Selasa, 14 Agustus 2012

Cerpen Pendidikan - Isa Negeri Daun Jembatan Gantung

ISA NEGERI DAUN JEMBATAN GANTUNG
Karya Dedi Irwan

Profesi Guru di ceruk kampung melayu sangatlah terhormat. Masyarakat kampung tahniah dan menghargainya laksana manusia beriman masuk sorga tanpa hisab. Ibarat mengemban titah Tuhan untuk menyampaikan risalah, amanah ini harus di emban dan diminta pertanggungjawaban di yaumil akhir. Salah satu manusia pilihan dikampung kami adalah guru Isa. Laki paroh baya dengan tubuh kurus tinggi seperti tiang listrik mau tumbang, oleng kiri- kanan ditiup angin. Kalau berjalan menghentak-hentak bumi, berdentum tegap. Raut wajahnya perpaduan unsinkronisasi antara Elvis Presley dengan P. ramlee , rock n roll melayu. Jambang dan kumisnya menyatu berpilin membentuk akar beringin. “Untuk bidadari bergayut” katanya suatu ketika. Genetika salah kaprah muncul antara mulut dan hidung terlalu dekat satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan wajah horror di film Halloween . Ditatap lebih dekat lagi malah menghasil kan produk wajah Tuanku Mahmudin , haji uzur tukang doa kampung. Tetapi semua hal ihwal personal tentang keburukan wajah tertolak mentah mentah oleh kami ketika dia masuk kelas mengajarkan hal-hal aneh tentang dunia dan ilmu agama. Penemu lampu petromak, istana di nusantara , menara pisa yang condong ,mengaji, sampai jembatan gantung menghubungkan sekolah dengan ceruk kampung.

Kami sendiri tidak mengetahui asal muasal pak guru Isa secara pasti. Menurut mak, beliau berasal dari anak pedalaman suku LAUT. Mereka hidup di rakit berpindah-pindah dan sesekali turun kedarat. Orang laut mencakup berbagai suku dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di kepulauan Riau. Guru Isa tinggal di sudut kampung seorang diri tanpa sanak saudara. Mak, ayahnya masih berkelana menggunakan sampan di muara-muara dan pulau bersama adik-adiknya tak sekolah. Dia sendiri diangkat sewaktu masih kecil oleh petani kaya kopra di Mandah ,di sekolah kan sehingga terdampar menjadi guru. Jika ditanya asal kampung dan ibundanya secara detail dia selalu bungkam. “Kita semua berasal dari mulut rahim yang sama, bunda HAWA”, jawabnya ketika kami memaksa. Memasuki puberitas kedua belum seorang pun dara yang memikat hati guru Isa. “Kerja belum selesai”, katanya menolak secara halus jika ada mak ingin menjodohkan dengan anak gadisnya.
***

Paradok di negeri angin kaya minyak dan perkebunan berdiri Sekolah Dasar Negeri Instruksi Presiden. Tidak berbentuk ala sekolah. Terletak jauh diseberang kampung hutan dimana tempat pembuangan anak jin durhaka dan para lelembut membuat istana. Mungkin sekolah kami bekas kamp peninggalan tentara Jepang untuk mendidik pribumi bela kaisar. Atau bekas rumah pemotongan hewan yang hewannya pada kabur melihat situasi tempat tidak kondusif. Pertanyaan aneh muncul dibenak kami yang tidak memerlukan jawabannya. Sekolah terbuat dari dinding papan mahoni dipaku renggang sehingga memudahkan mata mengintai dari luar. Semen kasar sebagai lantai dan rumbia di anyam sebagai atap. Terdiri dari tiga ruangan. Satu ruang untuk anak kelas I,II,III, dan ruang yang lainya untuk anak kelas IV ,V, VI . Ruangan khusus tiga kali tiga untuk guru bercampur baur dengan kepala sekolah untuk bermacam tetek bengek adminstrasi lusuh.

Tapi kelas bagi kami adalah lambang istana presiden yang tidak ada photo presidennya. Tempat kami menempa ilmu, mengaji dari guru Isa dan bapak kepala. Sekolah kami cintai dengan pernak pernik kelas tidak sesuai dengan standarisasi Undang-Undang Pendidikan Negara. Beberapa meja kayu dengan kursi panjang diduduki oleh anak berderet deret seperti ikan salai silais berjemur , bersusun berdasarkan kebutuhan. Di sudut kiri kelas bertengger lemari kayu dengan daun pintunya soplak, berderik-derik menjerit jika di tutup. Jambangan kayu dengan bunga kertas terletak di atas meja kaki empat yang satunya hampir patah . Dialas dengan taplak meja bermotif pakis merayap buram. Papan tulis hitam pecah dipaku di dinding kelas dengan paku berkarat mau roboh . Yang lebih membuat kami terpesona adalah kami bisa menghibahkan air berwarna di pohon pohon nganggur, semak , batang durian, batang kampas dan akhirnya berlarian mencuci si manis di bandar kecil belakang sekolah. Berbagai-macam gambar poster menempel didinding untuk menempel lobang di makan rayap. Dari penyanyi dangdut sampai tokoh pahlawan nasional. Selembar poster memakai sorban dan janggut mirip pahlawan nasional ikut berperan aktif menghiasi dinding. Ketika kami tanyakan kepada pak guru Isa siapa sebenarnya tokoh mempunyai mata sayu dan selalu tersenyum miris menatap kami setiap pagi ?. Beliau hanya tersenyum - senyum simpul menerangkan. “Jika kalian sudah dewasa kalian akan mengerti bahwa tokoh gambar itu terkenal diluar negri dan sering masuk tivi”, katanya. Tidak sampai menunggu kami bersunat akhirnya tersiar kabar di TV bahwa dia bernama OSAMA BIN LADDEN.

Uniknya sekolah kami hanya mempunyai seorang kepala sekolah di bantu oleh guru Isa. Entah kemana guru yang lainnya menghilang setelah mengajar beberapa bulan. Hingga tinggalah dua orang tersisa bertahta menjalankan roda pendidikan. Mereka berjibaku semangat menghadang setiap persoalan anak didik, dari yang remeh temeh sampai undangan mendoa kawin. Bapak Kepala dengan guru Isa mengajar dari kelas I sampai dengan kelas VI, merangkap tata usaha, membuka pintu jendela sekolah serta bermacam – macam pekerjaan di luar konteks ilmu pendidikan. Terkadang mereka bingung memilih yang mana anak kelas IV, mana anak kelas I atau sebaliknya karena anak – anak sesuka hati memasuki kelas berdasarkan pelajaran mereka sukai.
***

Petualangan paling menarik menyenangkan setiap pagi adalah pergi ke sekolah dan jembatan gantung. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh dan berliku dari rumah merupakan phenomena alam . Subuh buta kami sudah berjalan berombongan melewati pematang sawah penduduk berliku becek. Melintasi parak getah rimbun , meniti jembatan gantung di bawahnya mengalir arus sungai berbatuan bagaikan alur irama menari setiap pagi. Harumnya lumpur sawah dan aroma padi menguning membuat kami berandai-andai terbang melayang. Diiringi dengan suara cicit burung pipit menggatok padi, desiran bunga ilalang simponi merdu ikut menghantarkan kami. Buah getah yang berjatuhan di tegur angin menarik kami untuk bermain para di sepanjang jalan setapak tanah. Apatah lagi meniti jembatan gantung sisi kanan kirinya terbalut akar – akar pohon kuat dialasi kayu beloti kekar, berayun-ayun berirama sungguh mempesona. “Jembatan gantung merupakan latihan khusus bagi kalian, Ibarat meniti siraj Siratal Mustakim” kata pak Isa di suatu pagi jumat . Kata-kata philosofi agama indah sulit untuk kami pahami.

Di jembatan akar gantung inilah tempat kami bercengkrama, bersenda gurau bersama guru Isa setelah pulang sekolah. Tempat kami duduk menjuntaikan kaki sambil melihat arus sungai berbuih di timpa batu. Bercerita tentang kampung dan ilmu yang kami peroleh di sekolah. Sesekali kami berpacu meniti jembatan “ Siapa yang duluan sampai akan masuk sorga !“, teriak guru Isa di seberang. Membuat kami berlari terengah – engah berpacu meniti jembatan tanpa ada perasan takut . Jembatan akar gantung bukanlah produk P .T menggunakan bahan-bahan besi, beton dan kawat baja. Dengan ahli insiyur rancang jembatan terstruktur. Jembatan gantung merupakan rahmat Ilahi yang diturunkan lewat akar- akar menggantung dari dua batang pohon beringin besar, menjalar melilit panjang kanan kiri sebagai sandaran. Diikat dengan akar – akar kecil sampai keseberang. Beloti sebesar lengan orang dewasa di pakai sebagai dasar jembatan rapat. Kami tidak tahu kapan jembatan gantung ini lahir. Cerita orang kampung, jembatan ini sudah ada ketika orang susah hidup memakai celana goni. Atas swadaya masyarakat dan batin kampung akar-akar pohon beringin panjang menjuntai sampai ke sungai di bentuk menjadi sebuah jembatan akar. Pak Isa menambahkan , keajaiban alam jembatan akar gantung terbentuk karena masyarakat masih menggunakan resam melayu. Bersatunya alam dengan manusia beradat.” Hutan ,pohon, tanah, air, integral dari sumber kehidupan yang tidak bisa dipisahkan.Jika sifat tamak sudah merasuk manusia alamat alam akan murka”, katanya menasehati. Kami meangguk – angguk takzim bak ayam mematuk padi.

Mak juga ikut-ikutan bercerita menambahkan jembatan itu ada “PENUNGGUNYA”. Hantu hutan yang suka menakut-nakuti anak-anak tidak sembahyang dan nakal. Setelah aku bertanya kepada pak Isa , dia malah tertawa terkekeh-kekeh. “ Memang betul kata mak engkau tu” , jawabnya. Jembatan gantung akan marah jika engkau degil dan tidak mau sembahyang. Dia akan mengamuk seperti Hang Tuah melawan Portugis. Akar-akar panjang pohon akan berobah menjadi tangan raksasa mencekik. Batang pohon yang menyangga akar akan tumbang berjalan mencari siapa saja yang berulah membuat dosa”. Kami lama terdiam bisu takut mendengar ceritanya. Pak Isa sama saja dengan mak !
***

Sepoi angin dari batang pohon ketapang di sekitar sekolah membuat mata kami mulai terkantuk-kantuk menahan lapar. Pak Isa memecah suasana kebekuan dengan cerita kepahlawan membuat kami tersadar dari mimpi. “Hang Tuah adalah pahlawan asal melayu pemberani bersama 4 orang sahabatnya Jebat, Lekiu,Kesturi dan Lekir. Mereka berlima laksamana tangguh membasmi lanun yang merompak kapal di selat Melaka. Pedangnya yang tajam menghunus dan membabat angkara murka. Hikayat cerita tetua dulu Hang Tuah sewaktu kecil pernah menikam lanun dengan pisau dapur”. Kami langsung terpana melongo mendengar cerita pak Isa. Seandainya kami bertarung melawan perompak menggunakan pisau dapur mak ?.

Tiba-tiba pintu kelas berdentam keras. Pak Isa berhenti bercerita seketika, bersigegas membuka pintu. Berdiri didepan pintu bapak kepala dengan tiga orang makhluk asing. Menatap aneh kelas kami , berputar-putar berkeliling seperti menemukan tempat pusara yang baru dibongkar dan artefak peninggalan kerajaan. Disamping pak Isa dengan gagahnya berdiri laki seumur ayah kira-kira 50 tahun, memakai baju safari dengan pena emas perak di saku depan. Tubuh nya proposional dengan rambut sisir belah samping. Kulitnya putih nampak bersih sering mandi. Dia menunjuk- nunjuk kelas, melihat keatas, kekanan kiri , memandang kami sekejap lalu berbicara dengan bapak kepala panjang lebar. Pak kepala sekolah mengangguk – angguk balam. Disebelah kanan bapak kepala berdiri dua orang laki-laki yang lebih aneh lagi. Satu memakai baju kaus berkrah seumur wak atan tukang pangkas rumput , 30 tahun. Membawa kamera panjang bisa diputar-putar, maju mundur, panjang pendek disandangnya. Sesekali dia tersenyum membuat blitz cahaya kamera. Amboi, ,,kami melipat tangan duduk tertib memandang cahaya silau. Yang satu lagi bermata sipit memakai kaca mata Jhon lenon melorot sampai kehidung . Badannya pendek gempal , dengan kepala plontos pipi tembam, lucu. Bahasanya yang digunakannya selalu diakhiri dengan 1 huruf konsonan dan 3 vocal di akhir kata. Irama bahasanya mendayu naik turun cepat. Entah apa yang mereka bicarakan ,bergemuruh bak lebah mencari sarang kemudian diam, lalu bising lagi. Kerutan diwajah pak kepala semakin bertambah diusia memasuki pensiun ketika bapak safari berucap , ditimpali dengan kata tambahan meracau, haia !,haia ! dari pendek gempal. Guru Isa diam menyimak, esxpresi wajahnya datar tanpa makna, dingin ! . Setelah mengambil blitz cahaya kamera sekali lagi , mereka bergegas tergesa-gesa menuju ruang kantor guru. Ada apa gerangan ?.

Tamu yang datang ke kampung membuat berita simpang siur di masyarakat. Kabar yang berkembang biak menjalar kian kemari membuat tetua kampung turun gunung menengahi dan cepat memotong issue. Biasanya mereka memutuskan suatu permasalahan di sebuah balai, balai salaso jatuh namanya. Balai salaso jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah karena itu dinamakan salaso jatuh. Di puncak atapnya bersilangan mencuat hiasan kayu ukir salembayung mengandung makna mendalam keimanan terhadap Tuhan.

Pagi itu balai ramai oleh penduduk akan digelar musyawarah adat. Tikar rotan dibentangkan memanjang diruang utama. Satu persatu orang orang kampung mulai berdatangan ,membuat lingkaran mengililingi talam jambau ( makanan ) yang di bawa oleh ibu-ibu . Kaum perempuan duduk bersimpuh berpisah membentuk kelompok sendiri bersama anak- anak. Datuk dari berbagai persukuan sudah duduk bersila memakai baju kebesaran sesuai ranji payung di depan . Duduk disebelah kirinya penghulu, kepala dusun, dan ninik mamak. Guru isa dan bapak kepala duduk di sebelah kanan . Sedangkan batin duduk berhadap hadapan dengan datuk, memakai baju hitam-hitam. Tak lama kemudian datang tergopoh-gopoh rombongan dari kota. Mata ku tercekat kaget melihat orang asing datang di sekolah tempo hari, Kali ini rombongan mereka banyak. Beberapa orang berbadan tegap menyertai mereka berdiri. Kepala dusun menyediakan tempat yang masih tersisa di sebelahnya.

Canang di pukul berdentang beberapa kali di sebelah pintu utama, pertanda acara adat segera dimulai. Seorang berdiri memakai pakaian teluk belanga, memakai kain songket dililit di pinggang. Keris berhulu tersalip di pinggangnya. Memakai topi selancar angin. Gagah tampan bak hulubalang raja, Pantun dibacakan.
Sirih pinang berlipat sirih pinang
Sirih dari pulau mutiara
Pemanis kata selamat datang
Awal bismilah pembuka acara

Pantun pembuka di hentak dengan pukulan canang sekali. Selanjutnya mulutnya komat – kamit berucap membuka pantun kedua, “Encik-encik, puan-puan , engku dan tuan tuan, kepada datuk penghulu adat saya persilahkan memberikan kata-kata petuah”, katanya mempersilahkan salah seorang datuk memberikan wejangan.
Bukan lebah sembarang lebah
Lebah bersarang di pohon kayu
Bukan sembah sembarang sembah
Sembah adat pusaka melayu

Kayuh perahu sampai keseberang
Singgah keseberang di kampung hulu
Bukan tak tahu dunia sekarang
Gaharu dibakar kemenyan berbau
Apa hendak hal yang dimau ?

Pantun datuk memberikan petuah dan isyarat untuk mepersilahkan orang asing itu berbicara. Tetamu bersiap-siap mengajukan keinginan. Di wakili oleh baju safari , kali ini dia memakai batik motif siku-siku lancip. Menggunakan bahasa Indonesia baik dan benar disusun secara hati-hati. Kata- kata ilmiah panjang-panjang seperti anak kuliahan. Si mata sipit dan pembawa kamera membantu membisikan kata di daun telinganya menambah semangat. Tidak berselang lama dia pun usai sudah. Orang kampung hanya melongo mendengar , melolong dan bersikut-sikut kiri kanan. Anak-anak mulai kegerahan menyingkap talam sambal sambil bertanya kepada maknya kapan helat adat usai?. Mak- mak tersenyum sumringah mencubit. Kemudian dilanjutkan oleh si gendut gempal. Memakai bahasa Indonesia yang tertatih-tatih , celat menambahkan, mengulang maksud dari tujuan mereka. Mengakibatkan balai riuh rendah oleh suara sorak pekikan tidak setuju bercampur dengan tangisan si buyung minta makan.

Hari pun mulai beranjak siang, sinar matahari masuk dari jendela balai yang dibuka lebar, Datuk mulai gelisah. Para batin memegang keris....mereka berbisik-bisik. Ninik mamak mengambil peran memberi amanah….
Memetik bunga tapak dara
Berjejal bunga kembang setaman
Bukannya kami tidak mau menerima
Tanah hutan ulayat, amanah tuhan

Dengan gusar si mata sipit membuka sebuah kertas didalam map. Gayung bersambut nampaknya oleh tetamu. Dibacakannya dengan suara celat lantang “Beldasalkan pelatulan dan pelsetujuan,,, hiaa!!”.

Belum usai maklumat si gempal, guru Isa langsung berdiri memotong cepat. “Kami tidak memerlukan perkebunan di kampung. Hutan, sawah ladang masih mencukupi untuk hidup, jangan kalian tukar”!, ucapnya tegas berwibawa. Kegaduhan tumbuh, orang –orang kampung bersorak-sorai berteriak membela guru Isa. Beberapa orang berbadan tegap yang berdiri diluar menatap kami pongah dengan mata memerah. Panas menyeruak memasuki balai berjelanak. Tetamu nampaknya tidak habis akal. Mereka berbicara lamat-lamat dengan kepala dusun. Kepala dusun menggangguk-angguk kecil sampai kopiahnya terjatuh, lalu…...
Adat melayu janganlah disanggah
Tetuah ilmu rasa berseri
Jika hidup ingin berubah
Marilah mencari hidup ke tempat tinggi

Pertanyaan dari guru Isa pun terjawab sudah, orang kota tersenyum lebar mendapat dukungan. Datuk , ninik mamak dan guru Isa saling berpandang - pandangan terpana. Suara siapa yang di bawa oleh Kadus?. Esa hilang dua terbilang, pantang surut mendapat lawan. Guru Isa membalas dengan menggelegar.
Bulat kata karena mufakat
Mufakat kata untuk semua
Jika semua tidak menerima
Di lain waktu kita berjumpa

Prak-prak,prak , tepuk tangan keluar dari tangan-tangan orang kampung berdecak-decak memberi azam .Tetamu terdiam lama mendengar pantun pak Isa. Mereka berdiskusi. Wajah si baju batik dan plontos tampak tegang. Alamat apa yang terjadi jika hampir semua tatanan kampung menolak?. Kadus akhirnya membuka tasnya sebagai senjata pamungkas, mengeluarkan sebuah map biru didalamnya ada secarik kertas berlogo gambar burung garuda . Diperlihatkannya kepada datuk , kemudian kakinya beranjak menghadap ninik mamak, penghulu dan terakhir dengan senyum dikulum menuju guru Isa. Selembar surat dengan banyak tanda tangan sakti, dibumbuhi penuh matrai membuat semua hadirin terdiam kelu, bisu……………..

Canang di pukul bertalu-talu sedih mengakhiri musyawarah adat yang menghancurkan.
***

Semenjak pembicaraan di balai salaso jatuh riak – riak sandungan tumbuh di sudut - sudut kampung, sawah,pos ronda dan warung kopi. Hingga di suatu pagi hari lain…
“ Kita akan menjadi kaya,” kata berewok mengisap rokok kretek murah. Kebun itu beda dengan pohon karet”, lanjutnya mengawali pembicaraan di sebuah warung kopi.
“ Apa nya bedanya?” , tanya seorang pemuda tanggung dengan sarung selempang di bahu , duduk disampingnya meminum kopi setengah.
“ Jelas beda. Kelapa kecil itu menghasilkan minyak, karet menghasil kan getah” jawab brewok sok tahu menerangkan.
“ Bukan itu yang ku maksud , untungnya buat kita apa ?” ,tanya nya ketus tidak puas .
“Hasil pohon kelapa kecil bisa di jual dengan harga tinggi”jawab laki laki paroh baya menimpali . Dia memakai topi segitiga lancip. Pulang dari menakik getah agaknya.
Pemuda itu diam , goreng pisang panas di piring di comotnya seketika menyambar. Mulutnya berdesih-desis kepanasan “ Di sekolah pak Isa akan dibangun perkebunan juga ?”, tanyanya penasaran .
“ Iya”.
“ Anak-anak, sekolah, kebun, sawah ladang mau kemana ?”.
“ Diganti !” .
“ Dengan apa ?”.
“ Kebun kelapa kecil ”.
“ Apa ???”.
“ Apanya ?”.
“ Sawah, ladang , kebun kita ?”, cercanya lagi.
“ Mana kami tahu !!. Memang kebun punya bapak kami” , jawab si brewok membantu menjawab dengan jengkel. Mematikan rokok yang hampir masuk mulut, meludah kian kemari ketanah. Puih !,, puih !. Pemuda itu langsung terdiam sunyi. Di hirupnya kopi hampir habis, tetes-tetes terakhir masuk di kerongkongan terasa pahit dan getir !.
“ Aku tidak setuju !”. katanya kaku
“ Sebenarnya orang kampung juga tidak setuju”, balas brewok dingin.
“ Lalu engkau ?, pemuda tanggung memburansang. Mengapa kau semangat tadi ? Cuiiihhh! “ katanya menyemburkan air asin berterbangan , mengenai muka brewok.
Si brewok langsung naik pitam , direngkuh baju pemuda dengan kuat . “Aku tidak setuju bedebah !, teriaknya dengan mata melotot, melap air di pipinya . Aku hanya ikut-ikutan kepala dusun”.
“ Sudah!, sudah lah”!, teriak topi lancip melerai.

Hasil drama dibalai membuat kampung berubah ramai dengan kedatangan orang –orang asing dari kota. Ada yang mengukur sawah, kebun dengan alat ukur. Ada pula yang berbicara dengan orang kampung membujuk. Suatu hari kami melihat kapal di sungai mengangkut sebuah besi aneh ditarik dengan kawat baja menuju sekolah. Anak-anak terheran- heran melihat barang langka ini masuk kesekolah. Mereka memegang tubuhnya, mengelus capitnya dan berteriak-teriak di bangku beramai-ramai. “Oi !,oi!... ada belalang sembah raksasa dari besi ”……………..

Perubahan nampak juga dari wajah dan sikap kepala sekolah dan guru Isa . Guru kepala terlihat pucat dan berkerut-kerut. Raut sedih muncul timbul tenggelam di wajahnya ketika melihat kami. Sedangkan guru Isa sering nampak diam di sekolah menyendiri. Kami sudah berusaha membawanya bercanda, bercerita lucu tapi tidak berhasil . Dia semakin diam dan diam. Tanpa sengaja pada suatu hari aku melihatnya memeluk dan menyorongkan wajahnya ke daun pohon beringin. Aneh, bibirnya bergerak-gerak kecil berbicara. Tangannya lembut menyentuh dan membelai daun-daun beringin. Dielusnya akar batang sambil berbisik-bisik. Ada apa dengan guru Isa? .Apakah guru Isa bisa berbicara dengan daun-daun dan akar beringin ?.

Tidak hanya diam dan berbisik – bisik di jembatan, dia sekarang rajin membawa kami ke jembatan gantung. Hampir setiap waktu kami di bawanya. Di bawah pohon beringin tempat akar jembatan gantung kami duduk- duduk melingkar mendengarkan hikayat lama dari moyangnya “Suku laut”. Kali ini guru Isa mau bercerita dengan semangat. Kami berdoa didalam hati mudah-mudahan penyakit aneh diamnya hilang bersama derasnya arus sungai dan semilir angin hutan..
“Setiap makhluk yang di ciptakan Allah adalah bernyawa”, katanya di kala itu. “Contohnya nabi Sulaiman, beliau bisa bicara dengan binatang menjadikan alam sebagai sahabatnya”. Kami terdiam hening mendengarkan. “Kalian bisa menjadikan alam sebagai guru”, lanjutnya lagi berdiri sambil memungut daun-daun pohon beringin yang berjatuhan kering ditiup angin dan memasukannya kedalam saku baju.
“Bisa bicara dengan alam ?”. kami bertanya heran
“ Ya”, jawabnya memandang wajah kami lekat dengan penuh kasih.
“ Alam mempunyai insting sama seperti manusia” tambahnya. Bisa tertawa, marah dan sedih”.
“ Bagaimana dengan pohon dan dedaunan ?” tanyaku.
Pak Isa hanya tersenyum melihatku . Di usapnya rambutku dengan tangannya yang kekar.
“ Kalian lihat lah jembatan akar ini “,katanya menunjuk jembatan gantung. Dari tahun ketahun tidak pernah tua dan lapuk. Akar pohon beringin ini selalu kokoh menyangga padahal sudah ratusan tahun pertanda pohon bersinergi dengan manusia. Kami bertambah bingung mendengar perkataan guru Isa.

Di suatu sore aku berjalan berdua dengan guru Isa di hutan jembatan gantung. Kami berdiri di atas jembatan memandang jauh. Beberapa orang kampung melewati jembatan pulang dari kebun. Anak-anak digendong mak memakai kain panjang, membawa kayu bakar. Tak nampak sorot keletihan diwajah mereka. Kehidupan di kampung kami ditentukan oleh sumber daya alam yang menaunginya. Simbolis alam dengan masyarakat. Hutan tanah, flora dan faunanya. Dengan konsep alam itu masyarakat kampung tidak hanya mempunyai satu jenis pekerjaan saja. Diwaktu pagi mereka pergi berkebun, menakik getah dengan arit takik atau kesawah. Diwaktu sore menjelang, mereka menangkap ikan menggunakan bubu,lukah menyergap ikan yang tersesat. Dan adakalanya selesai berkebun mencari damar, rotan dan beniro (mencari air nira ). Ketika hujan berkepanjangan maka saatnya meramu hasil hutan. Hutan salah satu mata rantai yang mengikat dengan masyarakat untuk ekonomi dan lingkungan
“ Suatu waktu kau akan pergi ke sebuah negeri. Kata pak Isa memecah kesunyian.
“Negeri apa ?”.
“ Negeri daun”.
“ Daun ?
“ Ya. Disana akan kau temukan daun-daun dari berbagai pohon hidup saling menyayangi. Negeri itu indah sekali berwarna-warni elok dipandang dan menawan hati’ terang pak Isa
“Di mana itu guru ?” tanyaku

Guru Isa tidak menjawab.“Tak seorang pun bisa menjatuhkan daun dari ranting pohon jika belum sampai waktunya”. .
“ Guru akan pergi kesana ? .Bagaimana dengan sekolah kita?”, tanyaku penasaran.
Kali ini kulihat wajah guru isa berubah menjadi pinggan pecah. Matanya berair, diusapnya dengan ujung baju.” Daun - daun dan akar akan menjadi sahabat kehidupan kalian sepanjang hayat”, katanya sendu. Mata itu pecah . Di peluknya tubuhku erat. Aku pun ikut menangis.

Dimalam itu dari rumah panggung yang didirikan ayah diatas tiang dengan tinggi menjadi saksi bisu malam . Kurebahkan badan di dipan , golek kiri kanan macam lemang , tak juga mata terpejam. Bayang – bayang orang asing , sekolah, jembatan gantung dan guru isa bertukar silih berganti menghantui pikiranku. Perkataan guru isa yang mengharu biru dan membingungkan mengganggu biji mata ku agar tidak mau lelap tidur. Tiba-tiba bayang hitam menyeruak masuk dari fentilasi jendela rumah lontik. Kecil berputar-putar semakin lama semakin besar membentuk buah – buah hitam kelapa amat banyak , menghimpit tubuhku. Aku tercekik, meminta tolong tapi suaraku sepertinya hilang ditelan pusaran bumi. Mata ku medelik keatas, tanganku menggapai-gapai lemah. Semakin aku menggapai dan berteriak semakin kuat himpitan itu. Kakiku menghentak hentak kuat melawan tak berdaya. Akhirnya pertolongan datang dari gayung kecil mak . Mengguyur muka dan tubuhku dengan air . “Zainul kau asik nak melolong, ada apa ?” , kata mak menggoyang-goyang tubuhku kuat. Aku tersentak bangun pucat, badanku menggigil berkeringat dingin .

Dan dimalam itu juga angin bertiup lambat-lambat dingin dari batang-pohon tepi sungai jembatan gantung. Awan bergerak perlahan menutupi bulan , tak berbintang. Sesosok berperawakan tinggi tersudut duduk di atas jembatan. Mata itu sembab , menitik air di sudut matanya satu satu menimpa sungai yang beriak. Dua tangannya mengadah terbuka membelah langit. Dari mulutnya mengeluarkan bunyi-bunyi pujian memuja kepada Tuhan. Lalu dia diam terfakur lama , hening. Tak lama kemudian dia berdiri menuju pohon beringin besar jembatan. Dipetiknya beberapa helai daun sebesar telinga. Diciuminya lambat-lambat. “Waktunya harus berangkat pergi “ ,katanya lembut . Mata itu semakin sembab dan tersedu-sedu. Tiba-tiba bunyi gemuruh air sungai bergejolak hebat, Angin berubah mengamuk kencang menghantam pohon beringin jembatan. Akar akar terlepas dari ikatan simpul melayang-melayang membentuk tangan –tangan raksasa yang panjang. Beloti kayu beterbangan dari alas jembatan. Suara petir menggelegar kuat berdentum beberapa kali seiring dengan lenyapnya guru Isa dan jembatan gantung bersama pusaran angin menuju negeri daun……………………………………..
Pelalawan, akhir Juni 2012

PROFIL PENULIS
Nama : Dedi Irwan
Tempat /tgl lahir : Bangkinang, 06 -02-1973
Pekerjaan : Guru Bahasa Inggris SD Taruna Andalan
Alamat : Komplek Perumahan II PT.RAPP BLOK 0 NO 6 Pangkalan Kerinci
Pelalawan
Hoby : Membaca, menulis.
Email : Adithidayah@yahoo.com
FB : adithidayah@yahoo.com

Baca juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar