BUAT KENSI, ADIKKU SAYANG
Oleh : Tri Amelia Rahmitha Helmi
Malam yang dingin. Cahaya bulan tampak malu terpancar ditutupi awan-awan. Bersama hembusan angin yang menusuk tulang. Pohon kelapa menyiur dengan lembutnya. Desiran suara air menambah kebisingan malam itu. Pasir-pasir yang dipijaki meninggalkan jejak kaki. Ombak pun mengejar tepian pantai menghapus jejak-jejak kaki. Kapal-kapal siap berangkat bersama eloknya angin darat malam ini dan kembali lagi esok hari bersama tiupan angin laut. Mencari korban para penghuni laut sebesar dan sebanyak-banyaknya. Berharap mereka akan luluh dan pasrah dalam jaring-jaring yang disiapkan sejak siang tadi. Siap menerobos malam demi menghidupi orang-orang tercinta, demi jaring-jaring kehidupan.
Oleh : Tri Amelia Rahmitha Helmi
Malam yang dingin. Cahaya bulan tampak malu terpancar ditutupi awan-awan. Bersama hembusan angin yang menusuk tulang. Pohon kelapa menyiur dengan lembutnya. Desiran suara air menambah kebisingan malam itu. Pasir-pasir yang dipijaki meninggalkan jejak kaki. Ombak pun mengejar tepian pantai menghapus jejak-jejak kaki. Kapal-kapal siap berangkat bersama eloknya angin darat malam ini dan kembali lagi esok hari bersama tiupan angin laut. Mencari korban para penghuni laut sebesar dan sebanyak-banyaknya. Berharap mereka akan luluh dan pasrah dalam jaring-jaring yang disiapkan sejak siang tadi. Siap menerobos malam demi menghidupi orang-orang tercinta, demi jaring-jaring kehidupan.
Timi. Remaja dengan lesung pipinya yang manis. Timi adalah anak yang berbakti pada orang tua dan siapa saja. Ia juga sangat sayang kepada adiknya, Kensi, walaupun Kensi tidak seperti teman-teman lainnya. Oleh karena itu ia sangat mengistimewakan Kensi. Tanganya hanya satu karena yang satunya lagi terpaksa diamputasi. Waktu itu dia bermain bersama temannya. Tiba-tiba ia tergilas sebuah mobil yang melaju kencang di belakang. Mimpi buruk itu datang. Tangan Kensi harus dipotong. Semua terpukul dengan kejadian ini. Bak jarum-jarum yang datang menerpa. Gadis bungsu yang malang. Tapi itulah hidup. Semua harus bisa memaknainya. Begitulah keluarga Kensi yang harus menerima takdir.
Mereka bukanlah keluarga berada. Tapi keluarganya cukup disegani di kampung adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah tersebut. Karena budi, tenggang rasa dan soal harga-menghargai mereka cukup paham dengan hal ini. Timi dan saudaranya yang lain adalah anak yang berprestasi. Adiknya yang kedua kini bersekolah di SMP favorit di kota, jadi dia hidup jauh dari keluarganya. Sedangkan Kensi adalah adik kedua sekaligus adik terakhirnya, dari dulu sangat mengagumi bunga sakura. Ia sangat memimpikan untuk hal itu, entah bagaimana caranya ia akan mendapatkan bunga sakura dari Jepang. Tapi, itulah mimpinya. Ia yakin, akan ada orang yang akan memberikannya bunga sakura.
“Dahulu kala, di sebuah hutan yang rindang hiduplah ayam betina yang di … “, cerita Timi terputus ketika dia melihat ke arah Kensi yang tertidur pulas disampingnya.
“Yah, dia tidur. Baru mulai saja sudah tertidur begitu. Mungkin karena suaraku yang begitu merdu”, ia tersipu malu mendengar perkataannya tadi. Sungguh percaya diri yang luar biasa. “Selamat tidur sayang, malam ini sungguh damai. Semoga kau mimpi indah dan hari esok akan lebih baik untuk kita”, kata Timi sambil tersenyum dan menyelimuti adiknya. Tak lupa ia juga memberi kecupan di kening Kensi, lalu berangkat ke ruang tengah.
“Kensi sudah tidur Bu, sepertinya dia tidur pulas sekali karena bermain tadi siang. Ayah mana Bu?” tanya Timi pada ibunya.
“Iya Tim, kamu cerita apa tadi? Ayah belum pulang, masih di surau. Sudah salat? “ jawab ibunya.
“Cerita yang di buku barunya tadi sebentar Bu, tapi dia langsung tertidur. Belum Bu, aku salat dulu”, jawab Timi sambil menuju tempat wudunya.
Setelah selesai salat, ia kembali ke ruang tengah.
“Bu, tadi siang Kensi cerita tentang bunga sakura dari Jepang lagi. Haha, dia lucu Bu. Timi jadi ingat dengan rencana Timi untuk kuliah di Jepang itu Bu. Jadi Timi kan bisa wujudkan mimpi Kensi”.
“Ibu tidak larang kamu untuk itu. Tapi Ibu sama bapak juga pikir-pikir dulu. Ini masalah uang nak, kamu tau keadaan kita kan? Mau pakai apa kamu kesana? Bisa tidak pulang kamu nanti. Kalau di Jawa, kita punya tabungan yang cukup, nak. Beasiswa kamu dari sekolah juga sudah bisa membantumu”.
“Iya Bu, Timi mengerti. Kalau masalah uang Timi kan sudah usahakan mencari beasiswa, Timi sudah coba usulkan beasiswa. Timi ingin sekali di fakultas ekonomi di Tokyo Daigaku (Todai) itu Bu. Urusan pendaftaran di Todai kan sudah selesai dan juga pendaftaran di Jawa. Tiga hari lagi hasil beasiswa tersebut bisa dilihat Bu. Mudah-mudahan Timi dapat beasiswanya. Sekarang yang Timi butuhkan adalah izin dan doa restu Ibu sama Bapak dulu”.
“Iya nak, pasti Ibu izinkan kalau untuk itu dan Ibu juga mengerti. Ibu menghargai kamu, kamu siswa terpandai di sekolah. Ibu rasa kamu berhak memilih dan mendapatkan apa yang kamu inginkan. Nanti Ibu coba tanya Bapakmu”.
“Baik Bu, Timi tidur dulu. Ibu jangan lama-lama buat keripik ubinya. Sudah malam, Bu”.
“Jangan khawatirkan ibumu. Tidurlah dulu!”
Setelah di kamar, ia berkata-kata. Entah itu berbisik, entah berdoa, entah juga bernyanyi.
“Aku akan dapat beasiswa, mendaftar di Todai, pergi ke Jepang, berfoto di depan bunga sakura, membawakan bunga sakura untuk Kensi, entah aku harus mengambil bunganya, daunnya, pohonnya, bahkan akarnya dalam keadaan sudah layu ataupun tetap segar. Apapun untuk Kensi. Hahaha.” Ia tersenyum membayangkan senyum Kensi dan ekspresi wajahya saat menceritakan tentang bunga sakura. Terlebih lagi ketika melihat poster bunga sakura yang tergantung di dinding kamarnya.
“Kamu Kensi, sudah membuatku seperti perempuan saja, ada poster merah jambu terpampang di kamar. Tenang sayang, aku akan belajar giat disana dan akan menjadi orang yang sukses nanti. Setelah itu, akan aku bawa keluarga kita ke Jepang. Akan aku perlihatkan kau bunga sakura yang aslinya. Bukan yang tiruan, bukan yang layu, bukan hanya sekedar poster atau bukan hanya ada dalam alam pikiranmu saja. Setelah kerja, kau akan kubiayai sekolah sampai selesai. Akan bekerja dengan layak walaupun keadaanmu begitu. Lalu akan aku carikan kau calon suami yang baik”, ia sedikit tersenyum lagi menyadari apa yang baru ia katakan. Ia berdoa, dan terlelap dalam dunia indah, dunia mimpi.
Tiga hari kemudian. Sungguh penantian yang lama bagi Timi. Pagi itu sarapan sudah terhidang di atas meja makan. Dendeng balado dan sayur bunga kol kesukaan Timi. Dilengkapi kerupuk udang manambah nikmatnya sarapan pagi itu. Inilah hari yang membuatnya harap-harap cemas. Usai salat Duha ia memohon kepada Allah agar apa yang dia inginkan dapat tercapai. Tak lama kemudian, ia bersiap-siap dan berpamitan kepada orang tua untuk melihat pengumuman beasiswa ke warung internet yang jaraknya cukup jauh dari rumah Timi. Maklum, fasilitas sepeti itu jarang ditemui di kampungnya. Setelah ia berselancar di internet, tak disangka dan tak diduga, syukur alhamdulillah Timi berhasil mendapat beasiswa dari salah satu perusahaan rokok ternama untuk melanjutkan kuliah di Todai, seperti yang ia impikan. Berkali-kali ia melihat namanya, alamatnya, dan nama sekolahnya. Ia khawatir matanya keliru melihat. Betapa riang tak terkira ia melihat pengumuman tersebut. Ini artinya ia akan melanjutkan mimpinya dan akan mencapai cita-citanya menjadi seorang pengusaha, lalu akan memberikan bunga sakura dari Jepang untuk Kensi. Tentunya ia tak sabar memberi tahu keluarga di rumah. Bahkan ia hampir lupa membayar upah internetnya. Seharusnya ia tahu, kalau ia adalah pelanggan pertama, jadi tidak boleh mengutang. Segera ia mengambil motor kesayangannya. Speedometer motornya hampir berlari di atas kecepatan 90 km/jam. Ia berusaha berlari secepat petir.
“Kensi senang uda bisa kuliah di Jepang. Walaupun kita akan jauh, tapi demi cita-cita uda tidak apa-apa uda jauh disana. Asalkan uda selalu ingat sama Kensi dan keluarga, juga kehidupan kita disini. Kensi tidak mau bunga sakura itu dulu, yang penting uda bisa kuliah disana dan wujudkan cita-cita uda. Kensi sayang uda”.
“Hahaha. Iya adik, uda ingin sekali kuliah disana. Uda ambil manajemen di Todai. Kalau sudah lulus, insya Allah uda ingin jadi pengusaha. Nah, nanti adik uda ajak ke Jepang sama ibu dan bapak yah. Rencananya uda dua bulan lagi ke Jepang. Sekarang harapan uda adalah di terima di Todai. Adik doakan saja uda”.
“Pasti itu uda”, jawab Kensi sambil mengangkat jempol dan menggerak-gerakkannya.
Timi mempersiapkan semuanya. Ia terus belajar dan diselingi dengan bekerja di warung makan untuk membantu bapaknya dan sekaligus untuk menambah uang saku ke Jepang nanti. Timi merasa dengan membawakan bunga sakura untuk Kensi, akan membuat Kensi sungguh bahagia. Inilah motivasi keduanya untuk ke Jepang. Entah mengapa ia sangat ingin mengabulkan permintaan adiknya itu. Bunga sakura, itulah yang selalu menemani pikirannya. Di kamarnya juga ada poster bunga sakura dengan latar belakang gunung Fuji, lalu bertuliskan “buat Kensi, adikku”.
Tak sampai tiga minggu setelah ia mendapat berita baik tersebut. Siang itu memang mendung. Timi berfirasat tidak baik, sangat buruk. Betullah Timi. Ia seakan-akan terasa dilanda badai besar ketika menerima surat dari sebuah perusahaan rokok bahwa beasiswa yang ia dapat dibatalkan, karena perusahaan tersebut terancam bangkrut besar, sangat bangkrut mendadak. Matanya tak lepas dari kata-kata yang mengiris hatinya. Timi seperti pohon kelapa yang disambar petir, ia hanya bisa terdiam. Punah sudah harapannya. Itu satu-satunya yang diharapkan Timi untuk ke Jepang. Apa yang harus ia lakukan? Mimpinya kuliah di Jepang dan bunga sakura untuk Kensi juga ikut sirna. Ini artinya ia akan tetap di Indonesia dan tak ada bunga sakura untuk Kensi. Keningnya berkerut tujuh lapis. Timi takut memberi tahu Kensi soal ini. Ia hanya harus bersabar, mencoba menerima kenyataan, dan belajar mengerti semua ini.
“Kensi tidak usah diberikan bunga sakura, juga tidak apa-apa. Asalkan uda bisa tersenyum lagi, dan tidak murung terus seperti ini. Uda siapa ini? Bukan uda Kensi kalau begini”, Kensi mencoba mengacak poni Timi.
“Adik, tapi adik bilang mau bunga sakura, dan uda sudah janji sama adik. Sekarang uda tidak bisa menepati janji itu”.
“Sudah uda, sekarang Kensi tidak mau lagi bunga sakura itu, Kensi mau bunga matahari yang ditanam di rumah mamak Dali saja, bagaimana?”
“Hahahaha, adik ini. Katanya dulu bunga sakura itu lambang perempuan, lambang kesedihan, lambang kehidupan, dan lambang kebahagiaan. Bunga yang mekarnya di musim semi, dari awal bulan April sampai akhir bulan April. Adik bilang itu sama dengan bulan kelahiran adik. Bunganya yang lebih dahulu mekar sebelum daun-daunnya mulai keluar, juga sering adik sebut-sebut. Termasuk baunya yang harum, walaupun adik belum pernah menciumnya sendiri. Adik selalu bilang begitu, mana bisa diganti dengan bunga mataharinya mamak Dali? Tidak ada apa-apanya dik”.
“Itu kan kalau adik lihat di TV atau adik baca di majalah Bobo da. Adik juga tidak terlalu percaya. Sudah uda, yang paling penting itu uda kuliah dulu. Kan uda yang katakan waktu adik mau masuk SD, kalau semua sekolah itu sebenarnya sama, tinggal kita menjalaninya. Jadi, di Jepang dan di Indonesia itu sama saja. Ibu bilang di Jawa juga bagus univsritasnya”.
“Dasar adik uda. Pintar, tapi sok tahu juga ya. Bukan univsritas sayang, tapi universitas. Hahaha. Ya sudah. Sekarang uda mengerti. Uda harus kuliah yang benar di sini, lalu kerja agar bisa ke Jepang nanti”.
“ Iya uda”, jawab Kensi sembari mengangkat tanganya sebagai isyarat untuk tos. Kakak beradik ini tampak akrab sekali.
“Dahulu kala, di sebuah hutan yang rindang hiduplah ayam betina yang di … “, cerita Timi terputus ketika dia melihat ke arah Kensi yang tertidur pulas disampingnya.
“Yah, dia tidur. Baru mulai saja sudah tertidur begitu. Mungkin karena suaraku yang begitu merdu”, ia tersipu malu mendengar perkataannya tadi. Sungguh percaya diri yang luar biasa. “Selamat tidur sayang, malam ini sungguh damai. Semoga kau mimpi indah dan hari esok akan lebih baik untuk kita”, kata Timi sambil tersenyum dan menyelimuti adiknya. Tak lupa ia juga memberi kecupan di kening Kensi, lalu berangkat ke ruang tengah.
“Kensi sudah tidur Bu, sepertinya dia tidur pulas sekali karena bermain tadi siang. Ayah mana Bu?” tanya Timi pada ibunya.
“Iya Tim, kamu cerita apa tadi? Ayah belum pulang, masih di surau. Sudah salat? “ jawab ibunya.
“Cerita yang di buku barunya tadi sebentar Bu, tapi dia langsung tertidur. Belum Bu, aku salat dulu”, jawab Timi sambil menuju tempat wudunya.
Setelah selesai salat, ia kembali ke ruang tengah.
“Bu, tadi siang Kensi cerita tentang bunga sakura dari Jepang lagi. Haha, dia lucu Bu. Timi jadi ingat dengan rencana Timi untuk kuliah di Jepang itu Bu. Jadi Timi kan bisa wujudkan mimpi Kensi”.
“Ibu tidak larang kamu untuk itu. Tapi Ibu sama bapak juga pikir-pikir dulu. Ini masalah uang nak, kamu tau keadaan kita kan? Mau pakai apa kamu kesana? Bisa tidak pulang kamu nanti. Kalau di Jawa, kita punya tabungan yang cukup, nak. Beasiswa kamu dari sekolah juga sudah bisa membantumu”.
“Iya Bu, Timi mengerti. Kalau masalah uang Timi kan sudah usahakan mencari beasiswa, Timi sudah coba usulkan beasiswa. Timi ingin sekali di fakultas ekonomi di Tokyo Daigaku (Todai) itu Bu. Urusan pendaftaran di Todai kan sudah selesai dan juga pendaftaran di Jawa. Tiga hari lagi hasil beasiswa tersebut bisa dilihat Bu. Mudah-mudahan Timi dapat beasiswanya. Sekarang yang Timi butuhkan adalah izin dan doa restu Ibu sama Bapak dulu”.
“Iya nak, pasti Ibu izinkan kalau untuk itu dan Ibu juga mengerti. Ibu menghargai kamu, kamu siswa terpandai di sekolah. Ibu rasa kamu berhak memilih dan mendapatkan apa yang kamu inginkan. Nanti Ibu coba tanya Bapakmu”.
“Baik Bu, Timi tidur dulu. Ibu jangan lama-lama buat keripik ubinya. Sudah malam, Bu”.
“Jangan khawatirkan ibumu. Tidurlah dulu!”
Setelah di kamar, ia berkata-kata. Entah itu berbisik, entah berdoa, entah juga bernyanyi.
“Aku akan dapat beasiswa, mendaftar di Todai, pergi ke Jepang, berfoto di depan bunga sakura, membawakan bunga sakura untuk Kensi, entah aku harus mengambil bunganya, daunnya, pohonnya, bahkan akarnya dalam keadaan sudah layu ataupun tetap segar. Apapun untuk Kensi. Hahaha.” Ia tersenyum membayangkan senyum Kensi dan ekspresi wajahya saat menceritakan tentang bunga sakura. Terlebih lagi ketika melihat poster bunga sakura yang tergantung di dinding kamarnya.
“Kamu Kensi, sudah membuatku seperti perempuan saja, ada poster merah jambu terpampang di kamar. Tenang sayang, aku akan belajar giat disana dan akan menjadi orang yang sukses nanti. Setelah itu, akan aku bawa keluarga kita ke Jepang. Akan aku perlihatkan kau bunga sakura yang aslinya. Bukan yang tiruan, bukan yang layu, bukan hanya sekedar poster atau bukan hanya ada dalam alam pikiranmu saja. Setelah kerja, kau akan kubiayai sekolah sampai selesai. Akan bekerja dengan layak walaupun keadaanmu begitu. Lalu akan aku carikan kau calon suami yang baik”, ia sedikit tersenyum lagi menyadari apa yang baru ia katakan. Ia berdoa, dan terlelap dalam dunia indah, dunia mimpi.
Tiga hari kemudian. Sungguh penantian yang lama bagi Timi. Pagi itu sarapan sudah terhidang di atas meja makan. Dendeng balado dan sayur bunga kol kesukaan Timi. Dilengkapi kerupuk udang manambah nikmatnya sarapan pagi itu. Inilah hari yang membuatnya harap-harap cemas. Usai salat Duha ia memohon kepada Allah agar apa yang dia inginkan dapat tercapai. Tak lama kemudian, ia bersiap-siap dan berpamitan kepada orang tua untuk melihat pengumuman beasiswa ke warung internet yang jaraknya cukup jauh dari rumah Timi. Maklum, fasilitas sepeti itu jarang ditemui di kampungnya. Setelah ia berselancar di internet, tak disangka dan tak diduga, syukur alhamdulillah Timi berhasil mendapat beasiswa dari salah satu perusahaan rokok ternama untuk melanjutkan kuliah di Todai, seperti yang ia impikan. Berkali-kali ia melihat namanya, alamatnya, dan nama sekolahnya. Ia khawatir matanya keliru melihat. Betapa riang tak terkira ia melihat pengumuman tersebut. Ini artinya ia akan melanjutkan mimpinya dan akan mencapai cita-citanya menjadi seorang pengusaha, lalu akan memberikan bunga sakura dari Jepang untuk Kensi. Tentunya ia tak sabar memberi tahu keluarga di rumah. Bahkan ia hampir lupa membayar upah internetnya. Seharusnya ia tahu, kalau ia adalah pelanggan pertama, jadi tidak boleh mengutang. Segera ia mengambil motor kesayangannya. Speedometer motornya hampir berlari di atas kecepatan 90 km/jam. Ia berusaha berlari secepat petir.
“Kensi senang uda bisa kuliah di Jepang. Walaupun kita akan jauh, tapi demi cita-cita uda tidak apa-apa uda jauh disana. Asalkan uda selalu ingat sama Kensi dan keluarga, juga kehidupan kita disini. Kensi tidak mau bunga sakura itu dulu, yang penting uda bisa kuliah disana dan wujudkan cita-cita uda. Kensi sayang uda”.
“Hahaha. Iya adik, uda ingin sekali kuliah disana. Uda ambil manajemen di Todai. Kalau sudah lulus, insya Allah uda ingin jadi pengusaha. Nah, nanti adik uda ajak ke Jepang sama ibu dan bapak yah. Rencananya uda dua bulan lagi ke Jepang. Sekarang harapan uda adalah di terima di Todai. Adik doakan saja uda”.
“Pasti itu uda”, jawab Kensi sambil mengangkat jempol dan menggerak-gerakkannya.
Timi mempersiapkan semuanya. Ia terus belajar dan diselingi dengan bekerja di warung makan untuk membantu bapaknya dan sekaligus untuk menambah uang saku ke Jepang nanti. Timi merasa dengan membawakan bunga sakura untuk Kensi, akan membuat Kensi sungguh bahagia. Inilah motivasi keduanya untuk ke Jepang. Entah mengapa ia sangat ingin mengabulkan permintaan adiknya itu. Bunga sakura, itulah yang selalu menemani pikirannya. Di kamarnya juga ada poster bunga sakura dengan latar belakang gunung Fuji, lalu bertuliskan “buat Kensi, adikku”.
Tak sampai tiga minggu setelah ia mendapat berita baik tersebut. Siang itu memang mendung. Timi berfirasat tidak baik, sangat buruk. Betullah Timi. Ia seakan-akan terasa dilanda badai besar ketika menerima surat dari sebuah perusahaan rokok bahwa beasiswa yang ia dapat dibatalkan, karena perusahaan tersebut terancam bangkrut besar, sangat bangkrut mendadak. Matanya tak lepas dari kata-kata yang mengiris hatinya. Timi seperti pohon kelapa yang disambar petir, ia hanya bisa terdiam. Punah sudah harapannya. Itu satu-satunya yang diharapkan Timi untuk ke Jepang. Apa yang harus ia lakukan? Mimpinya kuliah di Jepang dan bunga sakura untuk Kensi juga ikut sirna. Ini artinya ia akan tetap di Indonesia dan tak ada bunga sakura untuk Kensi. Keningnya berkerut tujuh lapis. Timi takut memberi tahu Kensi soal ini. Ia hanya harus bersabar, mencoba menerima kenyataan, dan belajar mengerti semua ini.
“Kensi tidak usah diberikan bunga sakura, juga tidak apa-apa. Asalkan uda bisa tersenyum lagi, dan tidak murung terus seperti ini. Uda siapa ini? Bukan uda Kensi kalau begini”, Kensi mencoba mengacak poni Timi.
“Adik, tapi adik bilang mau bunga sakura, dan uda sudah janji sama adik. Sekarang uda tidak bisa menepati janji itu”.
“Sudah uda, sekarang Kensi tidak mau lagi bunga sakura itu, Kensi mau bunga matahari yang ditanam di rumah mamak Dali saja, bagaimana?”
“Hahahaha, adik ini. Katanya dulu bunga sakura itu lambang perempuan, lambang kesedihan, lambang kehidupan, dan lambang kebahagiaan. Bunga yang mekarnya di musim semi, dari awal bulan April sampai akhir bulan April. Adik bilang itu sama dengan bulan kelahiran adik. Bunganya yang lebih dahulu mekar sebelum daun-daunnya mulai keluar, juga sering adik sebut-sebut. Termasuk baunya yang harum, walaupun adik belum pernah menciumnya sendiri. Adik selalu bilang begitu, mana bisa diganti dengan bunga mataharinya mamak Dali? Tidak ada apa-apanya dik”.
“Itu kan kalau adik lihat di TV atau adik baca di majalah Bobo da. Adik juga tidak terlalu percaya. Sudah uda, yang paling penting itu uda kuliah dulu. Kan uda yang katakan waktu adik mau masuk SD, kalau semua sekolah itu sebenarnya sama, tinggal kita menjalaninya. Jadi, di Jepang dan di Indonesia itu sama saja. Ibu bilang di Jawa juga bagus univsritasnya”.
“Dasar adik uda. Pintar, tapi sok tahu juga ya. Bukan univsritas sayang, tapi universitas. Hahaha. Ya sudah. Sekarang uda mengerti. Uda harus kuliah yang benar di sini, lalu kerja agar bisa ke Jepang nanti”.
“ Iya uda”, jawab Kensi sembari mengangkat tanganya sebagai isyarat untuk tos. Kakak beradik ini tampak akrab sekali.
Timi Fadrian Abbas, kini telah menjadi seorang mahasiswa di kota Prambanan. Ia tawakal dan mengerti bahwa inilah jalan yang digariskan oleh Allah. Orang tua Timi dan kedua adiknya sangat mendukung Timi. Ia bermimpi akan menjadi seorang pemimpin kelak. Dengan modal ilmu dan prestasi yang ada pada dirinya, ia percaya diri untuk bersaing dimana saja. Karena ia tahu, percuma saja menjadi harimau, jika berada di kandang kambing. Jika berada di kandang harimau tapi tak bisa menjadi harimau, setidak-tidaknya kita bisa menjadi anak harimau. Begitulah, seperti yang bapaknya selalu ajarkan.
Sibuk, sangat sibuk. Kini Timi sibuk mengemasi barang-barang yang akan ia bawa. Mulai dari perlengkapan dan kebutuhannya, sampai sibuk mendalami pelajaran. Selama disana ia akan tinggal di asrama, tentunya akan jauh dari orang tua, Kensi, dan kehidupannya di kampung. Jauh dalam lubuk hatinya, ia sangat berat meninggalkan Kensi dengan keadaannya seperti itu. Timi berpesan kepada Kensi untuk tetap menjadi adik yang solehah, baik, rajin belajar, tidak nakal, rajin membantu, suka senyum, sayang kepada bapak dan ibu, dan selalu menabung. Sampai-sampai Kensi pun mengatakan udanya lebih pantas menjadi seorang guru, karena Timi mirip guru PKn saat menceramahi Kensi.
“Adik, uda besok berangkat ya. Kata ibu adik juga harus ikut”.
“Apa? Jadi adik ikut ke Klaten? Waw, asik dong. Adik bisa main ke candi Prambanan. Tapi, adik kan sekolah da”.
“Hahahaha. Bukan sayang. Adik harus ikut ke bandara antarkan uda, ke ban-da-ra. Kita berangkatnya setelah adik pulang sekolah”.
“Yaaah…” Kensi tampak kecewa.
“Loh, kenapa wajahnya seperti cucian kotor dik? Uda tahu, pasti adik akan sangat sangat sangat merindukan uda kan? Adik tidak bisa hidup tanpa uda yang paling baik dan ganteng ini kan?” ucap Timi dengan nada sombong dan penuh percaya diri sembari memainkan poninya.
“Ah uda. Masih sempat-sempatnya begitu. Nanti kalau Kensi mau belajar sama siapa lagi? Mau ngaji? Mau antarkan sekolah? Siapa lagi yang akan mendongengkan Kensi, dan siapa lagi yang mau mendengarkan cerita Kensi tentang bunga sakura selain uda. Kensi kan sedih ditinggal uda, Kensi pura-pura kuat, tau? Kensi sedih nih”.
“Maafkan uda dik, uda cuma bercanda. Kensi jangan sedih ya. Uda akan selalu ada dekat adik, adik jangan risau. Uni kan juga sering pulang nanti. Bisa belajar sama uni atau telepon saja uda, nanti uda akan telepon balik”.
“Iya uda. Selamat belajar juga ya, disana. Uda harus lebih rajin lagi. Uda baik-baik disana ya”. Wajah Kensi serius, ia tampak jelas takut kehilangan Timi yang akan pergi jauh. Suasana jadi hening, mereka diam. Timi sangat mengerti maksud Kensi.
Timi pun memeluk Kensi dengan erat. Ia berkata, “Uda sangat sayang adik dan juga bapak sama ibu.”
Kensi membalasnya dengan senyuman dan hanya mengangguk.
”Bunga sakuranya besok ya dik?” tanya Timi. Namun Kensi hanya mempererat pelukannya kepada Timi, ia hanya bisa merangkul dengan satu tangan dan kini ia sedikit meneteskan air mata.
Semua barang telah dipersiapkan. Usai salat Zuhur, mereka akan berangkat ke Bandara Internasional Minangkabau. Pesawatnya akan terbang pukul 13.45 siangi. Hembusan angin sejuk perpisahan di ruang tunggu terasa begitu menyentuh keluarga ini. Melihat Kensi yang tidak bisa lagi menyembunyikan rasa takutnya. Namun, Timi berusaha untuk selalu menghiburnya.
“Jadi, adik maunya bunga sakura yang kecil atau yang besar?”
“Adik mau uda, uda yang tetap sayang sama adik dan uda yang adik sayang. Itu saja”, jawabnya ringkas.
Timi tersenyum. Ia tahu, semenjak ia gagal mendapat beasiswa untuk kuliah di Jepang, Kensi tidak terlalu banyak membicarakan soal bunga sakura. Kensi takut membebani pikirannya dan membuatnya sedih. Namun baginya janji tetap janji dan janji harus dibayar.
Jam keberangkatannya pun tiba. Ia menyalami tangan ibu dan bapak sembari meminta restu. Lalu ia menciumi kening Kensi.
“Uda pergi dulu Bu, Pak, Kensi. Kensi, jaga Ibu dan Bapak ya”, Timi melambaikan tangannya.
Sesampainya di asrama, ia selalu teringat wajah keluarga di kampung. Timi segera menghubungi ibunya. Memberi kabar sekaligus melepas rindu. Hari-hari di Yogyakarta belum sepenuhnya ia nikmati, sekalipun kota Prambanan tersebut lebih maju dan megah. Tapi ranah minang lebih dari apapun baginya. Ranah minang dengan suara azannya yang selalu berkumandang dan ranah minang yang selalu sepi ketika magrib datang. Termasuk pakaian wanita minang yang lebih sopan dengan kerudungnya.
Hari pertama ospek. Timi sudah menyiapkan segalanya, mental dan fisiknya. Ia selalu teringat akan pesan Kensi yang sangat cerewet. Sebelum berangkat, ia memandangi foto keluarga. Benda ajaib yang bisa menyemangatinya.
Pembukaan hari pertama ospek bersamaan dengan festival budaya yang bertemakan “Menghargai budaya lokal dan budaya Asia”. Timi pun tak lupa berkunjung setelah usai acara pembukaan ospek. Diliriknya sana-sini budaya-budaya asing dan budaya asli Indonesia. Disana ia dapat membeli peci dari India untuk bapak. Untuk ibu, sebuah pemarut ubi asli buatan Klaten agar ibu bisa lebih cepat membuat keripik ubinya. Juga, tak lupa untuk adik-adiknya, baju hasil buatan budaya Malaysia.
Teristimewa sekali untuk Kensi, sebuah miniatur bunga sakura yang tentunya ia dapat dari stan budaya Jepang. Bunga-bunganya dapat bersinar dalam gelap. Bunga itu akan menemani Kensi tidur di kamar sebagai pengganti dirinya yang selalu mendongengkan Kensi sebelum tidur. Bunga sakura itu terpampang indah dalam kotak kaca. Timi sengaja membelikan ukuran yang besar. Sungguh senang hatinya dapat membeli bunga sakura itu. Setidaknya, ia dapat memenuhi setengah dari janjiinya terhadap Kensi.
Segera ia bungkuskan hadiah-hadiah tersebut dan ia paketkan untuk dikirim ke kampung. Betapa riang hatinya dapat membelikan hadiah-hadiah tersebut meski sedikit bermasalah dengan kantongnya dihari pertama ospek.
“Kensi, jangan sedih lagi. Akan uda kirimkan pengganti uda yang selalu menemanimu, yang akan selalu ada di dekatmu”.
Timi pun mengirimkan ke kampung tanpa terlebih dahulu memberi tahu keluarganya. Ia berharap ini akan menjadi sebuah kejutan. Semua senang menerima titipan dari Timi tersebut. Ibu akan lebih cepat memarut ubinya dan bapak yang insya Allah akan lebih khusyuk salat dengan peci pemberiannya. Adiknya akan terlihat cantik dengan baju darinya. Sedangkan Kensi, dia adalah orang yang paling bahagia diantara mereka, ia mendapat bingkisan dengan kartu pengirim bertuliskan “Buat Kensi, adikku sayang”.
Kensi tersenyum sangat dalam. “Terima kasih uda, Kensi tahu uda akan selalu ingat kensi disana dan juga untuk bunga sakura ini. Yaa Allah, jaga uda di sana ya Allah. Amin”.
PROFIL PENULIS
Pelajar SMA kelas X.. Bukan siapa-siapa melainkan seorang yang sedang mencoba meraih mimpi..
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar