Rabu, 02 Mei 2012

Cerpen Cinta Romantis "Semanis Air Tebu"

SEMANIS AIR TEBU
Cerpen Angga Mardian

Sebelas tahun setelah kepindahanku ke kota, akhirnya aku bisa punya waktu untuk pulang ke desa Jati. Desa tempatku tumbuh semasa kecil. Setelah sampai di terminal, aku bermaksud mencari ojek. Saat aku berjalan, seorang laki-laki bertubuh kekar mengikutiku dari arah belakang. Merasa tidak nyaman, kupercepat langkah kakiku. Aku berlari kearah sebuah kompleks perumahan yang tak jauh dari situ, dimana ada sekelompok orang duduk-duduk. Lelaki itu tetap mengikutiku, dia mendekatiku dan mengejarku. Sontak akupun meneriakinya rampok, lelaki itu langsung dirubung massa dan akupun melarikan diri.

Sampai di perbatasan desa, aku menyewa delman untuk mengantarku ke rumah lamaku. Udara sejuk pedesaan membuat hatiku tentram. Melihat para petani yang sedang panen, mengingatkan aku pada Rahmat, teman masa kecilku. Sejenak aku teringat kenangan, dimana setiap aku bersedih, Rahmat selalu datang memberikanku sebatang tebu yang telah dipotongnya dan berkata “kuharap air tebu yang manis ini bisa mengembalikan senyum manismu Aya”, sambil menyodorkan tebu kearahku. Dialah alasan mengapa aku pulang ke desa, karna aku merindukan Rahmat.
“kamu siapa cu?”,tanya nenekku.
“saya Cahaya nek, Aya.”,jawabku. Nenek sedikit bingung, namun akhirnya beliau ingat juga. Maklum, karena saat usiaku 9 tahun, keluargaku pindah ke kota. Nenekku tinggal bersama kakek, kehidupan mereka sangat rukun dan harmonis. Walau kini kakek dan nenek berusia 75 dan 68 tahun, tapi semangat mereka tetap seperti saat muda. Membuatku terkagum-kagum. Keesokan harinya aku pergi ke rumah Rahmat, kulihat sepasang ayunan ban karet bergantungan didepan rumahnya. Sekejap saja, terbayang saat aku dan Rahmat bermain ayunan dengan begitu ceria. Bayangan masa lalu yang indah.
“cari siapa dek?”, tanya seorang ibu-ibu.
“bude Narsih, Rahmat nya ada?”, tanyaku balik. bude Narsih mulai terlihat bingung.
“ah, adek siapa ya?”, tanya bude Narsih.
“saya Aya, teman kecil Rahmat”, jawabku.
“Cahaya?, ya Allah, kamu sudah besar nak? Ya Allah Cantiknya, bude sampek lupa, ayo masuk”,kata bude sembari menarik tanganku. Suasana rumah Rahmat tidak jauh berbeda dengan 11 tahun lalu, tetap bersih dan sejuk. Aku dan bude Narsih pun berbincang-bincang sebentar. Bude narsih menceritakan tentang Rahmat kepadaku, sungguh lucu dan menggemaskan.
“waktu SMP tuh ya, si Rahmat nggak mau disunat. Nah suatu hari waktu dia main bola, dia pecahin kaca rumah pak RT, habis itu pakde marah besar. Si Rahmat langsung dibawa ke dokter, disunatin , mau nggak mau dia harus nurut sama pakde”,kenang bude Narsih. Aku tertawa keras mendengar cerita-cerita Rahmat, lucu sekali.
“terus sekarang Rahmat kemana bude?”,tanyaku. Bude Narsih berhenti tertawa dan memberitahuku tentang kepergiannya.
“dari kemarin, si Rahmat belum pulang. Katanya, dia mau menemui cinta sejatinya”,jawab bude Narsih. Mendengarnya, hatiku ini bagai dihujam jarum yang tajam dari segala arah. Aku pun langsung permisi untuk pergi kesawah.


Sampai disawah, aku menuju gubuk kecil diantara ladang padi dan tebu. Aku menangis terisak, berharap Rahmat ada didekatku dan memberiku tebu yang telah dipotongnya.
“ternyata aku datang untuk sebuah kekecewaan, hiks..hiks….”,tangisku.
“Rahmat, kamu janji kalau di ulang tahunku yang ke-20 nanti akan menjemputku dan menemuiku disini…tapi…tapi kau tak datang…kau…kau malah menjemput……..
“Mungkin aku gagal menjemputmu, tetapi aku telah berhasil menemuimu. Ini, kuharap air tebu yang manis ini bisa mengembalikan senyum manismu”, terdengar suara dari arah belakangku. Suara yang lembut dan kuyakini.
“Rahmat”, kataku sembari berbalik dan bermaksud memeluknya. Tapi betapa terkejutnya aku, saat aku berbalik yang kudapati adalah lelaki kekar yang mengejarku di terminal siang itu.
“kamu?, ternyata kamu Rahmat?”,tanyaku sedikit tak percaya. “ya Aya, ini benar aku, Rahmat, Cinta Sejatimu”, jawabnya dengan lembut. Aku terharu dan memeluknya erat-erat. Tak lupa aku meminta maaf pada Rahmat karena kejadian kemarin, Rahmat jadi ditahan di pos keamanan kompleks selama 24 jam. Dia ragu jika aku ini Aya, teman masa kecilnya. Jadi dia ikuti aku dengan mengendap-endap. Aku tertawa mendengar ceritanya.

Sore ini begitu indah, Rahmat telah menjadi kekasihku, dan kami menikmati sore ini dengan ditemani manisnya tebu potongan Rahmat. Cintaku ini sungguh manis, semanis air tebu.

PROFIL PENULIS
Nama : Hangga Mardian
TTL : Tulungagung, Maret 1994
Add FB: hm_i@ymail.com
Takkan Berhenti Menulis Imajinasi

Baca juga Cerpen Cinta dan Cerpen Romantis yang lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar