Buya Cerpen Damhuri Muhammad
Setitik cahaya menyembul dari balik semak-semak di kaki bukit. Mungkin suluh orang yang mencari belut sawah atau menjaring ikan di sungai Batang Mungo sepanjang lereng bukit itu. Tapi, makin mendekat, makin jelas terlihat. Makin terang terasa. Lalu, cahaya itu menggulung seperti dihempas angin limbubu. Menggumpal, membulat, membesar seperti bola api. Melayang dan melaju kencang ke arah Surau Tuo. Lama sekali bola api itu berputar-putar di atas permukaan tanah kosong, tepat di sisi kanan mihrab Surau Tuo, hingga sekeliling surau itu terang benderang seperti tersiram sinar bulan purnama keempat belas. Padahal, malam itu bukan malam terang bulan.
’’Pertanda apa ini, Bilal?’’ tanya Katik, gemetar dan tergagap-gagap.
’’Ini petunjuk yang kita tunggu-tunggu selama ini.’’
’’Petunjuk?’’ tanya Katik lagi, ’’Maksudnya apa?’’
’’Kita sudah beroleh jawaban tentang raibnya jasad buya,’’ jawab Bilal, sambil tersenyum lega.
’’Jadi….jadi….Ini petunjuk tentang buya Ibrahim Mufti yang menghilang beberapa tahun lalu?’’
Hanya dalam hitungan hari sejak Katik, Bilal, segenap ninik mamak, alim ulama bermufakat dan memutuskan bahwa peristiwa munculnya cahaya pada malam gelap bulan itu benar-benar pertanda yang tak diragukan kebenarannya, masyarakat Taram dari enam jorong: Tanjung Ateh, Tanjung Kubang, Tanjung Balai Cubadak, Parak Baru, Sipatai, dan Subarang, berbondong-bondong ke Surau Tuo. Saling bahu-membahu, menggali tanah pekuburan, mendirikan makam bagi almarhum buya Ibrahim Mufti. Hari itu, kali pertama mereka menggali kubur, tapi tak ada mayat yang bakal ditimbun di liang lahat. Keempat sisinya ditembok semen setinggi dua meter, sementara bagian atasnya diatap seng. Seperti makam para wali, kuburan orang-orang keramat.
Dulu, negeri Taram tanahnya gersang. Musim kering berkepanjangan. Tak ada sumber air untuk mengairi sawah. Kalaupun ada sawah yang ditanami, itu hanya mengharapkan curah hujan. Sementara, musim panas lebih lama ketimbang musim hujan. Gabah dari sawah tadah hujan hanya cukup untuk menghadang ancaman kelaparan. Sekadar bertahan hidup. Tak bersisa untuk ditabung dalam lumbung. Tapi, sejak kedatangan buya Ibrahim Mufti, perlahan-lahan alam mulai bersahabat. Keadaan berubah menjadi lebih baik.
Waktu itu, buya menancapkan ujung tongkatnya ke dalam tanah, lalu dihelanya tongkat itu sambil berjalan ke arah timur. Tanah kering yang tergerus tongkat buya seketika lembab, basah dan dialiri air yang datang entah dari mana. Sesampai di ujung paling timur, buya berhenti. Dibiarkannya tongkat itu tertancap. Lebih dalam dari tancapan yang pertama. Kelak, titik tempat beliau berhenti dinamai: Kepala Bandar. Itulah mata air pertama di Taram. Airnya mengalir deras ke bandar yang semula hanya parit kecil akibat tergerus tongkat buya. Tak lama berselang, bandar pun melebar, membesar dan akhirnya berubah menjadi Sungai Batang Mungo yang menyimpan persediaan air berlimpah. Sejak itu, orang-orang Taram tak lagi tergantung pada sawah tadah hujan. Mereka telah beroleh sumber air. Sawah-sawah pun membuahkan hasil berlebih-lebih. Lumbung-lumbung padi penuh terisi.
Di tengah perkampungan, (dengan bantuan warga) buya membangun sebuah surau. Di sanalah buya tinggal, di sebuah bilik kecil di samping surau. Anak-anak berhamburan datang hendak belajar mengaji. Begitu pun orang dewasa dan orang tua-tua berduyun-duyun untuk salat berjamaah, mendengarkan wirid dan pengajian. Buya memberi nama surau itu: Surau Tuo. Surau pertama yang pernah ada di sana. Surau tertua.
Selain sebagai guru mengaji, guru wirid dan guru tasawuf, buya dikenal memilki banyak keistimewaan. Di bulan Ramadan, setiap keluarga di Taram menggelar acara buka bersama, dan mengundang buya untuk mendoakan keberkahan bagi tuan rumah. Suatu kali, keluarga Nuraya, keluarga Syamsida, dan keluarga Wastiah menyelenggarakan buka bersama di hari yang sama. Secara bersamaan pula mengundang buya. Mereka bersitegang urat leher mempertahankan kesaksian masing-masing. Nuraya tidak percaya, kalau buya datang memenuhi undangan ke rumah Syamsida dan Wastiah. Sebab, hari itu buya ada di rumahnya. Begitu pun Syamsida dan Wastiah, keduanya berani bersumpah bahwa buya juga hadir di rumah mereka masing-masing. Mereka tidak salah. Buya benar-benar memenuhi undangan ketiga keluarga itu. Meski ada yang bersaksi, hari itu buya tidak ke mana-mana. Beliau berzikir dan i’tikaf di Surau Tuo, berbuka bersama dengan jamaah Maghrib. Di manakah jasad asli buya saat itu? Berapa banyakkah bayang-bayang buya? Ada yang menyebut, buya punya ilmu ’’bayang-bayang tujuh’’. Jangankan undangan dari tiga keluarga, dari tujuh keluarga pun buya akan menyanggupinya. Itu belum seberapa, ada yang pernah melihat buya berjalan di atas air saat menyelamatkan orang hanyut di Sungai Batang Mungo. Karena itu, beliau sering disebut: buya keramat.
Hari itu, Jumat 12 Sya’ban. Wan Tobat bergegas datang ke Surau Tuo. Memenuhi janjinya, mencukur rambut buya. Kecuali jenggot, buya tidak suka pada bulu. Begitu rambut penuh uban itu mulai tumbuh, beliau akan memanggil Wan Tobat. Meminta tukang cukur itu menggundulinya, hingga culun, licin, dan mengkilat.
’’Tolong agak cepat! Gunakan pisau cukur paling tajam! Sebentar lagi waktu Jumat akan masuk,’’ suruh buya pada Wan Tobat.
Baru separuh rambut buya tergunduli, Wan Tobat tersentak kaget. Karena tiba-tiba buya bangkit, berdiri dari duduknya. Seolah ada yang mengejutkan beliau. Tampak ganjil bentuk kepala buya. Culun sebelah. Sebelah kiri gundul, sebelah kanan masih ada rambut.
’’Wah, saya harus buru-buru pergi.’’
’’Tapi, rambut buya belum selesai dicukur bukan?’’
’’Ndak apa-apa. Saya tidak bisa menunggu lagi.’’
’’Ada apa buya?’’
’’Ka’bah kebakaran. Saya harus segera memadamkannya.’’
Buya berkepala culun itu tergesa-gesa lari ke biliknya, berkemas dan memakai sorban. Masih tampak aneh, meski kepalanya sudah terlilit sorban. Sejenak beliau duduk bersila, menunduk berzikir di depan mihrab Surau Tuo, setelah itu Wan Tobat tak melihat apa-apa lagi. Seketika saja, jasad buya menghilang. Seperti menguap dan raib entah ke mana.
Wan Tobat, satu-satunya orang yang melepas kepergian buya. Tukang pangkas itu sudah berkali-kali meyakinkan orang-orang bahwa buya Ibrahim Mufti pergi berjihad, memadamkan api yang hendak meluluhlantakkan Baitullah di Mekah. Tapi, mereka masih sukar mempercayai kebenaran cerita Wan Tobat, antara percaya dan tidak. Malah ada yang menganggap kesaksian itu mengada-ada, tak masuk akal, omong kosong yang dibuat-buat.
’’Buya itu wali. Dalam sekali kerdipan mata, beliau bisa tiba di Mekah.’’
’’Andai bumi yang bulat ini ada tangkainya serupa buah Manggis, buya akan menjinjingnya ke mana-mana.’’
’’Apa lagi yang kalian sangsikan?’’
Berbulan-bulan, peristiwa menghilangnya buya masih menjadi duri dalam daging bagi orang-orang Taram. Mereka sulit menerima kenyataan. Apa mau dikata, Buya sungguh-sungguh telah tiada. Kesangsian mereka pada keterangan Wan Tobat terjawab setelah mendengar cerita dari Wan Tongkin. Warga kampung sebelah, yang pulang setelah berpuluh tahun hidup dan tinggal di tanah suci. Semula Wan Tongkin mendalami ilmu-ilmu agama di Mekah. Setelah pendidikannya tamat, ia tidak kembali pulang ke kampung. Tapi memilih menjadi pedagang lukisan kaligrafi dan kopiah haji di wilayah sekitar Masjid al-Haram. Meluap-meluap lelaki ringkih itu berkisah tentang peristiwa kebakaran Ka’bah, beberapa hari sebelum kepulangannya.
’’Baitullah nyaris hangus jadi abu.’’
’’Siapa yang memadamkan api itu?’’ tanya orang-orang.
’’Untunglah ada seorang lelaki tua. Secepat kilat, ia meloncat ke puncak Ka’bah. Dari ujung tongkatnya mengucur air. Deras, seperti air yang muncrat dari selang pemadam kebakaran. Sekejap, api yang menjalar-jalar itu padam.’’
’’Masih ingat ciri-ciri orang itu?’’
’’Agak ganjil. Kepalanya culun sebelah. Sebelah kiri gundul, sebelah kanan masih ada rambut.’’
Sepeninggal buya, pengajian tasawuf dilanjutkan oleh tiga orang murid kesayangan buya Ibrahim Mufti. Haji Malih, Haji Amak dan Haji Djamil. Mereka juga memiliki banyak keistimewaan seperti buya. Dari Haji Djamil, orang-orang Taram menjawab wasiat tentang buya. Ia pernah bermimpi bertemu arwah buya. Ternyata, tak lama setelah peristiwa kebakaran Ka’bah, buya meninggal. Dalam mimpi itu, Haji Djamil bermohon agar buya memberitahukan di mana beliau dikuburkan. Agar kelak orang-orang Taram dapat berziarah ke makam beliau.
’’Bila muncul cahaya di malam bukan terang bulan, di sanalah saya.’’
’’Bagaimana cara kami mengenali cahaya itu?’’
’’Menggumpal, membulat, dan membesar seperti bola api. Melayang-layang dan berputar seperti gasing. Galilah kuburan persis di setentang cahaya itu! Di sanalah makam saya.’’
Bilal dan Katik sudah tiada. Begitu pun orang-orang yang dulu setia menjaga Surau Tuo dan makam buya. Satu per satu meninggal, hingga tak ada lagi yang tahu sejarah surau dan makam keramat itu. Surau lengang. Tak ada hiruk suara anak-anak mengeja alif-ba-ta. Tak ada salat berjamaah, pengajian, apalagi wirid. Surau kotor, kumuh dan berdebu. Sama seperti makam buya yang tak terawat, penuh rumput dan berlumut.
Tapi, Kepala Bandar makin ramai. Mungkin karena suasananya tenang dan sejuk. Airnya jernih, ikannya jinak. Setiap hari berpuluh-puluh pasang muda-mudi (laki-laki dan perempuan) berboncengan sepeda motor beriring-iringan menuju lokasi mata air tertua itu. Di balik semak-semak sepanjang pinggir sungai, tersedia pondok-pondok bambu yang disewakan bagi setiap pasangan. Mereka leluasa berbuat apa saja. Tanpa ada yang mengusik dan menganggu. Tak ada yang tahu, Kepala Bandar yang sudah mesum dan penuh maksiat itu, dulu tempat suci yang dihormati. Konon, buya Ibrahim Mufti pernah menancapkan tongkat keramatnya untuk memperoleh mata air. Di sana pula buya kerap berdoa, memohon keberkahan dan kelimpahan rezeki bagi orang-orang Taram.
Kelapa Dua, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar