Selasa, 22 Mei 2012

Cerpen Misteri - Diburu Bayang-bayang

DIBURU BAYANG-BAYANG
Oleh Aisyah

Ify Alyssa berjalan melewati koridor sekolahnya, dadanya terasa sesak, saat ini ia tak dapat mengatur napasnya. Bisa ia rasakan jantungnya berdentum-dentum memukul iganya. Terlihat jelas pelipisnya mengeluarkan keringat bercucuran. Entah sadar atau tidak, sedari tadi ada seseorang yang mengikutinya.
“Tenang, Fy!” Perintahnya pada dirinya sendiri, berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Gak ada yang perlu lo takutin. Ini sekolah jadi, gak ada yang berani macam-macam.”

Ragu-ragu ia mencoba menoleh ke belakang tapi, bayangan hitam itu dengan cepat bersembunyi dibalik tembok, Ify dapat melihat itu walau samar-samar. Ify mulai berjalan lagi, membiarkan orang tak dikenalnya itu mengikutinya. Ia berbelok menuju ruang kelasnya, setidaknya disana ia merasa aman, karena ada banyak anak lain.
“Ayo, orang sinting, apakah kau berani mengikutiku sekarang,” Gumamnya. Ia berjalan dengan cepat. Bayangan hitam itu juga melakukan hal yang sama. Ify tak menyangka orang itu masih berani mengikuti dirinya. Napasnya mulai tak beraturan, jantungnya berdegup kencang, pelipisnya mulai berkeringat dingin lagi.
Pelan-pelan Ify menambahkan kecepatan berjalannya, matanya terpaku pada ruang kelas yang hanya berjarak beberapa meter lagi. Bayangan hitam itu mulai mendekat kearah Ify. Ify mendorong kursi yang sempat menghalangi jalannya dan langsung berlari menuju pintu ruang kelas, lalu membukanya.
Suasana ruang kelas yang semula ramai perlahan berubah menjadi hening, semua mata kini tertuju pada Ify yang menyender pada pintu sambil mengatur napasnya. Ify membuka sedikit pintu sekedar untuk memastikan orang itu masih mengikutinya atau tidak. Dadanya terasa lega, ia menghembuskan napasnya. Orang itu tak lagi mengikutinya.
Ify mengarahkan pandangannya ke depan, ia mengerjap kaget ketika melihat semua mata tertuju padanya. “Kenapa ngelihatin gue kayak gitu?” tanyanya berusaha normal ya, berusaha menjadi normal kembali.
***

Ify berjalan menuju kantin, berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Ify menatap wajah-wajah yang menurutnya mencurigakan tapi, tak mungkin temannya sendiri akan membunuhnya. Mungkin, bisa saja mengingat dirinya sekarang ‘berbahaya’ bagi sebagian orang. Tatapan Ify terhenti ketika melihat Ashilla, dari informasi yang didengar dari temannya, sepanjang musim panas, Ashilla terus menempel pada Gabriel –kekasihnya dulu- Tapi, Gabriel tak pernah mengucapkan kata putus pada Ify.

Dan sekarang Ify tak lagi ingin mengingat-ingat Gabriel, itu masa lalu. Dan kemungkinan besar cowok itu tak akan mau mendekatinya lagi karena menurutnya, Ify ‘berbahaya’. Tapi, sekarang Ify ingin membuat tatapan sinis yang menuju padanya hilang, ia tak ingin terus ditatap seperti itu, seolah-olah semua orang mengawasinya, takut kejadian musim panas tahun lalu terjadi lagi.
Ify terus berjalan menyusuri lorong nyaris bertubrukan dengan cowok di depannya. “Maaf.” Ujar Ify. Cowok itu berbalik menghadapnya.

Mario Stevano. Ify mengerjap. Cowok yang dulu Ify anggap ‘aneh’ sekarang berubah menjadi cowok keren. “Eh… Ify, apa kabar?”
“Baik,” gumam Ify, matanya masih menatap Rio. Ia benar-benar tak menyangka, setahun tidak sekolah ternyata begitu banyak perubahan, termasuk, Rio. Setahun yang lalu, Ify sempat mengamuk di kantin, entah karena apa, ia sendiri pun tak tahu. Yang pasti, semua orang tak dapat menenangkannya kecuali, neneknya, hanya neneknya yang dapat menenangkannya. Menurutnya, neneknya tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tapi, neneknya tak mau memberitahukannya. Dan sekarang, ia ingin mencari tahu tapi, itu tak mungkin dilakukannya sendiri. Ia butuh bantuan orang lain.

Ify tersadar dari lamunannya. Ia mulai berjalan lagi tapi, langkahnya tertahan karena, Rio menahan langkahnya. “Kenapa lagi?” Rio mencondongkan badannya kearah Ify.
“Apa gue bisa bantu mecahin masalah lo?” bisiknya tepat ditelinga Ify. Ify menegakkan badannya, tak percaya Rio membisikkan bantuan padanya. Perlahan Ify menggelengkan kepalanya. “Mungkin, lain kali.” Ify berjalan terus, tak ingin berlama-lama. Entah kenapa ia merasa sedikit canggung berada didekat cowok itu.
Ketika sampai di pintu kantin, Ify membukanya dengan ragu. Sebenarnya ia takut masuk ke dalam kantin. Takut, yang terjadi padanya tahun lalu terulang lagi, sangat takut. Ia tak mau dikurung di pafiliun lagi seperti tahun lalu, ia dipasung agar tidak memberontak. Dan itu mengerikan untuk diingat. Jadi, ia putuskan untuk saat ini akan melupakan kejadian mengerikan itu, di kantin ini. Jika ia bisa.

Perlahan Ify berjalan menuju mesin es yogurt. Ia bisa merasakan sejak tadi semua mata tertuju padanya. Ia hanya bisa menghela napas berat. Kapan semua ini bisa berhenti, ia tak mau ditatap seperti itu terus sepanjang hari.
Ify menyapu pandangannya, mencari meja kantin yang masih tersisa untuknya. Setidaknya, ada yang mau mengajaknya duduk.
Dari ujung matanya ia dapat melihat dengan jelas, Rio melambaikan tangan padanya, tepatnya menyuruhnya duduk di dekat cowok itu. Sebelum benar-benar melangkah, Ify memicingkan matanya pada tempat yang diduduki Rio, ‘meja’ itu, dimana pada saat Ify mengamuk di meja itu.

Dengan langkah yang tersa berat, Ify melangkah kearah meja itu, berharap tidak akan terjadi apa-apa saat ia duduk disana.
“Hai, Fy….” Sapa Rio ramah. “…. Lo gak gak takut kan, duduk dimeja ini.” Ify menggeleng ragu.
‘Apa maksudnya dengan ngomong kayak gitu? Pikirnya curiga.
“Semenjak kejadian itu-----” “Gak ada lagi yang mau duduk dimeja ini, kecuali gue.” Rio menyelesaikan kalimatnya, suaranya terdengar bersahabat. Ify tahu, Rio sebenarnya takut mengingat kejadian tahun lalu.

Ify berusaha mempertahakan senyumnya. Ia duduk dihadapan Rio. “Kenapa?” tanya Ify.
“Gak tahu.” Jawab Rio, mengangkat kedua bahunya. Ify tersenyum canggung. Kenapa dia harus sekeren ini, sih? Ify merasa ada yang aneh pada diri Rio, apa dia menyembunyikan rasa takutnya atau memang dia sesantai ini kalau sedang menghadapi cewek ‘gila’. Apa yang dipikirkan Ify, cepat-cepat ia membuang rasa curiganya.
“Ngomong-ngomong, sejak kapan lo berubah penampilan?” tanya Ify, ia berusaha untuk tidak terlihat canggung. Tapi, setidaknya itu usaha yang bisa ia lakukan sekarang.
“Sejak Angel memaki gue…” jawab Rio, mengaduk-ngaduk es yogurt-nya. “….Pas gue lagi ngedeketin dia.” Ify ingat, saat itu Rio sedang mendekati Angel tapi, Angel malah memakinya dan membuat Rio seperti orang bodoh, dan itu sudah satu tahun yang lalu. Tentu sebelum Rio, sekeren seperti sekarang ini.
Ify bisa membayangkan jika dia menjadi Rio, mungkin ia tidak akan pernah masuk sekolah karena, sudah dipermalukan seperti itu. Membayangkannya saja sudah membuat Ify merasa aneh. Ya, seperti orang asing yang perlu ditendang dari sekolah elite ini. Tapi, bukankah sekarang Ify merasa hal yang sama seperti Rio dulu? Hidup kadang memang tak adil.

Dulu ia mempunyai banyak teman, Sivia, Alvin, Zevana, Oik, Cakka, dan semua teman lama Ify. Tapi, tidak untuk sekarang, mereka semua menghilang begitu saja. Apakah itu teman? Dan sekarang siapa yang akan menjadi teman Ify. Rio? Mungkinkah ia mau berteman dengan Ify? Cewek yang sudah dianggap ‘gila’ oleh semua orang yang berada di sekolah ini.
“Sekarang kita berteman?” Rio menjulurkan tangannya pada Ify. Ify menatap uluran tangan Rio ragu lalu menjabatnya.
“Teman.” Gumamnya.
***

Ponsel Ify berdering. Tanpa mengangkat kepala dari bantalnya, ia mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel dari dalam lacinya.
“Halo….”
“Lo akan mati, Fy…”

Ify langsung terjaga, jantungnya berdentum keras. Seseorang telah mengancamnya. Orang yang tidak dikenalnya. Suara orang itu terdengar serak dan juga sangat mengancam. Suara itu bukan milik neneknya. Bukan milik Rio. Ataupun suara temannya yang lain.
‘Tenang, Fy,’ batin Ify. ‘Kemarin ada orang yang ngikutin gue. Dan sekarang ada orang yang ngancam gue.’

Ify berdiri dari atas tempat tidurnya, berjalan perlahan menyusuri kamarnya. Napasnya benar-benar tak teratur, seperti ingin meraup oksigen yang lebih dari luar sana.
“Siapa yang mau ngebunuh gue!?” tiba-tiba Ify memekik keras. “Siapa!!!!????”

Seorang perempuan tua sedang mengintipnya dari sela-sela pintu kamar Ify yang sedikit terbuka dan menangkap bahu Ify. Mengguncangnya.
“Ify!” seru perempuan tua itu. Suara itu… seperti neneknya.

Ify membuka mata, dan melihat neneknya membungkuk di atas tubuhnya. Ify duduk, melepaskan diri dari pegangan neneknya
‘Itu hanya mimpi,’ Ify mulai sadar.
“Maaf. Apa jeritanku terdengar sangat nyata?” tanya Ify, ia berusaha mengatur napasnya agar terdengar baik-baik saja.
“Iya.” Jawab neneknya. “Tenanglah. Dia sudah pergi.” Neneknya mengusap lembut rambut Ify yang hitam bergelombang. Sesaat Ify merasa bingung ‘Dia? Siapa yang dimaksud nenek?’
“Maksud nenek, ‘dia’ siapa?” tanya Ify memberanikan diri. Ia berharap neneknya mau menceritakannya. Tapi, gelengan yang didapatnya. Sepertinya, neneknya tidak ingin menjelaskannya apapun untuk saat ini.
“Bukan siapa-siapa…..” sahut neneknya. “Mau nenek ambilkan minum?” Ify menggeleng. ia benar-benar berusaha terlihat sangat normal agar neneknya tak lagi mencemaskan dirinya. Dan siapapun tidak ingin dikurung dalam pafiliun dan dipasung, termasuk Ify. Dia juga tidak ingin mengamuk diluar keinginannya.
Neneknya keluar pintu. Ify menghembuskan napasnya yang terasa sangat berat.
‘Hanya mimpi’ batin Ify. Memang itu hanya mimpi tapi, mimpi itu terasa sangat nyata. Jelas mimpi itu ada kaitannya dengan dunia nyata yang saat ini ia alami. Seseorang diluar sana menginginkan kematiannya. Tapi… siapa? Ia tidak tahu orangnya. Dan Ify tidak tahu kapan orang itu akan mencoba membunuhnya lagi.

Nenek Ify masuk sambil membawa air dan menyodorkan gelas itu ke tangan cucunya.
“Terima kasih, nek.” Ujar Ify berterima kasih. Neneknya hanya tersenyum, ia masih berharap neneknya mau menceritakan tentang apa yang sudah terjadi pada dirinya. Ia merasa sangat takut, tulang belakangnya seperti mati rasa. Nenek Ify memandang cucunya cemas.
“Aku baik-baik saja.” Ujar Ify, berharap neneknya mempercayainya, neneknya hanya tersenyum.
***

Baiklah, ini adalah waktu yang tepat Ify Alyssa, kau akan mati sesegera juga.
Cuaca di pagi ini sangat cerah.Tapi, tidak dengan Ify, gadis itu tercenung sejak perjalanannya ke sekolah tadi. Sedari tadi Ify hanya berpijak didepan gerbang sekolahnya, anak-anak yang melewatinya hanya berdecak kesal melihatnya. Sedari tadi ia hanya menatap gedung sekolahnya.

Bayang-bayang hitam itu bergerak secepat kilat melewatinya. Matanya mengerjap kaget, jantungnya berdentum-dentum keras memukul iganya, lututnya terasa lemas, keringat dinginnya bercucuran, napasnya tersengal-sengal.
“Siapa lo! keluar!” teriaknya keras, ia mencoba mengatur napasnya. “Hhhhf… Lo pikir gue takut!???”
Bayangan hitam itu terlihat menyeringai lebar tepat dibalik punggung Ify. Ify menarik napas berat, ada sesuatu yang merasuki dirinya. Bayang hitam itu.
Ify dapat merasakan emosi-emosi yang merasuki dirinya. kebencian, dendam, amarah yang sangat memuncak. Matanya tersirat kebencian yang mendalam, matanya berkilat merah. Ia tersenyum sinis.
Langit yang semulanya cerah mendadak berubah menjadi hitam.

Nenek Ify memandang langit yang tak biasanya dari jendela kamarnya. “Dia kembali.” Nenek Ify bergegas berlari keluar rumah.
“Ada apa nyonya? Kenapa lari-lari?” tanya Pak Karjo-supirnya-
“Kita ke sekolah Ify sekarang. Dia sudah kembali.” Pak Karjo terbelalak.
“Baik nyonya.”

Ify menyeringai lebar, tangannya mengepal. Ia berjalan menghentak menuju kantin. Anak-anak yang dilewatinya berbisik-bisik curiga. “Ify gila lagi, ya?”

Ify membuka pintu kantin dengan kasar membuat engsel pintu kantin tersebut lepas dari tempatnya. Disebuah meja yang dulu pernah membuat Ify dianggap ‘gila’ terdapat sesosok bayangan putih samar. Ibunya.
“Inilah hal yang kutunggu-tunggu setelah sekian lamanya.” Ujar Ify sinis, menatap remeh kearah bayangan putih itu.
“Lepaskan anakku! Banyangan putih itu berseru. “Dia tidak bersalah!!.” Ify menyeringai.
“Tidak akan.” Balasnya sengit. “Kaulah yang sudah membuat hidupku kacau! Dan aku! Tidak akan membiarkan keturunan Alyssa hidup!” Ify mengambil sebilah pisau di meja terdekatnya.
“Kau lihat! aku akan membunuh anakmu!” Ify mengarahkan pisau tersebut tepat didepan dada kiri. “Sama seperti kau membunuhku di meja itu!!” Jari telunjuk Ify mengarah pada meja yang pernah membuat jiwa Ify terguncang.

Bayangan putih itu mendekat kearah Ify. “Aku mohon jangan!” cegahnya. Ify hampir menghunus pisau itu ke jantungnya kalau saja nenek Ify tidak datang mencegahnya.
“Zahra! Cukup!” seru nenek Ify dari pintu kantin. Ify berbalik. “Dendammu telah selesai. Jatuhkan pisau itu!” Ify menatap pisau ditangannya ragu.
“Tidak!” serunya. “Aku akan membunuhnya!!”
“Zahra, cukup. Dendammu telah selesai, kembalilah keasalmu.” Sergah nenek Ify. Nenek Ify menoleh kearah pak Karjo dibelakangnya. “Cepat bakar meja itu!” perintahnya. Pak Karjo mengangguk lalu berlari kearah meja itu, menyiramnya dengan minyak tanah.
“Jangan!” cegah Ify sebelum benar-benar pak Karjo membakar meja tersebut. “Jangan bakar mej…”
“Cepat!” teriak nenek Ify. Pak Karjo langsung membakar meja tersebut. Dengan cepat api melalap meja Itu. Sedang Ify mengerang kesakitan. Bayangan putih itu perlahan menghilang dengan sendirinya.
“Nenek cukup! Padamkan api itu! Panas!” erang Ify kesakitan, ia terjatuh ke lantai. Sampai akhirnya ia tak sadarkan diri.
***

Ify duduk di atas kursi roda, matanya tak jelas tertuju kearah mana, kepalanya ia miringkan. Jiwanya saat ini benar-benar terguncang. Rio duduk disisi kiri Ify.
“Fy, semua udah berakhir….” Lirihnya. “Kembalilah seperti dulu, Ify yang periang.” Ify hanya diam tak menanggapinya. Rio menatap Ify miris, ia melangkahkan kakinya untuk pergi dari sisi Ify.
“Udah berakhir…” gumam Ify. Langkah Rio terhenti, ia berbalik meloncat dan langsung memeluk Ify. “Udah berakhir.” Gumamnya lagi.

Mungkin bagi kau dan itu sudah berakhir. Tapi, bagiku permainan ini belum berakhir. Permainan kita akan terus berlanjut Ify Alyssa. Akan terus berlanjut, dendamku tak akan pernah akan hilang. Dendam itu akan selalu ku ingat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar