SEMANGAT SANG SAHABAT MENGGAPAI HIDAYAH
Karya Fany Nuriah
My Diary, hari ini aku merasa agak sedikit berbeda., rasa agak sunyi. Teman yang biasa ada disebelahku sedang sakit. Ya, Dini sakit sejak 2 hari yang lalu. Memang sebelumnya sudah hampir 2 bulan ia batuk-batuk namun ia tetap ke kampus dan belajar seperti biasanya. Membonceng ku naik sepeda motornya jika kami hendak pergi ke mesjid, ke warnet atau sekedar numpang membaca buku di toko buku dekat swalayan yang ada di persimpangan jalan. Semua ia lakukan seperti biasa, dan sekitar 2 minggu yang lalu batuknya sering kambuh. Batuk hingga wajahnya memerah dan kadang disertai rasa panas di badannya.
“Udah Din, coba periksa ke dokter aja. Batukmu itu dah hampir 2 bulan lho. Sejak ente libur semester kemarin sampai sekarang kok gak sembuh-sembuh”, kataku memberi saran.
Ia selalu mengatakan bahwa ia sudah minum obat batuk. Padahal yang ku maksud, ia pergi ke dokter dan cek apa penyakitnya. Emm..ya sudahlah. Pernah juga setelah itu, ia memberi kabar bahwa ia telah memeriksakan diri ke dokter, tapi bukan di cek benar-benar oleh dokternya, Dini hanya sekedar menyampaikan keluhan-keluhannya selama ini dan kemudian diberikan resep obat yang mesti ia beli.
Jum’at, 19 April 2010
Hari ini aku menjenguk Dini, dan ternyata dy, ia sakit tipus dan sekarang di rawat inap di rumah bersalin yang berada dekat dengan rumah ibunya. Dini orang Pariaman, Sumatera Barat. Dan di Medan ini, ia tinggal di rumah Ibunya yang ada di Simalingkar. Sore itu, aku, dan 2 orang teman sepengajian yakni Dewi dan Kak Ani pergi menjenguknya. Dini ikut mengaji kajian Islam rutin sejak semester 4. Ya dari sejak saat itulah kami mulai dekat, saat ia pertama kali memutuskan dengan berani untuk berjilbab.
My Diary, hari ini aku merasa agak sedikit berbeda., rasa agak sunyi. Teman yang biasa ada disebelahku sedang sakit. Ya, Dini sakit sejak 2 hari yang lalu. Memang sebelumnya sudah hampir 2 bulan ia batuk-batuk namun ia tetap ke kampus dan belajar seperti biasanya. Membonceng ku naik sepeda motornya jika kami hendak pergi ke mesjid, ke warnet atau sekedar numpang membaca buku di toko buku dekat swalayan yang ada di persimpangan jalan. Semua ia lakukan seperti biasa, dan sekitar 2 minggu yang lalu batuknya sering kambuh. Batuk hingga wajahnya memerah dan kadang disertai rasa panas di badannya.
“Udah Din, coba periksa ke dokter aja. Batukmu itu dah hampir 2 bulan lho. Sejak ente libur semester kemarin sampai sekarang kok gak sembuh-sembuh”, kataku memberi saran.
Ia selalu mengatakan bahwa ia sudah minum obat batuk. Padahal yang ku maksud, ia pergi ke dokter dan cek apa penyakitnya. Emm..ya sudahlah. Pernah juga setelah itu, ia memberi kabar bahwa ia telah memeriksakan diri ke dokter, tapi bukan di cek benar-benar oleh dokternya, Dini hanya sekedar menyampaikan keluhan-keluhannya selama ini dan kemudian diberikan resep obat yang mesti ia beli.
Jum’at, 19 April 2010
Hari ini aku menjenguk Dini, dan ternyata dy, ia sakit tipus dan sekarang di rawat inap di rumah bersalin yang berada dekat dengan rumah ibunya. Dini orang Pariaman, Sumatera Barat. Dan di Medan ini, ia tinggal di rumah Ibunya yang ada di Simalingkar. Sore itu, aku, dan 2 orang teman sepengajian yakni Dewi dan Kak Ani pergi menjenguknya. Dini ikut mengaji kajian Islam rutin sejak semester 4. Ya dari sejak saat itulah kami mulai dekat, saat ia pertama kali memutuskan dengan berani untuk berjilbab.
Aku jadi teringat dy, waktu dulu saat ia mulai memakai jilbab. Pada mulanya, Dini itu bukan seorang jilbaber yang ikut pengajian atau suka singgah di mesjid. Setelah tamat SMK di kota Medan, ia masuk kuliah di Unimed dan mengambil jurusan Pendidikan Ekonomi. Saat pertama kuliah, aku hanya sekedar mengenal nama dan wajahnya, bertegur sapa seadanya tanpa basabasi atau obrolan yang panjang yang menyegarkan. Aku biasa duduk berdekatan dengan Rivi, Suci dan Nisa. Karena memang awal perkenalan masuk kuliah mereka yang paling dahulu ku kenal dan langsung menjadi satu kelompok pada mata kuliah pertama yang memberikan tugas kelompok. Dan pada waktu yang sama Dini duduk di sudut lain, memilih teman kelompok yang juga duduk di dekatnya.
Memakai kaos ngepas atau kemeja dengan panjang seadanya dan celana jeans serta tas jinjing yang berwarna gelap, begitu lah ia pergi ke kampus. Rambutnya indah, lurus terurai panjang melewati bahunya. Ah, kala itu aku sama sekali tidak terlalu mengenalnya dy. Dan pada semester 2 aku mulai tau bahwa ia pandai dalam akuntansi karna jelas ia tamatan SMK jurusan Akuntansi. Aku tak segan-segan bertanya dengannya tentang tugas yang ku rasa menjelimet dengan istilah debet dan kredit tersebut. Respon Dini baik, ia menyambutku, menjelaskan dengan sabar walau kadang ia merasa kurang PeDe dalam menerangkan pelajaran. Ia selalu merasa kurang mahir untuk menjelaskan ke orang lain, namun ku tahu ia paham betul dengan pelajaran yang ku tanyakan ini. Hmmm...jangan-jangan memang akunya saja yang lama loading sampe-sampe Dini waktu itu mengulang beberapa kali penjelasannya...hehehe dasar lola alias loading lama ^_^.
Oya dy, ketika di semester 3, kami kelas Pendidikan Ekonomi di pisah menjadi 3 prodi: Akuntansi, Tata Niaga dan Administrasi perkantoran. Rivi di Tata Niaga, Suci dan Nisa di Administrasi Perkantoran, sedang aku masuk di Akuntansi. Kami terpisah. Aku yang sudah terbiasa bersama mereka kemana-kemana harus bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman yang sebahagiannya masih baru ku kenal. Eit...Dini juga masuk Akuntansi lo dy, jelas...wong dianya jago Akuntansi kok. Ketika itu Dini dan beberapa orang teman yang biasa dekat dengannya sejak semester satu juga masuk di Akuntansi. Wah, beruntung ya teman kompaknya bisa terus bersama.
Aku mulai berteman dengan siapa saja yang ada di dekat ku, ya siapa saja dy, yang mau ku ajak berbicara dan bisa di ajak bicara. Tentunya terutama yang ceweknya dy. Hingga suatu saat, ketika Dini sedang duduk di sebelahku dan aku sedang membaca buku kecil mengenai jilbab, kami berbincang. Dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang kabar keluarga, asli orang mana hingga berlanjut ke pembahasan tentang agama, hari kiamat, kematian, dosa, pahala, jilbab dan sebagainya. Pembicaraan mengalir begitu saja. Dan kemudian akhirnya ku pinjamkan buku yang sedang aku baca. Buku tentang jilbab, yang bercerita mengenai perintah berjilbab, kisah-kisah nyata mengenai orang yang memutuskan memakai jilbab, rintangan-rintangan yang sering dihadapi ketika berjilbab, dan manfaat dari berjilbab itu sendiri. Alhamdulillah ia menerimanya, dan dibaca seketika itu juga. Saat itu dosen belum datang, sambil menunggu dosen, kami asik dengan acara kami masing-masing. Ada yang bernyanyi, ada yang bercanda-canda, ada yang membaca buku atau sekedar melamun menghadapi jajaran kursi yang ada didepannya. Aku dan Dini sibuk dengan perbincangan tersendiri. Di sela-sela saat ia membaca, sesekali ia meminta penjelasan dan pendapatku. Kesempatan itu kugunakan untuk menjelaskan apa saja yang aku ketahui. Kadang ku lirik mimik wajahnya yang mengkerut, memahami dan merenungi setiap baris tulisan yang ia baca. Aku tak terlalu menanggapinya, tidak menanyakannya, hanya sekedar memperhatikan dan kemudian membiarkannya larut dalam pemahamannya sendiri atau bahkan kebingungan dan keresahan yang ia hadapi. Kontradiksi antara materi yang ia baca tentang perintah berjilbab dan kenyataan yang ada pada dirinya yang belum berjilbab.
Hingga tiba malam itu dy, yakni malam hari Raya Idul Adha, saat itu aku sibuk mengirim sms ucapan selamat Hari Raya Idul Adha ke sanaksaudara, guru-guru dan teman-teman, termasuk Dini. Dini membalas ucapan selamat itu, dan kemudian ia mengirim sms lagi yang kira-kira isinya seperti ini:
“Kiki, mulai skrng Dini pengn berubah. Ingin pke jilbb. Tp tdk bs sekaligus ki, liat aj bju2 Dni yg d lemari smuany pendk2 sprti yg biasa Dni pke”
Dan kubalas:
“iy Din, gk ap. Syukr Alhamdulillah Dini pnya keberanian utk mw berubh mnjdi muslimh yg sjti. Smua btuh proses Din, kt lkukn perubahn brsama2 scra berthap. Dan stelh ini, stlh kt brazzam tntu akn bnyak rintangn dn cobaan yg bkalan mnghalngi kt untk mnjdi yg lbh baik. Mdh2n Allah sellu mmbrikn prtolongn-Nya agr kt dpt ttp istiqomh di jlnnya, Aamiin”
“Allahumma aamiin” , balasnya.
Subhanallah...aku merinding dy membaca smsnya. Iya begitu yakin untuk mengenakan jilbab. Inikah hidayah itu dy, begitu cepat dan datang begitu saja, hanya melalui perbincangan singkat yang ringan. Allaahu yahdi mayyasyaa’ (Allah memberikan petunjuk bagi siapa yang ia kehendaki).
Diam-diam aku merasa iri dy. Kenapa?? Karena sejak saat itu ia terus menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. Ketika aku mengajaknya untuk ikut mengaji kajian Islam, Ia begitu semangat menimba ilmu dengan segala keterbatasan pengetahuan agama yang ada padanya. Ia tak malu-malu untuk bertanya dan meminta penjelasan. Dan yang aku ingat, dia tetap mengaji walau sakit sedang menyerang tubuhnya. Luar biasa.
Tak terasa dy hari demi hari kami semakin dekat dan akrab, aku seperti menemukan sebagian diriku, aku ceria dan bersemangat menghadapi hari-hariku di kampus. Aku punya sahabat untuk bisa ku ajak Dhuha di sela-sela padatnya jadwal kuliah, aku punya teman saat aku ingin membahas kajian agama, aku punya penyemangat saat aku mulai malas hadir dalam majlis ilmu dan sebagainya. Ke mesjid kami berdua, ke perpustakaan kami berdua, ke warnet kami berdua, bahkan kadang sesekali kami belanja ke pasar berdua. Dengan sepeda motornya, ia memboncengku kemana-mana. Emm kadang tak dipungkiri ada rasa segan di hati karena terus nebeng di sepeda motornya. Hehe...
Keakraban kami ternyata menjadikan ia agak jauh dari teman-teman yang biasa dengannya. Tapi begitulah Dini, ia tidak berkomentar, ia orang yang penyabar, lapang dada dan penolongan. Hiks hiks aku jadi kangen dia dy. Semoga dirimu cepat sembuh ya Din, agar kita bisa bersama-sama lagi menimba ilmu, bercanda-canda, dan berlomba dalam hal kebaikan Aamiin.
Ops..dah jam sebelas malam ni dy. Kiki bobok dulu ya. Wah wah untuk kali ni Kiki banyak banget nulisnya. Diary ku jangan bosen ya ndengerinnya. Oke deh mudah-mudah esok diriku menjadi yang lebih baik dari hari ini.
Selasa, 23 April 2010
Pagi tadi aku dapat telf dy, dari mama Dini katanya ia makin parah dan sekarang dirawat di ruang ICU di rumah sakit yang agak jauh dari rumah ibunya. Mamanya Dini telah jauh hari tiba di Medan untuk menemani Dini di rumah sakit. Mama Dini minta do’a atas kesembuhan Dini pada teman-teman sekelasnya.
Dan kemudian sore tadi, aku bimbang. Aku tau alamat rumah sakit dimana Dini di rawat. Searah menuju rumahku. Sedang ku lihat jam tangan ku, pukul 18.20 WIB sebentar lagi maghrib dan rumahku masih jauh dan harus naik angkot lagi. Kebimbangan yang berat yang kurasa, aku seperti orang linglung. Aku tiba di rumah sakit dan saat ku lihat di depan papan pengunguman bahwa ini bukan jam besuk, langkah ku mulai kaku. Aku sendirian saat itu, ingin masuk tapi bagaimana . . .jam besuk kira-kira setengah jam lagi baru mulai. Aku tidak berani kalau pulang terlalu malam. Dari rumah sakit ke rumah ku bisa mencapai 45 menit, itupun kalau tidak macet. Akhirnya kuputuskan untuk sholat maghrib dulu kemudian aku pulang, naik angkot yang ada di simpang dekat mesjid.
Insya Allah kamis aku akan menjenguk Dini. Kalau besok, rasanya tidak bisa karena pulang kuliah pukul 18.30. Ya Robb mudah-mudahan Dini tidak apa-apa, sembuhkan ia Ya Robb, berikan ketabahan padanya dalam menghadapi sakitnya. Aamiin.
Rabu, 24 April 2010
Sore itu Hp ku bergetar di ruangan kuliah, aku agak ragu mengangkatnya karena dosen sedang memberikan kuliah. Dengan sembunyi-sembunyi ku lihat Hp ku, nomor yang masih asing. Ku biarkan beberapa kali, sampai akhirnya nomor itu mengirim sms dan memberitahukan bahwa Dini telah pergi. Aku tak percaya, ku miscall nomor itu. Dan kemudian Hp ku pun bergetar kembali, dengan cepat ku angkat dan dengan suara yang agak pelan aku bersuara menjawab telf. Ternyata itu dari ibu Dini. Dan benar bahwa Dini sudah tiada. Tiba-tiba tes..tes..sesuatu yang dingin menetes dari mataku. Sebegitu cepatkah ia pergi. Padahal serasa baru kemarin ia menceritakan harapan-harapannya selepas kuliah nanti, serasa baru kemarin aku menyemangatinya untuk terus mengaji, dan menjaga sholat fardhu. Serasa baru beberapa hari yang lalu ia memintaku untuk menemaninya ke perpustakaan untuk mengganti foto kartu perpustakaan yang masih tidak memakai jilbab dengan yang berjilbab, memintaku untuk menyemangatinya agar bisa berhemat untuk bisa membeli jilbab dan baju muslim yang panjang nan longgar. Cerita ia yang ingin PPL bareng, rencana pergi ke rumah ku dan rencana aku untuk berlibur ke Sumatera Barat, sirna sudah. Memang benar kematian itu begitu dekat, kematian merupakan pemutus segala nikmat yang ada di dunia, kematian pasti akan datang tiada yang dapat mengedepankannya ataupun mengakhirkannya.
Jujur aku bangga pada mu Din, selama engkau hidup, ku dapati semangat hidup untuk menggapai sosok muslimah sejati. Kau tanggalkan baju-baju mahalmu yang masih pendek, kau ganti lagu-lagu yang berlirik syahwat dengan lirik Islami, kau basuh bibirmu dengan dzikir yang baru kau pelajari saat mengaji, dan kau relakan rambut indahmu tertutup oleh kain jilbab yang panjang. Subhanallah...walau dirimu tlah tiada namun semangatmu masih terasa, engkau bagai bunga di musim semi, biarkanlah ia mekar dengan membawa semerbak semangat dalam hatiku.
PROFIL PENULIS
Pengarang bernama Fany Nuriah, kuliah di Unimed Jurusan Pendidikan Akuntansi 2008. Pengarang bekerja sebagai salah satu tenaga pengajar di pondok pesantren modern Babussalam Teluk Bakung-Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara. Alamat facebook fany.nuriah@facebook.com