Senin, 21 Mei 2012

Cerpen Remaja - Partner

PARTNER
Oleh Putri Permatasari

Meila berusaha menahan amarahnya. Tapi sepertinya darahnya sudah sampai ke ubun-ubun. Meila membentak Kindy, cowok teman sekelas yang selalu terlambat sekolah sejak kelas satu catur wulan satu sampai sekarang sudah masuk 2 bulan. “Kau ini kenapa selalu terlambat, sih? Gara-gara kau, aku selalu saja harus absen 2 kali dalam sehari! Bisa tidak, sih, kau datang lebih awal?” Meila membelalak bengis pada Kindy.

Sebenarnya Meila tidak mau marah-marah pada Kindy. Tapi Kindy sudah keterlaluan karena setiap hari ia selalu datang terlambat ke sekolah. Hal itu menyebabkan Meila harus absen 2 kali, bolak-balik ke piket. Untungnya guru yang seharusnya mengajar tidak masuk karena ada rapat di sekolah lain, dan baru akan masuk di jam ke-2.
“Setiap hari kau selalu telat! Senin sampai Sabtu!” Meila benar-benar marah.

Kindy hanya tersenyum. Ia meletakkan tas cokelat tuanya di bangku paling belakang. Meila yang bangkunya di depan mengikuti Kindy yang kini tengah mengeluarkan buku Fisika dari tasnya.
“Kau tidak menghargaiku sebagai KM, ya?” Meila kembali membentak Kindy. Meila menggebrak meja Kindy. Meila tahu, teman-teman sekelasnya pada berbisik. Ada juga yang menertawakan.
Kindy menghela napas. “Maaf, Meila. Bukannya aku tidak menghargaimu, tapi sepagi-paginya aku bangun, aku selalu telat. Aku ingin kau memaklumi.” Hanya itu yang Kindy katakan. Setelah itu Kindy membuka buku Fisikanya dan mulai membacanya.

Meila merah padam. Ia berbalik dan segera pergi ke tempat guru piket untuk meralat absen. Teman-temannya tertawa di belakangnya. Pulang sekolah, karena penasaran, Meila membuntuti Kindy. Saat Kindy naik bus lewat pintu depan, Meila naik dari pintu belakang. Tatapan Meila tidak lepas dari punggung Kindy. Kindy menyisir poninya yang dipangkas ala Tin-tin sedangkan tangan yang lain memegang palang di atasnya, agar ia tidak terjatuh.
“Meila.” Tiba-tiba seseorang menegurnya.
“Eh, Anton, hai….” Meila salah tingkah.
“Kok naik bus ini? Bukankah jurusannya berlawanan arah dengan rumahmu? Mau ke mana?”
“Eh, aku ada urusan.” dalih Meila. Dan ketika dilihatnya Kindy turun, Meila pamit pada Anton dan bergegas turun. Meila terus membuntuti Kindy dari belakang. Lama-lama tikungan yang dilewati semakin banyak, dan itu membuat Meila bingung. Tapi khirnya tiba juga di sebuah gang yang paling ujung. Jalan buntu. Dan di ujung gang inilah Kindy tinggal. Meila mengendap-endap ke halaman rumah Kindy.

Rumah Kindy tidak besar namun terawat dan bersih. Rerumputannya dipangkas rapi. Di halaman depan ditanami pohon mangga yang mangganya tampak sudah masak dan lebat pula. Meila ingin sekali menikmatinya. Wajahnya merah padam. Apa-apaan, sih? Aku ‘kan ke sini bukan untuk mangga! Meila mengintip dari jendela samping rumah Kindy.
“Aduh, Addy, Randy!” Kindy menggendong kedua adiknya yang tadi bermain di lantai. “Lihat baju kalian, kotor sekali! Lady, kenapa kau tidak menjaga adik-adikmu?”
Meila berjinjit. Ia melihat seorang gadis, kira-kira kelas 2 SMP, muncul ke ruang tamu. “Maaf, Kak Kindy. Lady juga baru pulang. Tapi tadi waktu Lady baru pulang, si kembar masih anteng, kok.”
Kindy memberikan adik kembarnya pada Lady. “Tolong ganti bajunya.” Kemudian ia sendiri membawa jambangan bunga yang masih berisi air. “Untung ini jambangan plastik.”
Wah, gawat, Kindy menuju ke arahku! Meila buru-buru berjongkok. Sayangnya, Kindy membuang air jambangan tepat di atas Meila. Meila menjerit kaget, membuat Kindy terlonjak. “Wah, Meila, maaf!” Tiba-tiba Kindy melongo. “Meila, kenapa ada di sini?”
Meila nyengir. Ia tersipu. Dilambaikannya tangannya. “Hai, Kindy….”
***

Meila menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia menelentangkan tubuhnya. Ditatapnya langit-langit kamarnya yang putih bersih. Meila menghela napas. Aku sungguh bodoh! Kenapa aku langsung menyalahkan Kindy sering terlambat…padahal aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Meila menutup mata dengan kedua tangannya. Kindy tidak marah akan perbuatan Meila. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Kau mau tahu kenapa aku selalu telat, ya?”
Saat itu Meila hanya tertunduk. Kindy tersenyum dan mengajaknya masuk. Kindy membawakan handuk dan menawarkan baju ganti. Meila menatap kaos putih bergambar Felix yang kini digantungnya di kursi di kamarnya. Lalu ia kembali mengingat kejadian di rumah Kindy. Meila melihat Kindy mengepel lantai, lalu menyeduh teh untuknya. Teh itu wan gi dan nikmat.
Kindy duduk di sofa lain. Ia memangku adik kembarnya yang telah berganti baju. “Addy, Randy, kakak itu namanya Meila. Ia adalah KM yang tegas, bertanggung jawab, dan rajin.” Kindy tersenyum. Adik kembarnya berusia kurang lebih satu tahun. Mereka tertawa dan berusaha menggapai Meila. Meila mendekat dan mencium si kembar. “Hati-hati, mereka bandel.”
Benar saja, kini rambut Meila sudah dijambak oleh Randy, yang mempunyai tahi lalat di dekat alisnya yang tebal. Kindy membantu melepaskan jambakan Randy lalu membawa kedua adiknya ke belakang. Adiknya menjerit dan menangis. Kindy kembali duduk di sofa, ia meminta maaf soal adiknya. Meila hanya tersenyum mengerti. Kindy menghela napas sambil menyandar di bahu sofa. “Sebenarnya aku tidak punya banyak waktu untukmu….”

Tiba-tiba Ibu Kindy memanggil dari dalam rumah. Meila tadi sudah berkenalan sekilas dengan Ibu Kindy. Ibunya ramah, agak gemuk, dan cantik. Rambutnya digelung dan tanpa make-up.
“Maaf, Mei, aku masih banyak kerjaan. Sebentar, ya, aku ke belakang dulu.” Beberapa saat kemudian Kindy kembali lagi. “Ibu mengizinkan aku mengantarmu sampai jalan raya.”
Meila pamitan pada Ibu Kindy. “Ya, Nona, lain kali mampir lagi, ya.” Ibu Kindy menjabat tangannya, lalu Meila mencium punggung tangan Ibu Kindy.
Saat berjalan kaki ke jalan raya, entah kenapa Kindy tampak keren dan menarik di mata Meila. Atas permintaan Meila, Kindy menceritakan alasan kenapa ia setiap hari terlambat ke sekolah. Alasannya adalah karena ia setiap pagi harus menyapu, mengepel, memandikan kedua adiknya, memasak air, mencuci piring, mencuci baju dan menjemurnya. Lady, adiknya yang nomor dua hanya bertugas untuk menyetrika baju. Ibu dan Ayahnya harus berangkat dini hari untuk bekerja. Ayahnya mengumpulkan kayu untuk dijual, sedangkan Ibunya menjual sayur-mayur di pasar.

Kindy juga harus memasak makanan untuk adik-adiknya. Selama Kindy dan Lady sekolah, kedua adik kembarnya dititipkan di tetangga sebelah. Dan siangnya, Kindy atau Lady harus menjemput mereka. Tapi tadi kebetulan tetangga itu menjaga Addy dan Randy di rumah Kindy. Ibu Kindy tadi pulang sekitar pukul setengah empat. Dan kini sudah pukul empat lebih.
“Ditambah… perjalanan dari rumah ke jalan raya memakan waktu yang lama. Jadi kumohon kau maklum.” Ujar Kindy dengan senyum ragu. “Orang tuaku sudah dipanggil 3 kali dalam sebulan ini. Dan akhirnya para guru maklum.”
Hari ini Kindy memang terlihat keren. Meila merasa bodoh karena ia terlalu menyalahkan Kindy. Padahal Meila di rumah tidak pernah mengerjakan apa-apa karena ada Mbok Nah, Bi Ani, dan Mang Ujo.
Lama-lama Meila mengantuk dan akhirnya terlelap hingga Shubuh. Meila mandi dan sholat, lalu belajar selama 20 menit. Meila membuka jendela, ia dapat melihat matahari yang baru terbit dengan sinarnya yang kemerahan.
Setelah rapi, Meila turun ke bawah. Ia memperhatikan Mbok Nah yang sedang memasak dengan Ibunya, dan Bi Ani yang sedang mencuci baju dengan menggunakan mesin cuci. Meila bertanya-tanya dalam hati apakah di rumah Kindy ada mesin cuci.

Ternyata di rumah Kindy tidak ada mesin cuci. Meila menanyakannya pada Kindy saat istirahat.
“Kenapa bertanya begitu?” Kindy tersenyum.

Meila malu akan kelakuan bodohnya. Ia nyengir malu. “Aku hanya penasaran saja. Eh, ayo kita makan di kantin.”
“Aku bawa bekal, kau mau?”
“Boleh?” Meila duduk di sebelah Kindy. “Kau hebat sekali, Kindy! Masih sempat membuat bekal sendiri, aku sih….” Wajah Kindy tersipu, membuat Meila ingin menggodanya lagi. “Kindy, aku ingin menjadi temanmu.”

Kindy memberikan sebagian bekalnya pada Meila. “Kita ‘kan sudah berteman.”
“Iya, ya.”
Saat kelas 2 SMA, Meila sekelas lagi dengan Kindy. Dan mereka semakin akrab. Pada pertengahan catur wulan 2, Kindy tidak pernah terlambat lagi karena ia memiliki sepeda motor yang dibeli dari sisa uang jajannya dan uang hasil kerja sampingan.

Meila sangat kagum pada Kindy. Kindy sangat pintar mengaji, rajin sholat, dan aktif di ekskul Pramuka. Ia sangat rajin mengerjakan tugas-tugas di rumah. Di sekolah pun ia selalu masuk 3 besar.
“Ah, seandainya aku bisa mendampinginya….” Wajah Meila memerah. “Ah, tapi itu terlalu dini. Lagipula mana mau Kindy sama aku….”
“Aku, sih, kalau Meila, mau saja….”
“Kindy?” Meila tersipu. Ia salah tingkah, sehingga selang air yang sedang dipegangnya menyiram Kindy. “Wah, maaf!”
Kindy tersenyum. “Tidak apa-apa, lagipula salahku mengejutkanmu. Aku ingin memberikan ini.” Kindy menyerahkan plastik hitam besar padanya. “Hasil dari kebun.”

Meila membuka plastik dan melihat banyak mangga matang dan harum. “Wah, terima kasih, ya, Kindy! Aku senang sekali! Masuk dulu, yuk!”
“Tidak usah, aku ada kerja part-time. Meila, aku ingin mengatakan…kalau aku suka padamu.” Kindy tersipu. “Yuk, aku pergi dulu. Sampai nanti!” Kindy menaiki motornya. Ia tersenyum, lalu berlalu.
Meila masih bingung dengan ucapan Kindy. Tapi kemudian ia sadar dan ia meloncat kegirangan. “Syukurlah, Kindy, aku juga suka padamu!” Lalu ia kembali menyirami bunga dengan hati yang berbunga-bunga. Meila tidak menyangka akan pernyataan Kindy. Untunglah dulu aku jadi KM, dan Kindy selalu telat sekolah. Kalau memang sudah jodoh….
TAMAT
Kamis, 21 Maret 2002
 
PROFIL PENULIS
Nama: Putri Permatasari
TTL : 12 Mei 1986
E-mail: putri_comics86_ydws@yahoo.com
Hobi : Menulis, menggambar, membaca, mencuci baju
Fb: putri_comics86_ydws@yahoo.com

Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar