AKU, SATE KELINCI DAN KEBUN TEH YANG MENENTRAMKAN HATI
Cerpen Panca Zumbon
Rintiknya hujan memang sangat mengagumkan. Sepoi angin yang membawa sisa tempias selalu menyejukkan. Suasananya mampu menyibakkan sekeping memori masa kanakku. Saat menyeloroh gang-gang kecil. Ketika jogging melintasi kawasan pasar tradisional di Batujajar. Ketika jarak pandangku dibatasi oleh iringan kabut tipis. Ketika serpihan-serpihan memori itu berhamburan mendera kepala, dan kusadari kini aku sedang menjadi pilot Vario merah yang melintasi kawasan bukit kebun teh yang menghampar luas laksana sawah yang membentang di sekitar rumahku. Lantas pelan ku lepas helm yang bertengger dikepala, sejuknya udara membelai mesra rambut hitamku. Khasnya aroma kabut yang menyeruak kedalam dada, dan lambaian aroma bakaran sate kelinci selalu mampu meredam liarnya pikiranku. Tempias hujan, segarnya udara, sate kelinci, memori tentang bumi parahyangan, dan tentu saja kebun teh. Aku suka! Sangat suka!
***
***
Huft…rasanya tak pernah bosan melihat kurumunan huruf ajaib itu. Huruf yang kutulis dengan tangan dan kutempelkan di atas satu-satunya jendela kamarku yang hanya seluas 2X2.5 meter. Setiap hari menjelang tidur selalu kusempatkan untuk melihatnya, ia adalah passion untukku. Deretan kalimat berbaur angka bernafaskan tahun. Itulah list cita-cita dan jalan yang nantinya akan kutempuh kedepan. Terpampang usiaku saat itu, 17 tahun 3 bulan 1 minggu dan 3 hari, dan tepat disampingnya tertulis nama lengkapku, Riddick Habibi dan aku akan kuliah di Australia.
“Ya Allah, jika saat ini penglihatanmu membersamai penglihatanku, maka tentu Engkau melihat apa yang kulihat, dan Engkau pun Maha Mengetahui segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi, maka pasti engkau tahu isi hati ini ya Rabb. Tepat didepan pelupuk mata ini tertulis cita-cita yang ingin ku raih sampai dengan usiaku 54 tahun. Harapku akanMu tak banyak ya Rabb, selaraskan apa yang telah coba kugariskan akan hidup ini dengan ketentuanMu, namun jika tidak gantilah dengan yang lebih baik, dan perlahan singkirkan rasa kecewaku akan apa yang telah Engkau putuskan untukku. Dan senantiasa bantulah hamba untuk menguatkan hati dan azzam ini. Amin”
***
“Telah datang 9 formulir test jalur tulis ITB seharga 800 ribu…”
“Bagi yang berminat kuliah di UNPAD bisa membeli formulir pendaftaran seharga 250 ribu…”
“Jika ada yang berminat kuliah di UNS, UNNES, ITS, UNDIP, UNSOED silahkan datang ke pak Nono, harga formulir 300 ribu…”
“formulir SM-UNY akan tiba pekan depan dengan harga 200 ribu, jika mau pesan silahkan datang ke ruang BK…”
Demikian serentetan informasi seputar perguruan tinggi yang menurutku cenderung kapitalis. Bagaimana tidak, orang sepertiku hanya bisa melihat kerumunan siswa yang berbondong membeli formulir sedang aku sendiri tak mampu berbuat banyak, hanya mendengarkan informasi. Tak lebih. Namun bukan Riddick namanya jika kehabisan akal. Dan akupun berusaha menghibur diri bahwa kata Habibi berarti kekasih. Riddick Habibi adalah aku yang banyak akal dan (berharap) dekat dengan kasih sayang Allah. Hehe.
“Payah ni sekolah, pasti gak pernah lepas dari duit. Mahal pula. Ya emang sih SPP nya masih kejangkau, tapi lulus dari sini mau kuliah kok yang ada di bayanganku Cuma duit, duit dan duit. Brengsek ni…..” celoteh kawanku
“Udah deh, ngapain sih mikirin kayak gitu, kalo kuliah di Perguruan Tinggi Negeri susah dan mahal, kenapa kita gak coba kuliah di luar negeri? Cari yang gratis aja men, kenapa harus terpaku sama yang bayar sih, udah jelas-jelas kita gak mampu” timpalku
“ ya tapi kan…..”
“ udah lah, daripada ngomel-ngomel kayak gitu, mending kita bolos sekolah aja gimana, lagian juga gak ada pelajaran kan, ini kan jatah kelas kita untuk konsul PTN ke BK, gimana mau konsul, beli formulir aja kita gak mampu, so bolos aja yuk, ke perpustakaan daerah, disana kan ada internet gratis, kita cari info beasiswa ke luar negeri, kebetulan aku punya temen yang tau masalah ini… gimana?” tawarku panjang lebar
“OK, we goo….” Nampaknya Luffy semangat dengan ajakanku, syukrlah
***
Semenjak ayahku sakit-sakitan beberapa tahun lalu, hingga ia tak mampu berjalan kecuali ada yang memapahnya. Sejak saat itu telah kuputuskan untuk belajar agama lebih baik lagi dan jauh lebih intens. Memang setiap orang pada akhirnya akan menemukan momentumnya masing-masing dalam mengenal agama dan Tuhannya secara lebih detail dan mendalam. Dan disaat seperti itulah momentum rohani yang kudapatkan. Indah dan sangat indah, tapi aku tak berani mengatakan ini hidayah, karena ku pikir, hidayah itu hanya urusan Allah, jadi mengapa harus diributkan. Karenanya aku mulai mengenal islam itu indah dengan segudang ormas dan harokah didalamnya.
“wooyy….ngelamun lagi ya..? dasar kau ini, ngelamunin apa sih…? Kita udah sampe perpusda ni… Ayo masuk!” Luffy mengagetkanku
“OK. Mari kita jelajahi gudang ilmu ini kawan….!!!” Diriku penuh semangat
“Sepuas kita…..!!”
“ya, sepuas kita…. Hahaha!!” Kami tertawa bersama
Sementara Luffy mencari buku, aku langsung berputar dan mengambil arah yang berbeda, internet gratis adalah tujuanku. Karena dengan internetlah aku bisa berhubungan dengan orang yang tak pernah ku jumpai sebelumnya dengan kekentalan rasa yang sama seperti persahabatanku dengan Luffy. Seperti slogan sebuah iklan, “connecting people”. Belum sempat berselancar di dunia-maya tiba-tiba kepala perpustakaan memanggilku…..
“Riddick, bapak mau bicara, ke kantor ya, penting”
“Siap boz…” jawabku sekenanya, semenjak aku sering membolos ke perpustakaan ini, ketika jam pelajaran kosong tentunya, kami jadi sangat akrab
Begitu sampai dikantor, Pak Azhar mengeluarkan amplop berwarna cokelat. Kemudian dikeluarkanlah beberapa lembar kertas dari amplop itu.
“ini adalah formulir beasiswa ke Australia dan saya percayakan sama kamu, tapi tugasmu mencari satu orang lagi, karena formulirnya ada 2 dan saya ingin kamu selektif dalam memilih orang. Saya dapatkan formulir ini dari teman saya yang jadi rektor. Gimana, kamu mau tidak?” mendengar penjelasannya ini aku terkejut,
“Ya rabb, padahal obrolanku dengan Luffy tadi itu hanya sekedar gurauan, Engkau memang Maha Pendengar ya Rabb” aku membatin
“Baik pak, saya sanggup mencari teman untuk sama-sama berjuang ke Australia. Dan saya sudah dapat, namanya Luffy, dia sekarang ada di perpustakaan ini juga pak” sahutku penuh antusias bercampur haru yang mendalam
“OK, saya percayakan saja sama kamu. Tapi ingat, jangan kecewakan saya. OK!”
“Insya Allah, saya dan Luffy akan berusaha semaksimal mungkin pak, mohon doanya saja”
***
Sesuai janjiku pada Pak Azhar, aku tak akan mengecewakannya. Sejauh ini segala bentuk persyaratan administrasi sudah kami penuhi. Mulus. Berbagai tes akademis maupun yang psikotes pun sudah kami lalui. Berhasil. Tinggal satu tahap lagi yang belum kami lalui, wawancara. Dan ini adalah moment yang paling menentukan, berbagai hal tentang kehidupan sehari-hari, karakter pribadi, kondisi keluarga dan cita-cita dimasa depan akan ditanyakan saat wawancara. Aku dan Luffy sudah mempersiapkan makalah tentang hal-hal yang akan diujikan saat wawancara nanti. Kami telah bersepakat untuk membuat makalah itu senatural mungkin, sesuai realita yang ada, meminimalisir dan bahkan meniadakan kebohongan berbasis data yang justru kini makin marak terjadi. Secara kebetulan, kami bertemu di selasar asrama tempat kami ditempa selama masa seleksi yang panjang ini
“Aku sudah siap di wawancarai Dick, dan aku yakin, tak ada alasan bagi para tester itu menolak aplikasiku, ditambah lagi ayah dan ibuku berpuasa selama seminggu dan senantiasa shalat malam untuk mendoakan keberhasilanku. Bagaimana denganmu. Mantap kan?” Luffy menghujaniku dengan kata-kata penuh optimisnya
“Ridho orang tua adalah ridho Allah. Dan aku lupa untuk membicarakan masalah ini sama ibuku, benar-benar lupa. Aku cabut dulu Fy, mau ke wartel, telepon ibuku. Daah…” kubawa lari kepanikan yang mendera, berharap pada ibuku
“Yeah…. Sukses ya, segera kembali. Dan pastikan aku mendengar kabar gembira darimu. Semangat kawan!!!” teriaknya padaku, sementara aku hanya mengacungkan jempol padanya, sambil terus berlari….
***
“Assalamu’alaikum. Pak Samihi, ieu Riddick, abi bade nyarios sareng Mamah, tiasa teu Pak, penting pisan!”
(….. ini Riddick, saya mau bicara sama Mamah, bisa tidak Pak, penting banget!)
Pak Samihi adalah tetanggaku, ayah dan ibuku tidak punya telepon rumah apalagi HP, dan aku juga hanya anak sematawayang. Satu-satunya.
“Wa’alaikum salam. Oh Riddick, muhun tiasa, ieu bapak oge uju ameng di bumi Riddik, kaleresan pisan. Bade nyarios sareng Mamah atanapi Abah?”
(… iya bisa, ini Bapak juga lagi main di rumah Riddick, kebetulan banget, mau ngomong sama ibu atau bapak?)
“Riddick bade nyarios sareng Mamah weh Pak”
“Oke”
“Assalamu’alaikum… ini Mamah. Aa sehat kan, lama gak telepon ke rumah. Sibuk ngerjain tugas sekolah ya? Jakarta kan panas, kalo keluar pake jaket ya, biar tidak hitam, nanti kalo kulit Aa hitam pas pulang ke Batujajar orang-orang pada pangling?”
Celotehan ibuku sangat panjang, hanya ada satu tafsiran dalam benakku, bahwa ibuku sudah sangat kangen padaku, hampir setahun aku tak pulang ke Batujajar, tempat aku dilahirkan.
“Wa’alaikum salam. Alhamdulillah Aa sehat. Mamah juga sehat kan? Abah sudah baikan Mah? Iya Mah, Aa di Jakarta jadi agak hitam ni, kulitnya gosong kebakar matahari sama polusi”
“Alhamdulillah Mamah sehat. Kalo abah mah ya begitu, masih kaya yang dulu, belum ada peningkatang yang berarti. Aa telepon ada apa?”
“Sebelumnya Aa minta maap kalo jarang ngasih kabar ke Mamah dan Abah, gini Mah, sebenernya sudah 2 minggu Aa ikut seleksi beasiswa ke Australia, dan Alhamdulillah lancar, besok tinggal tahap akhir, wawancara, kalo lolos Aa bisa kuliah di Australia, gratis Mah, biaya kuiah sama biaya apartemen ditanggung pemerintah Australia. Hehehe” aku tertawa gembira, aku ingin pamer akan prestasiku pada ibuku
“kuliah di Australia? Jauh pisan, terus kalo Mamah sama Abah kangen, pingin jenguk Aa caranya gimana? Australia teh jauh A, biaya pesawatnya juga mahal, Abah juga sakit-sakitan, gak bisa jalan, terus kalo pengen ketemu Aa gimana?”
Mendengar kata-kata ibu, seolah ada sebilah busur panah beracun yang dihempaskan ke dadaku, perlahan tapi pasti, racunnya menyebar ke seluruh tubuh, lemas, denyut nadi pun semakin melambat. Meski suaranya lirih, aku tau, betapa dalam kata-katanya, penuh tekanan dan sarat harapan
“Tapi Aa pingin banget kuliah di Australia Mah” aku merengek manja
“Iya, Mamah tau, Aa pengen banget kuliah di Australia, tapi Aa juga harus ingat, Mamah sudah tua, sudah 62 tahun, Abah juga sudah sakit-sakitan, kita juga bukan keluarga kaya…”
“Tapi Mah….” Aku memotong pembicaraan
“Aa, Mamah belum selesai bicara”
“Iya Mah, Aa minta map”
“Aa harus ingat, Mamah dan Abah sudah tua, suatu saat kami akan menjadi jompo dan mungkin akan banyak melupakan sesuatu, kami akan pikun, kalo sudah begitu, mungkin Mamah sama Abah tidak bisa lagi ngasih uang jajan sama Aa”
“Aa tau Mah, sejak dulu Aa tak pernah berharap dapat banyak uang dari Mamah dan Abah, untuk kuliah di Australia juga Aa akan kerja part-time Mah, jadi Mamah sama Abah tak perlu memikirkan soal uang, yang Aa butuhkan hanya restu dari Mamah sama Abah”
“Mamah percaya sama Aa, tapi coba Aa bayangkan, ketika suatu saat, mungkin hanya butuh beberapa tahun lagi Mamah sama Abah akan jadi jompo dan pikun, saat itu terjadi, siapa yang akan meminjamkan lidah untuk menceritakan hal-hal lucu, siapa yang bersedia memberikan matanya dan menceritakan indahnya kebuh teh yang menentramkan hati, siapa yang akan menggandeng tangan Mamah dan Abah ketika kami sudah tak sanggup lagi berjalan, lantas siapa pula yang akan merelakan jemarinya utuk memijit dan mencabuti uban Mamah dan Abah ketika kami sudah benar-benar jompo, hanya Aa lah harapan kami. Satu-satunya. Tetapi hanya itu yang bisa Mamah sampaikan, kalo dengan kuliah di Australia membuat Aa bahagia, Mamah dan Abah akan merestui, percayalah kebahagiaan Aa adalah kebahagiaan kami. Assalamu’alaikum”
Klik. Putus
***
“Wooyy… jangan ngelamun, Gelo sia….”
“Ya Allah, jika saat ini penglihatanmu membersamai penglihatanku, maka tentu Engkau melihat apa yang kulihat, dan Engkau pun Maha Mengetahui segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi, maka pasti engkau tahu isi hati ini ya Rabb. Tepat didepan pelupuk mata ini tertulis cita-cita yang ingin ku raih sampai dengan usiaku 54 tahun. Harapku akanMu tak banyak ya Rabb, selaraskan apa yang telah coba kugariskan akan hidup ini dengan ketentuanMu, namun jika tidak gantilah dengan yang lebih baik, dan perlahan singkirkan rasa kecewaku akan apa yang telah Engkau putuskan untukku. Dan senantiasa bantulah hamba untuk menguatkan hati dan azzam ini. Amin”
***
“Telah datang 9 formulir test jalur tulis ITB seharga 800 ribu…”
“Bagi yang berminat kuliah di UNPAD bisa membeli formulir pendaftaran seharga 250 ribu…”
“Jika ada yang berminat kuliah di UNS, UNNES, ITS, UNDIP, UNSOED silahkan datang ke pak Nono, harga formulir 300 ribu…”
“formulir SM-UNY akan tiba pekan depan dengan harga 200 ribu, jika mau pesan silahkan datang ke ruang BK…”
Demikian serentetan informasi seputar perguruan tinggi yang menurutku cenderung kapitalis. Bagaimana tidak, orang sepertiku hanya bisa melihat kerumunan siswa yang berbondong membeli formulir sedang aku sendiri tak mampu berbuat banyak, hanya mendengarkan informasi. Tak lebih. Namun bukan Riddick namanya jika kehabisan akal. Dan akupun berusaha menghibur diri bahwa kata Habibi berarti kekasih. Riddick Habibi adalah aku yang banyak akal dan (berharap) dekat dengan kasih sayang Allah. Hehe.
“Payah ni sekolah, pasti gak pernah lepas dari duit. Mahal pula. Ya emang sih SPP nya masih kejangkau, tapi lulus dari sini mau kuliah kok yang ada di bayanganku Cuma duit, duit dan duit. Brengsek ni…..” celoteh kawanku
“Udah deh, ngapain sih mikirin kayak gitu, kalo kuliah di Perguruan Tinggi Negeri susah dan mahal, kenapa kita gak coba kuliah di luar negeri? Cari yang gratis aja men, kenapa harus terpaku sama yang bayar sih, udah jelas-jelas kita gak mampu” timpalku
“ ya tapi kan…..”
“ udah lah, daripada ngomel-ngomel kayak gitu, mending kita bolos sekolah aja gimana, lagian juga gak ada pelajaran kan, ini kan jatah kelas kita untuk konsul PTN ke BK, gimana mau konsul, beli formulir aja kita gak mampu, so bolos aja yuk, ke perpustakaan daerah, disana kan ada internet gratis, kita cari info beasiswa ke luar negeri, kebetulan aku punya temen yang tau masalah ini… gimana?” tawarku panjang lebar
“OK, we goo….” Nampaknya Luffy semangat dengan ajakanku, syukrlah
***
Semenjak ayahku sakit-sakitan beberapa tahun lalu, hingga ia tak mampu berjalan kecuali ada yang memapahnya. Sejak saat itu telah kuputuskan untuk belajar agama lebih baik lagi dan jauh lebih intens. Memang setiap orang pada akhirnya akan menemukan momentumnya masing-masing dalam mengenal agama dan Tuhannya secara lebih detail dan mendalam. Dan disaat seperti itulah momentum rohani yang kudapatkan. Indah dan sangat indah, tapi aku tak berani mengatakan ini hidayah, karena ku pikir, hidayah itu hanya urusan Allah, jadi mengapa harus diributkan. Karenanya aku mulai mengenal islam itu indah dengan segudang ormas dan harokah didalamnya.
“wooyy….ngelamun lagi ya..? dasar kau ini, ngelamunin apa sih…? Kita udah sampe perpusda ni… Ayo masuk!” Luffy mengagetkanku
“OK. Mari kita jelajahi gudang ilmu ini kawan….!!!” Diriku penuh semangat
“Sepuas kita…..!!”
“ya, sepuas kita…. Hahaha!!” Kami tertawa bersama
Sementara Luffy mencari buku, aku langsung berputar dan mengambil arah yang berbeda, internet gratis adalah tujuanku. Karena dengan internetlah aku bisa berhubungan dengan orang yang tak pernah ku jumpai sebelumnya dengan kekentalan rasa yang sama seperti persahabatanku dengan Luffy. Seperti slogan sebuah iklan, “connecting people”. Belum sempat berselancar di dunia-maya tiba-tiba kepala perpustakaan memanggilku…..
“Riddick, bapak mau bicara, ke kantor ya, penting”
“Siap boz…” jawabku sekenanya, semenjak aku sering membolos ke perpustakaan ini, ketika jam pelajaran kosong tentunya, kami jadi sangat akrab
Begitu sampai dikantor, Pak Azhar mengeluarkan amplop berwarna cokelat. Kemudian dikeluarkanlah beberapa lembar kertas dari amplop itu.
“ini adalah formulir beasiswa ke Australia dan saya percayakan sama kamu, tapi tugasmu mencari satu orang lagi, karena formulirnya ada 2 dan saya ingin kamu selektif dalam memilih orang. Saya dapatkan formulir ini dari teman saya yang jadi rektor. Gimana, kamu mau tidak?” mendengar penjelasannya ini aku terkejut,
“Ya rabb, padahal obrolanku dengan Luffy tadi itu hanya sekedar gurauan, Engkau memang Maha Pendengar ya Rabb” aku membatin
“Baik pak, saya sanggup mencari teman untuk sama-sama berjuang ke Australia. Dan saya sudah dapat, namanya Luffy, dia sekarang ada di perpustakaan ini juga pak” sahutku penuh antusias bercampur haru yang mendalam
“OK, saya percayakan saja sama kamu. Tapi ingat, jangan kecewakan saya. OK!”
“Insya Allah, saya dan Luffy akan berusaha semaksimal mungkin pak, mohon doanya saja”
***
Sesuai janjiku pada Pak Azhar, aku tak akan mengecewakannya. Sejauh ini segala bentuk persyaratan administrasi sudah kami penuhi. Mulus. Berbagai tes akademis maupun yang psikotes pun sudah kami lalui. Berhasil. Tinggal satu tahap lagi yang belum kami lalui, wawancara. Dan ini adalah moment yang paling menentukan, berbagai hal tentang kehidupan sehari-hari, karakter pribadi, kondisi keluarga dan cita-cita dimasa depan akan ditanyakan saat wawancara. Aku dan Luffy sudah mempersiapkan makalah tentang hal-hal yang akan diujikan saat wawancara nanti. Kami telah bersepakat untuk membuat makalah itu senatural mungkin, sesuai realita yang ada, meminimalisir dan bahkan meniadakan kebohongan berbasis data yang justru kini makin marak terjadi. Secara kebetulan, kami bertemu di selasar asrama tempat kami ditempa selama masa seleksi yang panjang ini
“Aku sudah siap di wawancarai Dick, dan aku yakin, tak ada alasan bagi para tester itu menolak aplikasiku, ditambah lagi ayah dan ibuku berpuasa selama seminggu dan senantiasa shalat malam untuk mendoakan keberhasilanku. Bagaimana denganmu. Mantap kan?” Luffy menghujaniku dengan kata-kata penuh optimisnya
“Ridho orang tua adalah ridho Allah. Dan aku lupa untuk membicarakan masalah ini sama ibuku, benar-benar lupa. Aku cabut dulu Fy, mau ke wartel, telepon ibuku. Daah…” kubawa lari kepanikan yang mendera, berharap pada ibuku
“Yeah…. Sukses ya, segera kembali. Dan pastikan aku mendengar kabar gembira darimu. Semangat kawan!!!” teriaknya padaku, sementara aku hanya mengacungkan jempol padanya, sambil terus berlari….
***
“Assalamu’alaikum. Pak Samihi, ieu Riddick, abi bade nyarios sareng Mamah, tiasa teu Pak, penting pisan!”
(….. ini Riddick, saya mau bicara sama Mamah, bisa tidak Pak, penting banget!)
Pak Samihi adalah tetanggaku, ayah dan ibuku tidak punya telepon rumah apalagi HP, dan aku juga hanya anak sematawayang. Satu-satunya.
“Wa’alaikum salam. Oh Riddick, muhun tiasa, ieu bapak oge uju ameng di bumi Riddik, kaleresan pisan. Bade nyarios sareng Mamah atanapi Abah?”
(… iya bisa, ini Bapak juga lagi main di rumah Riddick, kebetulan banget, mau ngomong sama ibu atau bapak?)
“Riddick bade nyarios sareng Mamah weh Pak”
“Oke”
“Assalamu’alaikum… ini Mamah. Aa sehat kan, lama gak telepon ke rumah. Sibuk ngerjain tugas sekolah ya? Jakarta kan panas, kalo keluar pake jaket ya, biar tidak hitam, nanti kalo kulit Aa hitam pas pulang ke Batujajar orang-orang pada pangling?”
Celotehan ibuku sangat panjang, hanya ada satu tafsiran dalam benakku, bahwa ibuku sudah sangat kangen padaku, hampir setahun aku tak pulang ke Batujajar, tempat aku dilahirkan.
“Wa’alaikum salam. Alhamdulillah Aa sehat. Mamah juga sehat kan? Abah sudah baikan Mah? Iya Mah, Aa di Jakarta jadi agak hitam ni, kulitnya gosong kebakar matahari sama polusi”
“Alhamdulillah Mamah sehat. Kalo abah mah ya begitu, masih kaya yang dulu, belum ada peningkatang yang berarti. Aa telepon ada apa?”
“Sebelumnya Aa minta maap kalo jarang ngasih kabar ke Mamah dan Abah, gini Mah, sebenernya sudah 2 minggu Aa ikut seleksi beasiswa ke Australia, dan Alhamdulillah lancar, besok tinggal tahap akhir, wawancara, kalo lolos Aa bisa kuliah di Australia, gratis Mah, biaya kuiah sama biaya apartemen ditanggung pemerintah Australia. Hehehe” aku tertawa gembira, aku ingin pamer akan prestasiku pada ibuku
“kuliah di Australia? Jauh pisan, terus kalo Mamah sama Abah kangen, pingin jenguk Aa caranya gimana? Australia teh jauh A, biaya pesawatnya juga mahal, Abah juga sakit-sakitan, gak bisa jalan, terus kalo pengen ketemu Aa gimana?”
Mendengar kata-kata ibu, seolah ada sebilah busur panah beracun yang dihempaskan ke dadaku, perlahan tapi pasti, racunnya menyebar ke seluruh tubuh, lemas, denyut nadi pun semakin melambat. Meski suaranya lirih, aku tau, betapa dalam kata-katanya, penuh tekanan dan sarat harapan
“Tapi Aa pingin banget kuliah di Australia Mah” aku merengek manja
“Iya, Mamah tau, Aa pengen banget kuliah di Australia, tapi Aa juga harus ingat, Mamah sudah tua, sudah 62 tahun, Abah juga sudah sakit-sakitan, kita juga bukan keluarga kaya…”
“Tapi Mah….” Aku memotong pembicaraan
“Aa, Mamah belum selesai bicara”
“Iya Mah, Aa minta map”
“Aa harus ingat, Mamah dan Abah sudah tua, suatu saat kami akan menjadi jompo dan mungkin akan banyak melupakan sesuatu, kami akan pikun, kalo sudah begitu, mungkin Mamah sama Abah tidak bisa lagi ngasih uang jajan sama Aa”
“Aa tau Mah, sejak dulu Aa tak pernah berharap dapat banyak uang dari Mamah dan Abah, untuk kuliah di Australia juga Aa akan kerja part-time Mah, jadi Mamah sama Abah tak perlu memikirkan soal uang, yang Aa butuhkan hanya restu dari Mamah sama Abah”
“Mamah percaya sama Aa, tapi coba Aa bayangkan, ketika suatu saat, mungkin hanya butuh beberapa tahun lagi Mamah sama Abah akan jadi jompo dan pikun, saat itu terjadi, siapa yang akan meminjamkan lidah untuk menceritakan hal-hal lucu, siapa yang bersedia memberikan matanya dan menceritakan indahnya kebuh teh yang menentramkan hati, siapa yang akan menggandeng tangan Mamah dan Abah ketika kami sudah tak sanggup lagi berjalan, lantas siapa pula yang akan merelakan jemarinya utuk memijit dan mencabuti uban Mamah dan Abah ketika kami sudah benar-benar jompo, hanya Aa lah harapan kami. Satu-satunya. Tetapi hanya itu yang bisa Mamah sampaikan, kalo dengan kuliah di Australia membuat Aa bahagia, Mamah dan Abah akan merestui, percayalah kebahagiaan Aa adalah kebahagiaan kami. Assalamu’alaikum”
Klik. Putus
***
“Wooyy… jangan ngelamun, Gelo sia….”
Makian pemakai jalan di sekitar perbukitan teh di Lembang menyadarkan lamunanku. Tak terasa, beberapa bulir air mata dan rintik gerimis membasahi pipiku. Terharu rasanya mengingat kejadian beberapa tahun silam. Kulirik jam tanganku mengarah pada pukul 16.37 WIB, kabut pun mulai berguguran mendekati tanah. Daripada larut dalam nostalgia masa lalu, kuputuskan untuk menepi, berteduh sambil menikmati seporsi sate kelinci dengan segelas kopi panas di warung pinggir jalan, dengan ditemani pemandangan hamparan kebun teh yang menentramkan hati. Aku suka! Sangat suka!
Panca Zumbon
Panca Zumbon
Dibawah temaram lampu kamar A.1
Islamic Center Seturan
PROFIL PENULIS
Nama : Panca Zumbon
Tentang : mahasiswa sosiologi UNY.... yogyakarta memang istimewa
Baca juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar