Minggu, 12 Agustus 2012

Cerpen Romantis - Aurora

AURORA
Karya Devi Khairun Nisa

Kamu baru saja melihatnya, ketika ia sedang tenggelam dalam kesedihannya di sebuah bangku taman bunga senja itu
Kamu pertama kali melihatnya sedang tersedu dengan air mata yang menganak sungai di pipinya. Terisak di sebuah bangku taman tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Tidak peduli dengan gerimis yang mulai deras. Ia hanya menangis. Menangis menatap nanar bunga yang sedang bermekar indah dihadapannya.

Tapi entah mengapa, walaupun terbesit rasa iba yang mengguyur hatimu saat itu, tidak mampu menggerakkanmu untuk menghampirinya. Dirimu hanya terdiam memerhatikannya dari jauh. Sibuk dalam pikiranmu sendiri. ‘Apa yang menyebabkan Gadis semanis ini menangis?’ atau, ‘Siapa yang dengan tega membuat gadis sepertimu menangis hingga tersedu seperti itu?’

Gadis itu beranjak berdiri dari tempatnya. Menghapus sisa air mata yang masih membasahi pipinya kemudian berjalan perlahan meninggalkan taman.

Ada rasa penasaran yang menggebu dihatimu dan memaksa diri untuk membayar rasa penasaran itu. Sebuah rasa yang jarang sekali kamu rasakan menggerakkan kakimu untuk mengikutinya.

Kamu melihat ditengah jalan ia disapa dan berbincang sebentar dengan seseorang. Tidak. Kamu tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuhnya kamu tau, seseorang itu, dengan sikap keibuannya, seperti memberikan kekuatan kepada seorang anak yang disayanginya. Gadis itu hanya tersenyum setengah hati dengan mata yang masih berkaca kaca, lalu mengangguk lemah.
Cerpen Romantis
Ahhh.. Ya Tuhan. Dia, Gadis itu, benar benar menyita perhatian mu saat ini.

Kamu segera menghampiri seseorang yang tadi menyapanya setelah ia menghilang dibalik keramaian. Gadis itu, sungguh menarik. Kamu tidak pernah tau apa yang ada pada dirinya yang membuatmu begitu penasaran.
“ Permisi Bu..” sapa mu dengan sopan. “maaf. Kalau boleh tau, siapa gadis yang tadi ibu sapa? Sepertinya ia sedang berduka..”

Ibu itu menatapmu sesaat sebelum menyebutkan nama gadis itu. “ namanya Rora. Aurora. Gadis itu kehilangan kekasihnya sehari setelah ia dilamar di taman bunga ini. Kepergian kekasihnya akibat kecelakaan telah menghapus keindahan senyum yang selalu mengiasi wajahnya”

Aurora. Gadis itu bernama Aurora. Nama yang indah. Seindah langit malam dikutup yang berpendar dengan warna warni yang dilukis Tuhan di kanvas ciptaannya. Namun sayang, keindahan itu sedang redup ditutupi awan duka yang berkepanjangan.

Terbesit rasa keyakinan dan percaya dirimu untuk menyapa gadis itu suatu saat. Ketika takdir mempertemukanmu dengannya suatu hari nanti. Rasa itu begitu kuat. Tanpa pernah kamu mempertanyakan kenapa.
****-

Kamu mengenalnya tepat saat bunga bunga ditaman itu sedang bermekaran dengan indahnya.

Harapanmu terkabul. Takdir memang mempertemukanmu dengannya lagi di taman itu. Saat itu gerimis belum turun seperti awal kamu melihatnya.

Saat itu, kamu sedang mengambil beberapa objek foto ditaman seribu bunga itu. Memotret segala sisi keindahan taman saat bunga sedang merekah indah. Di saat itulah, kameramu menangkap sosok dirinya duduk termangu dengan tatapan nanar yang begitu menyakitkan. Namun kini, ia tidak menangis. Atau lebih tepatnya belum menangis.

Ahh.. ya. Hasrat itu. Hasrat yang begitu kuat muncul entah dari mana, memaksamu untuk mendekat dan menyapanya.
Langkah kakimu terhenti, saat hembusan angin dingin menerpa. Membuat tubuhnya bergetar saat dirimu memandangnya dari balik punggung. Hanya berkisar 3 langkah lagi kamu akan duduk di bangku yang di duduki gadis itu. Kamu mulai melangkahkan kakimu seraya membuka jaket yang kamu kenakan untuk melindungi gadis itu dari hawa dingin dan tetasan hujan yang mulai turun.

Lagi. Gerakanmu kembali terhenti. Saat dirimu tepat berada disampingnya dan melihat setetes air jatuh ke kepalan tangan di atas pangkuannya. Tetesan air itu kamu sadari bukan berasal dari gerimis dari langit kelabu. Tapi berasal dari matanya yang terlihat sendu. Tubuhnya semakin terguncang hebat dan isak tangisnya keluar setelah kepalanya jatuh tertunduk. Akhirnya, kamu mengetahui bahwa bukan hawa dingin yang mengakibatkan tubuhnya bergetar hebat. Melainkan sebuah isak tangis yang sedari tadi sudah ditahannya.

Kehadiranmu di sadari olehnya. Gadis itu menoleh menatapmu dengan airmata yang terjun bebas dipipi mulusnya. Meskipun matanya tertutupi kabut bening, namun sorot terkejut tak menghalanginya. Ia terkesiap memandangmu dengan tatapan terkejut dan bertanya. Namun kamu tidak mempedulikannya, justru malah melanjutkan gerakan tanganmu menyampirkan jeket ke bahunya yang sempat tertunda.

Gadis itu enggan bergerak. Ia memandang jaket yang kamu sampirkan ke tubuhnya lalu menatap kedepan. Ia tidak beranjak dari tempatnya duduk. Dan kamu. Kamu hanya diam duduk disisinya tanpa sepatah kata.

Entah mengapa, suasana hening diantara kalian sungguh menyenangkan bagimu. Semilir angin membawa kebekuan. Rintik rintik hujan yang membasahi taman menjadikan suasana semakin damai. Kehangatan mulai merayap perlahan menyentuh sudut sudut hati yang beku diantara kalian.

Gerimis senja ditengah tengah bunga yang bermekaran.
****-

Kamu semakin sering bertemu dengannya ditaman ini. Setelah gerimis senja itu memperkenalkan kalian.

Kamu mulai mengenal sosoknya. Mulai mengenal siapa gadis manis yang selama ini membuatmu begitu penasaran.

Perlahan membuka sebuah peluang pertemanan diantara kalian. Perlahan mulai saling memperkenalkan siapa diri masing masing.

Kamu mengenalnya saat gerimis di senja kala itu. Mengenalnya melalui awan kelabu tengah menutupi mentari di hari itu. Mendapatinya dengan tetesan airmata yang tidak pernah terhapuskan selama beberapa bulan dalam hidupnya. Kamu mengenalnya ditengan kepedihan cinta, ditengah keindahan bungan yang merekah indah.

Dalam sebuah perkenalan yang tidak pernah kamu duga kamu mengenalnya. Melihat tatapan sendu dalam setiap cerita yang keluar dari mulut mungilnya. Mendengar kegugupan dalam setiap nada suaranya yang sarat kepedihan.

Lalu kamu tersadar. Ketika tidak ada yang dapat kamu lakukan untuk merubah masa lalunya yang begitu menyakitkan, kamu memutuskan untuk memulai semuanya dari awal.

Kamu dengan bermodalkan sebuah ketulusan, mulai menyeka awan kelabu itu dari pandangan matanya yang indah. Kembali memperkenalkan dunia yang telah tercipta indah sedari kamu menghirup nafas pertama di dunia. Kembali memperkenalkan senyum padanya. Kembali memperkenalkan makna dari kelima huruf yang sempat terabaikan olehnya.
‘Ya.. tersenyumlah Aurora. Aku akan membuatmu kembali bersinar indah seperti dulu.’

****-

Kamu selalu menemuinya mulai saat itu

Walau hatimu tidak pernah mengerti, namun hasrat yang ada di dalam dirimu menuntut untuk terus bisa melihat wajahnya. Menarik dirinya dari keterpurukan yang dalam.

Yang kamu lakukan hanyalah mendengarkan semua cerita pahitnya. Memberikan masukan masukan disaat yang tepat. Membumbuinya dengan sedikit candamu untuk memancing tawanya, atau hanya sekedar senyumnya yang lama tak terlihat.

Kamu mengerti betul besarnya cinta yang ia simpan untuk kekasihnya. Dan terkadang, disaat saat tertentu, ditengah tengah cerita indah gadis itu bersama kekasihnya, terselip rasa iri di hatimu. Rasa iri terhadap sosok laki laki yang dengan segenap hati ia cintai. Dan di saat itu kamu sadar, dirimu hanyalah seorang pengagum yang ditakdirkan Tuhan untuk mengenal dirinya di suatu senja yang kelabu.

Kamu membenci gagasan itu. Kamu membenci kenyataan itu. Kenyataan bahwa suatu saat nanti kamu juga akan merasakan sakitnya cinta. Namun entah mengapa, hal ini tidak membuat tekatmu goyah. Kamu tidak pernah beranjaka dari tempatmu berdiri sekarang. Kamu tidak pernah ingin berhenti melakukan apa yang sedang kamu lakukan sekarang. Dan disaat untuk pertama kalinya kamu melihat senyum gadis itu merekah tanpa ada selaput sendu di matanya, hatimu berkata, ‘ Apapun itu, bahkan kebahagiaanku sendiripun akan ku gadaikan asal kamu tetap tersenyum seperti ini.. kamu hanya perlu mengatakan apa yang harus ku lakukan untuk tetap membuatmu tersenyum seperti ini’.
****-

Kamu, dalam diam menyadari rasa penasaran dihatimu mengantarkanmu pada rasa sayang yang kamu yakini tidak akan terbayar.

Selama berbulan bulan kamu menemaninya ditaman itu, menghabiskan setiap senja untuk kembali mengajarkannya bagaimana rasanya menikmati keindahan yang telah tercipta meski dibalik perih luka cinta, selama itu pula kamu berusaha menutupi kenyataan yang terjadi didalam dirimu sendiri. Kamu membohongi perasaanmu sendiri bahwa kamu tidak pernah jatuh cinta padanya.

Padahal kenyataannya kamu mulai menyayanginya melebihi seorang teman.

Padahal kenyataannya kamu mulai merindukannya dan melewati hari yang begitu menyiksa tanpa melihat wajahnya.

Kamu membohongi dirimu sendiri. Membakar hidup hidup perasaan itu. Mengenyahkan secara paksa sebuah harapan yang mulai tumbuh dan berkembang subur jauh di dalam hatimu.

Kamu tidak pernah mau mengakuinya. Bahkan saat kamu ingin mempercayai perasaan itu, justru semakin gencar kamu melupakannya.

Namun apa yang telah kamu lakukan padanya selama berbulan bulan ini, telah mewujudkan harapan yang pertama kali kamu inginkan saat mengenalnya. Ia kembali tersenyum. Ia kembali tertawa. Ia kembali mekar indah walaupun bunga bunga di taman itu masih dalam kelopaknya. Kuncup bunga. Namun bunga yang satu ini justru mekar lebih dulu dan lebih indah di sisimu. Dan disaat itu, ia mulai menyadari dan menerima takdirnya sebagai manusia yang masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara kehidupan, ia berkata padamu, “ terima kasih, Evan”

Kata kata itu, ucapan terima kasih itu, meluruhkan seluruh pertahanan dirimu. Menyadarkan dirimu akan hadirnya perasaan yang selama ini kamu acuhkan. Menghancurkan hatimu hingga berkeping keping tanpa bisa utuh lagi. Usai sudah. Segalanya. Perkenalan ini, pertemuan ini, pertemanan ini, hanyalah sebagai perantara Tuhan untuk membawanya dari jurang kesedihan. Dan tugasmu hanyalah sampai sini. Tanpa mengharapkan imbalan apapun.
“ya.. aku senang kamu tidak sedih lagi. Bukankah itu gunanya teman?” ucapmu lirih.

Dan kata terakhirmu itu menjadikan tamparan keras untuk menyadarkan posisimu selama ini di sisinya.
****-

Rasa itu benar benar terlanjur tumbuh subur ditaman hatimu.. ohh yaa Tuhan..

Sudah sebulan kamu tidak menemuinya sejak untuk pertama kalinya ia kembali tersenyum tanpa ada kesedihan di matanya.

Dan rasa rindu itu tidak lagi bisa kamu tutupi keberadaannya. Bahkan semakin ingin kamu mengenyahkan perasaan itu, semakin besar pula ia menggerogoti hatimu. Begitu menyiksa. Begitu menyakitkan. Hingga senja ini, ketika kamu tidak tahan lagi dengan apa yang kamu rasakan, kamu memutuskan untuk datang ketaman itu. Taman yang menjadikan sarana tempat awal kalian bertemu dan berkenalan.

Kamu tidak menemukannya. Ia tidak disini seperti biasanya. Jadi disinilah kamu sendiri. Disaat senja kembali kelabu dan rintik hujan mulai turun. Dingin. Angin dingin itu pun tidak lagi sama rasanya dengan angin dingin di awal perkenalan kalian yang terasa sejuk. Angin dingin ini justru membawa rasa kebekuan yang mencekam bagi dirimu.

Kamu masih diam di bangku taman ini. Tenggelam dalam fikirmu tentang dirinya ditengah gerimis yang mulai merapat. ‘ apakah ia telah melupakanku? Atau apakah ia telah menemukan kebahagiaannya yang lain diluar sana?’

Ditengah kesibukanmu dengan sejuta Tanya dalam jiwamu,tanpa sadar gerimis yang mulai membasahi seluruh tubuhmu berhenti menyentuh. Padahal kamu tau gerimis tidak reda saat itu. Pikiranmu terlalu beku untuk menyadari seseorang yang dalam diam menghampiri dan duduk tepat disisimu. Hingga ia menyapamu terlebih dulu, “ Evan, sedang apa kamu ditengah gerimis ini?”

Kamu tersadar. Menoleh kearah sumber suara yang begitu lembut dan sangat familiar di telingamu. Matamu dan mata gadis itu beradu. Aurora. Yaa.. gadis itu Aurora. Gadis yang selama ini selalu menangis dipundakmu. Gadis yang selama ini dengan usaha dan ketulusanmu kembali tersenyum meninggalkan pedih luka yang membelenggunya. Dan kini, gadis itu ada disisimu, memegang sebuah payung untuk melindungi kalian dari gerimis senja itu.

Kamu hanya diam menatap matanya. Matanya yang kembali tersiratkan kesedihan seperti awal kalian bertemu. Mata itu sendu. Kenyataan itu menyadarkanmu dan memaksakan lidahmu untuk mengucapkan sesuatu. Namun yang kamu ucapkan hanyalah namanya. Begitu lirih seakan tenagamu telah membeku karena dinginnya cuaca.
“ Aurora..”
“ kemana saja kamu selama ini? Kenapa kamu menghilang..? Evan.. tolong jelaskan apa yang sedang terjadi padamu selama ini..”

Ucapannya begitu menggebu. Namun dibalik itu semua, di matanya yang indah, kini kamu temukan kembali selaput bening kepedihan itu lagi. Kamu terkejut. Berusaha menerka apa yang sedang terjadi dengan gadis yang kamu sayangi.
“ Aurora, ada apa?” tanyamu sambil menyeka tetesan pertama yang keluar dari mata indahnya.
“ kamu masih bertanya da apa, Van?! Setelah semua yang telah kamu lakukan padaku.” Ucapan gadis itu tercekak dengan tangisnya yang tidak sanggup ditahannya lagi.

Langit belum memberikan tanda tanda gerimis akan berhenti. Dan kamu berusaha dengan keras meresapi dan memahami apa yang baru saja dikatakan gadismu. Disaat kamu mulai melihat dan mengerti maksud yang tersembunyi itu, gadis itu melanjutkan ucapannya.
“kamu menghilang Van..!! kamu menghilang dari hadapanku selama ini..!! kamu datang secara tiba tiba ditengah kesedihanku. Dan kini setelah kamu berhasil mengeluarkanku dari keterpurukkan, kamu menghilang tanpa sebab. Tolong katakana Van, apa yang telah aku perbuat hingga kamu meninggalkanku sendiri selama ini..”
Emosinya semakin keluar ditengah tengah gerimis yang kini semakin deras. Kamu tersadar, apa yang selama ini kamu yakini untuk membakar hidup hidup perasaanmu terhadap gadis itu, justru telah kembali melukai hatinya.
“ Aurora, aku…” kata katamu dipotong olehnya.
“ seharusnya kamu tidak perlu membantuku untuk keluar dari masalahku jika pada akhirnya kamu juga akan meninggalkanku, Van. Sungguh kamu tidak perlu melakukannya. Membuatku kembali tersenyum atau tertawa jika pada akhirnya kamu kembali membuatku seperti ini..” akhirnya tangisnya pecah.

Gadis yang selama ini dengan usahamu membuatnya kembali tersenyum, gadis yang dulu pertama kali kamu mengenalnya dan berjanji pada dirimu sendiri untuk menjaga agar tidak lagi merasakan kesedihan, kini justru kamu sendiri yang membuatnya kembali menangis. ‘ Ya Tuhan, apa yang telah ku perbuat..’

Ditengah gerimis senja itu, kamu menyadari kesalahan dan hal bodoh yang telah kamu perbuat. Tindakanmu yang gegabah telah membuat gadis yang kamu sayangi menangis seperti ini.

Perlahan, kamu mendekap tubunya dan membiarkan tangisnya tumpah dalam pelukanmu. Ya.. kamu menyesal. Dan kini kamu kembali berjanji untuk tidak pernah meninggalkan dirinya lagi.
“maafkan aku. Mulai sekarang, aku tidak akan meninggalkanmu lagi..” ujarmu lirih ditelinganya seraya membelai lembut rambutnya yang terurai.
“ berjanjilah padaku, Van..” pintanya
“ aku berjanji..” ucapmu pelan namun tegas dan menariknya lebih erat dalam pelukanmu.
****-

Dan disini, saat ini. Ketika bunga bunga ditaman ini kembali bermekaran indah di tahun keduan kamu mengenalnya.

Dibangku taman ini yang dulu pertama kalinya kamu mengenal gadis manis ini. Kini ia tidak lagi sedang menangis. Justru ia sedang tersenyum manis padamu. Kamu mengatakan sesuatu yang membuatnya tertawa.

Indah. Begitu indah. Ditengah keindahan bunga yang merekah dan menebarkan bau harum, namun tepat disisimu sekarang, sekuntum bunga kembali mekar jauh lebih indah. Jauh lebih harum. Dan bunga itu bernama Aurora.
“ kamu suka taman ini?” tanyamu padanya
“ ya.. aku sangat menyukainya..” jawabnya tanpa menghapus senyum dibibirnya.
“ehmm.. kalau kamu menikah dengan ku di taman ini, kamu bersedia??”

Ia terdiam. Lalu tawanya pecah. “ apa kamu sedang bercanda lagi Van?”
“Tidak. Apakah wajahku terlihat seperti bercanda?” tanyamu dengan menatap kedalam matanya dan menenggelamkan tangannya dalam genggamanmu.

Ia menyadari nada serius dari bicaramu. Ia pun tertunduk menatap tangannya yang hilang di dalam genggaman tanganmu.
“ a.. a..aku..” ucapnya tergagap. Ada semburat merah dipipinya yang mulus. “ apakah ini tidak terlalu terburu buru?”
“ tidak. Aku cukup mengenalmu. Begitu pun kamu. Aku rasa aku tidak terburu buru…”
“ehh.. ta.. tapi..” ucapnya masih tergagap karena gugup.
“ oh Astaga Aurora.. jangan katakan kalau aku terlalu tampan untukmu...” katamu dengan senyum yang merekah berusaha menggodanya.

Ia mengangkat kepalanyanya dan tertawa karena ucapanmu.
“hahaha.. yang benar saja. Apakah aku tidak cukup cantik untuk mu?? “Tantangnya padamu lalu kalian tertawa bersama
Hanya saja, Apakah kamu tidak akan menyesal menikahiku?” Tanya gadismu setelah tawa kalian reda.

Kamu terdiam. Mata topasmu menatap lekat lekat kedalam matanya yang indah. Tatapan itu membuatnya menunduk karena malu. Dengan perlahan kamu menyentuh dagunya dan mengangkatnya hingga kamu bisa melihat mata indah itu, lalu bertanya
“ Apakah aku punya alasan untuk menyesalinya??”

Ia terdiam membalas tatapanmu dan dengan tegas menggelengkan kepala seraya berkata,
“ Tidak.”
“ lalu, maukah kamu menikah dengan ku?” pintamu sekali lagi padanya.

Disaat itu semburat merah diwajahnya kembali lagi. Namun kali ini ia tidak menghindar dari permintaanmu. Justru ia mengangguk dan berkata, “ Ya.. Aku mau..”

Dan kamu langsung memeluknya erat.
“ Terima kasih karena telah bersedia menikah dengan ku. Aku sangat bahagia “
“ begitu pula denganku..”
Sekuntum bunga lagi telah mekar ditaman senja itu. Mekar dengan menebarkan aroma kebahagiaan dari sebuah rasa yang begitu tulus. Sebuah hasrat yang dulu kamu yakini tidak pernah terbalas, sebuah hasrat yang dulu selalu kau hancur setiap ia mulai mekar ditaman hatimu.

Namun tidak seperti pertemuan pertama kalian yang diiringi dengan gerimis dan awan kelabu. Kini justru langit begitu cerah walaupun gerimis baru saja beranjak pergi. Tetesan gerimis masih meninggalkan bekas di rerumputan. Bergentung ditepi tepi daun yang masih basah. Tetesan sisa gerimis itu berpendar diterpa sinar jingga di senja itu. Dan disudut langit sana, pelangi terlukis begitu indah di kanvas Sang kuasa. Dan Aurora pun kembali bersinar menemani langit kutup bersama salju.
“Pelangi itu indah ya..” ujarnya sambil melepas pelukannya.
“ya.. indah. Tapi, taukah kamu apa yang lebih indah saat ini??” tanyamu
“ehmm.. apa itu?”
“ melihat indahnya Aurora dihadapanku yang orang lain hanya bisa melihatnya di kutup yang tertutupi salju abadi..” ujarmu sambil menatap kedalam matanya yang bening.

Ia hanya tersenyum menatapmu dalam diam. Lalu dengan perlahan wajahmu mendekat kewajahnya. Begitu perlahan. Menanti raeksinya terhadap apa yang kamu lakukan. Namun ketika jarak wajah mu semakin mendekat, ia menutup matanya. Disaat itulah kamu melihat keindahan dan kecantikan wajah gadismu dari dekat. Dan dengan hati berdesir, kamu pun menutup matamu. Merasakan setiap hela nafasnya.
Ciuman pertama itu pun terjadi. Begitu indah, begitu lembut, begitu manis. Semanis aroma bunga yang sedang bermekaran di sekitar kalian. Seindah warna warni kelopak bunga yang merayu kumbang. Selembut tetesan gerimis yang membasahi bunga bunga di taman ini. Taman Seribu Bunga.

‘Kamu lihat, bukan?? Aurora tidak hanya ada di langit kutup yang tertutupi salju. Tapi disini, ditempatku sekarang, Aurora itu lebih indah dan bersinar dibawah sinar jingga senja yang menawan. Tanpa salju, tanpa rasa dingin, tanpa kebekuan. Keindahannya berpendar dibawah sinar matahari yang memberikan kehangatan..’
PROFIL PENULIS
Seorang mahasiswi yang suka nulis apapun yang terlintas di pikirannya.semoga yang satu ini suka ya. silahkan beri komentar sbg sarana perbaikan diri dalam menulis.
facebook : Zantedeschia Annisa

Baca juga Cerpen Romantis yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar