitu, ya.”

Aku terdiam. Memang apa hubungannya coba?
“Naila dengan Yudha kan baru balikan dua hari yang lalu.”

Aku terhenyak. Jadi itu hubungannya. Aku segera berlari menjenguk Naila keluar kelas. Sayangnya aku terlambat. Kulihat dari kejauhan Yudha sedang berbicara dengan Naila kemudian mereka pulang berdua.

Badanku terasa lesu menyaksikan hal itu. Untuk pertama kalinya aku merasa sedih. Hampir sepanjang jalan aku menahan air mataku keluar. Tuhan, aku mendapatkan teman baru sekaligus guru baru buatku namun aku kehilangan seorang teman hari ini.

Di rumah terdengar Dina menangis di kamar. Saat aku membuka pintu dia cepat-cepat menghapus air matanya.
“Ah, kau sudah pulang.”

Kudengar suaranya serak. Meski begitu, dia tetap berusaha tersenyum padaku. Tapi aku bisa merasakan ketakutan Dina padaku. Mungkin ia berpikir aku akan melakukan hal yang sama seperti kemarin. Yah, kemarin aku memang tak mengerti ia. Satu-satunya yang aku rasakan hanyalah pusing ketika mendengarnya menangis. Namun sekarang aku sudah paham seperti apa sedihnya ketika kehilangan seseorang. Aku tidak akan menamparnya lagi. Aku hanya ingin,… memeluknya.

PROFIL PENULIS
Newbie di dunia menulis (kurasa)
fb: rini lusiana II
email : rini.lusiana78@yahoo.co.id

Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar