Sabtu, 11 Agustus 2012

Dua Surau Dalam Satu Desa - Cerpen Islam

DUA SURAU DALAM SATU DESA
Karya Andi Sudianto

Tuhan, agama, keyakinan, apa semua itu? Ini sebuah pertanyaan tanpa jawaban bukan pertanyaan bodoh. Desa Dadapan, Sebuah desa yang di dalamnya terdapat mayat-mayat manusia yang telah mati sebelum melelui kematian. Mereka hidup penuh kekosongan, ‘dimana tuhan? Apa itu agama?’ itu yang ada di dalam kepala mereka.

Desa ini telah banyak mencetak sarjana hingga ada yang bergelar profesor tapi ketika merek di tanya tentang Tuhan, agama. tulang mereka retak kemudian berjatuhan, di lubang hidung telinga mengali otak mencair sehingga mereka mati karena pertanyaan. Apa pantas mereka menyandang gelar sarjana?
Surau satu tidak memecahkan apapun malah hanya akan menimbulkan masalah kerena terdapat dua orang yang tersohor di desa Dadapan ini dengan perselisihan pemikiran.

Filsuf dan Ilmuwan. Dua hal yang tidak bisa di satukan satu hal yang akan terus bersetru.
Keduanya membuthkan permecahan maka di bangur dua surau. Yang satu di bangun oleh Prof. Nursid. Ilmuwan yang telah malang melintang di universitas eropa dan yang satu di bangun oleh Prof. Mukim seorang guru filsafat moderen telah mengepakan sayapnya di yunani, athena tempatnya bapak filosofi lahir dan berharap kerasukan arwah Plato.
Prof. Nursid dengan kekuatan finasial yang sangat kuat membangun surau yang sangat luar biasa megahnya. Lantainya keramik impor dari eropa, bangunan gaya artistik amerika, khusus imam lantainya terbuat dari emas murni, kacanya menyilaukan, alasnya permadani yang sangat indah, jika di bandingkan seperti masjid taj mahal india.

Ilmuwan ini berpendapat Tuhan menyukai tempat yang luar biasa indahnya makanya prof. Nursid sangat berharap menemukan tuhan di surau yang di bangunnya dengan kemegahan.
Prof. Mukim dengan filosofi-filosofi yang telah dia ciptakan berdasarkan ilmu filsafat yang telah dia pelajari bertahun-tahun. Dia berpendapat Tuhan menyukai singgah di tempat sederhana. “Lihat dunia ini, semuanya tercipta alami, sederhana, hanya kita (manusia) merusaknya menjadiksnya mesin” katanya.
Maka di bangunlah surau dari kayu seadanya, lantai dari kayu seadanya, alas seadanya, bahkan suara adzan pun alami dari teriakan orang tanpa pengeras suara.
***

“sudah kau temukan Tuhan dalam surau yang kau bangun prof. Nursid?” tanya prof. Mukim.
“tidak, tidak ada yang aku peroleh dalam pencarianku, sia-sia. nol besar. Absurd dengan hasil dan usaha yang telah kulakukan. Mungkin Tuhan silau dengan emas si surauku sehingga Tuhan enggan meyambangiku” jawabnya.
“lalu, bagaimana denganmu prof. Mukim?” meneruskan berbaik bertanya.
“hasil akhir yang tidak aku harapkan. Semua yang telah aku rumuskan melenceng. Ku kira Tuhan akan mendengar suara adzan dari pita suara tanpa pengeras suara. Ternyata tidak.” jawabnya dengan nada putus asa.

Kedua profesor ini telah gagal dalam usaha pencariannya. Teori-teori yang mereka rumuskan gagal dalam pratiknya. Jika sebabanya hanya karena mereka hanya meraba-raba tentu tidak karena mereka telah mempunyai gelar titiel S3.
***

Di ujung desa setelah melewati sunggai tinggal kakek-kakek tanpa tersentuh peradaban. Tinggal di gubuk yang hampir roboh, pakaianya lusuh, rambut dan jenggotnya terurai sembarangan. Jika orang menemuainya pasti dianggap orang gila. Konon menurut cerita-cerita penduduk sema kakek misterius itu alalah sufi, orang yang mendalami tasawuf.
Orang awam pasti akan mendefinisikan sufi adalah sesat. Kerena yang meraka tau dan di ajarkan hanya tigkatan spiritual syariat dan tarekat sedangkan sufi sampai tingkatan hakikat bahkan ma’rifat yaitu tingkatan tertinggi dalam ajaran islam.

Prof. Nursid dan mukim pergi menemui kakek itu. Mencari sebuah kebenaran tentang dua surau yang mereka bangun, dan serta pertanyaan ‘dimana tuhan?’.
“kakek dimana itu Tuhan, mengapa Tuhan tidak menampakkan diri di Surau kami yang kami bangun dengan cara berlainan. Seharusnya Tuhan taubuankah julukannya Maha Melihat lalu mengapa Tuhan tidak mampir di desa kami, desa yang terdapat pilihan dua surau untuk mampir?”
“jika itu tujuanmu kemari pulanglah nak, percuma kau tidak juga menemukan-Nya di sini. Dua surau yang kalian bangun itu seperti jembatan yang mengelincirkan. bukan hanya kalian saja yang bisa tergelincir tapi semua orang yang melewati jembatan tersebut. maka berdosalah kalian. Tuhan itu hidup di diri kalian, Tuhan itu lebih dekat dari urat leher kalian. Tuhan itu singgah di akal budi pekerti kalian. Kalian salah, Tuhan itu tidak untuk di cari tapi di yakini dalam hati”.
Mereka berdua pulang dalam perjalanan dan sejenak berfikir ‘jadi kenapa harus ada perbedaan di antara kami dalam fiqih dan tauhid?’

Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar