Kamis, 17 Mei 2012

Cerpen Islam - Dua Alam

DUA ALAM 
Oleh Praditya Dian Tami Anggara

Dengan tergesa kupercepat langkah menuju tempat parkir depan fakultas. Setelah berpusing-pusing ria mengerjakan tugas dari dosen, kini aku harus rela berhangat-hangat keringat karena harus menjadi atlet jalan cepat dadakan di bawah terik matahari jam dua belasan yang sangat menyengat. Suara bayi tertawa terdengar dari HP-ku. Sms. Kurogoh tasku. Benar saja, dan tidak hanya satu, tapi 4 sms sekaligus di inbox-ku. Pasti dari mereka lagi, pikirku. Tepat perkiraanku, itu sms dari teman-temanku yang sedang menunggu kedatangan ‘Sang Model’ yang masih dalam perjalanan ini. Isi sms mereka sama. “WOI, CEPETAN!!”.

Kembali aku menghela napas, itu sms ke-11 yang kuterima sejak aku mengemas mukena di musholla, kurang dari 5 menit yang lalu. Heran deh, jadi orang kagak sabaran banget sih? Makanya jadi fans-ku jangan berat-berat, biar bisa jadi orang sabar dikit kalau nunggu. Kembali pikiranku yang bicara. Kal ini dibarengi bibirku yang maju beberapa mili, bukan senti. Kepanjangan. Aku bukan bebek. Setelah memasukkan HP, kembali kupercepat langkah menjadi 2 kali lipat. Alhasil, aku merasa keringat berselancar di segala penjuru kulitku. Apalagi dengan tutup baju panjang plus kerudung, membuat mereka semakin merdeka untuk beranak-pinak. Tak ada istilah “2 anak cukup” bagi mereka.


Akhirnya dalam sepuluh detik ke depan aku akan mencapai garis finish. Teman-temanku sudah melambai-lambaikan tangan mereka dengan kata lain, aku disuruh lebih bergegas lagi, namun dengan cara yang ‘lembut’. Setelah sampai, aku masih ngos-ngosan sambil mengibas-ngibaskan kerudungku, berharap supaya semilir angin alami turut membantu meredakan kegerahanku, tapi itu hanya harapan kosong.
“Lama banget sih, Non? Kita nunggu lama, lho…” ketua kelasku angkat bicara.
“Iya, nih. Kamu sholat apa tidur? Rian aja udah dari tadi.” kini giliran wakilnya yang ‘menyidangku’.

Baru ingin kubuka mulutku, sekretaris kelas sudah mengeluarkan isi benaknya lebih dulu.
“Sudah, deh. Nggak perlu dibahas. Nanti tambah lama. Ayo berangkat! Sebelum kita kehabisan tempat.” aku manyun. Aku merasa didiskriminasi, karena tidak diberikan hak untuk menyatakan pembelaan atas dakwaan yang ditujukan kepadaku. Sementara teman-temanku yang lain cengar-cengir melihat nasibku. Tanpa protes, kami semua bersiap berangkat ke bioskop. Kebetulan kami sudah menyelesaikan semua mata kuliah untuk hari ini. Tapi sesaat kemudian aku terdiam. Otomatis, tanpa dikomando, semua memandangku heran.
“Haduh, Nona kita yang satu ini… kenapa lagi sih?” Adi, ketua kelas, bertanya dengan kejengkelan yang mungkin sudah sangat menjadi. “Ayo, cepet! Naik!” perintahnya.
“Aku dibonceng siapa?” tanyaku. Aku melihat 2 teman cewekku yang membawa motor sudah berpenumpang. Cewek pula tentunya.
“Tuh, si Doni masih kosong.” aku melongo.
“Aku dibonceng Doni?” Adi menghela napas panjang. Banget.
“Perlu aku yang gendong kamu ke motor Doni?” aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal tentunya sambil nyengir. “Nunggu apa lagi? Cepeeet…. Keburu mulai nih….” Sekali lagi dia berkata padaku yang tidak segera beranjak ke motor Doni. Akhirnya kuturuti permintaannya. Huff, sebenarnya dalam hati aku tidak enak kalau dibonceng cowok. Tapi mau bagaimana lagi, Risa yang biasanya membawa mobil sebagai tumpangan ibu-ibu arisan, kali ini tidak membawa. Diservis, katanya barusan padaku. Alhasil, kini aku berada di jok motor Doni. Belum selesai hitungan KO wasit, kami semua telah melaju membelah jalanan kampus menuju bioskop ‘langganan’ kami.

%$%$%

“Hei, sekarang kita ke mana nih? Langsung pulang?” Anti, yang sangat antik dengan berbagai aksesoris yang menghias tubuhnya bertanya.
“Ke PH, yuk!” ajak Adi. Mayoritas wajah yang ada di situ sumringah, menandakan bahwa mereka tidak ingin menolak ajakan itu.
“Sekarang jam berapa, nih? Apa nggak pulang aja? Nanti kesorean.” kusampaikan usulku, karena aku termasuk golongan minoritas.
“Masih jam setengah 4 kok, Din. Belum juga adzan. Tenang, diantar sampai ke rumah deh nanti.” kata Ruli sang wakil tanpa beban.
“Belum adzan gundhulmu! Ashar sudah dari tadi.” sahutku.
“Maghrib maksudnya.” kali ini dia berkata sambil nyengir.
“Yah…masak sampai maghrib lagi, sih? Kemarin ‘kan kita sudah jalan sampai malam.” kali ini giliranku yang menunjukkan ekspresi kecewa. “Lagian aku belum sholat, nih.” lanjutku. “Emang di PH ada musholla?” belum putus rupanya omonganku.

Lagi-lagi golongan mayoritas yang berekspresi. Seolah dari panti asuhan mereka mengedikkan bahu bersama, padahal tak ada instruktur.
“I doubt ‘bout it.” si Cerewet, Tantri urun pendapat.
“Saya setuju dengan Saudari Tantri.” Adi menanggapi. “Yah, namanya juga PH, Pizza Hut gitu loh. Kalau di dalam ada mushola, apa nggak sekalian dijadiin masjid aja tuh PH.” lanjutnya agak sinis.

Astagfirullah. Hatiku mengelus dirinya sendiri.
“Di sekitar sana nggak ada sejenis mushola atau masjid?” Rian yang sedari tadi diam kini rupanya tak tahan untuk bergabung dalam ‘diskusi’ kami.
“Ehm, rasanya sih ada.” suara Risa kali ini menyembul. “Aku ‘kan biasanya jalan sama cowokku, kadang-kadang sama kakakku. Waktu lewat situ, rasanya aku pernah lihat ada masjid deh, di pinggir jalan.” katanya sambil mengingat-ingat ‘perjalanan manis’nya.
“Pernah lihat doang?” tanyaku. Dia meringis.
“’Kan aku jalan-jalan. Sholat biasanya di rumah.”
“Kalau ternyata nggak ada?” belum puas aku bertanya sebelum mendapatkan jawaban yang meyakinkan. Tak ada jawaban dari Risa, dia hanya menggaruk-garuk kepalanya.
“Gini aja, deh. Nanti dilihat dulu, ada apa nggak, kalau ternyata memang nggak ada, yang sholat cari mushola lain, nanti aku tunggu di PH, aku pesenin dulu. Gimana?” tak ada jawaban via suara, hanya gerakan kepala atas-bawah yang ada.
“Terus kamu nggak ikut sholat?” tak bosan-bosannya aku bertanya. Tidak di dalam kelas saja, tapi juga di luar.
“Nanti aja. Nyusul. Nitip kalau bisa.” katanya tanpa dosa. “Udah, ayo berangkat sekarang daripada nanti pulang kemalaman.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil membatin. Kalau sudah tahu nanti bisa kemalaman kenapa pakai ngajak ke PH? Duh, aku sendiri serba salah. Aku ingin pulang sebenarnya, tapi jika aku pulang sekarang, mereka biasanya cemberut dan menyuruh aku pulang sendiri tanpa jasa antar, seperti yang hampir mereka lakukan beberapa waktu yang lalu. Namun akhirnya aku juga yang mengalah untuk ikut dengan mereka, yang paling penting kewajibanku tidak sampai terlalaikan. Apalagi kali ini banyak yang menyetujui usulan Adi tadi.

Kalau saja dua pertiga anggota yang hadir memberikan suara tidak, maka aku yakin bisa memenangkan debat. Kalau saja ayahku tidak sedang lembur, mungkin aku bisa meminta untuk dijemput, tapi aku sudah tahu bahwa itu tidak mungkin kali ini. Apalagi tetanggaku yang juga ikut acara kali ini jelas-jelas menyatakan kesetujuannya untuk meneruskan perjalanan kami, aku jadi tidak punya teman untuk naik angkot seperti yang sudah kami lakukan sejak SMP. Kalau saja…. Ah! Sedari tadi aku selalu saja menggunakan ‘kalau’ dan ‘apalagi’. Mengapa harus banyak alasan untuk mematahkan keinginanku, dan mengapa pula banyak pengandaian. Sudahlah, yang penting aku bisa menjaga diri.

Akhirnya tujuh orang yang sudah berembuk dan 3 orang yang cenderung pasif, bahkan ada yang tidak bicara sama sekali alias terima jadi, Doni, Rara serta Bimo memutuskan bahwa perjalanan berlanjut ke PH. Tanpa banyak cingcong lagi, bioskop sudah tertinggal di belakang kami, sekarang.

%$%$%

“Nah, Antum sekarang sudah mengerti ‘kan, kalau wanita itu lemah terhadap sentuhan, baik itu sentuhan fisik ataupun sentuhan non-fisik seperti pujian, rayuan dan lain-lain, karena itu kita sebagai wanita harus ekstra hati-hati dan waspada. Kita tahu sendiri bahwa banyak hal yang tidak diinginkan pada kaum hawa karena berawal dari hal remeh seperti ini. Sementara, laki-laki lemah dalam pandangannya, maka dari itu mereka diminta untuk ghadul bashar alias menundukkan pandangan. Sebenarnya bukan hanya mereka yang harus ghadul bashar, tapi sebaiknya kita juga, karena pengaruh syetan itu dari mana-mana, termasuk dari pandangan. Akan sangat berbahaya jika pengaruh itu dari mata dan turun ke hati. Mari kita jaga hati kita, seperti yang sering diucapkan oleh Aa’ Gym, dari segala noda dan dosa, semoga kita diberi kekuatan untuk melakukannya. Amin. Cukup sekian pertemuan kita kali ini, semoga Allah kembali mempertemukan ana dan Antum, mempererat persaudaraan kita, ukhuwah islamyiah kita di majelis yang insya Allah penuh dengan barokah ini. Terakhir kalinya, marilah kita tutup pertemuan ini dengan do’a penutup majelis.”

Setelah membaca do’a penutup majelis dan ucapan salam dari pemateri kali ini, Ukhti Nindi, maka berakhirlah acaraku bersama rohis untuk hari ini. Sebelum berpisah, kami semua berpelukan dan ber-cipika cipiki. Suasana yang sangat berbeda kurasakan saat ini, sejuk namun mampu menghangatkan jiwa, dengan siraman ruhani dari Ukhti Nindi yang lembut namun sangat mantap. Sekali seminggu kami berkumpul seperti ini di musholla fakultas, tidak banyak memang hanya sekitar 8-9 orang saja. Namun di sini, kami bisa mendapatkan materi untuk memperdalam agama, berdiskusi, bahkan kadang malah kami melakukan bedah buku. Dan masih banyak hal lain yang menarik, berbeda, namun dalam arti yang positif, yang bisa kami ambil manfaatnya dalam kehidupan.

%$%$%

Mega merah senja tampak indah di jarak pandang mataku. Matahari yang perlahan menuruni kaki langit kini sudah hampir tidak tampak lagi. Tinggal jejak cahayanya yang menjelma begitu indah, terlukis di langit yang ditaburi gumpalan awan tipis putih abu-abu. Aku termenung sendirian di bangku putih kecil samping gazebo fakultasku. Sesekali hembusan sepoi angin menggoda helaian kerudung dan pakaian panjangku untuk terbang bersamanya.

Angin. Berkali-kali aku bergumam dan mengutarakan maksud untuk terbang mengikuti ke manapun arah dia berhembus. Menurutku, angin itu bebas. Dia bisa pergi ke manapun dia mau. Mengembara, berkelana, menjelajah segala tempat yang tak terjangkau mata. Dia juga baik. Selama dia ramah dan tidak ada hal yang membuatnya harus meluapkan amarah, dia pun pasti berbaik hati untuk sekedar mengelus lembut kulit kita maupun menawarkan sedikit kesegaran untuk mengusir kegerahan akibat udara kota yang semakin lama semakin tinggi ukuran air raksanya di termometer.

Kupikir angin itu kontradiksiku. Aku merasa tidak benar-benar bebas. Aku pun merasa bahwa aku belum benar-benar mengenal diriku. Aku merasa hidup di dua alam berbeda. Tidak seperti angin yang sudah mengenal dirinya tanpa harus merasakan kebimbangan di hatinya. Sementara aku merasa aku termasuk amphibi, seperti si Keropi. Aku tidak bisa hanya hidup di satu alam. Setidaknya saat ini. Mereka semua temanku. Sahabatku. Tapi aku merasakan dua kehidupan yang berbeda di antara mereka. Sangat jelas. Sejelas warna langit biru tanpa awan di siang hari yang sangat cerah. Sejelas operasi penjumlahan dan pengurangan anak SD bagi profesor matematika tingkat dunia.

Masih termangu aku di bangku kecil itu. Banyak mahasiswa yang berlalu di depanku, namun semua itu tak membuatku berhenti memikirkan hal yang sangat mengganggu pikiranku. Helaan berat napasku tak juga meringankan beban. Masih ada kekosongan yang ingin kucari apa yang bisa dijadikan isian. Aku hanya butuh kunci untuk membuka dan mengerti apa yang sebenarnya harus kulakukan. Sayang, sampai sekarang dia masih berhalangan untuk melintas di pikiran. Sekali lagi hanya helaan napasku sendiri yang terdengar menggema tanpa irama. Bersamaan, kudengar suara adzan. Waktunya maghriban kata orang jawa. Akhirnya aku beranjak dari bangku itu dan aku mengajak kakiku untuk melangkah ke basecamp sahabat alam keduaku. Musholla fakultas dengan fasilitas terbatas.

%$%$%

“Kamu kenapa to, Nduk? Makanane kok cuman dicek-cek dari tadi? Makanannya ndak enak tah? Atau... kamu lagi ndak enak badan?” suara medhok jawa khas ibuku membuatku menghentikan aktivitasku yang biasanya hanya dilakukan oleh anak kecil yang tidak berminat menyantap makanan yang ada di depannya.

Aku hanya tersenyum sambil meletakkan sendokku di samping piring berisi nasi sayur bayam dan tempe tipis goreng tepung kesukaanku yang kesemuanya masih tersisa lebih dari separuh.
“Ndak kok, Bu. Makanannya enak...”
“Tapi...?” seakan menyadari kalimatku yang masih menggantung, ibu langsung melontarkan pertanyaan kepadaku. Lebih tepatnya menyuruhku untuk menjelaskan alasan mengapa aku tidak memakan makananku selahap biasanya. Menurutku wajar jika ibu langsung menyadari. Bagaimana tidak, lha wong biasanya makanan buatan ibu favoritku ini bisa kulahap hanya dalam kisaran 5-10 menit meskipun porsi jumbo, namun kini dengan porsi standar aku membutuhkan waktu lebih dari setengah jam untuk menghabiskan kurang dari separuh bagiannya.
“Nduk?” rupanya ibuku sudah tidak sabar untuk menunggu responku. Beliau langsung mengambil posisi menjadi pendengar setia begitu aku mulai sedikit berdehem, bingung harus memulai dari mana aku bercerita. Akhirnya setelah menghela napas, aku memberanikan diri untuk menceritakan masalah yang sedang kuhadapi saat ini.
“Begini, Bu...”
“Ya...?” masih dengan sabar ibuku menanti kata-kata yang akan terlontar dari mulutku yang manis, menurutku.
“Bu, aku kok merasa hidup di dua alam ya?”
“Memangnya kamu kodhok?” masih dengan aksen jawa yang kental ibuku menimpali pertanyaan yang sebenarnya lebih kutujukan kepada diriku sendiri.
“Ibu... aaahhh... “ aku mulai merajuk sambil mulai mengerucutkan bibir. Kutegaskan sekali lagi, hanya beberapa mili, bukan senti. Namun ibuku hanya tersenyum, kemudian mengelus lembut kepalaku.
“Ya sudhah... lanjutkan...”
“Begini, Bu... sebenarnya...” perlahan namun pasti, seperti jargon favorit orang jawa, alon-alon sukur kelakon, aku menjelaskan permasalahanku dengan panjang lebar tanpa diklalikan tinggi kepada ibu. Kuusahakan menceritakan segalanya sedetil mungkin supaya ibu bisa turut mengerti apa yang kurasa. Setidaknya aku ingin berbagi. Bukan bermaksud berbagi masalah, namun aku mengharapkan sesuatu yang bisa kuambil dari wanita yang akan berumur setengah abad tiga tahun mendatang yang telah membesarkanku dan kedua adikku ini. Setidaknya walaupun tidak selalu berbentuk solusi, namun bisa mendengarkan kata-kata sederhananya yang biasa menyemangatiku ketika dirundung kegalauan ‘tingkat dewa’ -kata anak jaman sekarang-, adalah sesuatu hal yang bisa membuatku mendapatkan semangat dan senyumku kembali.

Setelah hampir seperempat jam aku berpidato one on one....
“Owalah... gitu aja kok repot...” sudah kuduga, kata-kata wasiat ibuku warisan Almarhum Gus Dur pasti langsung dirilis begitu aku selesai bercerita.
“Lha gimana ndak repot to, Bu...?” logat jawaku turunan dari ibuku yang jarang ku-ekspose ketika bersama teman-temanku, kini mengalir begitu lancar ketika aku berhadapan dengan wanita kebanggaanku ini.
“Kamu itu lho, kok sukanya membesarkan masalah. Sama kayak bapakmu. Dipikir yang sederhana saja masalah seperti itu...” ibuku menyahut dengan enteng.
“Dipikir sederhana?”
“Iya.” Aku masih terdiam. Tidak mengerti maksud ibuku. Karena signal roaming itu sampai ke ibu, beliau hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gini lho, Nduk.” Kami berdua sama-sama membenahi posisi duduk kami. Bersamaan. Maklum ibu-anak. Kelakuan tidak jauh beda.
“Kalau menurut ibu, sikap kamu tadi sudah betul. Yang penting kamu bisa jaga diri. Jadi tidak terlalu masalah kalau teman-teman sekelasmu memang agak jauh dari lingkungan yang agamis. Kamu hanya perlu mempertahankan apa yang sudah kamu bawa, apa yang sudah kamu punya, yang selama ini sudah ibu sama bapak coba berikan semaksimal mungkin. Kamu juga hanya perlu mengajak mereka. Sebisanya. Cukup. Ndak usah terlalu memaksa supaya kamu tidak lagi merasa hidup di dua alam. Lagian kalau dipaksa malah jadinya ndak baik, to? Ya sudhah. Sebisa kamu, semaksimal kamu saja. Lewat kata-kata, yang penting contoh dari kamunya sendiri itu yang paling penting. Kalau mereka ndak mau, yowes. Itu urusan mereka. ‘Kewajiban’ kamu sudah gugur. Jadi ndak masalah kalau menurut ibu kamu tetap bergaul sama teman sekelasmu di samping juga temanmu... opo iku maeng jenenge? Rohim?”
“Rohis, Bu.”
“Nah, itu maksud Ibu. Rohis. Ndak masalah Nduk. Ya asal itu tadi, kamu tetep bisa jaga diri. Ndak katutan sama teman-teman kamu kalau kelakuannya kurang nggenah. Tetep jadi diri kamu sendiri apa adanya. Toh, kalau mereka kelewatan sampai berani macem-macem, kamu bisa bela diri, to?”
“Ha? Bela diri? Mulai kapan aku belajar bela diri, Bu?” tanyaku heran.
“Lho? Lha yang pas SMA belajar bela diri itu sopo? Bukannya kamu? Eh? Bukan, yo? Oh, adhekmu seh... lali aku... maklum, Nduk... Ibu wes ndak muda lagi, jadi kadang agak lupa.” Aku hanya tersenyum simpul melihat ibuku yang bingung sendiri seperti itu.
“Ya pokoke gitu lah, Nduk. Kamu pasti ngerti apa maksud ibu. Yang terpenting itu bukan pandangan atau komentar orang buat kita ataupun perasaan bimbang pribadi yang membuat kita mikir sana-sini. Boleh-boleh saja untuk introspeksi kalau perlu, tapi yang terpenting itu ‘kan manfaat yang bisa kamu kasih ke orang lain di mana saja kamu berada. Ndak peduli entah itu di musholla atau di kelas atau di lapangan atau dimana-mana. Yang terpenting ‘kan tetep, kamu bisa bermanfaat dengan apa yang kamu bisa dan punya buat sekitar dimanapun berada. Ya, to?”

Agak terdiam aku mendengar perkataan ibu.
“Kalau kamu masih bingung, kamu pikir, kamu renungkan lagi kata-kata ibu tadi. Yawes, tak tinggal ke tempat budhemu dulu, mau buwuh bareng ke tempat Cak Noto. Itu makanannya kamu habiskan kalau masih mau. Kalau ndak, ya kamu kasihkan ke ayam di belakang sana saja. Yawes, assalamu’alaikum.” sambil berlalu ibu mengucap salam setelah sebelumnya beliau mengelus kepalaku dengan lembut dan mencium keningku.
“Wa’alaikumsalam.” Jawabku singkat. Namun di pikiranku tidak sesingkat itu. Semakin padat kurasa, seolah muncul sebersit cahaya yang muncul setelah perbincangan singkat dengan ibu. Anehnya, meskipun padat tapi aku tak merasa berat. Semua luruh begitu mudah ketika dimantrai kata-kata sederhana ibu tercinta. Kabut yang tadi masih bergelayut kini hanyut dibawa cahaya menembus dasar laut. Senyum manisku yang tadi masih terbelenggu kini tersungging kembali. Bahkan aku yakin makin cerah merekah. Semua berkat ibu. Aku sangat bangga dan bersyukur memiliki madrasah pertama yang sangat bijak -meski tanpa gelar Diamond Ways- sepertimu, Bu....

PROFIL PENULIS
Nama : Praditya Dian Tami Anggara
Tentang : Masih seorang mahasiswa yang suka membaca dan menulis kalau lagi semangat
Bermimpi bisa menguasai banyak bahasa dan mengunjungi negara-negara favorit baik di asia, eropa etc.
Add fb: Tamye Kun ( radith_kheidz@yahoo.co.id )

Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar