Selasa, 14 Agustus 2012

Cerpen Cinta - Bunga Mawar Merah dari Mata Cintamu

BUNGA MAWAR MERAH DARI MATA CINTAMU
Karya Febri Dwi Yanto

“Kita ada di mana ini Mas?,”tanya Caca, gadis cantik yang kini menginjak usia 18 tahun itu bertanya pada sahabatnya Evan.
Evan itulah satu-satunya keluarga, saudara dan teman Caca yang masih hidup sampai sekarang. Ya sejak kebutaan melanda mata Caca, keluarga dan saudara Caca semuanya menjauh darinya. Maklum orangtunya adalah pengusaha yang sangat kaya raya dan tersohor di Jakarta. Mungkin malu sama kondisi Caca. Caca pun dititipkan ke rumah kakek neneknya di Pacitan , kota kecil diujung selatan propinsi Jawa Timur.

Namun baru sebulan Caca hidup di rumah kakek neneknya, keduanya justru pergi meninggalkan Caca akibat virus flu burung yang mendera hebat kala itu. Dan sejak itulah Caca hidup dan diasuh oleh Evan dan simboknya, tetangga kakek Caca.
“Mas, kok bengong sih, lagi mikirin apa?” tanya Caca sekali lagi
“Ehm nggak ada apa-apa Ca?” Evan terkejut
“Tuh kan nggak denger pembicaraan Caca ya Mas,” ucapnya kekanak-kanakan. Evan yang berusia 23 tahun yang kuliah nyambi kerja itupun tersenyum.
“Iya deh mas evan minta maaf. Emangnya tadi Caca tanya apa?”
“Nggak kok Caca Cuma mau tanya sekarang kita ada di mana Mas?” ujar Caca
“Oke.aku mengajakmu tepat diatas lereng bukit Pantai teleng Ria Ca. dari sini pemandangan sangat indah. Pasir putih yang indah, ombak yang jernih. Karang indah yang megah menjulang, matahari senja yang … “
“Sudahlah mas. Tidak akan kelihatan kok suasana indah pantai ini bagiku,” ujar Caca sembari tersenyum.
“Maaf Ca bukannya…”
“Nggak apa-apa kok mas. Mas Evan udah mau mengajak gadis buta. Bagiku kesini saja sudah sangat membuatku senang kok. Terima kasih ya Mas, ia tersenyum kembali.,” senyum yang sangat indah di mata Evan.
“Biasa saja Ca, kebetulan saja kok hari ini mas Evan bisa libur kuliah dan kerja. Kan dari pada dirumah kamu kesepian. Oh ya mas Evan boleh tanya sesuatu nggak sama Caca?”
“Mau tanya apa mas?”
“Katanya ada orang yang mau mendonorkan matanya untukmu Ca?” tanyanya.
“Lho kok mas Evan sudah tahu?” tanya Caca kembali
“Ehm, kemarin dari simbok. Katanya kemarin dr Anwar dari RSUD Pacitan pergi kerumah dan bilang ada orang yang mau mendonorkan matanya untukmu”.
“Yah enggak jadi untuk surprise. Padahal aku ingin kabar itu menjadi surprise bagi mas Evan,” ucap Caca bernada kecewa.
“Oke-oke sori ca aduh hari ini saya banyak salah ya Ca kepadamu, sori,’’ ujar evan canggung,Caca pun tersenyum sembari tertawa kecil. Tawa yang mampu mengungkapkan penderitaanya selama ini.
“Nggak pa-pa kok mas,” balas Caca ramah.
“Caca nggak marah kan sama mas Evan?”
“Nggak kok mas.”
“Suer?” Balas evan yang ingin menggoda Caca.
“Suer mas,” balasnya sembari tersenyum kembali.
“Tapi orang itu hebat juga ya mas. Di jaman modern dimana manusia bersikap acuh tak acuh ada yang berhati malaikat yang mau mendonorkan matanya untuk gadis jelek sepertiku.”
“Gadis jelek? Gadis jelek apanya, kamu itu bidadari, Caca. Cantik, ramah.pintar dan tidak menyerah begitu saja dengan keadaan. Karena itu orang yang akan mendonorkan matanya itu sangat tepat memberikan sepasang matanya untuk bidadari sepertimu”.
“Mas Evan nggombal,” ujar Caca menahan malu.
“Mas Evan bicara jujur kok. Oh ya emangnya orang yang mau mendonorkan matanya itu siapa Ca?”
“Caca juga nggak tahu mas. Dokter Anwar sih bilang orangnya nggak mau disebutin nama dan identitasnya. Yah, caca harus berterima kasih sekali kepada orang itu mas,” jawab Caca.
“Oh nggak mau disebutin namanya ya? Emangnya kapan operasinya?”
“Kata dokter sih 2 minggu lagi mas, ya cukup dekat waktunya.”
“Oh kalo gitu selamat ya Ca kamu akan jadi orang yang normal. Akan jadi bidadari lengkap dengan mata indahnya,” puji Evan.
“Ih… mas Evan bisa aja nih,” Caca tersenyum kembali.
“Oh ya sebelum pulang Caca mau nggak saya petikkan bunga mawar merah dekat lereng sebelah situ?” ucap Evan menawarkan diri.
“Mawar merah? Mau dong, tapi hati-hati ya mas,” Evan pun segera pergi mengambil dan memetik bunga mawar merah yang tumbuh liar dekat lereng bukit.
“Nih Ca, bunga mawar merah untuk sang bidadari cantik,” goda Evan.
“Terima kasih mas,” Caca pun memegang mawar merah itu. Ia pegang dan cium keharuman mawar itu. Ia ingin dirinya seperti bunga itu. Menebarkan aroma bagi siapa saja yang mendekatinya. Cacapun juga siap menebarkan kebaikan ketika ia tidak buta lagi, seperti halnya mawar merah.
“Ehm… Ca?”
“Oh ya ada apa mas?”
“Nanti kalau kamu operasi tolong kamu bawa mawar merah ini, ya supaya kamu nggak deg-degan atau ya semoga bisa membantu nglancarin operasimu,’ ujar Evan dengan nada pasti.
“Oke-oke mas.. Caca janji kok,” ucapnya polos.
‘’Thanks Ca yuk pulang matahari udah tenggelam tuh. Takut nanti simbok nyariin kita lagi,’’ ajak Evan
“Ya mas,” Evan pun segera menuntun Caca ke sepeda bututnya.
Mentari senja kian tenggelam. Perlahan-lahan menemani ayunan langkah sepeda tua Evan dan Caca. Ombak pantai terus mengguyur karang tiada henti. Mungkin juga takdir Nya akan terus mengguyur karang kehidupan manusia tiada henti. Ya kehidupan manusia memang penuh misteri.
* * *

Hari pun berganti cerah. Denting jam terus berputar. Roda kehidupan terus berjalan tiada henti untuk melangkahkan manusia ke panggung sndiwara. Dua minggu yang di nanti pun segera tiba. Sebuah penantian panjang akan sepasang mata normal pun telah berjalan bahkan bunga mawar merah yang dulu harum mekar abadi kini telah layu.
Namun semangat gadis remaja itu tidak layu. Operasi melelahkan yang memakan waktu hampir empat jam sudah ia lakukan dengan ditemani derasnya hujan yang tak pernah mau berhenti. Namun hati Caca terasa hampa. Ya teman setianya harusnya ada di dekatnya. Ia sangat ingin melihat wajah Evan untuk pertama kali, tapi ia sibuk dengan kuliah dan kerjanya kata simbok sebelum operasi dimulai.
Tetapi sampai sekarang disaat Caca akan membuka matanya untuk melihat wajah pria itu, pria bernama Evan tetap tidak ada. Yang ada hanya im dokter dan perawat dipimpin dokter Anwar dan simbok tentunya. Nggak ada Evan
“Bagaimana dok kondisi Caca?” tanya simbok pasca operasi.
“Alhamdulilah baik-baik saja bu. Operasinya berhasil 100 persen,” jawab dokter Anwar
“Alhamdulilah terima kasih dok,” balas simbok, Dokter Anwar mengangguk.
“Dok maaf apa bisa dibuka sekarang penutup matanya?” tanya Caca penasaran.
“Oh ya bisa tapi nanti setelah penutup matanya dibuka Caca harus membuka matanya pelan-pelan ya jangan dipaksakan. Mengerti?”
“Mengerti, dok,” jawab Caca mantap sambil memegang erat bunga maar merah ditanganya dan ditempelkan di dada.
Kemudian pelan-pelan dokter Anwar membuka penutup mata Caca . simbok merasa cemas. Air matanya mengalir. Entah sedih atau bahagia.
Pelan-pelan ya ca penutup mata sudah terlepas. Caca menuruti perkataan dokter Anwar untuk membuka matanya pelan-pelan.

Dan…. Selamat datang ke dunia nyata. Caca mengerdip-kerdipkan matanya. Ia memelototkan matanya sebentar lalu melihat simbok, dokter Anwar, para perawat, bantal yang ia tiduri, selimut dan semuanya yang bisa ia lihat. Ia bahagia. Teramat bahagia.
“Oh ya, orang yang mendonorkan mata untuk Caca dimana dok?” tanya Caca.
Dokter Anwar diam-diam menatap simbok. Simbok menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan luapan air matanya. Hening.
“Ada apa mbok? Mas Evan mana mbok?” tanya Caca seketika. Ia tidak melihat sama sekali sosok Evan

Simbok diam dan terus menahan tangisnya. Dokter Anwar memeluk caca. Air mata Caca mulai mengalir.
“Ada apa ini dokter? Ada apa? Kemana mas Evan dok?” tanya Caca kebingungan.
“Kamu yang sabar ya Ca,” ucap dokter Anwar menenangkan Caca
“Mbok tolong jelaskan ada apa dengan mas Evan, mbok. Tolong kata Caca memelas sambil memegang erat bunga mawar merah ditanganya”. Hujan terus turun. Petir menggelegar. Kilat menyambar.
“Nduk, Evan … Evan telah meninggal, Nduk”. Air mata simbok meledak. Perawat segera menenangkan simbok.

Caca melongo. Bumi telah jatuh dan menubruk. Bahu dan seluruh tubuhnya hingga hancur.
“Tidak! Tidak mungkin! Simbok bercanda kan?”
“Itu benar Ca. Evan memang telah meninggal tepat sehari sebelum operasimu. Ia meninggal karena penyakit kanker hati nya yanh telah mencapai stadium akhir. Dia bilang jangan menceritakan kematiannya sebelum operasimu berhasil. Dan orang yang mendonorkan mata untukmu adalah Evan sendiri Ca. Sabar ya Ca,” jawab dokter.
“Tidak! Ini tidak mungkin! Tidak benar! Dokter bohong!” jawab Caca tidak percaya. Air matanya mengalir deras.
“Itu benar Nduk,” jawab simbok sambil memeluk Caca. Keduanya menangis haru. Suasana pilu.
“Tapi kenapa mas Evan tidak menceritakan tentang penyakitnya, Mbok? Kenapa ia tidak bilang mau mendonorkan matanya untuk Caca? Kenapa Mbok? Kenapa?” Caca pasrah kehilangan kendali hidupnya.
“Karena ia tidak mau membebanimu Nak. Ia tidak mau membuatmu menderita. Sejak awal dia mencintaimu dan rasa cinta tidak mampu meneguhkan dirinya dalam melawan penyakit kankernya. Dan rsa cintanya padamu pula ia mendonorkan matanya untukmu, Nduk!” jawab simbok sambil menangis.
“Tapi…tapi kenapa Tuhan memanggilnya mbok, kenapa? Kenapa bukan Caca saja, kenapa harus mas Evan, kenapa?” Caca berteriak sekuat tenaganya.
Petir menyambut teriakan Caca dengan keras. Hujan bertambah deras. Caca oleng, entah mendapat kesadaran dari mana tiba-tiba ia berlari ke luar ruangan ICU.
Nduk, nduk kamu mau ke mana, simbok mencegah Caca. Caca tidak peduli, ia terus berlari dan berlari ke luar ruangan.
“Caca kamu mau kemana?” dokter Anwar perawat dan simbok segera mengejar Caca.

Caca terus berlari. Air matanya terus mengalir. Ia pegang erat bunga mawar merah layu di dadanya. Ia dekap erat-erat.
“Selamat ya Ca kamu akan jadi bidadari lengkap dengan mata indahnya,” Ia teringat ucapan Evan 2 minggu yang lalu. Ia menyesal, sedih, marah, kehilangan. Ia terus berlari. Ia terjatuh di tangga terakhir menuju pintu keluar rumah sakit. Ia ambruk. Dahinya mengeluarkan darah mengenahi bunga mawar merah layunya.

Tetapi ia segera bangun dan terus berlari. Air matanya tak mau berhenti. Bunga mawar merah benar-benar memerah. Sampai diluar rimah sakit Caca terjatuh kembali. Dahinya terus mengeluarkan darah dan bunga mawar merahnya tertutup darah merahnya. Hujan deras mengguyur tubuhnya. Petir menggelegar. Caca berteriak sekuat tenaga.
“Mas evan Caca mencintaimu! Kenapa kau meninggalkan Caca sendirian? Kenapa mas? Caca mencintaimu. Aku ingin mata ini menjadi saksi cinta kita mas!” Simbok segera berlari dan memeluk Caca. Keduanya berpelukan untuk merindukan sosok malaikat bernama Evan.
Hujan terus turun, menimpa bunga mawar merah yang telah layu.
# # #

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar