THE STORY
Cerpen Momo Angelina
Dunia, aku ingin bercerita tentang sedikit kisahku kepadamu.
Cerita ini cerita jelek.
Tidak ada arti yang indah tentang cerita ini.
Yah.. Sesuai namanya.
Ini ceritaku.
Cerita jelek dan tidak mempunyai arti ini adalah ceritaku.
Cerita hidupku.
****
Lelaki itu tadi gendut besar. Perutnya membuncit dan kakinya panjang. Kulitnya putih bersih seperti terawat. Sama seperti istrinya.
Mereka itu tadi kaya. Si lelaki selalu membuang uang berpuluh-puluh ribu hanya untuk membelikan anaknya sekotak donat mahal setiap ia pulang bekerja.
Dan si istri selalu membelikan pakaian pesta mahal untuk anaknya setiap ia pulang bekerja.
Begitu bahagianya anak itu. Pintar. Cantik. Dan selalu membuat si lelaki dan si istri bangga. Mereka pun wajar memanjakannya.
Saat itu malam hari.
Si lelaki entah mengapa menampar si istri begitu keras.
Anak itu bingung. Anak itu memeluk adik perempuannya yang terus menerus bertanya kenapa.
Mereka berdua menangis.
Si anak menangis karena ayahnya menampar sang ibu dan si adik menangis karena kakakknya ikut menangis.
Tangisan kedua anak kecil itu dapat berhenti.
Berhenti ketika suara bising orang dewasa bersumpah serapah itu selesai.
Dan kembali menangis lagi ketika sang ibu membawa tas besar dan tak kembali lagi.
***
Dunia, aku ingin bercerita tentang sedikit kisahku kepadamu.
Cerita ini cerita jelek.
Tidak ada arti yang indah tentang cerita ini.
Yah.. Sesuai namanya.
Ini ceritaku.
Cerita jelek dan tidak mempunyai arti ini adalah ceritaku.
Cerita hidupku.
****
Lelaki itu tadi gendut besar. Perutnya membuncit dan kakinya panjang. Kulitnya putih bersih seperti terawat. Sama seperti istrinya.
Mereka itu tadi kaya. Si lelaki selalu membuang uang berpuluh-puluh ribu hanya untuk membelikan anaknya sekotak donat mahal setiap ia pulang bekerja.
Dan si istri selalu membelikan pakaian pesta mahal untuk anaknya setiap ia pulang bekerja.
Begitu bahagianya anak itu. Pintar. Cantik. Dan selalu membuat si lelaki dan si istri bangga. Mereka pun wajar memanjakannya.
Saat itu malam hari.
Si lelaki entah mengapa menampar si istri begitu keras.
Anak itu bingung. Anak itu memeluk adik perempuannya yang terus menerus bertanya kenapa.
Mereka berdua menangis.
Si anak menangis karena ayahnya menampar sang ibu dan si adik menangis karena kakakknya ikut menangis.
Tangisan kedua anak kecil itu dapat berhenti.
Berhenti ketika suara bising orang dewasa bersumpah serapah itu selesai.
Dan kembali menangis lagi ketika sang ibu membawa tas besar dan tak kembali lagi.
***
Ia anak perempuan kecil yang masih berumur 6 tahun. Berponi pendek dan berambut helm. Ia polos. Tak tahu apa itu hidup. Tak tahu kenapa ia harus dipotong potongan rambut cupu itu.
Dan tak tahu sudah berapa lama ibunya menghilang.
Anak perempuan itu sempat bertanya.
Namun bukan tentang mengapa ibunya tak kunjung pulang.
Anak itu bertanya kepada ayahnya, “kenapa susuku berubah menjadi air putih selama 2 bulan ini, ayah?”
si ayah tersenyum, “kau sudah berubah menjadi dewasa nak. Sudah tidak wajar jika kau masih meminum susu itu.”
si anak menjawab, “tapi teman-temanku selalu meminum susu.”
si ayah mengelus ramutnya pelan, “berarti mereka semua masih kecil dan kau sudah dewasa.”
Lalu si anak berhenti bertanya.
Ia menatap ayahnya. Ayahnya tetap seperti dulu. Namun sedikit kurus dan lusuh kulitnya.
“ayah, mengapa donat mahal itu tak ayah bawa setiap malam seperti dulu lagi?” tanya si anak.
Si ayah tersenyum, “kau tahu? Donat itu tidak baik untuk anak yang sudah dewasa sepertimu. Nanti kau berubah gendut. Jadi tidak ayah belikan lagi.”
Si anak pun berhenti bertanya lagi.
Mungkin mengerti akan bahayanya jika ia berubah gendut nantinya.
***
Anak gadis berusia 14 tahun itu memegang dadanya.
Ada senyum mengambang di bibirnya.
Sebuah piagam emas digenggamnnya erat-erat.
Ketika sebuah panggilan dari ruang kepala sekolah memanggilnya, senyum itu meredup.
“kau senang mendapat piagam itu?” tanya kepala sekolah.
“ya, aku senang. Aku sangat senang bisa mengalahkan seluruh siswa-siswi kelas 1 smp dalam lomba fisika disini.” ucapnya dengan senang.
Kepala sekolah itu mendekatkan dirinya, “kau tahu? Ibumu tadi kesini. Ia memberikan seikat bunga ini untukmu. Katanya selamat telah memenangkan lomba ini.”
Anak gadis itu terdiam sebentar.
“kau harus tabah menghadapi masalah ini ya. Ibumu juga berkata salam kepada adikmu. Ia akan pulang secepatnya, katanya.”
kau tahu dunia?
Sampai gadis itu berkelas 3 smp, wanita yang katanya akan datang secepatnya itu tak datang juga.
***
Anak perempuan kecil itu sekarang sudah besar. Sudah memakai seragam putih merah dia sekarang.
Sekarang ia mengerti alasan mengapa wanita berkulit putih yang menghilang dulu itu pergi dari rumahnya.
alasan biasa.
Ekonomi.
Yah, hal yang sepele bukan?
Anak perempuan itu tidak menangis karena kepergian ibunya. Anak perempuan itu kuat sekarang.
Ia tidak malu ketika ayahnya berbaur dengan ibu-ibu memilih bahan-bahan untuk dimasak.
Ia tidak malu ketika dilihat hanya ayahnya seorang manusia berjenis kelamin laki-laki yang duduk mengantri untuk mengambil rapotnya.
Ia tidak malu ketika keluarganya ganjil dilihat orang.
Ia, kakaknnya dan ayah yang amat menyayanginya itu amat bahagia dengan kehidupannya sekarang.
Yah, itu kehidupan.
Orang itu, pasti akan kembali.
***
“gue dapet rumah di pulogadung. Jadi kalian mau ikut siapa? Mama atau papa?”
Benar.
Wanita itu muncul lagi.
Muncul dengan sebuah berita besar, kedua anak itu harus memilih diantara mereka.
“aku ikut mama.” ucap gadis remaja itu tegas. Membuat sang ayah merunduk. Setelah ucapan gadis itu terlontar, mereka semua menatap seorang gadis kecil di pojokan.
Gadis itu menatap ayahnya.
Tidak.
Ia punya masa depan bukan?
Ketika harus setiap hari memakan sebungkus mi apa cukup untuk membuatnya sukses?
Ketika setiap hari harus terombang-ambing tentang uang sewa kontrakan apa cukup membuatnya sukses?
Ketika setiap hari harus memakai kaus kaki bolong apa cukup untuk membuatnya sukses?
“aku ikut mama.” jawabnya lemas.
***
Malam harinya, keluarga itu pindah. Si ayah tetap ikut. Dan itu membuat anak keduanya senang.
Mereka semua tertidur lelap setelah semua barang berat itu masuk kedalam rumah sang ibu.
Pagi hari yang hangat membuat si anak yang paling kecil terbangun. Ia berjalan keliling ruangan untuk mencari ayahnya. Tapi sedari tadi yang ditemukannya hanya ibu yang sedang beberes dan kakak yang sedang tertidur saja.
“ayah mana, ma?”
“gue usir.”
Lemas.
Ya, itu adalah perasaan yang ia rasa.
Ia menatap kesekeliling rumah itu. Koper dan tas besar ayahnya tak ada.
Ayahnya benar sudah pergi.
Tanpa membangunkannya..
Tanpa ucapan perpisahan..
Tanpa pelukan..
Ia pergi.
“ma.” panggilnya lembut.
“mm?”
“ayah pergi kemana tanpa uang dan tempat tinggal?”
“mana gue tahu.”
Anak itu berjalan ke kamar mandi. Menutup pintu dan menguncinya. Membuka keran airnya hingga besar dan menangis sekerasnya.
***
Tidak. Ceritaku tidak habis sampai disana. Masih panjang dan banyak lagi kata yang ingin kutuliskan disini.
Tapi itu tak cukup besar untuk melukiskan semuanya di 2 lembar kertas A4 ini.
Aku hanya akan menuliskan ujungnya saja.
Akhirnya kami tinggal dengan ayah kami lagi.
Ya, kami memilih tinggal dengannya dengan rumah sepetak di suatu perkampungan dijakarta selatan.
Kau tahu?
Ketika ia diusir oleh ibuku, ia benar-benar bingung untuk tinggal dimana.
Uang tak ada.
Pekerjaan tak punya.
Untuk kembali lagi ke rumah kontrakan kami itu sudah tak mungkin untuknya. Kami pindah diam-diam pada malam itu, karena uang sewa bulanan rumah itu belum bisa dilunasi olehnya.
Alhamdulillah ia tak bunuh diri, dunia.
Tidak menghempaskan tubuhnya saat kereta berjalan.
Tidak menceburkan dirinya ketika air sungai sedang dalam-dalamnya.
Ia kuat.
Sama sepertiku.
***
Dunia tidak berputar pada ayahku saja. Ia juga berputar pada ibuku.
Kau tahu? Walaupun ia terlihat angkuh dihadapan keluarganya, sebenarnya didalam hatinya itu hanya terdapat selembar daun kering yang jika diinjak dapat hancur begitu saja.
Ya, rapuh.
Begitulah definisi kerapuhan dari sang wanita tua itu, ibuku.
Kau tahu?
Ia menangis dalam sholat saat mendengar kami lebih memilih hidup dengannya dibandingkan dengan suaminya.
Ia menangis sesegukan setelah mengusir suaminya.
Ia menangis setelah kami kembali hidup dengan suaminya.
Dan kau tahu?
Ia selalu menangis karena hidupnya kembali sendiri.
Dan hal inilah yang membuatku tak bisa membencinya.
***
“mama, Bisakah mama pulang dan mengelus kepalaku lagi ketika mama selesai sholat tahajud? Mama tahu? Aku selalu berpura-pura tidur nyenyak ketika mama melakukan hal itu padaku. Agar supaya mama tidak berhenti melakukannya untukku. Mama, kau tahu? Aku sangat menyayangimu. Sebesar apapun mama mengacuhkanku, aku tetap bertema kasih pada Tuhan, karena telah memberikan ibu yang kuat seperti mama. Terima kasih Tuhan.”
“ayah, kau tahu siapa orang pertama yang akan kuberikan gaji kerjaku padamu? Yaitu, engkau. Ayahku. Kau tahu siapa orang yang akan kulindungi sampai mati? Yaitu engkau. Ayahku. Orang yang sabar membuatkan susu untukku. Orang yang ikhlas memasakan air panas untukku mandi. Ayah.. Terima kasih telah menjadi orang tuaku. Terima kasih telah menjadi ibuku selama mama menghilang. Terima kasih telah ikhlas menjadi ayahku.
Terima kasih, ayah.”
*tamat*
Dan tak tahu sudah berapa lama ibunya menghilang.
Anak perempuan itu sempat bertanya.
Namun bukan tentang mengapa ibunya tak kunjung pulang.
Anak itu bertanya kepada ayahnya, “kenapa susuku berubah menjadi air putih selama 2 bulan ini, ayah?”
si ayah tersenyum, “kau sudah berubah menjadi dewasa nak. Sudah tidak wajar jika kau masih meminum susu itu.”
si anak menjawab, “tapi teman-temanku selalu meminum susu.”
si ayah mengelus ramutnya pelan, “berarti mereka semua masih kecil dan kau sudah dewasa.”
Lalu si anak berhenti bertanya.
Ia menatap ayahnya. Ayahnya tetap seperti dulu. Namun sedikit kurus dan lusuh kulitnya.
“ayah, mengapa donat mahal itu tak ayah bawa setiap malam seperti dulu lagi?” tanya si anak.
Si ayah tersenyum, “kau tahu? Donat itu tidak baik untuk anak yang sudah dewasa sepertimu. Nanti kau berubah gendut. Jadi tidak ayah belikan lagi.”
Si anak pun berhenti bertanya lagi.
Mungkin mengerti akan bahayanya jika ia berubah gendut nantinya.
***
Anak gadis berusia 14 tahun itu memegang dadanya.
Ada senyum mengambang di bibirnya.
Sebuah piagam emas digenggamnnya erat-erat.
Ketika sebuah panggilan dari ruang kepala sekolah memanggilnya, senyum itu meredup.
“kau senang mendapat piagam itu?” tanya kepala sekolah.
“ya, aku senang. Aku sangat senang bisa mengalahkan seluruh siswa-siswi kelas 1 smp dalam lomba fisika disini.” ucapnya dengan senang.
Kepala sekolah itu mendekatkan dirinya, “kau tahu? Ibumu tadi kesini. Ia memberikan seikat bunga ini untukmu. Katanya selamat telah memenangkan lomba ini.”
Anak gadis itu terdiam sebentar.
“kau harus tabah menghadapi masalah ini ya. Ibumu juga berkata salam kepada adikmu. Ia akan pulang secepatnya, katanya.”
kau tahu dunia?
Sampai gadis itu berkelas 3 smp, wanita yang katanya akan datang secepatnya itu tak datang juga.
***
Anak perempuan kecil itu sekarang sudah besar. Sudah memakai seragam putih merah dia sekarang.
Sekarang ia mengerti alasan mengapa wanita berkulit putih yang menghilang dulu itu pergi dari rumahnya.
alasan biasa.
Ekonomi.
Yah, hal yang sepele bukan?
Anak perempuan itu tidak menangis karena kepergian ibunya. Anak perempuan itu kuat sekarang.
Ia tidak malu ketika ayahnya berbaur dengan ibu-ibu memilih bahan-bahan untuk dimasak.
Ia tidak malu ketika dilihat hanya ayahnya seorang manusia berjenis kelamin laki-laki yang duduk mengantri untuk mengambil rapotnya.
Ia tidak malu ketika keluarganya ganjil dilihat orang.
Ia, kakaknnya dan ayah yang amat menyayanginya itu amat bahagia dengan kehidupannya sekarang.
Yah, itu kehidupan.
Orang itu, pasti akan kembali.
***
“gue dapet rumah di pulogadung. Jadi kalian mau ikut siapa? Mama atau papa?”
Benar.
Wanita itu muncul lagi.
Muncul dengan sebuah berita besar, kedua anak itu harus memilih diantara mereka.
“aku ikut mama.” ucap gadis remaja itu tegas. Membuat sang ayah merunduk. Setelah ucapan gadis itu terlontar, mereka semua menatap seorang gadis kecil di pojokan.
Gadis itu menatap ayahnya.
Tidak.
Ia punya masa depan bukan?
Ketika harus setiap hari memakan sebungkus mi apa cukup untuk membuatnya sukses?
Ketika setiap hari harus terombang-ambing tentang uang sewa kontrakan apa cukup membuatnya sukses?
Ketika setiap hari harus memakai kaus kaki bolong apa cukup untuk membuatnya sukses?
“aku ikut mama.” jawabnya lemas.
***
Malam harinya, keluarga itu pindah. Si ayah tetap ikut. Dan itu membuat anak keduanya senang.
Mereka semua tertidur lelap setelah semua barang berat itu masuk kedalam rumah sang ibu.
Pagi hari yang hangat membuat si anak yang paling kecil terbangun. Ia berjalan keliling ruangan untuk mencari ayahnya. Tapi sedari tadi yang ditemukannya hanya ibu yang sedang beberes dan kakak yang sedang tertidur saja.
“ayah mana, ma?”
“gue usir.”
Lemas.
Ya, itu adalah perasaan yang ia rasa.
Ia menatap kesekeliling rumah itu. Koper dan tas besar ayahnya tak ada.
Ayahnya benar sudah pergi.
Tanpa membangunkannya..
Tanpa ucapan perpisahan..
Tanpa pelukan..
Ia pergi.
“ma.” panggilnya lembut.
“mm?”
“ayah pergi kemana tanpa uang dan tempat tinggal?”
“mana gue tahu.”
Anak itu berjalan ke kamar mandi. Menutup pintu dan menguncinya. Membuka keran airnya hingga besar dan menangis sekerasnya.
***
Tidak. Ceritaku tidak habis sampai disana. Masih panjang dan banyak lagi kata yang ingin kutuliskan disini.
Tapi itu tak cukup besar untuk melukiskan semuanya di 2 lembar kertas A4 ini.
Aku hanya akan menuliskan ujungnya saja.
Akhirnya kami tinggal dengan ayah kami lagi.
Ya, kami memilih tinggal dengannya dengan rumah sepetak di suatu perkampungan dijakarta selatan.
Kau tahu?
Ketika ia diusir oleh ibuku, ia benar-benar bingung untuk tinggal dimana.
Uang tak ada.
Pekerjaan tak punya.
Untuk kembali lagi ke rumah kontrakan kami itu sudah tak mungkin untuknya. Kami pindah diam-diam pada malam itu, karena uang sewa bulanan rumah itu belum bisa dilunasi olehnya.
Alhamdulillah ia tak bunuh diri, dunia.
Tidak menghempaskan tubuhnya saat kereta berjalan.
Tidak menceburkan dirinya ketika air sungai sedang dalam-dalamnya.
Ia kuat.
Sama sepertiku.
***
Dunia tidak berputar pada ayahku saja. Ia juga berputar pada ibuku.
Kau tahu? Walaupun ia terlihat angkuh dihadapan keluarganya, sebenarnya didalam hatinya itu hanya terdapat selembar daun kering yang jika diinjak dapat hancur begitu saja.
Ya, rapuh.
Begitulah definisi kerapuhan dari sang wanita tua itu, ibuku.
Kau tahu?
Ia menangis dalam sholat saat mendengar kami lebih memilih hidup dengannya dibandingkan dengan suaminya.
Ia menangis sesegukan setelah mengusir suaminya.
Ia menangis setelah kami kembali hidup dengan suaminya.
Dan kau tahu?
Ia selalu menangis karena hidupnya kembali sendiri.
Dan hal inilah yang membuatku tak bisa membencinya.
***
“mama, Bisakah mama pulang dan mengelus kepalaku lagi ketika mama selesai sholat tahajud? Mama tahu? Aku selalu berpura-pura tidur nyenyak ketika mama melakukan hal itu padaku. Agar supaya mama tidak berhenti melakukannya untukku. Mama, kau tahu? Aku sangat menyayangimu. Sebesar apapun mama mengacuhkanku, aku tetap bertema kasih pada Tuhan, karena telah memberikan ibu yang kuat seperti mama. Terima kasih Tuhan.”
“ayah, kau tahu siapa orang pertama yang akan kuberikan gaji kerjaku padamu? Yaitu, engkau. Ayahku. Kau tahu siapa orang yang akan kulindungi sampai mati? Yaitu engkau. Ayahku. Orang yang sabar membuatkan susu untukku. Orang yang ikhlas memasakan air panas untukku mandi. Ayah.. Terima kasih telah menjadi orang tuaku. Terima kasih telah menjadi ibuku selama mama menghilang. Terima kasih telah ikhlas menjadi ayahku.
Terima kasih, ayah.”
*tamat*
PROFIL PENULIS
Name: Momo Angelina
TTL : Myeongdong, 21 August 1995
Add FB : maulidasinaga@ymail.com
I Hope U Like My Story
Name: Momo Angelina
TTL : Myeongdong, 21 August 1995
Add FB : maulidasinaga@ymail.com
I Hope U Like My Story
Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar