Senin, 14 Mei 2012

Cerpen Pendidikan - Surat yang Membuatku Jatuh Cinta

SURAT YANG MEMBUATKU JATUH CINTA
Cerpen Panca Zumbon

Malam selalu menyisakan embun di pagi hari. Sedang embun, senantiasa menyediakan seteguk kesegaran yang hanya bisa dinikmati setiap manusia yang telah menjejakkan kakinya di pagi buta. Ya, hanya manusia-manusia rajinlah yang mampu merengkuh kesegaran embun, sungguh ini merupakan anugerah dari Sang Kuasa yang diberikan pada setiap hamba-Nya yang setia pada pagi-Nya.

Ketika bedug dibunyikan, lirih suara adzan pun membahana diantara kekosongan aktivitas manusia, suaranya terputus, kemudian tersambung kembali, seolah kerongkongan usang lagi kusut itu tak ikhlash mengeluarkan suara. Jikapun kelak kerongkongan itu ditanya tentang keikhlasannya, mungkin ia akan menjawab, andai saja ada kerongkongan yang lebih muda dariku, mungkin itu lebih baik bagi kalian wahai manusia, namun ternyata tidak, maka hanya inilah yang dapat kupersembahkan bagi kalian, alam dan Dia.

Di saat seperti inilah ia terbiasa mandi, bukan karena baru bangun, justru karena telah lelah beraktivitas di dapur, memaksa beberapa bulir keringat untuk menemaninya menyalakan api. Memasak. Rutinitas itu telah ia jalani sejak kelas 3 SD, membantu ibunya sejak pukul 03.00 dini hari adalah aktivitas yang sangat dirindukannya, karena hanya di waktu itulah ia bisa bercengkerama mesra dengan ibunya. Wanita perkasa yang telah mendidik dan membesarkannya.

Kreekk…. Blaag….
“Icha…. Bandel ya… berapakali ibu bilang, kalo nutup pintu hati-hati!”
“Iya buu… maaf, Icha takut terlambat, hari ini ada apel pagi bu…”
“Icha berangkat dulu, Icha sayang Ibu…. Assalamu’alaikummmm…..”
“Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wabarakatuh….. Hati-hati sayang… jangan ngebut..”

Dengan sepeda warna ungu, dikayuhnya roda kehidupan ini. Sepeda itu adalah satu-satunya warisan Sang Ayah sebelum meninggal dunia. Ayahnya hanya seorang pengajar ngaji di masjid dekat rumahnya Hingga pada suatu hari, ketika menjadi imam shalat subuh, di rakaat kedua, di sujud terakhir, ayahnya tak kunjung bangun dari sujudnya. Jamaah pun resah karena mereka yang kebanyakan kaum laki-laki harus segera berbenah diri dan bergegas pergi kesawah masing-masing. 2 menit, 3 menit, hingga 5 menit telah berlalu, Sang imam pun tak kunjung bangun dari sujudnya. Ia, ayah Aisyah, telah menghembuskan nafas terakhirnya di sujud terakhir shalat subuh. Saat yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang rajin menjejakkan kaki di pagi buta. Saat yang indah untuk berpulang kehadirat-Nya.

Wuusshh…
Aisyah memacu sepedanya dengan kencang. Sambil menikmati sejuknya terpaan angin pagi, ia bergumam. “Terimakasih ya Allah, selama ini Engkau telah memudahkan jalan bagi Icha, dan semoga rahmat dan keberkahanMu menyelimuti pagiku ini ya Rabb”. Ini adalah hari yang menegangkan sekaligus hari yang paling ditunggu oleh Aisyah dan teman-temannya di sekolah. Ini adalah hari pengumuman kelulusan di SMP tempat Aisyah mengais ilmu.
“Aku selalu suka pagi hari. Dengan udara sejuknya, embun, canda kawanan jangkrik, dan tentu saja kebun teh yang setaip hari kulewati. Mereka selalu saja mampu menentramkan tiap gejolak hati ini” Ia membatin
***

Kring…kring….kring…
“Pak Satpam….. pintunya jangan ditutup dulu…!!” teriak Aisyah dari kejauhan,
“Ayo cepet neng, bentar lagi apel pagi…. Siswa yang lain udah pada nunggu di lapangan, nanti neng Aisyah dimarahi Pak Bambang” balas satpam dengan teriakan yang juga kencang
“Iya pak, tunggu…..!!” Aisyah kembali berteriak,
“Terimakasih pak satpam…..” ucap Aisyah sambil melaju melewati satpam sekolah yang baik padanya itu.
***

“Siaaaap. Graak!!” teriak Ehsan selaku pemimpin apel pagi,
“pengumuman… pengumuman”

Wwuuuu………. Teriak peserta apel pagi. Seperti kebanyakan siswa di Indonesia, tak suka mendengarkan sebuah pengumuman, padahal, seperti apapun pengumuman itu, ia tetaplah informasi yang bisa jadi penting untuk didengarkan dan mungkin akan bermanfaat kelak.
“Hari ini, Bapak selaku kepala sekolah, mengucapkan SELAMAT atas kelulusan kalian, karena siswa di sekolah kita lulus semua. Mungkin dibanyak sekolah, kelulusan itu biasa, karena mereka memiliki budaya nyontek. Tetapi Alhamdulillah di sekolah kita budaya buruk tersebut tidak ada, sehingga dapat dipastikan bahwa setiap siswa yang lulus berarti ia memang pantas lulus, tanpa ada bantuan sedikitpun dari kami para guru atau yang lainya. Dan Bapak berharap, dari sekolah inilah kelak akan lahir generasi-generasi baru yang cerdas, berbudi, dan mampu mengoptimalkan kapasitas dirinya untuk mengabdi pada Agama dan Negara tercinta.”
“Aaamiiiiiinn” sorai seluruh siswa
***

Mendengar ceramah kepala sekolah tadi, tiba-tiba pikiran Aisyah langsung melayang menjelajah waktu, mengingat saat ia masih dibangku kelas VII-F, saat menjelang liburan semester 1, beberapa saat setelah ia menerima buku rapot dari walikelasnya, Pak Bambang. Diantara goresan tinta biru yang tercetak di rapotnya, ia menemukan sepucuk surat yang disampulnya tertulis, dibaca dirumah ya, setelah shalat subuh ^_^.***Esok hari setelah shalat subuh, Aisyah membaca surat…..

Nak, menjadi guru itu indah dan mulia. Kecemasan yang kurasakan saat pertama berjumpa denganmu di kelas masih belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta dan harapan. Harapan akan cerahnya masa depanmu kelak. Ya, dengan cinta dan harapan itulah aku mendidikmu, karena jika bukan karena harapan tak seorang ibu mau menyusui anaknya, jika bukan karena harapan tak seorang petani mau menanam padi. Meskipun demikian, ketahuilah, menjadi guru itu berat dan sulit. Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku, aku seperti menemui makna keberadaanku dan tugas kemanusiaanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun. Bahkan dihadapan Allah, ketika aku duduk berduaan berhadapan dengan-Nya, dalam setiap malamku, kupanjatkan doa pada Allah agar Ia sudi memberikan kemudahan untukmu memahami pelajaran dan agar Ia memberikan keberkahan ilmu kepadamu.

Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata ‘Tidak!’, ketika engkau sudah mulai tergoda untuk menyontek, timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya, Engkau bukan milikku. Engkau adalah milik Allah. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Allah SWT.

Sejak saat itu, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai Allah. Inilah usaha terberatku, karena artinya aku harus bertentangan dengan keinginanmu, aku tahu engkau sangat suka menyontek, tetapi ketahuilah bahwa menyontek itu tidak akan mendatangkan keberkahan.

Kemudian, pelajaran kitapun mulai berjalan kembali, tak perlu engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku Cuma menatapmu tenang dan merapatkan jiwa kita satu sama lain dengan nasihat dan lantunan doa. Agar dapat kau rasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya. Saat engkau mengeluh susahnya memahami pelajaran, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh menyerah. Menyerah berarti kalah. Inilah kata-kataku tiap kali kau mengadu dan hampir putus asa.

Akhirnya Nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan dihadapan Allah, dan kudapati jarakku amat jauh dari-Nya, Aku akan iklash. Karena seperti itulah aku di dunia. Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Allah karena keberkahan ilmu yang kuajarkan padamu. Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa aku telah membantumu memahami satu hal, BAHWA HASIL DARI MENYONTEK ITU TIDAK PATUT UNTUK DIBANGGAKAN.
***

Mengingat sosok itu, mengingat nama itu, mengingat walikelas, Pak Bambang, mengingat isi surat yang ditulisnya untuk seluruh siswa kelasnya, membuat Aisyah jatuh cinta. Ya, jatuh cinta pada kemampuan dan karyanya sendiri.
“Terimakasih Guruku” ucapnya lirih sembari menahan panasnya kedua bola mata.

PROFIL PENULIS
Nama : Panca Zumbon
Tentang : mahasiswa sosiologi UNY.... yogyakarta memang istimewa

Baca juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar