SOMEDAY
Karya Handy Risma Tricahya
Alunan lagu sedih terdengar dari dalam kamar Mely. Dia terduduk meratap di meja belajar yang berada disamping jendela. Dia terlihat sangat kacau sekali, rambutnya yang panjang sedikit berantakan, wajahnya pucat dan matanya sembab.
Diatas mejanya itu terdapat lampu belajar yang menyinari parasnya yang nampak makin kacau, beberapa tumpukan buku dan sebuah bingkai foto yang terbalik. Hujan diluar sudah mulai reda, terlihat tetesan air mengalir dari kaca jendelanya.pelan – pelan Mely mendorong jendelanya dan dibiarkannya terbuka sedikit, hembusan angin yang menerpa wajahnya begitu terasa sangat dingin, tiba – tiba Mely tersenyum dan menertawai dirinya sendiri.
“ Seharian ini aku belum mandi? Kakak coba lihat gara – gara memikirkanmu aku sampai lupa mengurus diriku sendiri.” Selama beberapa menit Mely terpaku memandangi langit yang gelap.
“ Kakak? Kenapa kamu tidak juga datang? Aku sudah begitu lama menunggumu. Kau kan sudah berjanji akan menjemputku.” Kata Mely lirih.
Diatas mejanya itu terdapat lampu belajar yang menyinari parasnya yang nampak makin kacau, beberapa tumpukan buku dan sebuah bingkai foto yang terbalik. Hujan diluar sudah mulai reda, terlihat tetesan air mengalir dari kaca jendelanya.pelan – pelan Mely mendorong jendelanya dan dibiarkannya terbuka sedikit, hembusan angin yang menerpa wajahnya begitu terasa sangat dingin, tiba – tiba Mely tersenyum dan menertawai dirinya sendiri.
“ Seharian ini aku belum mandi? Kakak coba lihat gara – gara memikirkanmu aku sampai lupa mengurus diriku sendiri.” Selama beberapa menit Mely terpaku memandangi langit yang gelap.
“ Kakak? Kenapa kamu tidak juga datang? Aku sudah begitu lama menunggumu. Kau kan sudah berjanji akan menjemputku.” Kata Mely lirih.
Perlahan – lahan Mely merangkak ke tempat tidurnya dan membanting tubuhnya diatas kasur. Matanya lekat memandang langit – langit butiran hangat yang mengalir di pipinya tak ia hiraukan lagi. Sayup – sayup tedengar alunan lirik yang menyayat hati milik Lykke Li . . .
There’s a possibility
There’s a possibility
All that I had was all I’m gonna get
Mmmm . . .
There’s a possibility
All I’am gonna get is gonna with your step
All I’am gonna get is gonna with your step
So tell me when you hear my heart stop
You’re the only one that knows!
Tell me when you hear my silince
There’s a possibility I wouldn’t known
Mmmm . . .
Know that when you leave
Know that when you leave
By blood and by mean
You walk like a thieve
By blood and by mean
I fall when you leave
So tell me when my sigh is over
You’re the reason why I’m close
Tell me when you hear me falling
There’s a possibility it wouldn’t show
Mmmm . . .
By blood and by mean
I fall when you leave
By blood and by mean
I follow where you lead
Mmmm . . .
Mmmmmm . . .
Waktu sudah menunjukan pukul 01 : 12 AM. Tapi Mely belum tidur juga.
“ Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin tidur sekarang, karena hatiku selalu ertuju padanya. “ Hatinya berteriak lalu ia tutup kepalanya dengan bantal.
“Ah iya, tentang laki – laki yang ku panggil kakak itu, dia telah meninggalkanku setahun yang lalu atau bahkan lebih. Banyak cara yang telah ku lakukan untuk dapat melupakannya, termasuk mencoba merasakan cinta dari pria lain. Tapi setiap aku duduk berhadapan dengan pria lain, hatiku akan sangat terguncang dan aku akan berlari sambil meneriakan nama kakakku itu. Dan dititik puncak menyerah serta putus asa, aku akan kembali pada kenyataan bahwa aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Lalu aku akan membohongi diriku sendiri, meyakinkan diriku sendiri bahwa kakakku pasti akan datang untuk menjemputku.”
Pukul 06.00 pagi. Hari yang cukup dingin, hujan masih rintik – rintik, Mely melangkah meninggalkan rumahnya. Ia menggunakan celana Jins biru, sweater abu – abu dan syal putih pemberian kakaknya itu yang dilingkarkan ke lehernya. Tiba - tiba Mely terdiam sambil tersenyum, wajahnya menengadah keatas agar dapat merasakan percikan rintik hujan lalu matanya terpejam.
“ Aku ingat sekali dihari seperti sekarang ini kakak akan memelukku dari belakang dan berkata ‘ Honey, aku tidak ingin kau sakit. Jika kau sakit, aku juga akan sakit.’” Lirihnya dalam hatinya yang bergemuruh.
“ Lalu aku akan menyandarkan kepalaku dibahunya yang kokoh sambil memegang tangannya yang melingkar didadaku.” Mely segera membuka matanya tersadar oleh rasa rindu pada laki – laki itu.
“ Tok, tok, tok, “ Mely mengetuk pintu sebuah apartement.
“ Hay! “ seorang gadis menyapa Mely dengan ceria dari balik pintu. Mely hanya tersenyum. Sesosok wajah yang sangat Mely kenal. Dia adalah Yuna sahabat Mely semenjak duduk dibangku SMA.
“ Ayo cepat masuk! Diluar sangat dingin.” Kata Yuna sambil menarik tangan Mely yang terasa dingin walau memakai sarung tangan.
“ kenapa kau tidak menelpon aku dulu kalau kau mau kesini? Aku kan bisa menjemputmu.” Keluh Yuna sambil mengelap air dirambut Mely dan memperbaiki syal mely yang letaknya berantakan.
“ Sayang, wajahmu pucat sekali . . . apa kau sedang sakit?” tanya Yuna yang nampak begitu khawatir terhadap mely.
“ Tidak! Aku hanya kedinginan . . .” Jawab Mely.
“ Duduklah! Akan ku buatkan kau coklat hangat.” Lanjut Yuna mempersilahkan Mely duduk disofa yang empuk lalu bergegas pergi kedapur.
Selang beberapa menit kemudian, Yuna datang dengan membawa secangkir coklat hangat. Mely menyeruput minuman itu, segera dia merasakan kehangatan melewati tenggorokannya seperti hangatnya persahabatan yang ia rasakan kepada Yuna.
“ Sudah beberapa hari ini kau tidak pergi kekampus, ada apa mel?” tanya Yuna kepada sahabatnya itu, tapi Mely hanya tersenyum.
“ Aku mengerti perasaanmu, tapi tolong jangan seperti ini. Pikirkanlah dirimu sendiri. Paling tidak pikirkanlah orang tuamu! Orang tuamu pasti akan sedih jika mereka tau kau seprti ini.” Lanjut Yuna. Mely mengerlingkan matanya. Dia merasakan perasaan bersalah terhadap orang tuanya.
“ ku mohon Mel! Kembalilah! Kembalilah seperti Mely yang kukenal dulu, Mely yang cantik, pintar dan periang . . . dan . . .”
“ Bagaimana mungkin aku dapat kembali seperti dulu Yuna?” kata Mely memotong pembicaraan yuna.
“ Bisakah kau mengembalikan kakakku? Katakan Yuna! Katakan padaku bagaimana caranya!” Kata Mely yang mulai meledak tangisnya.
“ Hentikan Mel! Bagaimana mungkin aku tahu? Kau sendiri tahu, aku pun tahu, semua orang juga tahu bahwa pemuda itu telah meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan saat kembali dari singapura, bukankah kau juga hadir saat pemakamannya?”
“ Cukup Yuna! Kau sudah keterlaluan, kau salah! Semua orang juga salah! Kakakku itu, . . . dia akan datang menjemputku.” Kata mely sambil menahan sesak didadanya. Tanpa memandang Yuna, Mely Melangkah meninggalkan sahabatnya itu yang makin tidak mengerti dengan pemikiran Mely.
“ Mel pikirkanlah kata – kata ku tadi, ini semua demi kebaikanmu!!!” Kata Yuna setengah berteriak.
Mely memperlambat langkahnya. Dia berdiri mematung didepan halte bus. Baginya mobil – mobil dan orang – orang yang lalu lalang disekitarnya adalah bayangan putih yang kelam dan jalan tempat dia berdiri adalah hamparan padang rumput yang gersang.
“ Bau anyir apa ini?” mely melihat – lihat disekitarnya mencari – cari dari mana asal bau itu. Tiba – tiba seorang pria menegurnya.
“ Maaf mba . . . Itu, hidungnya mimisan.” Kata pria itu. Mely yang baru sadar, bau anyir yang dia cari – cari dari tadi ternyata adalah bau darah yang mengalir dari hidungnya.
Ah-ya , tentang penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya itu, Mely hampir melupakannya. Enam bulan yang lalu dokter memvonis Mely mengidap Leukimia alias kanker darah. Entah sudah stadium berapa Mely sudah lupa. Tidak ada satu orang pun yang tahu, Mely tidak pernah tertarik untuk memeriksakan dirinya kedokter. Bahkan didalam hatinya dia merasa sangat bangga terhadap penyakitnya itu, karena Tuhan akan segera mempertemukan dirinya dengan kakaknya itu.
Mely mengelap darah dihidungnya dengan lengan bajunya, lalu melanjutkan perjalanannya sambil sesekali tersenyum. Matanya melirik ke jam yang ada ditanganya, “jam 8:15” kata mely pelan. Mely ingat, dihari minggu seperti ini, mely dan kakaknya akan menghabiskan waktu bersama, masak bersamaa, makan bersama, nonton DVD bersama, memberi makan ikan dikolam bersama, semuanya terbayang diingatan mely dengan jelas.
Tiba-tiba Mely mempercepat langkahnya, keringat dingin mengucur dari tubuhnya, langkahnya mulai gontai, tapi Mely tidak peduli dia ingin cepat-cepat sampai rumah. “ kakak “, panggil Mely sambil membuka pintu rumahnya. Tapi tidak ada jawaban, yang ada hanya kesunyian yang Mely rasakan memenuhi rumah itu.
“kreeeeekk.....”, bunyi pintu kamar Mely memecah kesunyian, perlahan Mely melangkah masuk kedalam kamarnya, jemarinya yang kurus meraba-raba keatas meja mencari bingkai foto yang selama ini diletakkn dalam posisi terbalik, lalu meletakkannya dengan benar diatas meja. Nampak dibingkai itu foto seorang pria sedang tersenyum manis. “ Ah...kakak, kau masih seperti yang dulu “, gumam Mely.
Mely membuka lemari pakaian berwarna coklat yang ada dikamarnya, baju-baju milik pria itu masih tergantung dengan rapi dilemari. Ditelusurinya baju-baju itu satu-persatu dengan jari-jemarinya, lalu diambilnya satu jas warna hitam milik pria itu dan memeluknya dengan erat sambil menghirub aroma maskulin dari jas itu, menurut Mely setidaknya itu bisa mebuatnya tenang.
Mely berbaring diatas ranjangnya. Diletakannya jas pria itu disampingnya lalu memandang foto yang ada diatas meja belajarnya serambi ia berkata “ Kakak hari ini aku lelah sekali, aku berharap setelah hari ini aku tidak akan lelah lagi. Aku berharap ini air mata terakhirku.”
“ Mel, Mely???” sayup – sayup Mely mendengar suara seseorang memanggil namanya. Mely pun perlahan membuka matanya.
“ Syukurlah kau sudah sadar.” Kata Yuna sambil tersenyum.
“ Yuna, dimana aku sekarang?”tanya mely kepada sahabatnya.
“ tenanglah kau sekarang berada dirumah sakit sayang . . . Tadi aku datang kerumahmu, lalu ku temukan kau sudah pingsan dikamarmu dan akhirnya ku bawa kau kemari. Oh iya, aku sudah menghubungi orang tuamu.” Jelas Yuna kepada Mely.
“ Orang tuaku? Dimana merekaa sekarang?”
“ mereka ada diluar sedang berbicara dengan dokter. Ehmm... Kau tunggu dulu sebentar ya? Aku akan memberi tau mereka kalau kau sudah siuman.” Kata Yuna.
Entah pergi kemana Yuna tadi karena begitu lama keluar kamar tempat Mely dirawat.
“ Kenapa Yuna lama sekali?” Ucap Mely dalam benaknya. Kemudian Mely bangkit dari ranjangnya. Dari jendela rumah sakit terlihat lampu – lampu kota dan beberapa mobil yang melintasi jalan raya. Setelah puas memandang lampu – lampu kota, Mely melangkah menuju kamar mandi lalu duduk disamping bak mandi besar yang penuh dengan air. Disentuhnya air yang ada dibak itu dengan ujung jarinya. “sejuknya . . . “ gumam Mely lirih.
Mely membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam bak mandi itu. Kedua tangannya diletakan dipermukaan perutnya. Didalam air itu Mely memejamkan matanya. Sebelum semuanya menjadi gelap terlintas semua kenangan waktu piknik dengan orang tuanya, Waktu dia lulus SMA. Wkatu dia bersenang – senang dengan sahabatnya. Saat pertama kali bertemu dengan kakak, dan yang terakhir adalah lambaian kedua orang tuanya yang sambil tersenyum ketika Mely harus melanjutkan kuliah diluar kota.
“ Maafkan aku ayah . . . Ibu . . . “ ucap dalam pikirnya.
Mely seperti terjatuh dari tempat yang begitu tinggi.
“ Dimana aku?” tanya Mely dalam hatinya. Dalam kebingungannya, seseorang memegang pundaknya dari belakang. Mely tertegun.
“ Aroma ini, aroma yang sangat ku kenal . . .” Mely menghirup udara dalam. Mely segera membalikan tubuhnya. Terlihat sesosok pria mengenakan setelan jas warna hitam dan kemeja putih sedang tersenyum manis. “ Kakak???” panggil Mely. Keduanya saling berpelukan melepaskan kerinduan yang mendalam.
Mely melepaskan pelukannya dan mulai menangis.
“ Kakak kenapa kau lama sekali??? Aku sudah lama menunggumu.” Kata mely seraya menepuk – nepuk dada pria itu.
“ Maafkan aku honey.” Kata pria itu sambil menghapus air mata Mely dengan tangannya.
“ Hey, kau terlihat lebih tampan hari ini.” Kata Mely sambil membenahi kerah jas pria itu.
“ Oh ya, aku tahu kau akan datang honey. Makanya aku berdandan. Dan kau kenapa lebih kurus?” kata pria itu.
“ Ini semua salahmu kakak, kau yang membuat aku seperti ini.” Kata Mely manja.
“ Maafkan aku honey, aku sudah membuatmu hidup menderita.” Jawab pria itu. Matanya memancarkan rasa bersalah.
“ Tanpa kau meminta pun aku selalu memaafkanmu.”
“ Ayo ikut denganku.” Pinta pria itu sambil menarik tangan gadis yang dicintainya.
“ Kemana kak? “ tanya Mely.
“ Ketempat yang sangat indah,kau pasti akan menyukainya.” Lalu keduanya berjalan sambil bergandengan tangan.
Keduanya telah sampai disuatu tempat yang indah dan damai, suara air terjun yang mengalir, burung – burung yang berkicau, rumput hijau yang tertata rapi, dan kupu – kupu cantik yanng terbang mengitari bunga – bunga yang bewarna – warni.
“ Disinilah kita akan tinggal honey, tidak ada lagi yang dapat memisahkan kita.” Kata pria itu.
“ Kakak aku bahagia sekali.” Keduanya duduk dikursi indahyang berada dibawah pohon rindang sambil menikmati pemandangan air terjun. Mely merebahkan kepalanya dipundak pria itu, lalu pria itu pun membelai rambut Mely dan berkata,
“ sayang? Kau mau mendengarkan lagu yang selalu ku nyanyikan disaat aku menunggumu disini.”
“ Iya kakak, menyanyilah, aku ingin mendengarnya.” Sahut Mely.
Someday . . . If I get you here,
I will never let you go,
Someday . . . If I found you,
I will never to loose you from my embrace,
Because you are my everything,
And I believe that someday,
Will come the day . . .
Someday . . .
Sementara itu terlihat keluarga Mely berjalan pergi meninggalkan pemakaman. Ibu Mely menangis terisak – isak dipelukan suaminya. Sedangkan Yuna masih berdiri mematung sambil memandang makam Mely, tangan kirinya menggenggam dua tangkai bunga mawar merah.
“ Tak ku sangka Mel, semua akan berakhir seperti ini. Kau benar, kakakmu memang benar – benar menjemputmu, berbahagialah Mel . . . Berbahagialah kau disana, temuilah kakakmu disana.” Kata Yuna sambil tersenyum masam.
Mmmmmm . . .
Waktu sudah menunjukan pukul 01 : 12 AM. Tapi Mely belum tidur juga.
“ Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin tidur sekarang, karena hatiku selalu ertuju padanya. “ Hatinya berteriak lalu ia tutup kepalanya dengan bantal.
“Ah iya, tentang laki – laki yang ku panggil kakak itu, dia telah meninggalkanku setahun yang lalu atau bahkan lebih. Banyak cara yang telah ku lakukan untuk dapat melupakannya, termasuk mencoba merasakan cinta dari pria lain. Tapi setiap aku duduk berhadapan dengan pria lain, hatiku akan sangat terguncang dan aku akan berlari sambil meneriakan nama kakakku itu. Dan dititik puncak menyerah serta putus asa, aku akan kembali pada kenyataan bahwa aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Lalu aku akan membohongi diriku sendiri, meyakinkan diriku sendiri bahwa kakakku pasti akan datang untuk menjemputku.”
Pukul 06.00 pagi. Hari yang cukup dingin, hujan masih rintik – rintik, Mely melangkah meninggalkan rumahnya. Ia menggunakan celana Jins biru, sweater abu – abu dan syal putih pemberian kakaknya itu yang dilingkarkan ke lehernya. Tiba - tiba Mely terdiam sambil tersenyum, wajahnya menengadah keatas agar dapat merasakan percikan rintik hujan lalu matanya terpejam.
“ Aku ingat sekali dihari seperti sekarang ini kakak akan memelukku dari belakang dan berkata ‘ Honey, aku tidak ingin kau sakit. Jika kau sakit, aku juga akan sakit.’” Lirihnya dalam hatinya yang bergemuruh.
“ Lalu aku akan menyandarkan kepalaku dibahunya yang kokoh sambil memegang tangannya yang melingkar didadaku.” Mely segera membuka matanya tersadar oleh rasa rindu pada laki – laki itu.
“ Tok, tok, tok, “ Mely mengetuk pintu sebuah apartement.
“ Hay! “ seorang gadis menyapa Mely dengan ceria dari balik pintu. Mely hanya tersenyum. Sesosok wajah yang sangat Mely kenal. Dia adalah Yuna sahabat Mely semenjak duduk dibangku SMA.
“ Ayo cepat masuk! Diluar sangat dingin.” Kata Yuna sambil menarik tangan Mely yang terasa dingin walau memakai sarung tangan.
“ kenapa kau tidak menelpon aku dulu kalau kau mau kesini? Aku kan bisa menjemputmu.” Keluh Yuna sambil mengelap air dirambut Mely dan memperbaiki syal mely yang letaknya berantakan.
“ Sayang, wajahmu pucat sekali . . . apa kau sedang sakit?” tanya Yuna yang nampak begitu khawatir terhadap mely.
“ Tidak! Aku hanya kedinginan . . .” Jawab Mely.
“ Duduklah! Akan ku buatkan kau coklat hangat.” Lanjut Yuna mempersilahkan Mely duduk disofa yang empuk lalu bergegas pergi kedapur.
Selang beberapa menit kemudian, Yuna datang dengan membawa secangkir coklat hangat. Mely menyeruput minuman itu, segera dia merasakan kehangatan melewati tenggorokannya seperti hangatnya persahabatan yang ia rasakan kepada Yuna.
“ Sudah beberapa hari ini kau tidak pergi kekampus, ada apa mel?” tanya Yuna kepada sahabatnya itu, tapi Mely hanya tersenyum.
“ Aku mengerti perasaanmu, tapi tolong jangan seperti ini. Pikirkanlah dirimu sendiri. Paling tidak pikirkanlah orang tuamu! Orang tuamu pasti akan sedih jika mereka tau kau seprti ini.” Lanjut Yuna. Mely mengerlingkan matanya. Dia merasakan perasaan bersalah terhadap orang tuanya.
“ ku mohon Mel! Kembalilah! Kembalilah seperti Mely yang kukenal dulu, Mely yang cantik, pintar dan periang . . . dan . . .”
“ Bagaimana mungkin aku dapat kembali seperti dulu Yuna?” kata Mely memotong pembicaraan yuna.
“ Bisakah kau mengembalikan kakakku? Katakan Yuna! Katakan padaku bagaimana caranya!” Kata Mely yang mulai meledak tangisnya.
“ Hentikan Mel! Bagaimana mungkin aku tahu? Kau sendiri tahu, aku pun tahu, semua orang juga tahu bahwa pemuda itu telah meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan saat kembali dari singapura, bukankah kau juga hadir saat pemakamannya?”
“ Cukup Yuna! Kau sudah keterlaluan, kau salah! Semua orang juga salah! Kakakku itu, . . . dia akan datang menjemputku.” Kata mely sambil menahan sesak didadanya. Tanpa memandang Yuna, Mely Melangkah meninggalkan sahabatnya itu yang makin tidak mengerti dengan pemikiran Mely.
“ Mel pikirkanlah kata – kata ku tadi, ini semua demi kebaikanmu!!!” Kata Yuna setengah berteriak.
Mely memperlambat langkahnya. Dia berdiri mematung didepan halte bus. Baginya mobil – mobil dan orang – orang yang lalu lalang disekitarnya adalah bayangan putih yang kelam dan jalan tempat dia berdiri adalah hamparan padang rumput yang gersang.
“ Bau anyir apa ini?” mely melihat – lihat disekitarnya mencari – cari dari mana asal bau itu. Tiba – tiba seorang pria menegurnya.
“ Maaf mba . . . Itu, hidungnya mimisan.” Kata pria itu. Mely yang baru sadar, bau anyir yang dia cari – cari dari tadi ternyata adalah bau darah yang mengalir dari hidungnya.
Ah-ya , tentang penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya itu, Mely hampir melupakannya. Enam bulan yang lalu dokter memvonis Mely mengidap Leukimia alias kanker darah. Entah sudah stadium berapa Mely sudah lupa. Tidak ada satu orang pun yang tahu, Mely tidak pernah tertarik untuk memeriksakan dirinya kedokter. Bahkan didalam hatinya dia merasa sangat bangga terhadap penyakitnya itu, karena Tuhan akan segera mempertemukan dirinya dengan kakaknya itu.
Mely mengelap darah dihidungnya dengan lengan bajunya, lalu melanjutkan perjalanannya sambil sesekali tersenyum. Matanya melirik ke jam yang ada ditanganya, “jam 8:15” kata mely pelan. Mely ingat, dihari minggu seperti ini, mely dan kakaknya akan menghabiskan waktu bersama, masak bersamaa, makan bersama, nonton DVD bersama, memberi makan ikan dikolam bersama, semuanya terbayang diingatan mely dengan jelas.
Tiba-tiba Mely mempercepat langkahnya, keringat dingin mengucur dari tubuhnya, langkahnya mulai gontai, tapi Mely tidak peduli dia ingin cepat-cepat sampai rumah. “ kakak “, panggil Mely sambil membuka pintu rumahnya. Tapi tidak ada jawaban, yang ada hanya kesunyian yang Mely rasakan memenuhi rumah itu.
“kreeeeekk.....”, bunyi pintu kamar Mely memecah kesunyian, perlahan Mely melangkah masuk kedalam kamarnya, jemarinya yang kurus meraba-raba keatas meja mencari bingkai foto yang selama ini diletakkn dalam posisi terbalik, lalu meletakkannya dengan benar diatas meja. Nampak dibingkai itu foto seorang pria sedang tersenyum manis. “ Ah...kakak, kau masih seperti yang dulu “, gumam Mely.
Mely membuka lemari pakaian berwarna coklat yang ada dikamarnya, baju-baju milik pria itu masih tergantung dengan rapi dilemari. Ditelusurinya baju-baju itu satu-persatu dengan jari-jemarinya, lalu diambilnya satu jas warna hitam milik pria itu dan memeluknya dengan erat sambil menghirub aroma maskulin dari jas itu, menurut Mely setidaknya itu bisa mebuatnya tenang.
Mely berbaring diatas ranjangnya. Diletakannya jas pria itu disampingnya lalu memandang foto yang ada diatas meja belajarnya serambi ia berkata “ Kakak hari ini aku lelah sekali, aku berharap setelah hari ini aku tidak akan lelah lagi. Aku berharap ini air mata terakhirku.”
“ Mel, Mely???” sayup – sayup Mely mendengar suara seseorang memanggil namanya. Mely pun perlahan membuka matanya.
“ Syukurlah kau sudah sadar.” Kata Yuna sambil tersenyum.
“ Yuna, dimana aku sekarang?”tanya mely kepada sahabatnya.
“ tenanglah kau sekarang berada dirumah sakit sayang . . . Tadi aku datang kerumahmu, lalu ku temukan kau sudah pingsan dikamarmu dan akhirnya ku bawa kau kemari. Oh iya, aku sudah menghubungi orang tuamu.” Jelas Yuna kepada Mely.
“ Orang tuaku? Dimana merekaa sekarang?”
“ mereka ada diluar sedang berbicara dengan dokter. Ehmm... Kau tunggu dulu sebentar ya? Aku akan memberi tau mereka kalau kau sudah siuman.” Kata Yuna.
Entah pergi kemana Yuna tadi karena begitu lama keluar kamar tempat Mely dirawat.
“ Kenapa Yuna lama sekali?” Ucap Mely dalam benaknya. Kemudian Mely bangkit dari ranjangnya. Dari jendela rumah sakit terlihat lampu – lampu kota dan beberapa mobil yang melintasi jalan raya. Setelah puas memandang lampu – lampu kota, Mely melangkah menuju kamar mandi lalu duduk disamping bak mandi besar yang penuh dengan air. Disentuhnya air yang ada dibak itu dengan ujung jarinya. “sejuknya . . . “ gumam Mely lirih.
Mely membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam bak mandi itu. Kedua tangannya diletakan dipermukaan perutnya. Didalam air itu Mely memejamkan matanya. Sebelum semuanya menjadi gelap terlintas semua kenangan waktu piknik dengan orang tuanya, Waktu dia lulus SMA. Wkatu dia bersenang – senang dengan sahabatnya. Saat pertama kali bertemu dengan kakak, dan yang terakhir adalah lambaian kedua orang tuanya yang sambil tersenyum ketika Mely harus melanjutkan kuliah diluar kota.
“ Maafkan aku ayah . . . Ibu . . . “ ucap dalam pikirnya.
Mely seperti terjatuh dari tempat yang begitu tinggi.
“ Dimana aku?” tanya Mely dalam hatinya. Dalam kebingungannya, seseorang memegang pundaknya dari belakang. Mely tertegun.
“ Aroma ini, aroma yang sangat ku kenal . . .” Mely menghirup udara dalam. Mely segera membalikan tubuhnya. Terlihat sesosok pria mengenakan setelan jas warna hitam dan kemeja putih sedang tersenyum manis. “ Kakak???” panggil Mely. Keduanya saling berpelukan melepaskan kerinduan yang mendalam.
Mely melepaskan pelukannya dan mulai menangis.
“ Kakak kenapa kau lama sekali??? Aku sudah lama menunggumu.” Kata mely seraya menepuk – nepuk dada pria itu.
“ Maafkan aku honey.” Kata pria itu sambil menghapus air mata Mely dengan tangannya.
“ Hey, kau terlihat lebih tampan hari ini.” Kata Mely sambil membenahi kerah jas pria itu.
“ Oh ya, aku tahu kau akan datang honey. Makanya aku berdandan. Dan kau kenapa lebih kurus?” kata pria itu.
“ Ini semua salahmu kakak, kau yang membuat aku seperti ini.” Kata Mely manja.
“ Maafkan aku honey, aku sudah membuatmu hidup menderita.” Jawab pria itu. Matanya memancarkan rasa bersalah.
“ Tanpa kau meminta pun aku selalu memaafkanmu.”
“ Ayo ikut denganku.” Pinta pria itu sambil menarik tangan gadis yang dicintainya.
“ Kemana kak? “ tanya Mely.
“ Ketempat yang sangat indah,kau pasti akan menyukainya.” Lalu keduanya berjalan sambil bergandengan tangan.
Keduanya telah sampai disuatu tempat yang indah dan damai, suara air terjun yang mengalir, burung – burung yang berkicau, rumput hijau yang tertata rapi, dan kupu – kupu cantik yanng terbang mengitari bunga – bunga yang bewarna – warni.
“ Disinilah kita akan tinggal honey, tidak ada lagi yang dapat memisahkan kita.” Kata pria itu.
“ Kakak aku bahagia sekali.” Keduanya duduk dikursi indahyang berada dibawah pohon rindang sambil menikmati pemandangan air terjun. Mely merebahkan kepalanya dipundak pria itu, lalu pria itu pun membelai rambut Mely dan berkata,
“ sayang? Kau mau mendengarkan lagu yang selalu ku nyanyikan disaat aku menunggumu disini.”
“ Iya kakak, menyanyilah, aku ingin mendengarnya.” Sahut Mely.
Someday . . . If I get you here,
I will never let you go,
Someday . . . If I found you,
I will never to loose you from my embrace,
Because you are my everything,
And I believe that someday,
Will come the day . . .
Someday . . .
Sementara itu terlihat keluarga Mely berjalan pergi meninggalkan pemakaman. Ibu Mely menangis terisak – isak dipelukan suaminya. Sedangkan Yuna masih berdiri mematung sambil memandang makam Mely, tangan kirinya menggenggam dua tangkai bunga mawar merah.
“ Tak ku sangka Mel, semua akan berakhir seperti ini. Kau benar, kakakmu memang benar – benar menjemputmu, berbahagialah Mel . . . Berbahagialah kau disana, temuilah kakakmu disana.” Kata Yuna sambil tersenyum masam.
Lalu Yuna mengambil satu tangkai mawar merah yang ada ditangan kirinya, Yuna mengecup dengan lembut kelopak mawar itu, lalu meletakannya dimakam Mely, dan meletakan satu tangkai mawar lagi diatas makam seorang pria yang letaknya tepat disamping makam Mely yang tak lain adalah makam seorang kakak yang sangat Mely cintai. Yang sudah lama lebih dulu meninggalkannya.
“ Jagalah Mely kakak, jangan biarkan dia menderita lagi.”
Yuna menghapus air matanya lalu pergi meninggalkan pemakaman.
Musik sedih mengalun samar – samar mengiring langkah Yuna. . .
PROFIL PENULIS
Nama Aku Handy Risma Tricahya, Aku hobi bikin cerpen dan aku bikin banyak cerpen sering aku tempel dimading sekolah tanggapan temen - temen sih karya aku cukup lumayan tapi aku masih cukup belajar banyak. oya, ini nama facebook aku " Handys Risma Boyafter Thedarkness"
Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar