THE POWER OF SIMIN
Karya Cucuk Espe
Simin mendapat togel tiga angka sekaligus. Seluruh kampung gempar. Dia menjadi buah pembicaraan dimana-mana. Meski dia masang tidak banyak, tetapi tepat tiga angka merupakan sesuatu yang langka. Hal inilah yang mengundang pembicaraan. Semua ingin seperti Simin. semua ingin meniru laku yang dilakoni Simin. Apa saja! Termasuk prilaku yang nyeleneh dan dianggap tidak waras oleh kebanyakan orang. Saat ini, Simin benar- benar menjadi pusat perhatian.
Seperti sore itu, segerombolan orang kelihatan tengah sibuk mengerumuni Simin di teras rumahnya. Mereka ngobrol dengan sangat serius.
"Ramalanmu jitu, min," sergah Parto.
"Kodenya dari mana?" sambung yang lainnya.
Simin hanya cengar cengir.
"Mimpimu apa, Min?"
"Besok lusa pasti tidak jauh dari angka kemarin."
"Dan angka ikutnya pasti kecil."
"Min, kamu punya wangsit apa lagi."
Wajah Simin berubah. Dalam hatinya sedang bingung menjawab pertanyaan yang diajukan kawan-kawannya. Sebab dia juga merasa tidak tahu, kenapa bisa nyantol tiga angka. Tidak terpikirkan kalau bakal menang. Hal itu terjadi begitu saja. Mungkin sebuah ketidaksengajaan. Simin memandangi kawan-kawannya satu per satu.
Seperti sore itu, segerombolan orang kelihatan tengah sibuk mengerumuni Simin di teras rumahnya. Mereka ngobrol dengan sangat serius.
"Ramalanmu jitu, min," sergah Parto.
"Kodenya dari mana?" sambung yang lainnya.
Simin hanya cengar cengir.
"Mimpimu apa, Min?"
"Besok lusa pasti tidak jauh dari angka kemarin."
"Dan angka ikutnya pasti kecil."
"Min, kamu punya wangsit apa lagi."
Wajah Simin berubah. Dalam hatinya sedang bingung menjawab pertanyaan yang diajukan kawan-kawannya. Sebab dia juga merasa tidak tahu, kenapa bisa nyantol tiga angka. Tidak terpikirkan kalau bakal menang. Hal itu terjadi begitu saja. Mungkin sebuah ketidaksengajaan. Simin memandangi kawan-kawannya satu per satu.
Sementara kawannya menyerbu dengan pertanyaan yang memojokkan pikirannya. Saking jengkelnya, Simin mengatakan dengan jujur kalau dia sendiri juga tidak tahu kenapa bisa dapat tiga angka. Tetapi kawan-kawannya tidak percaya.
"Simin pasti punya dukun," celetuk Dikun.
"Benar dukunmu orang mana, Min?"
Di sela kebingungannya menhadapi cercaan kawannya, Simin mendadak ingin tertawa sendiri. Dia geli melihat kawan-kawannya yang cukup serius seolah tidak ada hal lain saja dalam hidup mereka.
Simin membetot rokok sebatang lalu disulut dengan santai.
"Lha wong gitu kok dipikir serius," celotehnya ringan. Hal ini membuat kawan-kawannya penasaran.
"Ini penting, Min."
"Apa kau tidak mau berbagai keberuntungan?"
Simin tersenyum kecil hingga kelihatan giginya yang keropos dan menghitam.
"Aku sendiri juga ndak tahu," kata Simin. Sementara kawan-kawannya semakin tidak puas mendengar jawaban dan sikap Simin.
Dan Dikun kini duduk agak mepet dengan Simin.
"Kita ini cukup lama berteman. Apakah diantara kita ini masih ada rahasia untuk hal begini?"
"Aku ini ndak tahu. Ini hanya kebetulan."
"Tidak mungkin! Kebetulan kok pas tiga angka."
'Bener!"
"Demi teman, Min...."
"Simin pasti punya dukun," celetuk Dikun.
"Benar dukunmu orang mana, Min?"
Di sela kebingungannya menhadapi cercaan kawannya, Simin mendadak ingin tertawa sendiri. Dia geli melihat kawan-kawannya yang cukup serius seolah tidak ada hal lain saja dalam hidup mereka.
Simin membetot rokok sebatang lalu disulut dengan santai.
"Lha wong gitu kok dipikir serius," celotehnya ringan. Hal ini membuat kawan-kawannya penasaran.
"Ini penting, Min."
"Apa kau tidak mau berbagai keberuntungan?"
Simin tersenyum kecil hingga kelihatan giginya yang keropos dan menghitam.
"Aku sendiri juga ndak tahu," kata Simin. Sementara kawan-kawannya semakin tidak puas mendengar jawaban dan sikap Simin.
Dan Dikun kini duduk agak mepet dengan Simin.
"Kita ini cukup lama berteman. Apakah diantara kita ini masih ada rahasia untuk hal begini?"
"Aku ini ndak tahu. Ini hanya kebetulan."
"Tidak mungkin! Kebetulan kok pas tiga angka."
'Bener!"
"Demi teman, Min...."
Mereka mulai jengkel oleh sikap Simin. Malah Dikun mulai menggeser duduknya menjahui Simin. Hampir saja mulutnya mengumpat. Namun mendadak Simin berdiri dengan batang rokok masih bertengger di mulutnya. Pikirannya seolah menemukan sesuatu.
"Tiga hari yang lalu, waktu pulang dari sawah, aku sempat ngobrol dengan orang gila di pos kampling ujung kampung. Ya....cukup lama!"
Semua melongo mendengar penuturan Simin.
****
Dua hari kemudian, kabar tentang orang gila di pos kamping telah menyebar ke seluruh kampung. Bahkan selalu menjadi tema pembicaraan di warung-warung, di perempatan, tak terkecuali di balai desa. Pak lurah sendiri juga penasaran dengan orang gila itu. Barangkali dalam hatinya juga ingin memperoleh keberuntungan seperti Simin.
Dan sejumlah penduduk siang itu berbondong-bondong mendatangi pos kamling di ujung kampung. Mereka berharap bisa menemukan orang gila yang diceritakan Simin tempo hari. Sepanjang perjalanan mereka berandai-andai, apa yang akan dilakukannya jika nomornya masuk lebih dari tiga angka.
"Aku akan beli sawah."
"Lebih enak sapi! Bisa dijual lagi!"
"Akan kubayar hutang-hutangku. Sisanya kubuat jualan."
"Minyak, beras, gula, listrik, bahkan ikan asin pun harganya naik. Aku akan borong semuanya agar istriku tidak ngomel terus karena uang belanja selalu kurang."
Mereka terus bergerak seolah akan menjemput rejeki. Hari itu, mereka memang sengaja tidak ke sawah karena memang ingin menemui orang gila di pos kamling. Mereka berjalan beriringan dengan hati berbunga. Namun betapa kagetnya ketika mereka menemukan pos kamling telah kosong.
"Mana orang gila itu?"
"Kata Simin di sini."
"Kamu tidak salah dengar?"
"Benar disini....!"
"Dia sudah pergi."
"Diamput...!"
Mereka ngeloyor meninggalkan pos kamling dengan perasaan kecewa. Sepanjang perjalanannya hanya dipenuhi dengan umpatan dan makian. Hancur sudah segala angan yang memenuhi pikiran mereka.
Dan keesokan harinya, Yanto anak Pak RT pulang sekolah sambil menangis karena diuber-uber orang gila di perempatan.
"Pasti itu orang gila dimpos kamling kemarin," tukas Dikun di warung kopi Mbah Kom. Maka tanpa dikomando lagi, beberapa penduduk pergi ngelurug ke perempatan. Kabar kalau ada orang gila di perempatan cepat menyebar. Sejumlah orang meninggalkan pekerjaannya. Mereka berbondong-bondong ke perempatan. Kampung yang tadinya sepi, kini menjadi ramai orang lalu lalang ingin menemui si gila pembawa keberuntungan.
Ketika semua penduduk telah bertemu di perempatan, mereka berkerumun dan bingung. Ternyata orang gila itu telah pergi. Dicari ke setiap sudut, siapa tahu orang itu meringkuk di balik tembok, di selokan, atau bahkan di atas pohon. Kosong. Mereka sangat kecewa dan mengumpat sekenannya.
"Kita memang belum beruntung."
"Tapi aku yakin dia pegang angka."
"Pokoknya dia harus kita temukan," para penduduk tetap ngotot.
Sementara itu, Dikun dan kawan-kawannya pergi ke rumah Simin untuk minta keterangan sejelas-jelasnya. Hal ini mengingat para penduduk telah tertipu dua kali. Tentu, mereka tidak ingin hal ini terulang kembali.
Tiba di rumah Simin, mereka tidak menemukan siapapun. Simin memang tinggal sendirian tanpa sanak saudara. Dia pendatang tak ada yang tahu dari mana asalnya. Di kampung itu dia menjadi buruh tani. Dikun mengitari rumah Simin sementara kawannya terus memanggil tuan rumah. Cukup lama. Hingga mereka memutuskan untuk melongok lewat lubang jendela.
"Kosong. Simin pergi!"
****
Keberadaan orang gila itu benar-benar telah merasuki pikiran para penduduk. Hal ini terdorong oleh keinginan yang kuat untuk menang togel. Akibatnya biarpun itu gila tetapi kalau mampu memberikan angka yang akurat, apa salahnya? Contoh Simin, dia benar-benar beruntung mampu berbicara langsung dengan sang pembawa keberuntungan itu. Semua ingin seperti Simin.
Pak lurah sendiri tak mampu berbuat banyak terhadap penduduknya yang gandrung dengan togel. Memang pernah ada penggerebekan oleh aparat dari kecamatan. Tetapi hasilnya tak memuaskan. Memang ada warganya yang tertangkap, hanya semalam, lalu dilepas lagi. Oleh karena itu, tak heran jika togel kini menjadi buah pembiacaraan sehari-hari warganya.
Dan pagi itu, saat Pak lurah akan memasuki kantornya, dia terkejut melihat seorang lelaki kumal tanpa baju tidur di depan ruang pertemuan. Perlahan dia mendekat. Dilihatnya, tubuh yang penuh debu, rambutnya lusuh, kurus dan kakinya pecah-pecah. Sementara di sampingnya terdapat tumpukan kertas dan kain seperti sampah. Sekilas teras ruang pertemuan itu menjadi kotor.
"Dia gila," pikir Pak lurah.
Segera dia memanggil orang-orang yang sedang ngopi di warung tak jauh dari balai desa.
"Ada orang gila!"
"Dimana?
"Balai desa!"
"Ayo kesana. Mungkin itu orang gila yang dikatakan Simin."
Pak lurah dan beberapa orang segera mendatangi orang gila itu. Wah....kalau benar ini orang gila yang dicari dan pegang angka, ini keberuntungan kita. Begitulah pikir orang-orang itu. Sementara Pak lurah terus berjalan tanpa banyak komentar.
Beberapa meter dari tempat orang gila itu tidur, Pak lurah menghentikan langkahnya.
"Ada apa Pak?" tanpa menjawab tetapi hanya ememberikan isyarat telunjuk. Ternyata orang gila itu telah bangun. Dan yang membuat mereka terkejut, kini ada dua orang di teras. Mereka berbicara dengan serius. Sejurus kemudian yang satu tertawa sambil menepuk-nepuk kepala sementara satunya lagi menangis sambil terus melihat ke langit.
Pak lurah dan beberapa orang berjalan agak mendekat. Dan....seolah tidak percaya dengan penglihatannya. Yang tertawa itu adalah si gila dan yang memangis itu adalah Simin.
"Simin tidak waras."
Setelah tertawa dan menangis, keduanya terlibat pembicaraan yang serius.
"Min, angkanya berapa?"
Lantas keduanya menangis.
Jakarta, Maret 2001
PROFIL PENULIS
*) Cucuk Espe – Aktor teater dan penulis lakon “Wisma Presiden” (Teater Kopi Hitam Indonesia) tinggal di twitter @cucukespe.
(Pernah diterbitkan di radar mojokerto, edisi minggu (29/7/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar