Senin, 20 Juni 2011

Naskah Monolog Mayat Terhormat Karya Agus Noor dan Indra Tranggono

Cuplikan Monolog Mayat Terhormat
Penjara… Kuburan…apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap orang tak ada yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak bersentuhan dengannya. Orang tak ingin berhubungan dengan kuburan, karena selalu mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau berurusan dengan penjara, karena juga sering kali berujung kematian…

Dengan payah, ia berusaha bangkit, kembali menerawang keluar jeruji, memukul-mukul piring seng, kemudian bergerak pelan ke arah bibir panggung, dan suara musik yang sayup perlahan menghilang, bagai angin yang bergerak menjauh…Kepada penonton
Anda pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang ditangkap kemudian dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militan. Wouw…betapa gagah dan mulianya prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini harus merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin, agar saya bisa sedikit terhibur. Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang orang penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.

Tapi, sebentar…(Mencermati sosoknya sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya ini memang orang besar,…. Setidak-tidaknya ada yang besar di dalam diri saya…. Iya lho, jangan-jangan saya ini benar-benar pemberani, militan dan cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di lantai, lalu mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini punya potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya kepada piring) Pantas kan saya jadi pembangkang ? Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya: kalau nasib baik, bisa terpelanting naik jadi penguasa atau setidak-tidaknya jadi petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa berjuang, itu bukan soal pengkhianatan. Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk selalu tidak konsisten….(Pause)

Tapi celakanya, saya ini cuma seorang juru kunci. Kekuasaan saya cuma sebatas kuburan dan tulang-tulang berserakan. Itupun cuma juru kunci kuburan umum. Tentu, nasib saya akan jauh lebih baik, misalnya, kalau saya ini juru kunci Taman Makam Pahlawan. Sebab, menjadi juru kunci Taman Makam Pahlawan tentu lebih prestisius dan memiliki banyak privilige. Lha ya jelas, lha wong yang diurusi itu jazad para pahlawan.Ingat…p a h a l a w a n (sambil menggelembungkan mulut). Meskipun yang disebut pahlawan itu lebih pada orang-orang yang memegang senapan. Istilah yang digunakan saja beda. Kalau orang bersenapan yang mati maka ia disebut gugur dalam tugas: Gugur satu tum uh seribu, tunai sudah janji bhakti…. Lho mati saja ada lagunya. Coba kalau orang biasa yang mati, paling banter disebut meninggal. Apalagi kalau hanya kere yang mati, maka dengan semena-mena ia disebut tewas atau koit atau bahkan modar. Kok nggak ada ya kere mati disebut gugur dalam tugas. Padahal seorang kere pun pada galibnya juga punya tugas mulia…, karena kemuliaan itu ada ukurannya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana kita memaknai kemuliaan itu,…..meskipun ya kebangetan jika tiba-tiba ada kere yang merasa benar-benar mulia. Gila masyarakat kita ini, ternyata masyarakat mayat pun disekat-sekat oleh kelas, tergantung dari status sosialnya. Dan sejarah yang ditulis para pendekar, cenderung menganggap senapan sebagai ukuran kepahlawanan. Bukan pada kecemerlangan otak, ketulusan pengabdian, dan ketegaran integritas dirinya.

Tapi, saya tidak ambil peduli. Meskipun mayat-mayat yang saya urusi tidak dikategorikan sebagai pahlawan, saya toh bangga. Bangga sekaligus terharu, karena mayat-mayat yang saya urus tak pernah mengeluh, meskipun tempat persemayamannya…panas, gerah, sumuk,….Mereka tidak minta AC untuk ruang kuburnya. Sangat berbeda dengan mayat-mayat di kuburan Senayan, baru sekali saja jadi mayat, sudah macem-macem menuntut ini-itu, minta kenaikan gaji…

Download Monolog Mayat Terhormat : Disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar