AKU BENCI GAY
Karya Tiur Sinurat
Salahkah aku yang terlahir dengan tubuh gemulai, salahkah aku yang punya perasaan sangat halus, salahkah aku yang tidak menyukai kemarahan. Ayah dan ibu sangat senang menantikan hari kelahiranku, apalagi saat menyaksikan aku lahir kedunia ini dengan jenis kelamin laki-laki, ayah mencium kening ibu sambil memegang tangannya penuh kasih, di telinga ibu di bisikkannya ucapan terima kasih, setidaknya seperti itulah cerita ibu mengenai aku.
Setelah ayah pergi meninggalkan dunia ini, ibu menjadi tulang punggung keluarga. Ibu sangat gesit mengerjakan apa saja yang bisa di kerjakannya. “yang penting halal’’ itulah jawaban ibu setiapkali aku menannyakan mengenai pekerjaannya yang kurasa lebih pantas di kerjakan oleh lelaki bukan seorang wanita. Rambut cepak lengkap dangan rokok di bibirnya memang sekilas ibu terlihat seperti seorang lelaki, tetapi bagiku ibu tetaplah ibu yang lembut dan pastinya sangat menyayangiku, karena sejak kecil setiap malam ibu selalu mencium keningku sambil berbisik;ini semua demi kamu anakku. Sudah tak terhitung lagi entah berapa kali aku meneteskan air mata setiap kali ibu berbisik seperti itu dan aku pun pura-pura tidur. Setiap pagi dan malam aku melihat sosok ibu yang lembut, tetapi setiap siang hari aku seperti melihat sosok ayah dalam diri ibu.
Setelah ayah pergi meninggalkan dunia ini, ibu menjadi tulang punggung keluarga. Ibu sangat gesit mengerjakan apa saja yang bisa di kerjakannya. “yang penting halal’’ itulah jawaban ibu setiapkali aku menannyakan mengenai pekerjaannya yang kurasa lebih pantas di kerjakan oleh lelaki bukan seorang wanita. Rambut cepak lengkap dangan rokok di bibirnya memang sekilas ibu terlihat seperti seorang lelaki, tetapi bagiku ibu tetaplah ibu yang lembut dan pastinya sangat menyayangiku, karena sejak kecil setiap malam ibu selalu mencium keningku sambil berbisik;ini semua demi kamu anakku. Sudah tak terhitung lagi entah berapa kali aku meneteskan air mata setiap kali ibu berbisik seperti itu dan aku pun pura-pura tidur. Setiap pagi dan malam aku melihat sosok ibu yang lembut, tetapi setiap siang hari aku seperti melihat sosok ayah dalam diri ibu.
Ibu begitu kuat dan tegar dalam menjalani hidup ini, belum pernah aku mendengar ibu mengeluh barang sekalipun mengenai pekerjaannya, mengenai gunjingan orang tentang dirinya yang tak mau menikah lagi hanya demi memperjuangkan aku yang tak punya masa depan menurut ramalan orang-orang dilingkungan kami, dan ibu juga tak mengeluh walau sejak kecil aku yang terlahir sebagai pria sering menangis karena tak tahan dengan ejekan teman-teman sepermainan.
Tetapi ibu boleh sedikit berbangga hati karena setelah tamat sekolah aku minta ijin untuk merantau ke kota J, ibu sangat terharu dan sangat mendukung akan niatku itu, sebab dengan berani merantau di ke kota lain menunjukkan bahwa aku bukan pria cengeng yang hanya bersembunyi di ketiak ibu, tetapi aku bisa belajar mandiri sehingga terkatuplah bibir-bibir yang biasa mencibir.
Perasaan bahagia yang luar biasa kurasakan melihat wajah ibu berseri dan bersemangat seperti kalah ayah masih hidup dulu, ya sudah lama sekali aku tak melihat ekspresi wajah ibu yang seperti itu. Dengan berat hati aku pun berangkat dari kota B ke kota J, kota J yang terkenal dengan racun dunianya, kota J yang terkenal juga dengan peluang suksesnya. Aku tak mau berfikir sesuatu yang buruk, aku hanya ingin sesuatu yang baik, sesuatu yang akan membuat ibu dan alm. Ayah bangga memiliki aku.
Sesaat aku terkesima melihat keindahan kota J dengan segala kemewahan yang di tawarkannya, tetapi kemudian aku tersadar kalau aku hanya mampu menyewa sebuah kamar kecil di sudut kotanya, ditempat berkumpulnya para perantau sama seperti aku. Teman yang membawa aku sampai ke kota J ini telah kembali kerutinitasnya sehingga tinggallah aku seorang diri di kamar mungil yang menjadi saksi awal kehidupanku di kota J ini.
Aku yang terbiasa membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tak betah berdiam diri, kurapikan semua pakaian teman yang telah menggunung, dari mencuci sampai menyetrikanya, tetapi aku harus mengurungkan niatku untuk memasak karena tidak tersedia dapur di tempat itu, sehingga aku harus keluar untuk mengenyangkan perutku. Saat kembali ke kost aku di sapa oleh seseorang, dia mengatakan bahwa aku terlihat rajin karena mau mencuci dan menyetrika pakaian teman sekampungku yang juga sekamar kost dengan ku, karena itu dia menawarkan aku pekerjaan di tempat dia bekerja. Aku sangat senang mendengar penawaran itu, tanpa pikir panjang aku langsung setuju. Aku langsung di bawa ke tempat kerjanya dan tak disangka langsung di terima, walau sedikit merasa tidak enak karena ijasa aku harus ku masukkan ke tas lagi karena pekerjaan itu tidak membutuhkan ijasa, cukup kerajinan saja. Aku sedikit malu pada ibu dan pada diri sendiri bekerja sebagai tukang cuci gosok di laundry kiloan, tetapi kemudian aku ingat kalau bulan berikutnya aku harus membayar kost dan aku butuh biaya hidup sehingga aku harus bisa mengerjakan apa saja asal halal seperti kata ibu.
Aku melakukan pekerjaanku dengan setulus hati, teman-teman senang dengan pekerjaanku, sampai pada akhirnya bos juga sering bercanda dengan kami, posisiku terus bergeser dari bagian belakang sampai akhirnya di depan, sementara teman yang menawarkan aku pekerjaan itu masih tetap bertugas di belakang. Aku tak menduga kalau hal ini membuat hubungan kami sebagai teman menjadi renggang. Semangkin hari cara teman-teman memandang aku menjadi berbeda, mereka mulai memperhatikan wajahku, cara bicaraku, cara berjalanku dan mengangguk-angguk saat melihatku datang tetapi tidak menyapaku walau hanya sekedar saja. Tetapi bosku tidak demikian, dia selalu bersikap wajar bahkan bersikap seperti memperlakukan anaknya sendiri sehingga aku sedikit terhibur. Suatu hari bos meminta aku datang ke ruangannya sendirian saja, aku disuruh duduk tetapi kemudian menggenggam tanganku, aku menjadi risih dan hendak pergi, tetapi bos sangat cepat sampai ke pintu kemudian menguncinya sehingga aku menjadi semangkin panik, aku sangat terkejut saat mendengar pernyataan bos yang mengatakan menyukaiku semenjak tau dari temanku kalau aku seorang gay sebab bos juga seorang gay. Penghinaan yang terang-terangan itu benar-benar seperti silet yang mengiris hatiku, sehingga tubuhku menjadi gemetaran dan membuat aku tak bisa menahan air mata. Aku berteriak mengatakan tidak, aku bukan gay, kemudian mendorong si bos sekuat tenaga sampai terhempas ke lantai, kemudian aku mengambil kuncinya dengan gemetar ku buka pintu, aku tidak tau entah apa yang mengenai kepala si bos sampai berdarah dan tidak bangkit lagi, ingin rasanya menolong tetapi aku lebih memilih untuk pergi dari tempat itu dan segera melarikan diri.
Aku tak berani kembali ke kost, tetapi teman sekampungku menjadi panik mengetahui aku belum kembali sampai larut malam, dia terus meneloponku, sehingga aku pun memintanya untuk menemuiku di tempat lain dan segera mencarikan aku tempat kost yang lain. Akhirnya aku di titipkan di kost temannya, seorang pria tampan dan ramah. Setelah mendengar kisahku, dia memintaku untuk memanggilanya Ronny, aku pun merasa lega bisa meninggalkan tempat sumpek itu.
Aku tak menyangka kalau Tuhan menciptakan manusia sebaik Ronny, ke tampanan dan materinya yang terlihat berlimpahan tak membuatnya sombong. Entah sudah berapa lama aku menumpang di kamar kostnya yang mewah dengan fasilitas lengkap, tak serupiah pun pernah di tagihnya. Ronny mau membantu dengan merekomendasikan aku di perusahaan besar dan ternama, walau hanya sebagai OB tetapi aku bisa belajar banyak hal dan orang memperlakukan aku dengan hormat, aku senang bisa mengirimkan gaji pertamaku kepada ibu. Tetapi kemudian Ronny menyarankan aku agar menabung saja dulu, agar bisa kuliah sambil kerja, mengenai kiriman kepada ibu agar disisihkan saja sekian persen dari gaji setiap bulannya dan di kirim beberapa bulan sekali saja.
Saran Ronny telah membuat aku menyandang gelar SE, bukan hanya itu kini kami pun telah bekerja satu kantor, sungguh luar biasa kuasa Tuhan yang telah memberikan jalan bagiku untuk bisa sampai sejauh ini. Aku dan Ronny juga membuat usahan kecil-kecilan dan dari usaha tersebut kami bisa menjadi donatur tetap disalah satu panti asuhan.
Aku pulang ke kampung halaman dengan segala kesuksesan yang aku raih berkat ijin Tuhan, menjemput ibu untuk tinggal denganku di kota J. Tubuhku tetap gemulai dan hatiku tetap lembut, tetapi mereka tak lagi memandangku dan ibu dengan sebelah mata, bahkan saat berpamitan dengan warga setempat ibu mendapat permohonan maaf dari sekerumunan ibu-ibu yang mengatakan menarik ucapannya karena telah berani mengatakan ibu memperjuangkan anak yang tidak berguna.
Tetapi ibu boleh sedikit berbangga hati karena setelah tamat sekolah aku minta ijin untuk merantau ke kota J, ibu sangat terharu dan sangat mendukung akan niatku itu, sebab dengan berani merantau di ke kota lain menunjukkan bahwa aku bukan pria cengeng yang hanya bersembunyi di ketiak ibu, tetapi aku bisa belajar mandiri sehingga terkatuplah bibir-bibir yang biasa mencibir.
Perasaan bahagia yang luar biasa kurasakan melihat wajah ibu berseri dan bersemangat seperti kalah ayah masih hidup dulu, ya sudah lama sekali aku tak melihat ekspresi wajah ibu yang seperti itu. Dengan berat hati aku pun berangkat dari kota B ke kota J, kota J yang terkenal dengan racun dunianya, kota J yang terkenal juga dengan peluang suksesnya. Aku tak mau berfikir sesuatu yang buruk, aku hanya ingin sesuatu yang baik, sesuatu yang akan membuat ibu dan alm. Ayah bangga memiliki aku.
Sesaat aku terkesima melihat keindahan kota J dengan segala kemewahan yang di tawarkannya, tetapi kemudian aku tersadar kalau aku hanya mampu menyewa sebuah kamar kecil di sudut kotanya, ditempat berkumpulnya para perantau sama seperti aku. Teman yang membawa aku sampai ke kota J ini telah kembali kerutinitasnya sehingga tinggallah aku seorang diri di kamar mungil yang menjadi saksi awal kehidupanku di kota J ini.
Aku yang terbiasa membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tak betah berdiam diri, kurapikan semua pakaian teman yang telah menggunung, dari mencuci sampai menyetrikanya, tetapi aku harus mengurungkan niatku untuk memasak karena tidak tersedia dapur di tempat itu, sehingga aku harus keluar untuk mengenyangkan perutku. Saat kembali ke kost aku di sapa oleh seseorang, dia mengatakan bahwa aku terlihat rajin karena mau mencuci dan menyetrika pakaian teman sekampungku yang juga sekamar kost dengan ku, karena itu dia menawarkan aku pekerjaan di tempat dia bekerja. Aku sangat senang mendengar penawaran itu, tanpa pikir panjang aku langsung setuju. Aku langsung di bawa ke tempat kerjanya dan tak disangka langsung di terima, walau sedikit merasa tidak enak karena ijasa aku harus ku masukkan ke tas lagi karena pekerjaan itu tidak membutuhkan ijasa, cukup kerajinan saja. Aku sedikit malu pada ibu dan pada diri sendiri bekerja sebagai tukang cuci gosok di laundry kiloan, tetapi kemudian aku ingat kalau bulan berikutnya aku harus membayar kost dan aku butuh biaya hidup sehingga aku harus bisa mengerjakan apa saja asal halal seperti kata ibu.
Aku melakukan pekerjaanku dengan setulus hati, teman-teman senang dengan pekerjaanku, sampai pada akhirnya bos juga sering bercanda dengan kami, posisiku terus bergeser dari bagian belakang sampai akhirnya di depan, sementara teman yang menawarkan aku pekerjaan itu masih tetap bertugas di belakang. Aku tak menduga kalau hal ini membuat hubungan kami sebagai teman menjadi renggang. Semangkin hari cara teman-teman memandang aku menjadi berbeda, mereka mulai memperhatikan wajahku, cara bicaraku, cara berjalanku dan mengangguk-angguk saat melihatku datang tetapi tidak menyapaku walau hanya sekedar saja. Tetapi bosku tidak demikian, dia selalu bersikap wajar bahkan bersikap seperti memperlakukan anaknya sendiri sehingga aku sedikit terhibur. Suatu hari bos meminta aku datang ke ruangannya sendirian saja, aku disuruh duduk tetapi kemudian menggenggam tanganku, aku menjadi risih dan hendak pergi, tetapi bos sangat cepat sampai ke pintu kemudian menguncinya sehingga aku menjadi semangkin panik, aku sangat terkejut saat mendengar pernyataan bos yang mengatakan menyukaiku semenjak tau dari temanku kalau aku seorang gay sebab bos juga seorang gay. Penghinaan yang terang-terangan itu benar-benar seperti silet yang mengiris hatiku, sehingga tubuhku menjadi gemetaran dan membuat aku tak bisa menahan air mata. Aku berteriak mengatakan tidak, aku bukan gay, kemudian mendorong si bos sekuat tenaga sampai terhempas ke lantai, kemudian aku mengambil kuncinya dengan gemetar ku buka pintu, aku tidak tau entah apa yang mengenai kepala si bos sampai berdarah dan tidak bangkit lagi, ingin rasanya menolong tetapi aku lebih memilih untuk pergi dari tempat itu dan segera melarikan diri.
Aku tak berani kembali ke kost, tetapi teman sekampungku menjadi panik mengetahui aku belum kembali sampai larut malam, dia terus meneloponku, sehingga aku pun memintanya untuk menemuiku di tempat lain dan segera mencarikan aku tempat kost yang lain. Akhirnya aku di titipkan di kost temannya, seorang pria tampan dan ramah. Setelah mendengar kisahku, dia memintaku untuk memanggilanya Ronny, aku pun merasa lega bisa meninggalkan tempat sumpek itu.
Aku tak menyangka kalau Tuhan menciptakan manusia sebaik Ronny, ke tampanan dan materinya yang terlihat berlimpahan tak membuatnya sombong. Entah sudah berapa lama aku menumpang di kamar kostnya yang mewah dengan fasilitas lengkap, tak serupiah pun pernah di tagihnya. Ronny mau membantu dengan merekomendasikan aku di perusahaan besar dan ternama, walau hanya sebagai OB tetapi aku bisa belajar banyak hal dan orang memperlakukan aku dengan hormat, aku senang bisa mengirimkan gaji pertamaku kepada ibu. Tetapi kemudian Ronny menyarankan aku agar menabung saja dulu, agar bisa kuliah sambil kerja, mengenai kiriman kepada ibu agar disisihkan saja sekian persen dari gaji setiap bulannya dan di kirim beberapa bulan sekali saja.
Saran Ronny telah membuat aku menyandang gelar SE, bukan hanya itu kini kami pun telah bekerja satu kantor, sungguh luar biasa kuasa Tuhan yang telah memberikan jalan bagiku untuk bisa sampai sejauh ini. Aku dan Ronny juga membuat usahan kecil-kecilan dan dari usaha tersebut kami bisa menjadi donatur tetap disalah satu panti asuhan.
Aku pulang ke kampung halaman dengan segala kesuksesan yang aku raih berkat ijin Tuhan, menjemput ibu untuk tinggal denganku di kota J. Tubuhku tetap gemulai dan hatiku tetap lembut, tetapi mereka tak lagi memandangku dan ibu dengan sebelah mata, bahkan saat berpamitan dengan warga setempat ibu mendapat permohonan maaf dari sekerumunan ibu-ibu yang mengatakan menarik ucapannya karena telah berani mengatakan ibu memperjuangkan anak yang tidak berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar