Cuplikan Naskah Monolog Sebuah Makam Di Kampung Halaman Karya Yusran Hadi
KEPADA PENONTON
Tubuh ini. Tubuh yang terbujur kaku di hadapan saudara-saudara sekalian ini adalah tubuh saudara perempuan saya. Tubuhnya penuh luka sayatan dimana-mana. Saya dan teman-teman saya yang melakukannya. Nama saya Saldun. Tadinya mahasiswa semester tujuh di fakultas kedokteran sebuah Universitas terkemuka di negeri ini. Membedah dan memotong-motong tubuh manusia memang sebuah bagian dari apa yang kami lakukan sebagai calon dokter. Tidak kurang delapan tubuh manusia kami butuhkan pada setiap semester untuk dijadikan sebagai bahan praktek. Salah satunya dia. Kakak perempuan saya.
MENARIK NAFAS PANJANG
Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja tubuhnya muncul di atas meja bedah ketika saya dan teman-teman hendak mengadakan penelitian tentang fungsi otot dan kontrol saraf pada tubuh manusia. Ketika hendak membedah kulit di sekitar otot paha itulah saya melihat bekas luka masa kecil yang sangat saya kenali. Dan ketika saya bersikeras untuk melihat wajah jenazah yang sedang kami bedah, saya baru tahu kalau ternyata tubuh yang terbujur kaku dan penuh sayatan itu adalah tubuh kakak perempuan saya.
Biadab! Lalu siapa yang mereka kuburkan itu!?
Nampak sangat marah. Tangannya mengepal dan memukul-mukul meja. Ia nangis.
Empat hari yang lalu. Saya terkejut karena menerima telepon yang mengabarkan kakak telah meninggal dunia. Semula saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Apalagi mereka katakan kakak meninggal karena sakit. Padahal setahu saya, sebelum berangkat kakak sehat-sehat saja, bahkan ia lolos tes kesehatan yang menjadi syarat bisa berangkat sebagai TKI ke luar negeri.
Lalu saya segera memesan tiket pulang agar bisa hadir di pemakaman. Jenazah kakak telah dipulangkan dari Arab Saudi terlebih dahulu. Melalui Surabaya jenazahnya langsung diterbangkan munuju bandara Selaparang. Sesampainya saya di kampung halaman, saya langsung diserang keharuan yang sebenarnya telah menumpuk semenjak di Jogjakarta sana. Tangis, diselingi suara orang membaca surah Yasin menyeruak ke dalam dada saya menjadi irama yang memompa-mompa isak dan linangan air mata di wajah saya. Anak-anak itu. Tak kuasa saya melihat mereka kebingungan dalam raungan ayahnya.
Beberapa saat kemudian, saya mendengar orang-orang sedang bersitegang dengan aparat imigrasi dan kepolisian yang mengantarkan jenazah ke di rumah duka. Mereka tak mengizinkan keluarga untuk membuka peti jenazah yang telah di letakkan di ruang tengah itu. Tidak seorangpun, kata mereka. Kak Opik, suami kakakku tak kuasa menahan amarah dan dukanya.
Kulihat ia benar-benar terpukul, kak. Anakmu yang masih kecil-kecil hanya bengong melihat ayahnya menangis. Lalu mereka juga ikut menangis tanpa tahu duduk perkaranya. Kak Opik berteriak-teriak minta dibukakan peti jenazahmu yang sudah dipaku mati dan dikawal polisi. Beberapa kali ia jatuh pingsan. Aku tahu mungkin ia merasa sangat bersalah karena membiarkan kau pergi meninggalkan kampung halaman mencari rejeki di Arab sana.
Kau juga yang bersikeras untuk pergi.
Dan anak-anakmu itu. Ah,… tak tahu akan kemana dibawa agar tidak melihat kejadian paling memilukan dalam hidup mereka. Ibu tercinta pergi, dan pulang tinggal mayatnya saja.
Download Naskah Monolog Sebuah Makam Di Kampung Halaman : Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar