Kututup lagi pintu, tanpa mengunci, siap- siap hendak meneruskan tidur. Mungkin saja suara itu bagian dari mimpiku yang kacau. Sudah sering sekali mimpi dan kenyataan dalam hidupku saling menembus batas. Orang bilang kalau sudah begitu tanda pikiran lagi goyah. Tapi kapan pikiran bisa tenang, kalau sedang tumbuh untuk menyelaraskan dengan bantingan kehidupan yang semakin binal ini. Kapan bisa tenang kalau di mana-mana ada perang?
Perlahan-lahan aku letakkan lagi kepala di bantal dan siap melupakan semuanya. Kusibakkan mimpi dan perlahan-lahan menusukan diri. Tapi tiba-tiba kembali terdengar suara ketukan di pintu. Aku melonjak bangun dan berseru.
“Ya! Siapa itu?”
DI LAYAR PINTU TERBUKA. MUNCUL SESEORANG.
“Maaf, Putu.”
“Ada apa, Pak?”
“Sebenarnya Bapak yang sudah memanggilmu.”
“O ya? Bapak?
“Ya. Tapi itu sudah dua puluh tahun yang lalu, kenapa baru menyahut? Kenapa kamu baru menjawab sekarang, setelah semua kami mati, habis dibunuh oleh bajingan jahanam itu?”
Aku ternganga. Orang itu menutupkan pintu kembali, tak menunggu jawabanku
PINTU TERTUTUP LEMBALI. LAYAR BLANK.
Sejak waktu itu aku menjadi seorang penulis.
Bertahun-tahun kemudian, juga saat larut malam, sedang bekerja di mesin ketik menulis sebuah kolom untuk surat kabar, tiba-tiba telepon berbunyi. Ketika aku angkat, terdengar suara seorang wanita jauh di sana. Ia berbisik serak, tetapi suaranya jelas sekali. Seakan-akan bibirnya menempel di telinga dan hangat nafasnya menyembur pipiku.
Download Naskah Monolog Suara : Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar