Senin, 21 Mei 2012

Cerpen Cinta - Dibalik Kerudung

DIBALIK KERUDUNG
Oleh Ahmad Nur Salim

Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Hanya tanahnyalah yang berlainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, maka ia akan tumbuh sebagai pendusta, penipu dan hal lain yang tercela. Tetapi jika ia jatuh ke tanah yang subur, di sana ia akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, dan budi pekerti yang tinggi serta perangai lainnya yang terpuji.

Terkadang cinta itu membuat semua orang jadi bahagia, sengsara, atau bahkan cinta bisa membuat seorang menjadi tak berdaya, tetapi banyak sekali dari diri kita yang salah menentukan arah tujuan dari pada cinta! Setiap orang pasti punya rasa cinta, tapi tak setiap orang dapat merasakan indahnya cinta! Setiap orang pernah bercinta tapi tak setiap orang mampu mengecap bahagianya cinta...

Semua orang pasti memiliki perasaan cinta, karena hal itu merupakan tabi’at dari manusia itu sendiri. Bukankah Allah SWT pernah berfirman dalam Al-Qur’an; ’’Dijadikan indah pula ( pandangan ) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga). (Qs. Ali imron: 14). Kata-kata itu muncul ketika Ustadz Afandi memberikan ceramah di masjid Baitusy syahid.
”Cinta itu memang anugerah, tetapi juga bisa menjadi musibah! (kata Ustadz).Tergantung kita di dalam mengemasnya..! Jikalau cinta itu kita kemas atas dasar ketakwaan kepada Allah, maka cinta itu akan berbuah menjadi anugerah terindah. Tetapi, jika cinta itu kita kemas atas dasar syahwat, maka cinta itu akan menjadi petaka bagi kita! Seperti yang di alami oleh Abdullah.

Ia adalah seorang anak yang rajin, sopan, dan murah senyum. Hik’s!
Selama ini ia menjalani aktivitas sehari-hari di pesantren lita’limil Qur’an. Hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik, ia gunakan untuk menitih ilmu. Disana, ia dididik, diasuh, dan digembleng oleh ustad-ustad yang sudah mahir di bidang agamanya. Seiring berjalannya waktu, ketika burung berkicau dengan begitu indah, ayam berkokok dengan begitu kerasnya, ketika langit sudah mulai menampakkan pesona keindahannya...( duuh..jadi terharu nih!) para santri bersiap-siap menuju ke masjid untuk memenuhi panggilan Illahi rabbi.
Allahu akbar...Allahu akbar...
Suara adzan bergemuruh, menggetarkan hati pendengarnya. Dengan suara yang merdu dan indah seorang mu’adzin melantunkan kalimat takbir.
”Took...! Took...! Kang..bangun..bangun! Sudah waktunya sholat shubuh!”, suara pengurus pesantren yang sedang membangunkan para santri yang masih tertidur lelap di tempat tidurnya, hanya untuk memenuhi panggilan Illahi. “Kang…ayo bangun.” Suara Arif mengajakku. “ada apa kang…?” sahutku yang masih memeluk bantal. ”Sudah waktunya sholat shubuh, ayo kang...bangun!” sahut Arif mendesak. ”Iya..” kataku singkat sambil menarik selimut, ”Ayo...!” sahut Arif sambil menarik bantal dan selimutku, ”iya..iya...!” sambungku masih mengantuk.

Semua santri terbangun, kemudian mengambil air wudhu untuk mensucikan diri. Ada juga dari salah satu santri yang sudah duduk didepan mimbar sedang melantunkan ayat-ayat Al-qur’an, sementara santri lain sedang muraja’ah kitab, serta ada yang melakukan sholat rawatib dua raka’at, dan ada juga santri yang masih sulit untuk dibangunkan, akhirnya pengurus memercikkan air di mukanya.
Setelah selesai melaksanakan sholat subuh, semua santri duduk berbaris ke belakang untuk muthola’ah ayat-ayat Al-qur’an yang sudah pernah dihafalnya, dengan Ustadz Rohman AL.LC. Ada yang sudah menghafal 1 jus, 5 jus, atau bahkan sampai 30 jus. Pagi yang cerah!

Di mana matahari mulai menampakkan pancaran sinarnya, terlihat awan yang cerah dan angin yang terhembus menerpa awan. Sekitar pukul 08.00 para santri mempersiapkan diri dan memulai melangkahkan kaki.
”kang...cepatlah, ayo kita berangkat!” Teriak Ardi dengan keras.
”Ustadznya udah hadir belum?” Sahut Ikhsan sambil mencari kitabnya yang telah hilang.” ”sudah kang...Ustadznya sudah menunggu di depan kelas.” balas Ardi dengan tegas. ”Ya akhi..tunggu sebentar”, sahut Ikhsan sambil membawa kitabnya.
Akhirnya merekapun berbondong-bondong (fastabikhul khoirat) menuju ke majlis ta’lim untuk tholabul ’ilmi atau mencari ilmu. Yeap’s! Ketika para santri ingin mengkaji kitab Ihya’ ulumuddin dengan pak Ustadz, sebut saja ustadz Imron! Beliau yang mengajarkan ilmu-ilmu syari’at di sana.
Tuut...! tuut...! (bunyi hujan di atas genting!) hiip’s..! bunyi bel tanda masuk kelas dibunyikan, semua santri putra maupun putri memasuki kelas. Di samping itu ada dua orang santri yang belum memasuki kelas, yaitu aku dan ukhti Ria.
Ku langkahkan kaki menuju tempat yang belum pernah aku memasukinya, ketika sampai didepan pintu, terdengar banyak orang melafadzkan Kalamullah dan kalam rosulullah, hatiku menjadi terenyuh dan tergugah untuk mempelajarinya. Disaat aku telah meresapi dan menghayati ayat-ayatullah, tiba-tiba terlihat sosok wanita bercadar yang memakai kerudung putih berjalan dengan tergesa-gesa menuju majlis ta’lim untuk mempelajari kitab yang di karang oleh imam Ghozali. Sekejap aku melihatnya, terlihat di matanya tampak ada rasa penyesalan yang tiada tara karena terlambat memasuki kelas.
Pada saat itu pula, kami sempat saling bertatap mata satu dengan yang lainya. Kulihat pancaran pesona keindahan di setiap gerak-gerik kelopak matanya..! (deuh..jatuh cinta nih kayaknya!)

Akupun memberanikan diri untuk bertanya, dengan malu-malu kuucapkan sepatah kata, ”Ukhti terlambat ya?”
diapun menjawab dengan begitu anggunnya, ”iya akhi, tadi kitab saya tidak ada di almari.
”Kamu juga kenapa terlambat?”, tanya ukhti.
Dengan santai aku menjawabnya, ”saya anak baru disini, jadi saya tidak begitu paham tentang kegiatan pondok ini”, ”Ohh...begitu ya! sahut ukhti dengan lembut.”
Kemudian, ku ketuklah pintu kelas dengan pelan-pelan.
Took...! took...!
Dag..dig...dug...jantung berdetak begitu kencangnya, ketika ingin memasuki fashlul ’ula (kelas satu), yang pada saat itu sedang belajar Ihya’ ulumuddin.
Akupun mengucapkan salam: “Assalamu’alaikum?”
semua santri menjawab: ”wa’alaikum salam.”
Semua orang menatapku keheranan, ada juga yang berteriak mengejekku.
Huu...! huu...! ada yang janjian nih ya kayaknya..! hmm..
Didalam hatiku tidak ada rasa kesal sedikitpun ketika teman-teman mengejekku, mungkin karna saya belum mengenal mereka sepenuhnya. Hanya ’Arif’lah yang aku kenal pada saat itu, karna sebelumnya dialah yang mengantarkanku untuk bertemu dengan KH. Abu ahmad ruhani AL.LC. ketika awal saya mondok di pesantren. Yah, Beliau adalah selaku Amir Ma’had lita’limil Qur’an.

Tetapi aku merasa tidak enak kepada ukhti yang sama-sama terlambat masuk kelas tadi. Tentu dia sangat malu sekali atas kejadian pada waktu itu. Raut wajahnya terlihat tampak layu, tatapan matanya terlihat membiru, Aku mencoba untuk tenangkan diri, aku merasa sangat bersalah kepada ukhti, dalam hati aku ucapkan; ”maafkan aku ukhti!” (sebelumnya aku belum mengenal siapa namanya). Setelah aku memasuki kelas, Ustadz Imron bertanya kepadaku, ”masmukal karim ya Akhi (siapa namamu)?”

Ismi Abdullah Ustadz! (nama saya Abdullah Ustadz).”
”sebelumnya aku belum pernah melihatmu, kamu santri baru ya disini?” tanya Ustadz bijaksana. ”Na’am (iya) Ustadz!” jawabku lirih. Kemudian Ustadz menyuruhku untuk berta’aruf (berkenalan) dengan teman-teman di depan kelas.
Akupun mulai memperkenalkan diri, ”Assalamu’alaikum wr.wb?” kataku memulai. ”wa’alaikum salam wr.wb” sahut teman-teman.
Pertanyaan demi pertanyan di lontarkan kepadaku. ”Masmukal karim ya akhi?” tanya Hafidz. ”wa ’aina taskunu ya akhi?” sahut Ilham.

Udara sejuk di pagi hari, angin menghembus melewati sela-sela jendela, sementara baling-baling kipas berputar dengan kencangnya, tetapi udara saat itu terasa sangat panas bagiku. Ku menarik nafas pelan-pelan, dan ku mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan kepadaku, ”Ismi Abdullah akhi, ana min Purwodadi” jawabku dengan tenang. Ketika saya berada didepan kelas, sayapun melihat seorang wanita berkerudung putih merengguk sedih tepat di sudut tembok sebelah kiri, ternyata ia adalah ukhti.
Setelah kejadian itu, hatiku terasa gundah dan piluh, disetiap gerak-gerik langkahku, terpaku dalam kalbu, di setiap jangkauan pandanganku terlintas bayangan kelembutan senyum manis yang menghiasi wajah, terlintas bayangan wajah ukhti. Bahkan, disaat aku membaca kalamullah, disetiap lantunan ayat yang aku baca, terbayang-bayang semua tentangnya, keanggunan prilakunya, tutur katanya, bahkan kerudungnya...! hip’s!
Ya Allah..
Ampunilah hambamu ini..
hamba tidak kuat menahan rasa yang terus menghambur di dalam hati... Sejenak akupun termenung dan berkata, ”Apakah ini yang dinamakan cinta?”, selama ini saya tidak pernah merasakan getaran yang begitu dahsyatnya seperti yang aku rasakan saat ini. Pada saat itu pula, bibirku bergetar dengan sendirinya, seraya berkata:

Ooh..ukhti...
Namamu tak terukhir dalam catatan harianku
Asal-usulmu tak hadir dalam diskusi kehidupanku
Wajah wujudmu tak terlukis dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam dalam pita batinku
Namun, kau hidup mengaliri pori-pori cinta dan semangatku
Sebab, kau adalah hadiah terindah..untukku..!
Langitpun sudah mulai semakin gelap, terlihat para santri sedang menghafal hadits ”Arba’in An-nawawi”, mereka sedang menghafal hadits yang ke-13 yang berbunyi: ”Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibbu liakhiihi maa yuhibbu linafsih” artinya, ’Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kamu sekalian, sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’, di sisi lain aku tidak menghafalkan hadits, ku duduk di serambi masjid sedang termenung. Ternyata, aku masih memikirkan Ukhti yang memakai kerudung putih tadi. Hafidz bertanya kepadaku, ”kenapa akhi termenung gelisah seperti itu?”, ”tidak apa-apa akhi” jawabku menghindar. ”Kenapa Akhi, apa yang terjadi? Hari ini kamu terlihat sedih sekali, kenapa?” desak Hafidz sambil memegang bahu kiriku. ”aku sedang memikirkan sesuatu Akhi, hatiku sedih, dan aku merasa bersalah”, sahutku. ”Laa tahzan innallaha ma’anaa (jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita)” sahut Umar menasehati.
Allahu akbar...Allahu akbar...Suara adzan telah di kumandangkan! Semua santri bergegas menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat magrib secara berjama’ah. Setelah selesai sholat, para santri mempersiapkan diri untuk mengaji kitab Riyadus shalihin, karangan Imam An-nawawi dengan Ustadz Abu ahmad ruhani AL.LC. Beliau membuka kajian itu dengan ucapan salam, ”Assalamu’alaikum wr.wb.” sahut para santri, ”wa’alaikum salam wr.wb.” Kemudian, beliau memberikan hikmah tentang ”Takwa”, salah satunya yaitu didalam Surat Ath-Thalaq ayat 2, ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya dan Allah akan memberi rezeki dari arah yang tiada di sangka-sangkanya.” Begitu indah beliau menguraikannya, sehingga dapat menyentuh kalbu. Setelah selesai memberikan materi, Ustadz bertanya kepada para santri, ”siapa yang tidak menghafalkan hadits Arba’in An-nawawi hari ini?” semua santri terdiam. ”Coba maju kedepan” lanjut Ustadz. Akhirnya, tiga orang santri maju kedepan, yaitu Asep, Yahya, dan Abdullah. Satu persatu mereka ditanya bagaimana bisa sampai tidak menghafalkan hadits.

Ustadz bertanya kepada Asep, ”bagaimana bisa kamu tidak menghafal Sep?”
”Saya tadi lupa Ustadz”, jawab Asep.
Kemudian, Ustadz meneruskan pertanyaan, ”kenapa bisa lupa Sep, apa yang kamu kerjakan selama hari ini?”
”saya tadi di suruh Ustadzah Nisa’ untuk membeli kitab di Zia, pusat pembelian kitab.” saya tidak sempat menghafal Ustadz! Afwan...sahut Asep sambil menundukkan kepala.

Kemudian Ustadz melontarkan pertanyaan kepada yahya, ”kalau kamu kenapa ya?”...jawab yahya dengan gemetar, ”Aaa..a...a..ku, tadi ketiduran Ustadz!”.
”Kenapa bisa?” tanya Ustadz kembali.
”tadi habis bermain kurotal kodam (sepak bola) Ustadz!”...jawab yahya.
”Sebagian dari (kualitas) yang baik dari keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya, Paham?” lanjut Ustadz menasehati. ”iya Ustadz, saya paham!” jawab yahya menyesal. Malam begitu terang saat itu, terlihat bulan yang di selimuti banyak bintang, angin menghembus kencang, udara terasa dingin. Menggambarkan suasana hatiku pada waktu itu, tubuhku menjadi dingin seperti angin yang menghembus kencang menerpa dedaunan kering, ketika ustadz memberikan pertanyaannya kepadaku. ”Kenapa kamu tidak menghafal Abdul?” tanya Ustadz lirih. ”Saya tidak tahu Ustadz kalau di suruh menghafalkan hadits!” jawabku pelan. ”ya sudah tidak apa-apa, besok dihafalkan ya?” sahut Ustadz memaklumi.
Pada saat itu pula, aku melihat wajah ukhti yang berada di sebelah kanan tiang masjid. Wajah paras, elok, anggun, nan indah terpadu menjadi satu. Hatiku berbunga-bunga dibuatnya, tubuhku terasa kaku karenanya. Ooh..! Sungguh diriku tak kuat menahan rasa yang terus menggelut di dalam hati.
Malam semakin gelap, semua santri pulang ke pondok untuk beristirahat.

Huuupps...! huuups...! Suara santri yang sedang menyedu teh hangat, terasa manis, dan enak. Sedangkan aku berada di tempat tidur, memeluk bantal sambil menghitung genting yang berada di atas tempat tidur. Kemudian Arif menghampiriku dengan membawa secangkir teh hangat.
”Kenapa Dul?” tanya Arif mengganggu.
”Gak..!” jawabku singkat.
”Ayo..ayo..kenapa? jatuh cinta ya?” sahut Arif menggoda.
”Yee..siapa coba yang jatuh cinta?” jawabku mengelak.
”Ayo..sama siapa? ngaku saja, siapa tahu saya nanti bisa bantu!” sahut Arif.

Akupun sedikit berfikir, akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Arif. Terdengar suara keras ke arahku, Ha...ha....ha....! ”Arif tertawa terbahak-bahak, mengejekku!”... wajahku tampak pucat saat itu, ku mencoba untuk tenangkan diri, terbesit di telingaku kata-kata maaf. ”Maaf Dul...maaf...! aku tidak bermaksud untuk mengejekmu, aku hanya heran saja, masak cowok selugu kamu bisa jatuh cinta?” sahut Arif meminta maaf.
”Cinta itu khan anugerah Rif, emangnya gak boleh ya, kalau aku jatuh cinta!” sahutku singkat. ”boleh sih, tapi.....?” kata Arif penuh makna.
”Tapi kenapa?” jawabku penasaran.
”kalau boleh tahu, siapa sih yang membuat hati kamu jadi luluh seperti ini?”...”hmm...!” wajahku memerah tampak malu, hanya kata itulah yang terucap dalam bibirku. ”Ehem..kamu jatuh cinta sama Ukhti Ria ya?” sahut Arif menggoda.

Jadi, namanya Ukhti Ria ya? Sahutku dengan kilat. Upp’s..ketahuan deh!
”Ooh..gitu tho! Bener khan apa yang aku bilang!” hik’s...Arif tersenyum kepadaku.
”Iya deh iya...aku ngaku, aku memang sedang jatuh hati kepada Ukhti..!”...akhirnya kami pun tersenyum dan tertawa bersama.

Malam semakin gelap, semua kamar tertutup dan semua lampu mati, semua santri telah tertidur pulas. Hanya lampu kamarkulah yang masih hidup, karena aku masih bersendau gurau dengan Arif, yang kebetulan dia satu kamar denganku. Wuussst...! Suara angin malam yang menerjang ranting pepohonan. Kulihat suasana malam yang sunyi sepi, akhirnya akupun berbaring di tempat tidur tepat di sebelahnya Arif, dan akupun mulai membaca do’a, ”Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut”....dan akhirnya akupun tertidur. Dinyalakanya saklar lampu yang lebih terang. Kulirik jam weker yang berada di atas meja belajar. Pukul 03.10. waktunya qiyamul lail. Akupun mulai beranjak dari tempat tidur, ku carilah sandal jepit jelekku yang berada di rak. Masih terbayang sehelai kain yang dililitkan di mahkota terindah. Yeah...wajah Ukhti masih saja hinggap di benak hati dan pikiranku. Segera ku ambil air wudhu, dan ku gelar sajadah kesayanganku. Yeap’s! Sajadah yang selalu menemaniku di kala aku sedang sedih. Dengan hati yang tulus ikhlas, akupun mulai melafadzkan kalimat takbir.
”Ya Rabbi ya Rahman ya Rahim...tak sedikitpun hamba berniat untuk berpaling darimu, hamba hanya tak kuat menahan gejolak yang bersemayam di dalam kalbu.” Ku ungkapkan semua keluh kesah yang ada di benak hati. Malam begitu sunyi, terlihat bulan dan bintang bersinar terang menyinari kegelapan alam.

Ku goreskan pena dengan tinta warna hitam di atas selembar kertas, yang di dalamnya tertuliskan perasaan dan isi hatiku yang paling dalam. ”Sejak pertama kali aku melihatmu, dirimu selalu hadir dalam mimpi-mimpiku, wajah wujudmu selalu ada di setiap langkah kakiku, suaramu terekam dalam pita batinku, kau hidup mengaliri pori-pori cinta dan semangatku, ternyata diriku telah jatuh hati padamu.”... ku kirimkan surat ini lewat Arif. Setelah selesai mengaji Arif memberikan surat ini kepada Ukhti Ria.
”Assalamu’alaikum Ukhti?” kata Arif memanggil.
”Wa’alaikum salam, ada apa Akhi?” Sahut Ukhti Hidayah teman Ukhti Ria.
”Tidak, aku hanya ada perlu sedikit dengan Ukhti Ria. Dia ada tidak?” sahut Arif tergesa-gesa. ”Afwan Akhi, Ukhti Ria sedang mengisi acara di majlis ta’lim KAMAL (kuliah mu’alimil Qur’an), ada perlu apa ya? Nanti akan saya sampaikan kepada Ukhti Ria!” sahut Ukhti Hidayah.
”Iya Ukhti, saya Cuma ingin menyampaikan bincisan kecil ini buat Ukhti Ria, tolong sampaikan ya! Dan jangan dibaca dulu sebelum Ukhti Ria yang membacanya.” Sahut Arif. ”Iya Akhi Insyaallah.” balas Ukhti Hidayah. ”Ya sudah, Syukron katsiron. Jazakillahu ahsanal jaza’...! Sahut Arif sambil melambaikan tangan.

Sudah hampir dua hari aku menunggu jawaban dari Ukhti...Akhirnya, pagi itu...! Pagi yang amat cerah, sementara sang surya utuh menampakkan sinarnya, hembusan kencang awan pagi membuatku belum cukup punya nyali untuk menerima jawaban yang diberikan oleh Ukhti. Ku mencoba untuk tenangkan diri, bibir bergetar melantunkan ayatullah ”Robbissrohli shodri wayassirlii amri wahlul ukdatan min lisaani yafqahuu khouli”, tubuhku tiba-tiba menggigil kedinginan, ketika Ukhti Ria memberikan sesuatu kepadaku. Yeap’s! seuntai kata yang tertuliskan di selembar kertas warna merah muda, kemudian dimasukkanya ke dalam buku kecil nadham jurumiyah. Ternyata itu adalah jawaban yang diberikan oleh Ukhti kepadaku. Malam itu adalah merupakan malam bersejarah bagi kehidupanku, yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan di sepanjang denyut nadiku. Setelah menata hati, ku ambil surat yang diberikan oleh Ukhti yang berada diatas meja belajarku. Ku awali membuka surat itu dengan membaca Basmalah ”Bismillahirrahmaanirrahim”, tanganku gemetar ketika ingin membaca surat itu. Kemudian kulepaslah pita yang diikatkan pada amplop surat, kubaca dengan suara lirih, didalamnya berisikan kata-kata penuh makna. Astagfirullah! Tiba-tiba hatiku terkejut ketika membaca isi surat pada paragraf terakhir, pada akhiran surat tertuliskan:

Bukan maksudku menyakiti hati
Diriku hanya tidak ingin membuatmu menjadi rapuh
Ku tak ingin engkau terombang-ambing
Sebagaimana ranting pohon yang di terjang angin
Sebenarnya....diriku sudah ada yang memiliki
Satu minggu sebelum engkau mengirimkan surat kepadaku, aku sudah di khitbah oleh Ilham mishbahul munir, putra dari Ustadz Rohman! Maafkan aku Akhi, semoga engkau mendapatkan pengganti yang lebih baik dari pada aku. Sekali lagi maafkanlah aku.....!

Kurapatkan jaket. Kupeluk kedua lutut menempel di dada, bertopang dagu sambil melamun. Hatiku hancur berkeping-keping seperti ceriping yang digiling-giling setelah selesai membaca surat itu. Diriku berada didalam kesedihan yang berkepanjangan, tubuhku yang kurus tampak semakin terlihat kurus. Wajahku tampak kusut tak bercahaya, bayang-bayang wajahnya masih saja terus menghantuiku....! Uuch...! sungguh terasa perih hatiku, sungguh diriku sudah tidak ada gunanya lagi untuk hidup.
”Sedih ya sedih, tapi jangan menyiksa diri sendiri seperti itu dong!” kata Arif menasehati sambil memegang pundak kananku.
”Habis, kok bisa-bisanya cintaku yang tulus berbalik menusukku seperti ini, apa salahku Rif?” sahutku sedih.
”Kamu tidak salah Abdul, tetapi..cinta kamu yang terlalu berlebihan itu yang membuat kamu menjadi tidak siap untuk menghadapi cobaan ini. Kebahagiaan atas cinta pada manusia itu terbatas masa berlakunya. Beda banget dengan cinta sama Allah. Cinta Allah itu indah, kekal, tanpa pamrih, dan gak kenal kata putus.....! Ayo Abdul semangat...tunjukin sama Allah bahwa kamu itu Ikhwan yang tabah dan kuat dalam menghadapi cobaan. Dan yakinlah, sesungguhnya dengan mengingat Allah hati kita akan menjadi tenang.” kata Arif menghibur.
”Iya Rif, apa yang kamu katakan itu benar, cinta kepada makhluk itu sifatnya hanya sementara. Berbeda halnya cinta kepada Allah. Sesungguhnya, masih banyak lagi sesuatu yang jauh lebih bermanfaat yang harus aku kerjakan, dibandingkan saya terus menerus terpuruk dalam kesedihan.” kataku sambil berdiri.
”Nah, begitu dong...! itu baru sahabatku...!” sahut Arif sambil mengacungkan ibu jari tangannya. Akhirnya kamipun tersenyum bersama, dan ku dekap erat tubuh Arif sambil menggenggam jari tangannya.

Pesan; ” Cintailah orang yang mencintaimu sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau cintai akan berbalik membencimu pada suatu masa, dan Bencilah orang yang membencimu sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau benci akan berbalik mencintaimu pada suatu masa.”

PROFIL PENULIS
Nama ; Achmad Nursalim,
Biasa di panggil ; Saleem ahmad
Alamat ; Purwodadi-semarang, Jateng. 
Aktivitas ; Belajar sambil menulis di Ma'had Aly An-nuaimy

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar