NASI GORENG CINTA
Karya Rafael Stefan Lawalata
“Memang masakanmu lah yang paling lezat Den ! Terutama nasi goreng yang menjadi andalanmu itu !” ucap salah seorang kawan Raden pada suatu perayaan ulang tahun temannya itu. Semua teman satu kampus Raden memang sangat menyukai masakan buatannya, terutama nasi gorengnya. Sampai-sampai Raden dipercaya untuk menjadi jurumasak dalam acara-acara besar.
Masakan buatannya pun telah diacungi jempol oleh para dosen, hingga rektor pun menjadi penggemar berat nasi gorengnya. Tiada seorang pun yang meragukan keahlian Raden di bidang ‘masak-memasak’. Sudah sejak kelas 2 SMA ia suka memasak. Bahkan di rumah pun, setelah ayahnya tiada, ia menjadi seorang jurumasak, bahkan sang bunda pun takluk akan masakannya.
Karya Rafael Stefan Lawalata
“Memang masakanmu lah yang paling lezat Den ! Terutama nasi goreng yang menjadi andalanmu itu !” ucap salah seorang kawan Raden pada suatu perayaan ulang tahun temannya itu. Semua teman satu kampus Raden memang sangat menyukai masakan buatannya, terutama nasi gorengnya. Sampai-sampai Raden dipercaya untuk menjadi jurumasak dalam acara-acara besar.
Masakan buatannya pun telah diacungi jempol oleh para dosen, hingga rektor pun menjadi penggemar berat nasi gorengnya. Tiada seorang pun yang meragukan keahlian Raden di bidang ‘masak-memasak’. Sudah sejak kelas 2 SMA ia suka memasak. Bahkan di rumah pun, setelah ayahnya tiada, ia menjadi seorang jurumasak, bahkan sang bunda pun takluk akan masakannya.
Hingga kini ia telah berkuliah di salah satu universitas, dan jurusan yang ia ambil adalah bidang kuliner, semester akhir. Raden begitu rajin dan bersemangat, ia giat berlatih memasak, pandai dalam meracik bumbu, tidak takut mencoba dan tangannya ‘bermain’ dengan sangat cepat dengan bahan masakan yang ada. Seakan menari dan penuh irama yang indah ketika ia beraksi si dapur. Ia bisa menyulap bahan makanan yang ala kadarnya dan sederhana menjadi masakan berkelas restoran mewah dan bercitarasa tinggi. Walau dari keluarga yang kurang, ia tidak menunjukkan rasa malu ataupun rendah diri. Ia pandai bergaul dan cerdik, itulah mengapa ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah sesuai yang ia inginkan.
Semua ini tidak lepas dari jerih payah sang ayah. Walau sekarang telah tiada, ia meninggalkan sebagian resep masakannya termasuk nasi goreng andalan Raden itu. Walaupun semasa hidupnya ia hanyalah seorang penjual nasi goreng keliling di daerah pinggir kota itu, yang kini Raden masih lanjutkan, namun terbukti bahwa keluarga mereka hidup berkecukupan. Sang bunda tidak perlu bekerja menjadi seorang buruh cuci lagi, dan kini bisa membuka usaha menjahit pakaian dirumah mereka yang kecil di pinggiran kali itu. Satu hal yang tetap dipertahankan adalah gerobak dan lapak nasi goreng itu, setiap malam sehabis kuliah, Raden selalu berjualan nasi goreng. Ia tidak pernah malu, dengan senang hati ia lakukan untuk menambah uang makan untuknya dan bunda. Ia mempunyai sebuah mimpi, yakni mendirikan restorannya sendiri.
Seperti biasa ketika malam tiba, Raden segera berbenah dan menyiapkan gerobak nasi gorengnya. Ia berjualan dari jam delapan malam hingga sekitar jam 11 malam setiap harinya. Ia menarik gerobak tua itu dari rumahnya menuju ke pertigaan dekat wilayah pertokoan, yang kira-kira berjarak satu kilometer dari sana. Dimana para pelanggan setia sejak sepuluh tahun yang lalu telah menanti. Mereka adalah pelanggan ayahnya, dan kini juga bertambah pelanggan nasi gorengnya.
Tak terasa jam berganti jam, kini suasana pertokoan telah sepi. Banyak toko telah tutup dan angin malam sudah berhembus makin menusuk. Tiada lagi orang yang berlalu lalang. Maka Raden memutuskan untuk berbenah dan pulang. Segera ia beres-beres.
Belum sempat ia merapihkan kompor minyak itu datanglah seorang wanita dari ujung gang dan berhenti di belakangnya.
“Bang, udah mau tutup yah ?” tanya gadis muda itu, di belakang pundak Raden, masih muda, mungkin baru berusia 20an awal.
“Eh, eh hem, enggak kok mba, mba mau pesen nasi goreng ?” jawab Raden agak kaget melihat seorang gadis di belakangnya.
“Iya, sebenernya saya lagi cari alamat, berhubung udah malem dan saya belum ketemu alamatnya, saya lapar, jadi boleh ya bang saya pesen satu ? Sekalian mau tanya alamat ke abang.”
“Boleh ko mba, oke tunggu sebentar yah.”
Singkat cerita Raden segera membuat pesanan gadis itu dan tak lebih dari lima menitpun jadilah pesanannya. Segera ia makan dengan lahapnya. Setelah habis, ia pun segera bertanya kepada Raden soal alamat yang ia tuju.
“Oh ini, saya tau mba. Mari saya antarkan, kebetulan searah dengan rumah saya.” Kemudian mereka pun jalan berdua menyusuri sepinya malam itu.
Sembari berjalan mereka pun telah berkenalan dan berbincang-bincang. Gadis itu adalah Claudia, seorang mahasiswi jurusan hukum semester satu, yang kebetulan malam itu ia harus mengantarkan beberapa bahan materi kerumah dosennya di daerah sana. Selarut inikah ? Ya, rumahnya cukup jauh dan ia berpergian dengan menggunakkan angkutan umum. Akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan dan berpamitan satu sama lain.
Keesokan malamnya kembalilah Raden berjualan nasi goreng, seperti biasanya, laku keras. Hingga saat mau tutup datanglah lagi Claudia, seperti biasa hendak ke rumah dosennya. “Ehm, malam ini aku mau mengantarkan bahan skripsiku, sekalian lewat sini, aku mampir untuk makan.”
Selesai makan, Raden pun kembali mengantarkan dia. Tapi kali ini Claudia berkata, “Ehm, bang, hari ini nasi goreng buatanmu tidak enak, aku tidak suka.”
“Benarkah ?” Tanya Raden.
“Ya, aku rasa nasi gorengmu tidak seperti yang ku dengar dari orang-orang.” Kata Claudia agak kecewa. Begitulah mereka mengobrol dan akhirnya berpisah karena telah sampai tempat tujuan.
Begitu dengan malam seterusnya, hingga 3 hari berjalan. Claudia terus berkata, “Masakanmu semakin tidak enak saja, aku kecewa, Den.”
Raden merasa ada sesuatu yang salah, benarkah kemampuan memasaknya menurun ? Memang sih, omzetnya agak menurun beberapa hari belakangan ini. Hingga akhirnya Raden berkata kepada Claudia, “Baiklah, Dia, kalau masakanku tidak enak, kamu gak usah bayar kok.”
Hal ini terjadi selama 2 minggu berturut-turut, setiap malam Claudia mampir untuk makan. Semakin giat Raden memasak. Ia membaca buku-buku resep, hingga mengunjungi salah satu restoran terkenal di kotanya. Namun selalu saja Claudia menjawab, “Tidak enak, Den, aku kecewa.”
Hampir saja Raden putus asa. Ia pulang cepat malam itu dan segera merebahkan diri di atas kursi diruang tamu. Bundanya sedang menjahit di ruang sebelah. Melihat anaknya sudah pulang, sang bunda segera berkata, “Sudah pulang Den ?”
Tidak ada jawaban, Raden masih memandang ke arah langit-langit dengan diam saja.
“Den, ada apa ?” tanya bunda sekali lagi.
“Bunda, aku menyerah sudah,” jawab ia kali ini.
“Ada apa, Raden? Kamu kenapa?” Tanya sang ibu sambil menjahit.
“Aku memang tidak bisa jago memasak seperti bapak, aku payah.”
“Lho? Kata siapa?”
Kemudian Raden menceritakan hal itu kepada ibunya. Sang ibu hanya tersenyum kecil.
“Bagaimana Bunda? Andai saja aku jago memasak seperti bapak.”
Sang ibu berhenti menjahit, lalu ia duduk di sebelah anaknya sambil mengelus kepala Raden.
“Den, memang kamu bukan ayahmu. Kamu adalah Raden, anak kesayangan bunda.”
“Tapi Bun, aku...”
“Bunda mengerti kok,” potong sang ibu menghentikan Raden berbicara.
“Maksudnya?” Tanya Raden heran.
“Kamu selama ini hanya memasak dengan bumbu biasa. Rahasia terenak suatu masakan adalah dari bumbu spesial, yakni cinta si koki. Setiap masakan dibuat dengan cinta, sudahkah kau coba?”
Semakin bingung, Raden kembali bertanya, “Bagaimana caranya Bun?”
Ibu hanya tertawa kecil. Bukannya memberi jawaban, si ibu malah kembali bertanya, “Den, cantikkah si Claudia itu?”
“Hah? Maksud Ibunda?” Tanya Raden heran.
“Sudah jawab saja.”
“Yah, cantik sih Bun, masih muda pula. Saya kira saya suka dengan dia Bun.”
“Itulah jawabanmu, Den.”
“Maksud Bunda?”
“Kau setiap hari berusaha menaklukkan dia, kau mencoba memuaskan dia dengan nasi gorengmu itu, dan bunda pikir, dia berbohong. Buktinya, dia selalu menghabiskannya bukan? Dia suka padamu, Den, kenapa kau tidak coba tanya?”
Sejenak Raden berpikir, “Hem, apakah mungkin?” tanyanya dalam hati.
Maka malam harinya, Raden kembali berjualan. Seperti biasa Raden berjualan di pertigaan itu. Dan ketika waktu menunjukkan pukul sebelas kurang, Raden telah siap dengan masakannya, duduk menunggu kedatangan Claudia, yang kebetulan telah sepi saat itu. Tak lama, datanglah sebuah mobil BMW berhenti di depan gerobaknya. Raden hanya diam saja, hingga seseorang membuka kaca kemudi mobil itu. Seorang pria paruh baya turun dan menghampiri dirinya.
“Permisi de, apakah kau Raden ?” tanya pria itu.
“Hem, ya, ada apa pak ?” jawab Raden setelah beberapa saat terdiam.
“Ini ada surat untukmu, baca saja.” Kata pria itu sambil meninggalkan Raden, ia segera berlalu. Raden hanya memandangi kepergian mobil itu dengan hembusan angin malam. Maka pandangannya kembali pada surat itu.
Warna amplopnya pink, tak ada tulisan apa-apa di amplopnya, mungkin dari Claudia pikirnya.
Salam hangat,
Untuk Raden, seorang yang kukagumi,
Den, ketika kamu membaca surat ini aku telah berada di dalam pesawat menuju New York, ya, malam ini aku berangkat Den, ayahku mengirimkanku untuk melanjutkan kuliah disana. Sebelumnya aku mau minta maaf padamu Den, sudah dua minggu belakangan ini aku membuatmu sibuk dan selalu mengomentari rasa nasi gorengmu. Sebenarnya rasa nasi gorengmu enak, bahkan mungkin nasi gorengmu itu yang paling enak yang pernah kurasa dari semua nasi goreng yang pernah kucicipi. Aku suka sekali.
Namun, aku berbohong padamu. Raden, engkau adalah lelaki yang baik, tampan juga. Aku ingin selalu bersamamu, makanya aku berbohong soal nasi goreng itu, supaya aku bisa bersama denganmu, walau hanya setiap malam saja.
Maafkan aku yah Den, padahal aku masih mau mengenalmu, aku suka kepadamu. Tapi aku harus pergi, kelak kalau kita berjodoh pasti akan bertemu lagi.
Teriring salam cinta.
Raden terdiam sejenak, pikirannya kosong. Ia menyesal karena ia belum sempat menyatakan perasaannya kepada orang yang ia cinta. Ia duduk di bangku itu dan menunduk terdiam, ditemani sepiring nasi goreng yang telah dingin.
Enam tahun berlalu, semua telah berubah sepandang mata melihat. Raden telah menjadi seorang yang sukses. Tiada lagi gerobak nasi goreng di pertigaan itu, gerobak itu telah menjelma menjadi sebuah restoran yang megah di pusat kota. Bahkan telah membuka banyak cabang di kota-kota besar. Ia dan bundanya pindah ke sebuah apartemen, hidup mereka menjadi lebih layak, bundanya membuka toko butik di dekat restoran itu. Namun Radeb tetaplah Raden yang dulu, walau kini ia lebih matang. Dan ia tetap bekerja sebagai koki di restorannya sendiri, sungguh suatu hal yang jarang dilakukan para atasan. Ia tidak segan ataupun malu, maka dari itu para bawahannya menaruh kagum dan hormat yang tinggi kepadanya.
Suatu ketika di hari sibuk kerja, datanglah seorang pria, membawa seorang wanita bersamanya dan duduk di dekat jendela. Mereka memesan dua nasi goreng spesial, segeralah Raden memasaknya.
Ketika selesai disajikan, segera pelanggan itu berkomentar.
“Memang benar, ini adalah nasi goreng terlezat yang pernah kurasakan, kau setuju sayang ?” kata pria itu kepada wanita yang bersamanya. Si wanita hanya tersenyum saja.
“Yang, apakah kau masih mau merubah rencanamu itu ? Tinggallah disini, kota ini juga adalah kota kelahiranmu.”
“Hem tidak, aku kesini hanya untuk mencicipi nasi goreng ini, aku sudah puas,” kata si wanita menjawab.
“Baiklah, aku tidak bisa memaksa,” sambung si pria.
Tak lama mereka makan sambil berbincang, si pria pergi ke toilet sebentar. Sambil menunggu pria itu, si wanita mengambil sesuatu dari tasnya dan memanggil pelayan. “Pelayan !” katanya seraya mengangkat tangan.
Segera salah satu pelayan berlari menghampirinya.
“Tolong kau berikan ini kepada koki restoran ini, Bapak Raden.”
“Baik bu, akan saya sampaikan,” kata pelayan itu sambil mengambil amplop dari tangan wanita itu.
“Bilang saja dari pelanggan setianya,” kata wanita itu kembali. Si pelayan hanya mengangguk. “Baik bu !” kata dia.
Kemudian si pria kembali dan berkata, “Ada apa sayang ?”
“Tidak ada apa-apa, marilah pulang, aku harus siap-siap, pesawat kita satu jam lagi.”
Maka pria itu membayar kepada pelayan dan segera berlalu mereka dari restoran itu. Sebelum naik mobil, wanita itu sempat tersenyum memandangi restoran itu.
Segeralah pelayan itu masuk ke dapur, dan menghampiri Raden, yang saat itu sedang istirahat. Ia duduk di dekat pintu belakang sambil ngobrol dengan salah seorang juru masak lainnya.
“Permisi pak,” kata si pelayan.
“Ya, ada apa ?” kata Raden seraya bangkit dari sana.
“Hem bukan urusan penting kok pak, ini ada titipan surat untuk bapak.”
“Tagihan ? Cepat sekali mereka datangnya, perasaan baru dua minggu yang lalu aku membayarnya.”
“Oh bukan pak, ini dari salah seorang pelanggan, seorang wanita yang tadi makan disini pak,” katanya sambil memberikan surat itu.
“Wanita ? Baiklah, terimakasih, kau boleh kembali bekerja.”
“Baik, sama-sama pak.”
Sejenak Raden memandangi surat itu, tak tertulis apa-apa disana, walau ia membolak-balikannya. Maka segeralah ia membukanya dan mendapati satu kalimat disana.
Salam hangat,
Untuk Raden, seorang yang kukagumi,
Kau sukses sekarang Den, aku harap lain hari kita dapat bertemu dan berbincang.
Teriring salam dan cinta.
Raden hanya tersenyum kecil memandangi surat itu. Entah mengapa mengingatkannya pada seseorang yang telah lama ia tunggu.
PROFIL PENULIS
Nama Rafael Stefan Lawalata
Seorang penulis pemula dan muda namun berpengalaman.
Facebook: Rafael Stefan Lawalata
Facebook: Rafael Stefan Lawalata
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar