MIMPI YANG TERBUNUH
Karya Denis Supiantias
“ Yah…..basah “
“ Kenapa Mir ? “
“ Ini bu, sepatu yang Mira jemur kemarin lupa diangkat “
“ Trus gimana ? kamu sekolah ? “
“ Hari ini Mira ngak sekolah bu “
“ Ya sudah, nanti kamu ikut ibu ke kebun saja ya “
“ Iya ibu “
Hujan tadi malam mengurungkan niatku untuk pergi ke sekolah. Aku binggung, apakah aku harus senang atau tidak. Di sekolah hari ini ada mata pelajaran pak Yudi beliau guru yang paling lucu di sekolah dan disukai siswa. Namun hari ini juga ada pelajaran ibu Aminah beliau adalah guru yang paling kejam dan galak diantara guru – guru yang ada di sekolah. Kekejaman dan kegalakannya melebihi sang raja hutan karena banyak siswa yang takut ketika beliau sudah mengajar. Bahkan terkadang sampai ada siswa yang terkencing – kencing karena takut dengan ibu aminah yang galak. Tapi di sisi lain aku harus ikut ibu ke kebun untuk mencari sayur dan dijual besok ke Malaysia. Beginilah cara hidup di perbatasan harus bisa memanfaatkan keadaan.
“ Sudah siap “
“ Iya bu “
“ Ayo…!!”
Karya Denis Supiantias
“ Yah…..basah “
“ Kenapa Mir ? “
“ Ini bu, sepatu yang Mira jemur kemarin lupa diangkat “
“ Trus gimana ? kamu sekolah ? “
“ Hari ini Mira ngak sekolah bu “
“ Ya sudah, nanti kamu ikut ibu ke kebun saja ya “
“ Iya ibu “
Hujan tadi malam mengurungkan niatku untuk pergi ke sekolah. Aku binggung, apakah aku harus senang atau tidak. Di sekolah hari ini ada mata pelajaran pak Yudi beliau guru yang paling lucu di sekolah dan disukai siswa. Namun hari ini juga ada pelajaran ibu Aminah beliau adalah guru yang paling kejam dan galak diantara guru – guru yang ada di sekolah. Kekejaman dan kegalakannya melebihi sang raja hutan karena banyak siswa yang takut ketika beliau sudah mengajar. Bahkan terkadang sampai ada siswa yang terkencing – kencing karena takut dengan ibu aminah yang galak. Tapi di sisi lain aku harus ikut ibu ke kebun untuk mencari sayur dan dijual besok ke Malaysia. Beginilah cara hidup di perbatasan harus bisa memanfaatkan keadaan.
“ Sudah siap “
“ Iya bu “
“ Ayo…!!”
Aku hanya menganguk pasrah karena harus membantu ibu hari ini. Ini semua kulakukan untuk membantu ibu memenuhi kehidupan keluarga. Semenjak kematian ayah dua tahun lalu, ibu harus berjuang sendiri untuk memenuhi kehidupan keluarga kami. Sementara bang Dika entah kemana. Setelah ia pergi ke Malaysia dan bekerja di sana ia tidak pernah memberi kabar kepada kami. Tetapi yang lebih memilukan adalah, mungkin bang Dika tidak tahu kalau ayah sudah tiada. Ibu adalah satu – satunya harapanku sekarang. Hanya ibu yang ada. Terkadang aku merasa sangat bersalah dan aku merasa sedih melihat ibu hanya menjadi seorang kuli petani dan penjual sayur. Tapi aku tidak bisa berbuat apa – apa. Aku hanya seorang siswa SD yang masih berumur 12 tahun dan tidak mempunyai keahlian di bidang apapun. Tapi aku tetap berusaha untuk membantu ibu, walaupun itu hanya mencari sayur. Besok hari minggu dan itu adalah hari yang tepat untuk berjualan ke Malaysia karena pada hari tersebut pasar Kuari pasti ramai pengunjung. Dan besok aku harus bangun pagi – pagi sekali karena aku harus mempersiapkan sayur – sayur yang akan di bawa ke Malaysia. Kami sering menjual hasil kebun kami ke Malaysia dan kami dibayar dengan menggunakan uang ringgit Malaysia. Kami biasanya menjual sayur dengan menapok harga 2 Ringgit perikat. Namun terkadang jika yang kami jual berupa sayur buah maka kami menjualnya dengan harga 2-3 ringgit perkilo. Perjalanan menuju Malaysia tidak begitu jauh sekitar dua jam saja. Itupun ditempuh dengan berjalan kaki ditambah lagi dengan beban sayur yang mencapai berat berkisar antara 15 – 20 kilo atau lebih. Tapi itu tidak menjadi masalah buat ibu. Yang penting dia bisa mendapatkan uang dengan cara yang halal.
“ Mir…bangun. Siapkan sayur yang kamu bawa “
“ E……”
“ kamu ikut ibu jualan tidak hari ini “
“ Ikut bu “
“ Ya sudah siap – siap sebentar lagi berangkat “
Aku masih sangat merasa mengantuk. Kulihat jam di sudut dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Berarti pukul 7 pagi ini kami sudah sampai di Malaysia. Mungkin aku anak yang kurang beruntung yang hidup di perbatasan. Tapi itu bukan merupakan masalah bagiku yang penting aku harus berjuang untuk tetap hidup dan membantu ibuku tercinta. Aku dan ibupun segera berangkat menuju Malaysia kami tidak sendirian karena banyak orang hari ini yang pergi ke Malaysia dengan tujuan yang berbeda – beda. Kamipun akhirnya tiba di Malaysia dan ibu langsung mengajakku pergi ke pasar Tamuk dan kami langsung menawarkan sayur – sayur yang kami pikul dari rumah tadi. Tapi sungguh ironis kami masuk ke Malaysia tidak menggunakan paspor alias illegal. Mau bagaimana lagi ? uang saja terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bagaimana bisa membuat paspor?. Mau menjual sayur ke kecamatan tidak mungkin karena terlalu jauh di tambah lagi dengan keadaan jalan yang tidak terawat. Maklum daerah perbatasan seperti desa kami kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sayurpun sudah habis terjual dan hari ini aku dan ibu mendapatkan uang yang lumayan untuk orang seukuran ekonomi rendah seperti kami.
“ Kamu mau beli apa Mir ? “
“ Ngak ada bu, ibu saja yang belanja “
“ Ya sudah ibu belanja ke toko itu dulu ya. Kamu tunggu di sini jangan ke mana – mana “
Aku hanya menganguk saja. Biasanya setelah berjualan ibu mengajakku pergi kepasar Kuari tempat kami sering berbelanja. Sebenarnya aku ingin membeli sepatu baru karena sepatuku sudah sangat lama dan kalau sepatuku basah tidak ada sepatu cadangan. Tapi keinginanku itu kubiarkan saja. Biarlah, toh sepatu lamaku masih bisa dipakai dan juga aku harus bisa memikirkan kebutuhan yang harus ibu penuhi.
“ Ayo Mir, kita pulang ibu sudah selesai belanjanya “
“ Iya bu “
“ Ini….tadi ibu belikan kamu sepatu “
Senang !!! sepertinya Tuhan mendengar doaku barusan. Aku memeluk ibu erat – erat dan sesekali kutatap wajahnya dan tak lupa ku berterima kasih padanya. Ku lihat mata ibu berkaca – kaca dan tak lama kemudian tangisnyapun keluar aku mengerti perasaan ibu karena selama ini ibu tahu bahwa aku selalu ingin membeli sepatu dan baru sekarang ibu bisa membelikannya untukku. Setelah selesai belanja kamipun segera pulang. Barang – barang belanjaan kami, kami bawa dengan menggunakan ligit atau sengkalang yang tadi kami gunakan untuk membawa sayur. Jalan Malaysia menuju kampuku masih menggunakan jalan tikus. Jadi tidak merasa panas dalam perjalanan malah terasa sangat sejuk karena masih banyak pohon – pohon yang rindang dan besar. tiba di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di lantai. Kutatap foto ayah yang ada di dinding aku begitu sedih. Mengapa ayah begitu cepat pergi? Kalau saja ayah masih hidup, aku dan ibu tidak mungkin seperti ini.
“ Mira…….kamu sudah mandi ? “
“ Belum bu, Mira keletihan jalan seharian “
“ Ya sudah ibu mandi dulu ya, nanti kamu nyusul “
“ Iya bu “
Tak ada ledeng, tak ada bak mandi kalau mau mandi tujuan kami hanya sungai. Kalau sudah senja begini pasti sungainya ramai. Akupun segera menyusul ibu mandi ke sungai dan membawa sedikit cucian alakadarnya. Seusai mandi kamipun kembali ke rumah. Ibu langsung ke dapur dengan menggunakan kembannya dan aku langsung pergi ke kamar untuk berbenah diri dan mengganti bajuku yang basah. Sambil mengganti baju aku sesekali melihat ke cermin di kamarku melihat mukaku yang tidak begitu cantik. Sambil melihat wajahku di cermin aku berbicara sendir, menghayal dan merenung. Sambil menghayal aku melihat poster Ibu Megawati yang bapak belikan untukku ketika beliau masih hidup. Maklum sewaktu kecil jika di tanya aku ingin jadi apa aku dengan cepat menjawab “Presiden”. Sampai sekarangpun aku ingin menjadi presiden. Aku ingin memimpin Negara ini dan aku ingin membangun Negara ini dengan adil terutama dalam pemerataan pembangunan dan aku akan mensejahterakan rakyat Indonesia. Pernah sekali aku menyatakan keinginanku kepada ibu. Tetapi ibu hanya tertunduk lesu dan sedih. Bagaimana tidak? Jangankan untuk menjadikanku sebagai presiden. Menamatkanku sampai lulus SD entah – entah ibu mampu. Mimpiku hilang seketika aku sadar dengan keadaan ekonomi keluargaku dan aku haru tahu diri bahwa orang seperti diriku tidak mungkin bisa menjadi presiden. Aku tidak menyangka keinginanku tidak bisa kucapai hanya karena keadaan ekonomi. Mengapa dunia ini tidak adil? Mengapa hanya mereka yang mempunyai cukup uang yang bisa menjadi orang berguna? Sementara aku tidak bisa. Aku menghela nafas panjang dan aku harus yakin bahwa kehidupan ini sudah ditentukan Oleh Tuhan dan aku harus tetap bersyukur dengan apa yang telah ada sekarang. Lamunanku berhenti ketika ibu memanggilku untuk makan malam. Kulihat ibu sudah menunggu di dapur dengan senyumnya yang khas dan keningnya yang sudah mulai keriput. Kamipun mulai menyantap makanan yang telah di sediakan ibu. Aku hanya bisa merenung dan selalu ingat dengan apa yang sering diucapkan oleh ayah “ hidup adalah sebuah anugrah “ kata – kata itu mempunyai makna yang dalam bagiku. Ibu menyentuh bahuku yang dari tadi sedang asik melamun dan dia tertawa geli melihat aku yang terkejut. Akupun membalas senyuman ibu dan melanjutkan makan malam kami.
Catatan :
Ligit atau Sengkalang : Adalah sejenis tas tradisional yang terbuat dari anyaman rotan.
Tamuk : Pasar sayur
Kuari : Salah satu nama pasar di Malaysia
“ Mir…bangun. Siapkan sayur yang kamu bawa “
“ E……”
“ kamu ikut ibu jualan tidak hari ini “
“ Ikut bu “
“ Ya sudah siap – siap sebentar lagi berangkat “
Aku masih sangat merasa mengantuk. Kulihat jam di sudut dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Berarti pukul 7 pagi ini kami sudah sampai di Malaysia. Mungkin aku anak yang kurang beruntung yang hidup di perbatasan. Tapi itu bukan merupakan masalah bagiku yang penting aku harus berjuang untuk tetap hidup dan membantu ibuku tercinta. Aku dan ibupun segera berangkat menuju Malaysia kami tidak sendirian karena banyak orang hari ini yang pergi ke Malaysia dengan tujuan yang berbeda – beda. Kamipun akhirnya tiba di Malaysia dan ibu langsung mengajakku pergi ke pasar Tamuk dan kami langsung menawarkan sayur – sayur yang kami pikul dari rumah tadi. Tapi sungguh ironis kami masuk ke Malaysia tidak menggunakan paspor alias illegal. Mau bagaimana lagi ? uang saja terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bagaimana bisa membuat paspor?. Mau menjual sayur ke kecamatan tidak mungkin karena terlalu jauh di tambah lagi dengan keadaan jalan yang tidak terawat. Maklum daerah perbatasan seperti desa kami kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sayurpun sudah habis terjual dan hari ini aku dan ibu mendapatkan uang yang lumayan untuk orang seukuran ekonomi rendah seperti kami.
“ Kamu mau beli apa Mir ? “
“ Ngak ada bu, ibu saja yang belanja “
“ Ya sudah ibu belanja ke toko itu dulu ya. Kamu tunggu di sini jangan ke mana – mana “
Aku hanya menganguk saja. Biasanya setelah berjualan ibu mengajakku pergi kepasar Kuari tempat kami sering berbelanja. Sebenarnya aku ingin membeli sepatu baru karena sepatuku sudah sangat lama dan kalau sepatuku basah tidak ada sepatu cadangan. Tapi keinginanku itu kubiarkan saja. Biarlah, toh sepatu lamaku masih bisa dipakai dan juga aku harus bisa memikirkan kebutuhan yang harus ibu penuhi.
“ Ayo Mir, kita pulang ibu sudah selesai belanjanya “
“ Iya bu “
“ Ini….tadi ibu belikan kamu sepatu “
Senang !!! sepertinya Tuhan mendengar doaku barusan. Aku memeluk ibu erat – erat dan sesekali kutatap wajahnya dan tak lupa ku berterima kasih padanya. Ku lihat mata ibu berkaca – kaca dan tak lama kemudian tangisnyapun keluar aku mengerti perasaan ibu karena selama ini ibu tahu bahwa aku selalu ingin membeli sepatu dan baru sekarang ibu bisa membelikannya untukku. Setelah selesai belanja kamipun segera pulang. Barang – barang belanjaan kami, kami bawa dengan menggunakan ligit atau sengkalang yang tadi kami gunakan untuk membawa sayur. Jalan Malaysia menuju kampuku masih menggunakan jalan tikus. Jadi tidak merasa panas dalam perjalanan malah terasa sangat sejuk karena masih banyak pohon – pohon yang rindang dan besar. tiba di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di lantai. Kutatap foto ayah yang ada di dinding aku begitu sedih. Mengapa ayah begitu cepat pergi? Kalau saja ayah masih hidup, aku dan ibu tidak mungkin seperti ini.
“ Mira…….kamu sudah mandi ? “
“ Belum bu, Mira keletihan jalan seharian “
“ Ya sudah ibu mandi dulu ya, nanti kamu nyusul “
“ Iya bu “
Tak ada ledeng, tak ada bak mandi kalau mau mandi tujuan kami hanya sungai. Kalau sudah senja begini pasti sungainya ramai. Akupun segera menyusul ibu mandi ke sungai dan membawa sedikit cucian alakadarnya. Seusai mandi kamipun kembali ke rumah. Ibu langsung ke dapur dengan menggunakan kembannya dan aku langsung pergi ke kamar untuk berbenah diri dan mengganti bajuku yang basah. Sambil mengganti baju aku sesekali melihat ke cermin di kamarku melihat mukaku yang tidak begitu cantik. Sambil melihat wajahku di cermin aku berbicara sendir, menghayal dan merenung. Sambil menghayal aku melihat poster Ibu Megawati yang bapak belikan untukku ketika beliau masih hidup. Maklum sewaktu kecil jika di tanya aku ingin jadi apa aku dengan cepat menjawab “Presiden”. Sampai sekarangpun aku ingin menjadi presiden. Aku ingin memimpin Negara ini dan aku ingin membangun Negara ini dengan adil terutama dalam pemerataan pembangunan dan aku akan mensejahterakan rakyat Indonesia. Pernah sekali aku menyatakan keinginanku kepada ibu. Tetapi ibu hanya tertunduk lesu dan sedih. Bagaimana tidak? Jangankan untuk menjadikanku sebagai presiden. Menamatkanku sampai lulus SD entah – entah ibu mampu. Mimpiku hilang seketika aku sadar dengan keadaan ekonomi keluargaku dan aku haru tahu diri bahwa orang seperti diriku tidak mungkin bisa menjadi presiden. Aku tidak menyangka keinginanku tidak bisa kucapai hanya karena keadaan ekonomi. Mengapa dunia ini tidak adil? Mengapa hanya mereka yang mempunyai cukup uang yang bisa menjadi orang berguna? Sementara aku tidak bisa. Aku menghela nafas panjang dan aku harus yakin bahwa kehidupan ini sudah ditentukan Oleh Tuhan dan aku harus tetap bersyukur dengan apa yang telah ada sekarang. Lamunanku berhenti ketika ibu memanggilku untuk makan malam. Kulihat ibu sudah menunggu di dapur dengan senyumnya yang khas dan keningnya yang sudah mulai keriput. Kamipun mulai menyantap makanan yang telah di sediakan ibu. Aku hanya bisa merenung dan selalu ingat dengan apa yang sering diucapkan oleh ayah “ hidup adalah sebuah anugrah “ kata – kata itu mempunyai makna yang dalam bagiku. Ibu menyentuh bahuku yang dari tadi sedang asik melamun dan dia tertawa geli melihat aku yang terkejut. Akupun membalas senyuman ibu dan melanjutkan makan malam kami.
Catatan :
Ligit atau Sengkalang : Adalah sejenis tas tradisional yang terbuat dari anyaman rotan.
Tamuk : Pasar sayur
Kuari : Salah satu nama pasar di Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar