Senin, 21 Mei 2012

Cerpen Kelembutan Hati Seekor Kucing

KELEMBUTAN HATI SEEKOR KUCING
Oleh Amalia Eronia

Dhuuuaaaaaarrrr…
Yaampun, suara petir yang cukup besar mengagetkanku. Tiba-tiba saja hujan besar membasahi tubuhku.
“Wah, bagaimana ini? Mana sudah pukul 7 malam.” Endusku dalam hati. Saat itu aku baru saja pulang dari les privatku. Memang pada saat keadaan itu aku sudah berada hampir dekat dengan jarak rumahku tetapi bila aku nekad tentu aku akan basah kuyup.

Akupun berteduh sesegera mungkin di pinggir jalan yang bisa melindungiku dari guyuran air hujan. Suasana hanya ramai dengan laju kendaraan di jalan. Sedangkan hanya aku yang berteduh sendiri tanpa teman.
“meeoong…meeoong…” Tiba-tiba ada suara mengagetkanku.
“hah! Apa itu? Suara kucing.. Loh tapi mengapa suara itu hilang lagi?” aku bertanya-tanya sendiri seakan suara kucing itu hanya halusinasiku saja. Tetapi..
“meeong…meoong…” Suara kucing itu muncul kembali. Aku heran dimana kucing itu berada. Aku lirikan kepalaku ke kanan dan kekiri. Hei, aku menemukan sesuatu. Itu adalah sebuah sepatu boots tanpa pasangan. Aku mendekati sepatu itu dan aku lihat ke dalam lubangnya.
“meoong…” Seekor anak kucing lucu merengek kepadaku. Tubuhnya basah kuyup, ia sepertinya kelaparan. Terlihat dari perutnya yang kecil dan cekung. Aku kasihan melihatnya. Siapa orang jahat yang telah membuang kucing lucu ini.
“Hei kau, hehe.. kau mengagetkanku. Aku fikir kau tadi hantu, ternyata kau adalah seekor kucing yang lucu dan menggemaskan.”Aku tersenyum kearah kucing tersebut. Ia hanya menatapku sembari sesekali ia mengeong.

Dhuuuaaarrrr….
Suara petir mengagetkan kami kembali. Kucing itu ketakutan, ia menutup matanya dengan tubuh yang gemetar.
“Kau pasti takut ya. Sudah..sudah.. tak apa, ada aku disini. Sepertinya itu petir terakhir. Lihat! Hujannya mulai reda. Bagaimana kalau kau ikut aku pulang?” hehe seperti orang bodoh, mungkinkah kucing bisa mengerti bahasaku.
“meong..” Jawabnya. Aku anggap itu adalah jawaban “YA” dari seekor kucing. Hhem baiklah kita pulang menuju rumahku, Anastasia.

Akhirnya sampai juga aku di rumah. Aku tinggal bersama Kakek dan Bibiku. Orang tuaku telah lama tiada, entahlah apa sebabnya. Kakek bilang itu terjadi saat aku masih bayi. Mungkin kakek tak mau mengulasnya kembali.
“Nah, lihat! Ini susu hangat untukmu dan aku membawa handuk untuk mengeringkan bulumu itu. Bagaimana ya? Aku tak punya makanan kucing. Oh iya, tunggu sebentar.” Aku berlari sejenak mencari sesuatu. Lalu akupun kembali membawa makanan untuk kucing itu. Mungkin semangkuk susu hangat takkan cukup. Aku khawatir ia akan mencret keesokan harinya.
“Ini aku bawakan kau daging ayam. Sssstt!! Jangan bilang-bilang ya, aku mengambilnya diam-diam di dapur. Hehe,ini semua untukmu”. Hehe senang sekali melihatnya. Seperti yang kukira. Kucing itu memang lapar. Dia makan lahap sekali.
“Oia, aku lupa sesuatu. Siapa namamu, meng? Apa tidak apa-apa kalau aku yang memberimu nama? Tapi aku tak tahu apa kau betina atau jantan?” aku tak bisa membedakan gender hewan.
“Kek..kakeek…kemarilah sebentar.” Aku memanggil kakekku. Semoga ia bisa membedakannya.
“Ada apa Anastasia? Hei, siapa ini? Anggota baru keluarga kita?” jawab kakek saat melihat kucing itu.
“Hehe, aku harap dia menjadi anggota baru keluarga kita, kek. Tadi saat aku berteduh aku menemukannya di dalam sepatu boot. Aku kasihan melihatnya sendiri lalu aku bawa pulang. Tetapi aku bingung apa gendernya? Jantan ataukah betina? Apa kau bisa membedakannya?” jawabku pada kakek.
“Hmmm yaa, coba aku angkat kau sebentar ya kucing.” Kata kakekku lalu beliau meneruskan bicaranya.
“Anastasia, kucing ini jantan. Nah, sekarang kau dapat memberinya nama.” Jawab kakekku.

Akupun mulai memikirkan nama yang cocok untukknya dan akhirnya aku dapat.
“Ah! Aku tahu, aku akan memberi dia nama “Boots” karena aku menemukannya di dalam sepatu boot. Hehe, kau suka kan, Boots??”

Seakan mengerti kucing itu menjawab
“miiaaww..” dan sejak saat itu namanya menjadi Boots…
“Haaaahh!!! Kucing siapa itu yang kau bawa kemari Anastasia? Kau ingin menebar penyakit di rumah ini lewat kucingmu itu hah??” tiba-tiba bibiku datang mengagetkan dengan suaranya yang tinggi dan marah.
“Aku menemukan kucing ini kehujanan bi, aku kasihan. Makanya aku bawa kemari.” Jawabku polos.
“kau ini, selalu saja menyulitkanku. Kucing itu kotor. Kau buang lagi sana. Aku tak setuju dia ada disini.”kata bibiku.
“tidak ! aku akan merawatnya. Mengapa kau berani berkata seperti itu bi? Ini rumah orangtuaku. Aku butuh teman, dan kucing ini yang akan menjadi sahabatku. Lagipula ayah ibuku tak akan keberatan bila ada seekor kucing di rumah ini.” Kataku tegas.
“Tentu saja mereka takkan keberatan. Orang tuamu sudah lama mati. Mereka tidak tahu ada kucing di rumah ini. Jika mereka tahu,mereka pasti akan memarahimu. Hah! Menyebalkan.”jawab bibiku. Kata-katanya benar-benar menyakitkan. Aku mulai diam lalu menitikkan air mata.
“Heh! Rosella, diamlah. Tak sepantasnya kau bicara seperti itu. Sudahlah cucuku, jangan menangis. Kakek tidak keberatan kucing itu disini. Peliharalah dia. Dia akan menjadi teman baikmu.” Sela kakekku menenangkan.
“Bela saja anak itu sampai kau puas ayah! Heh ..” lalu bibikku meninggalkan ruangan.
Bibiku memanglah orang yang suka marah-marah. Ia mencintai kesempurnaan. Ia belum menikah. Bibiku sudah lama ada di rumah ini sudah lama pula ia marah-marah dirumah ini. Tapi untunglah ada kakek yang selalu menjadi penghalang. Aku sedih, mengapa bibiku tak bisa menyayangiku seperti anak sendiri..

Hari-hari kulalui bersama Boots. Dia teman terbaikku. Tak pernah menghianatiku. Yah! Apa yang seekor kucing ketahui tentang berkhianat? Malam itu aku duduk termenung di atap rumah menatap bintang.
“ayah..ibu..lihatlah aku. Mengapa bibi Rosella terus saja memarahiku?” aku bicara sendiri sembari menitikkan air mata. Selalu saja kata-kata pedas dari bibiku membuatku teringat akan ayah dan ibu. Sambil memegangi foto mereka dan ada aku yang masih bayi di tengah foto tersebut.
“Meong..” tiba-tiba Boots datang, rupanya ia mengikutiku naik ke atap rumah.
“hei Boots, kau rupanya. Hehe, kau lucuuuuuuuuuu sekali. Boots, aku harap kau tak sakit hati ya dengan apa yang dikatakan oleh bibiku tadi.” Kataku, dan Boots menatapku dengan lembut.
“Boots, apa seekor kucing sepertimu punya impian? Aku punya impian yang terbendung Boots. Suatu saat nanti aku ingin menjadi Dokter. Impian yang diharapkan kakekku. Pantaskah aku Boots??” tanyaku pada kucing ini.
“Meoong..” jawab Boots sembari mengusap kepalanya padaku.
“Hehehe, Boots..kau sangat manis. Sepertinya kau mengerti aku. Berjanjilah padaku kita akan menjadi teman selamanya.”
Lagi-lagi Boots menjawab dengan meongannya. Lalu ia tertidur disampingku.

Esok haripun tiba. Ada apa ribut-ribut. Bibi terdengar berteriak-teriak.
“Aaaaaaaarrrrrgggggg!!!! Anastasiaaa. Banguuuun ! lihatlah ulah kucingmu ini. Dia mengotori rumah.” Bibiku terdengar marah.
“Ada apa bi? Apa yang dilakukan Boots?” tanyaku. Aku segera turun ke bawah dan melihat keadaan. Terlihat bibiku memang marah sembari menggenggam sapu lidi. Ternyata ia menggunakan sapu lidi tersebut untuk memukul Boots.
“Dasar kucing kotor! Plaaakkkkkk….” Kata bibiku sembari berusaha memukul Boots.
“Bibiiiiii, cukup! Kasihan Boots. Ia belum terbiasa dengan rumah ini. Berhenti memukulnya.” Kataku berteriak dengan air mata yang keluar. Aku kasihan pada Boots. Ia terlihat gemetar dan takut. Ia bersembunyi di kolong kursi.
“Bersihkan semua ini, aku tak mau tahu!!” kata bibiku lalu ia pergi.
Aku menghampiri Boots ke kolong kursi. Aku merunduk, kulihat dia masih seperti ketakutan.
“Hai Boots..kemarilah…” Bootspun menghampiri aku.
“Kau pasti belum tahu ya arah toilet di rumah ini. Baiklah, sini. Ikuti aku!” aku berjalan menunjukkan Boots arah toilet. Seakan mengerti, ia mengikutiku.
“Nah ini dia, toilet bersama. Biasanya kami membuang kotoran disini. Kalau bisa. Kau juga ya, supaya bibi tidak memukulmu lagi. Tapi kalau kau tak bisa. Jangan sampai kau membuang kotoran dan ketahuan bibi. Biar aku saja yang tahu dan aku akan segera membersihkan kotoranmu. Oke  aku tinggal dulu ya, aku harus membersihkan kotoranmu di ruang tamu.”

Aku mulai membersihkannya. Yah, lumayan lah. Ini pertama kalinya aku membersihkan kotoran hewan. Tapi semua ini memang tanggung jawabku. Lambat laun Boots pasti akan terbiasa dengan keadaan. Kucing akan terlatih dan mengikuti kebiasaan majikannya.

Aku kembali ke toilet dan melihat Boots. Alhasil aku melihat kotorannya di dalam toilet.
“Hehe, kucing pintar. Lihat, setelah kotoranmu terbuang rapi disini, panggil aku. Aku akan menyiramnya boots. Seperti ini.. lihatlah.. aku yakin kau takkan bisa menyiramnya. Jadi kau panggil aku saja yaa ”. Jawabku.
Tak sia-sia aku melatih Boots. Kucing ini benar-benar penurut.

Tak terasa waktu bersama Boots sudah 3 tahun. Ia tumbuh menjadi kucing besar. Atas pemeliharaanku bersama kakek. Pagi itu aku mengobrol dengan kakek. Tentunya ada Boots ditengah-tengah kami.
“Sebentar lagi aku akan lulus sekolah, kek. Dan aku akan meneruskan cita-citamu. Ke Universitas Kedokteran. Doakan aku ya kek.”
“Hehe, tentu cucuku. Senang rasanya, kau sudah besar. Kau akan menjadi pewaris tunggal seluruh harta peninggalan orang tuamu. Aku tak bisa terus-terusan menjalankan perusahaan milik keluargamu. Aku ingin pensiun.”
“Tapi aku tak pernah mengurus perusahaan kek, akupun bukan seorang pebisnis. Lagipula aku kan akan melanjutkan menjadi seorang dokter. Apa dokter bisa berbisnis? Mengapa tidak bibi Rosella saja yang menjalankannya?”
“Oh maaf nak, bibi Rosellamu tidak memiliki hak atas warismu, dia hanyalah bibi angkatmu. Sedangkan seluruh asset keluarga ini adalah usaha kedua orang tuamu. Dan aku bangga pada mereka. Tak ada yang tak bisa. Jika kau punya kemauan, semua usaha ini bisa dikembangkan. Aku siap membantumu.”kata kakekku.
“Bagaimana menurutmu Boots, diusia muda aku sudah harus mengemban tugas menjadi pengusaha. Padahal aku ingin sukses atas usahaku sendiri.” Tanyaku pada Boots.
Ia hanya menatapku dengan wajah lucunya. Hehe,
“Hahaha, baiklah nak. Anggap saja kau tidak memiliki harta warisan. Maka kau bisa berusaha menjadi orang hebat seperti orangtuamu. Itu semua tergantung padamu. Sebaik-baiknya kau menggunakan harta, kau takkan pernah dikuasai oleh harta. Aku melihat kesederhanaan pada dirimu, kesederhanaan yang berbuah keberhasilan.” Kata kakekku.
“Baiklah kek, aku akan mencobanya. Semua demi baktiku pada orang tuaku, padamu, dan Boots. Bibi Rosella juga tentunya.”
“Yah, aku bangga padamu nak.” Jawabnya sembari tersenyum.

Akhirnya hari kelulusannku tiba, segudang pekerjaan mulai menungguku setelah aku lulus. Pertama aku harus menandatangani surat wasiat keluargaku. Dan akhirnya semua asset keluarhaku dibalik namakan atas namaku. Kini aku harus mengurus perusahaan. Bukan hanya itu, aku harus mengikuti ujian untuk bisa masuk ke Universitas Kedokteran. Dengan susah payah, akhirnya aku lulus ujian masuk.

Makin hari bibi Rosella makin kecut padaku. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Aku heran. Perasaanku tak enak.
“Bibi, boleh aku bicara?” tanyaku saat itu mencuri kesempatan. Aku ingin berbicara dengannya. Sekarang aku sudah besar, mengapa harus selalu ada permusuhan dalam rumah ini.
“Ada apa? Jangan terlalu berbasa-basi. Langsung saja.” Jawabnya ketus.
“Bi, mengapa kau tak pernah suka padaku? Kau selalu saja memusuhiku. Kau bibiku, meskipun bibi angkat, tapi bukankah kita seharusnya bisa menjalin hubungan baik?” tanyaku padanya.
“Heh! Kau menganggapku bibimu, tapi maaf kau bukan keponakanku. Aku tak pernah menganggapmu. Dan aku benci ibumu. Ayah selalu membanggakannya. Sekarang kau yang dibanggakan. Tak pernah ia memperhatikanku.” Jawabnya,

Memang, kisahnya dahulu, bibi Rosella adalah anak asli kakek, sedangkan ibuku hanya anak angkat kakek yang kakek adopsi dari panti asuhan. Sifat ibu dan bibiku sangat berbeda. Ibuku anak yang penurut dan giat. Sedangkan bibiku sangat manja. Apapun inginnya harus selalu dipenuhi. Suatu hari ada seorang pengusaha muda melamar ibuku. Yaitu ayahku, mereka menikah. Tanpa sadar pernikahan itu telah membuat kecemburuan pada bibiku. Mungkin sampai sekarang ia tak pernah menyukaiku, karena aku adalah anak ibukku, Ny.Ferlita kakak tiri dari bibi Rosella.

“Kau salah bi, kakek juga menyayangimu. Apalagi kau adalah putri kandungnya.” Kataku.
“sudahlah, aku benci mengulas hal itu. Urusi saja dirimu sendiri!” jawabnya masih dengan penuh dendam.
“Bibi, aku sayang padamu.” Kataku sambil menangis, lalu aku berlari dari hadapannya. Tak kuat menahan air mata.

Esok pun tiba. Itu adalah hari keberangkatanku demi mencapai cita-citaku. Universitas yang berlainan Negara.
“Kakek, aku berjanji padamu. Ketika aku kembali kesini aku sudah memiliki gelar Dokter. Aku titip perusaan ayah dan ibu. Juga Boots. Jaga dia untukku ya kek.”
“Tentu nak, jaga dirimu baik-baik disana. Belajarlah yang rajin. Semua demimu nak. Aku akan merawat Boots seperti aku merawatmu. Maafkan bibimu, ia tak turut mengantar keberangkatanmu. Aku tak tahu, harus dengan cara apa aku berkata padanya agar menyayangimu seperti menyayangi anaknya sendiri.” Kata kakekku.
“Sudahlah kek, aku menyayanginya, aku sudah katakan padanya semalam. Disana aku akan mengirim pekerjaanku lewat e-mail. Boots, aku tinggal dulu ya. Nanti aku akan kembali. Aku akan menelefon jika aku rindukanmu. Ikutilah kemana kakek melangkah. Dia yang akan menjagamu. Jangan nakal ya.” Jawabku sembari berpesan pada Boots.
“Meong..”
“Anak baik ! kakek aku berangkat ya.. aku harus segera naik ke pesawat. Dah kakek, dadah Boots..”
“hati-hati nak…” kakek melambaikan tangan padaku. Boots menatapku. Air mata keluar lagi. Sedih rasanya. Tapi aku berjanji, aku akan kembali lagi dan melihat mereka.

Kehidupanku dinegara lain benar-benar berbeda. Keseriusanku diuji disini. Tapi aku masih merindukan Boots dan kakek. Serta Bibi Rosella. Aku selalu menanyakan keadaan Boots seminggu sekali. Dan aku mendengar meongannya.

4 tahun berlalu, aku kini meraih gelar dokterku. Aku bisa pulang ke rumah. Aku akan membawa kabar gembira untuk kakek, Boots. Dan semoga bibi Rosella lebih manis sekarang setelah kepergianku selama 4th.
“Halo kakek, aku akan pulang hari ini. Tunggu aku di rumah ya.”

Malam itu aku pulang, sampai di rumah pagi hari. Waaahh, inilah rumahku. Dengan perubahan baru selama 4 th. Cat rumah baru, kamarku yang terdesain rapi. Kakek yang rambutnya makin memutih. Boots yang makin besar. Bibi Rosella, akhirnya ia menerimaku.
“Surpriiiiseeeeeee!!!!!!!!”teriak kakek dan bibiku. Serta keluargaku lainnya, sanak sodara yang menunggu kedatanganku.
Aku terharu sekali. Inilah rasanya menjadi seorang anak yang dirindukan. Tetapi sekarang aku bukan seorang anak lagi. Aku telah menjadi wanita dewasa.
“hikks..aku senang sekali. Sudah lama aku menantikan moment seperti ini. Berkumpul bersama keluarga besarku. Dan Boots, kau makin besar saja. Aku sangat merindukanmu, dan kau makin lucu.”
“nak, akhirnya kau benar-benar mencapai cita-citamu. Sekali lagi kau membuatku bangga.” Kata kakekku.
“yah Anastasia, maafkan aku ya. Kau memang keponakanku yang sangat membanggakan. Malam ini kita adakan pesta untukmu. Aku sudah memasak masakan kesukaanmu.” Kata bibi Rosella.
Aku tersenyum, aku bahagia sekali.. Kehangatan keluarga.

Kami berfoto bersama untuk mengabadikan moment ini. Aku, kakek, Bibi, Boots, serta keluarga lainnya yang berjajar. Foto yang cantik.
“Boots, kau tidak mengeong? Sepertinya kau tak semangat” aku mengelus-ngelus kepala Boots. Matanya terlihat mengantuk.
“Kau lupa padaku Boots? Aku Anastasia, yang pertama kali menemukanmu di dalam sepatu boot. Ingat?? Mmh, baiklahh. Mungkin aku harus dari awal lagi untuk bisa mengenalmu.” Boots tak ada reaksi. Tetapi dia menatapku.

“Kemari Anastasia. Ayo makan dulu. Ini menu special kesukaanmu” panggil bibiku untuk makan malam.
“Iya bibi, ayo Boots, kita makan.” Boots terdiam sejenak, kemudian ia mengikutiku.

Akupun duduk di meja makan. Wah memang benar, ini adalah sayur soup special kesukaanku. Ternyata walaupun dulu ia membenciku tetapi ia memperhatikan menu favoritku.
“ayo makan,” kata bibiku.
“eh, yang lain kemana bi, kakek dan saudara yang lainnya?” tanyaku.
“emh, ah mereka tadi sudah makan. Tinggal kau saja yang belum. Ayo cepat dimakan soupnya. Bila sudah dingin tak akan enak lagi kan?” kata bibiku.
“emmh, yaa. Baiklah.”

Tiba-tiba..
“Plentraaaaaaaanggggg..!!!” mangkuk kaca tempat soup yang kumakan dihidangkan jatuh ke bawah lalu terpecah. Boots naik ke atas meja makan dan menyenggolnya. Bibi pun terlihat reaksinya seperti kaget.
“Boooooooottts!! Apa yang kau lakukan? Lihatlah kau merusak moment kebahagiaanku. Aku menantikan ini sudah lama Boots.”kini aku yang marah. Bibiku tak menunjukkan reaksi murkanya.
“maafkan aku bi.” Jawabku sedih.
“oh, tak apa Anastasia, tenang saja. Tapi aku hanya membuat soup itu semangkuk khusus untukmu. Tak ada lagi gantinya.” Jawab bibiku.

Aku benar-benar kesal pada Boots. Kucing itu mengacaukan suasana.
“Boots, ulahmu sangat keterlaluan. Aku tak mau membersihkannya. Ini adalah salahmu.” Seketika aku menyalahkan Boots.
Seakan mengerti ia pun menjilati tumpahan soup itu. Aku berlari ke kamar dan menangis. Ada-ada saja kejadian yang hampir membuat bibiku marah. Padahal sekarang dia sudah baik terhadapku.

Aku kembali lagi ke meja makan untuk melihat Boots, aku merasa bersalah telah memarahinya. Harusnya aku maklum, dia hanya seekor kucing yang tak tahu apa-apa. Tapi di ruang makan Boots sudah tak ada. Tumpahannya masih berceceran. Bodohnya aku, mana mungkin seekor kucing dapat membersihkan soup yang tumpah.

“kakeeeekkk..kau melihat Boots? Aku tadi memarahinya, tapi sekarang dia tak ada. Aku merasa bersalah kek. Aku ingin meminta maaf padanya.” Tanyaku pada kakek.
“ada masalah apa? Baru sekarang aku mendengarmu memarahi kucing yang amat kau sayangi. Boots tadi berlari ke pintu belakang, entah mau kemana. Sepertinya dia keluar. Jawab kakekku.
Aku sesegera mungkin berlari mencari Boots.

“Ya Tuhan, kemana kucing itu? Ini sudah malam.”aku menangis dalam pencarianku. Entah mengapa aku sangat menyayangi kucing itu. Hewan yang sudah sehati denganku.
“Boootss….Boootss…tolonglah, maafkan aku yang sudah memarahimu tadi. Aku mohon Boots, jangan sampai kau membenciku. Hiikkss..aku hanya…hanya…merindukan kasih sayang Bibi Rosellaku, hiikkkss..” aku menangis menungkulkan kepala sembari berjalan mencari Boots. Saat aku menatap ke depan, ternyata Boots. Dia tertidur di tengah jalan. Jalanan yang kebetulan sedang sepi. Aku berlari menghampirinya.
“Hei Boots..kau disini. Maafkan aku yaa. Aku tadi memarahimu. Boots..”kataku berbicara padanya. Tapi tak ada reaksi apa-apa. Aku tak bisa melihat wajahnya. Boots menutup wajahnya dengan buntutnya.
“Boots, kau kenapa? Tak ada suara meongan darimu. Tolonglah Boots, jawab aku dengan sekali saja meonganmu. Tolonglah.” Lagi-lagi ia tak menjawab. Aku mengoyak-oyakan badan Boots, tak ada reaksi, tak ada gerakan, matanya tertutup. Disitulah aku sadar bahwa Boots telah mati.
“Booots.. jangan tinggalkan aku Bootss… Boooootttsss.” Aku menangis, sembari aku ikut tertidur di tengah jalan itu . aku memeluk tubuh Boots.
Dhuuuuaar…kilat pun menyambar langit. Hujan turun membasahi tubuh kami. Sama seperti dahulu, waktu pertama kali aku menemukan Boots dalam sepatu boot. Kini aku berpisah dengannya pun dengan iringan hujan. Setelah tertidur di samping Boots aku tak ingat apa-apa lagi.

Aku membuka mataku, hari sudah pagi. Tersadar aku sudah berada di dalam kamarku. Kepalaku pusing, aku terkena demam.
“Oh syukurlah Anastasia, kau sudah bangun.”kata kakekku. Ia ada di sebelahku.
“jadi kejadian semalam bukanlah mimpi kek? Boots benar-benar mati?” aku mengucurkan air mataku.
“tenanglah Anastasia, setiap makhluk pasti akan mati. Emh, aku sudah mengotopsi hasil pemeriksaan dari tubuh kucingmu. Penyebab ia mati adalah karena adanya racun arsenic berlebih dalam tubuhnya. Ini berbahaya sekali, awalnya racun ini membuat perut sakit pada manusia, muntah, diare, dehidrasi, kram perut, syok, koma, lalu berakhir pada kematian. Mungkin seekor hewan tidak akan bertahan lama menahan efek dari racun arsenic ini sehingga kematianlah yang terjadi pada kucingmu.” Tegas seorang dokter yang sudah ada di kamarku sebelum aku bangun. Itu dr.Franz.
“Apa? Racun arsenic? Kakek, ambil samplenya, sisa soup yang semalam tumpah. Ayo cepat. Aku harap masih belum ada yang membersihkan tumpahannya.” Jawabku.

Kami berlari ke dapur, tapi sayang soup itu telah dibersihkan. Tetapi masih ada sedikit sisa di pecahan mangkuknya. Aku mengambil samplenya dan memeriksanya bersama dr.Franz. Ya, memang benar racun arsenic itu berasal dari soup itu. Soup yang semalam Boots jilati demi membersihkannya. Aku menyesal. Kini aku tahu sekarang Bibi Rosella hendak berniat jahat padaku. Ia meracuniku untuk mendapatkan seluruh harta keluargaku. Boots mungkin melihat kejahatannya. Ia sengaja menumpahkan soup itu untuk menyelamatkanku. Kucing yang baik, secepat ini aku kehilangannya.

Boots dikuburkan di halaman rumahku. Bibi Rosella ditahan dipenjara atas ulahnya.
“Kek, mungkin Boots lebih bahagia di surga ya daripada bersamaku.” Aku bergurau.
“Tidak nak, Boots bahagia bersamamu. Ia menyayangimu. Sampai ia rela mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkanmu nak, terkadang hati seekor hewan jauh lebih berkilau dibandingkan seorang manusia, lihatlah buaya yang ganas. Ia ganas demi melindungi keluarga yang ia cintai. Belajarlah dari seekor hewan, nak.” Kata kakekku.

Sungguh, aku merasa sangat kehilangan Boots. Tapi aku sangat berterimakasih padanya. Ia pahlawan bagiku. Aku memutuskan untuk selanjutnya berprofesi sebagai dokter hewan, seperti kata kakek “belajarlah dari seekor hewan” dan aku akan belajar, memahami mereka, menyayangi dan berbagi. Kini aku memiliki kucing baru bernama Vanilla. Tapi tetap hatiku masih menyimpan bayang-bayang kucing penyelamatku. Boots.
"Lihatlah! Mereka teman terbaikmu. Bukan untuk disiksa, ditendang dan disiram dengan air. Indahnya berbagi kasih sayang dengan sesama makhluk hidup :)"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar