I LOVE YOU JUST THE WAY YOU ARE
Karya Codet
Selama beberapa menit Yudi bolak-balik di kamarnya kostnya. Ia benar-benar panik. Dan hal itu membuat Doni ─ teman satu kostnya ─ risih. Padahal Doni sedang asyik membaca komik Salad Days.
“Yud, diam dong! Pusing tahu, liat lo mondar-mandir gitu!”
“Habis gimana, dong, Don!” Tampang Yudi seperti bertemu pembunuh. Ketakutan, memelas, dan penuh keringat. “Mami mau ke Indonesia! Dan kalau gue belum juga punya pacar, gue bakal dijodohkan dan dinikahkan!”
“Kenapa, bagus ‘kan? Apalagi dengan cewek bule!” Doni berdecak.
“Sok tahu lo. Bukan dengan cewek bule, tapi cewek Indonesia! Tapi bukan itu masalahnya, Don! Gue masih ingin bebas! Gue nggak suka terikat. Dan tentunya mana ada cewek yang mau kalau cowoknya ingin bebas!” Yudi kembali mondar-mandir.
Selama beberapa menit Yudi bolak-balik di kamarnya kostnya. Ia benar-benar panik. Dan hal itu membuat Doni ─ teman satu kostnya ─ risih. Padahal Doni sedang asyik membaca komik Salad Days.
“Yud, diam dong! Pusing tahu, liat lo mondar-mandir gitu!”
“Habis gimana, dong, Don!” Tampang Yudi seperti bertemu pembunuh. Ketakutan, memelas, dan penuh keringat. “Mami mau ke Indonesia! Dan kalau gue belum juga punya pacar, gue bakal dijodohkan dan dinikahkan!”
“Kenapa, bagus ‘kan? Apalagi dengan cewek bule!” Doni berdecak.
“Sok tahu lo. Bukan dengan cewek bule, tapi cewek Indonesia! Tapi bukan itu masalahnya, Don! Gue masih ingin bebas! Gue nggak suka terikat. Dan tentunya mana ada cewek yang mau kalau cowoknya ingin bebas!” Yudi kembali mondar-mandir.
Doni kasihan melihat Yudi. Tiba-tiba ia menjentikkan jarinya. “Gue punya ide! Gimana kalau lo pura-pura sudah punya pacar?”
Yudi mengangguk-angguk. “Boleh juga. Tapi siapa cewek itu, Don? Lagian gue ‘kan harus bayar dia….”
“Buat lo, uang bukan masalah ‘kan?”
“Iya sih…tapi siapa cewek itu, Don? Asal jangan cewek yang ngekost di sebelah gue, ya! Hiiii!” Yudi merinding mengingat kelakuan keponakan pemilik tempat kostnya itu.
Doni menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hm, Yud, yang ada dalam pikiran gue ya cewek itu!”
Yudi mengacak-acak rambutnya. Apa tidak ada cewek lain? Masa harus si keponakan pemilik kost itu? Tidak, tidak! Cewek itu liar, kasar, dan tomboy! Suka menjahili orang, urakan, hobi berkelahi, dan paling senang membuat orang sengsara! Hiiii! Iya, iya, rambutnya memang bagus, ikal alami dan melewati bahu. Rambutnya yang hitam itu selalu diikat ekor kuda, terkadang dijalin satu ke belakang. Usianya 2 tahun di atasku, tetapi sangat kekanakan! Yudi menjerit dalam hati.
Yudi berpikir keras. “Tidak ada waktu lagi untuk mencari cewek lain! Tinggal seminggu lagi Mami sudah di Indonesia! Terpaksa harus minta tolong Windy!”
Yudi dan Doni mencari Windy yang ternyata sedang mencuci motor vespa kesayangannya sambil bersiul. Penampilannya sangat urakan. Jeans yang sangat pendek, jauh di atas lutut; kaos biru tanpa lengan; sandal jepit yang sudah tua dan jelek dengan tali biru; rambut ikal diikat ekor kuda dengan bandana merah menyala.
Yudi maju dengan ragu mendekati Windy. Ia menyapanya. Windy menoleh dan tersenyum nakal. “Ada apa, burung kecil?”
Yudi menyimpan kepalan tangannya di sisi tubuhnya. Yudi berusaha untuk tersenyum. Dan ia menahan keinginannya untuk memukuli Doni yang sedang cekikikan di belakangnya. Setelah Yudi menyatakan keinginannya untuk berbicara empat mata, Windy mematikan keran dan meninggalkan ‘pekerjaannya’. Ia menyuruh Suki, pembantu Bu Ani, untuk melanjutkan mencuci motornya.
Yudi mengajak Windy ke kamarnya, sementara Doni keluar untuk membeli rokok.
Windy duduk di kursi dengan santai. Kaki kanannya ditumpangkan ke kaki kirinya. Yudi membuang muka saat matanya bertemu kaki Windy yang putih namun banyak luka akibat sering berkelahi. Yudi tersipu.
“Mau minum apa?” Yudi tetap berdiri.
Windy menatapnya tajam. “Gue ke sini karena tadi lo bilang ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan….”
“Oh…” Yudi menarik napas. “Gue minta lo untuk berpura-pura sebagai pacar gue.”
“Apa? Lo ngejek gue, ya?” Windy terbahak.
Yudi berdebar melihat Windy tertawa. Ia menggelengkan kepalanya dan menatap Windy. “Nyokap gue mau ke Indonesia seminggu lagi. Dan gue harus sudah punya pacar. Kalau tidak, gue bakalan dijodohkan dan dinikahkan.”
“Hanya itu?”
“Gue…masih belum ingin terikat dalam hubungan yang serius.”
Windy tersenyum dan memainkan ikal rambutnya.
Dari dekat, nih cewek cantik juga, pikir Yudi.
Tiba-tiba Windy bangkit dan berjalan ke arah Yudi. Tinggi tubuhnya di bawah dagu Yudi. Ia tersenyum nakal, hobinya. “Kalau gue nolak, gimana?”
“Please, lo mau minta berapa, gue kasih….”
Cara Windy menggaruk pelipisnya dan memajukan bibirnya membuat Yudi terpesona. Yudi kembali menggelengkan kepalanya, menghilangkan pikiran gilanya.
“Oke, burung kecil, gue kasihan sama lo.” Windy memegang kedua bahu Yudi. Matanya yang cokelat besar menatap Yudi.
Yudi berusaha keras untuk tidak melakukan hal-hal buruk. Wajah gadis itu sangat dekat dengan wajahnya dan aroma tubuh gadis itu menyentuh syaraf penciumannya. Butir-butir keringat mulai turun di wajah dan punggung Yudi. Apa Windy sedang merayunya untuk menciumnya?
Tapi kemudian Windy tersenyum manis. Bukan senyum nakal seperti hobinya, tapi senyum manis. “Bayarannya, lo harus nurutin apa yang gue mau.”
“Hah?”
“Bercanda! Tenang, Little Bird, gue tidak suka dibayar kalau urusan beginian. Oke, kalau ada perlu lagi, cari gue saja.” Windy melangkah dengan gaya tomboynya dan menutup pintu kamar kost.
Yudi menghela napas.
***
Saat ini Yudi sedang menunggu maminya di airport dengan Windy. Penampilan Windy tetap urakan. Kaos kuning tanpa lengan dibalut jaket jeans biru dan celana jeans biru pudar yang lututnya robek. Rambutnya dijalin satu ke belakang. Bibirnya yang berwarna merah muda mengenakan lipstik oranye. Ia terlihat cantik di mata Yudi.
Sebenarnya Yudi sudah memaksa Windy agar tampil lebih sopan, namun Windy menolaknya. “Kau tidak berhak mengatur penampilanku,” ujarnya saat itu.
Yudi tidak menyangka! Maminya sangat menyukai Windy! Malahan mereka terlihat akrab. Yudi sampai memegangi kepalanya yang pusing walaupun ia bernapas lega. Apa mami sudah tidak waras? Windy kan urakan…pikir Yudi.
Windy menoleh padanya dan mengedipkan matanya disertai dengan senyum. Lagi-lagi jantung Yudi berdebar. Kenapa aku jadi mengagumi semua yang ada pada diri gadis itu! Hanya dalam waktu satu minggu!
“Wah, Tante benar-benar tidak menyangka, kalau kau lebih muda dari Yudi! Sikapmu seperti anak SMU!” Megan yang dikenal pendiam dan sopan, tertawa lepas dengan Windy.
Mami sudah tidak waras, pikir Yudi.
Selama di Jakarta, Megan bermalam di hotel.
“Trims ya, Wind, berkat lo, gue tertolong.”
“Hm. Yud, gue heran sama lo. Kenapa sih, lo tidak mau terikat?” tanya Windy.
Saat ini Yudi dan Windy sedang mengobrol di atas atap kamar Windy. Windy biasa cari angin di sini.
Yudi memandangi berjuta bintang di angkasa. Seminggu yang lalu ia memang tidak ingin terikat dalam suatu hubungan. Namun kini perasaan itu sedikit demi sedikit menghilang. Karena Windy. Yudi tersenyum. “Memangnya lo suka terikat?”
“Kok malah balik tanya, sih?” Windy tertawa. “Hm, kalo gue kebalikan dari lo. Gue lebih suka hubungan yang mengikat dan gue lebih suka langsung menikah….” Windy menarik jaketnya sambil tersenyum memandang bulan purnama yang menggantung di langit malam berjuta bintang. Sepertinya ada kelinci yang sedang meminum teh di bulan, pikir Windy.
Yudi menatap Windy takjub, tidak menyangka dengan jawaban Windy. “Begitukah? Apa lo pernah berpacaran sebelumnya?”
“Gue kan tadi sudah bilang, gue tidak suka hubungan yang tidak mengikat seperti pacaran.”
“Lalu, kita ini?”
“Kita kan cuma pura-pura.” Windy mengangkat bahu, lalu tersenyum nakal pada Yudi. “Lo?”
“Apa?”
“Apa lo pernah berpacaran?”
“Belum. Tapi kalau sekedar kencan, sih, baru 2-3 kali, itu juga dipaksa Doni.”
Windy tertawa, membuat Yudi terpesona dan berdebar-debar. “Turun, yuk. Gue ngantuk, nih.”
***
Selama mami Yudi di Jakarta, Yudi masih berpura-pura pacaran dengan Windy. Seperti saat ini, mereka sedang makan di sebuah restoran. “Tante senang kalau hubungan kalian berlanjut ke pernikahan.”
“Benar, Mi?” Yudi tersenyum. “Jadi Mami betul-betul berpendapat seperti itu tentang kami?”
“Tentu saja. Windy, I like you very much.”
Windy tersenyum. “Boleh saya tahu alasannya, Tante?”
“Tante juga tidak tahu. Tapi sejak pertama bertemu, Tante merasa melihat diri Tante sewaktu muda.”
Yudi tercengang. “Apa? Maksud Mami, dulu Mami urakan, kasar, dan tomboy?”
Mami Yudi menjitaknya. Lalu mereka bertiga tertawa terbahak-bahak.
Dalam perjalanan pulang dari hotel, Yudi menyalakan tape, tapi Windy menggantinya dengan radio, yang memutar lagu ‘Seberapa Pantas’-nya Sheila on Seven.
“Ehem, eh, lo tidak masalah tidak dibayar?”
Windy nyengir. “Lo tidak akan sanggup membayar apa yang gue mau.”
“Elo mau apa?”
“Gue mau lo jadi babu gue!” Windy tertawa sangat kencang.
“Kau….”
“Gue hanya bercanda. Tenang, Yud, gue kan sudah bilang, gue tidak butuh bayaran.”
“Windy, apa lo mau serius sama gue? Pacaran sungguhan?” Jantung Yudi berdebar.
Sekejap Windy tertegun. Lalu ia menggeleng pelan. “Lo tidak akan mau deh, kalau gue bilang…gue pernah aborsi….”
Giliran Yudi yang tertegun.
Windy kembali tertawa, lebih kencang dari sebelumnya. “Bercanda!” Ia menghapus air matanya. “Ekspresimu itu…haha…seandainya tadi gue rekam! Gue kan tidak minat dengan pacaran, Yud…dan cowok muda.”
Ingin Yudi mencium Windy untuk menghentikan tawanya, namun pasti Windy akan menamparnya. Oh, jadi Windy tidak suka cowok yang lebih muda….
***
Esoknya….
Yudi membanting pintu mobil dan berjalan melewati Windy tanpa menoleh. Menyebalkan! Jadi ia lebih suka pada Fajar! Oke, Fajar memang sudah lulus kuliah dan sudah mempunyai pekerjaan tetap. Dan lebih tua empat tahun dari Windy!
Fajar tampan, bertubuh tegap, dan atletis. Baik, ramah, dan alim. Fajar tidak akan naksir lo, tahu! Lo kan urakan! Inginnya Yudi meneriakkan kata-kata itu pada Windy. Namun ia tidak sanggup. Ia jatuh cinta pada si urakan itu.
“Yud, lo lagi ngamuk?” Doni mengikuti Yudi memasuki kamar kost.
Yudi duduk di sofa dan menyalakan televisi. Lalu ia menonton acara senam kesehatan. Acara yang menampilkan tubuh perempuan seksi dan berparas cantik.
Doni bengong. Sejak kapan temannya hobi menonton acara senam? “Eh, Yud, gue lagi ngomong sama lo.” Doni ikut duduk di sofa.
“Jelas gue lagi marah, tahu!”
“Sama siapa?”
“Windy….”
“Kenapa? Oh, karena Windy ngobrol dengan Fajar? Lo kan cuma pura-pura pacaran dengannya. Lagipula lo harusnya berterima kasih karena ia tidak meminta bayaran.” Doni memindah saluran dan Yudi tidak protes.
Yudi mendelik. “Lo tahu, gue tuh naksir cewek kasar itu!”
Doni menganga, ia menjatuhkan remot di tangannya. “Hah?”
“Tapi…Windy nolak gue….” Yudi menunduk dan menutup wajahnya. “Katanya ia tidak suka pada cowok yang lebih muda. Gue merasa tersinggung….”
Doni tertawa. Ia menepuk punggung Yudi. “Akhirnya lo jatuh cinta juga, tapi sayang, cinta lo salah alamat!”
Yudi meringis. “Sialan lo, bukannya menghibur!”
Doni hanya mengangkat bahu.
***
Hari ini merupakan hari terakhir mami Yudi di Indonesia. Yudi dan Windy mengantar sampai airport. Megan menatap Windy. “Tante suka model baju dan rambutmu.”
Yudi memerhatikan pakaian yang dikenakan gadis itu. Kaos putih tanpa lengan dengan jaket putih, dan jeans biru. Di bawahnya ia mengenakan sepatu kets putih yang sepertinya baru. Rambutnya diikat ekor kuda, dan ia menyisakan sedikit helai rambut di pipi dan lehernya yang jenjang. Manis dan menggemaskan, pikir Yudi.
“Kalian harus selalu rukun, ya.”
Tiba-tiba Windy memeluk Megan. “Saya menyukai Anda, Tante. Saya senang dapat mengenal Anda.”
Megan menatap Windy. “Kenapa kau menangis?”
Windy menghapus air matanya. “Saya benar-benar menyukai Anda.”
Megan tersenyum. “Tante harap kalian menjadi pacar sungguhan. Tante juga sangat menyukaimu.”
“Apa? Bagaimana Tante tahu? Yudi cerita?”
Yudi menggeleng panik. “Mami kok tahu….”
Megan mengelus kepala Yudi dengan sayang. “Tentu saja Mami tahu, kau kan anak Mami. Yud, Mami tidak akan memaksa lagi untuk menjodohkanmu. Kau cari saja jodohmu dengan perlahan, oke. Jadi kau tidak harus membohongi Mami lagi.” Megan menoleh pada Windy. “Baiklah, Tante harus segera pulang. Lain kali kau yang ke Jerman, Yudi. Mami berharap kau ke Jerman dengan Windy.” Megan mengedipkan matanya.
Yudi memeluk maminya dengan erat. “Maaf, Mi…dan terima kasih….Salam untuk Papi dan Kak Madu.”
Setelah pesawat Megan lepas landas, Yudi mengajak Windy ke café. Windy berusaha menolak, namun Yudi tetap memaksa.
“Lo sekarang berani sama gue, ya! Gini deh, gue kasih tebak-tebakkan. Kalo lo bisa jawab, gue ikut lo ke café. Tapi kalo lo tidak bisa menebak, kita pulang.
Yudi mengangkat bahu.
Setelah Windy memberi tebak-tebakkan, Yudi berpikir keras. Yudi memang tidak terlalu suka tebak-tebakkan. Apa yang tidak basah walaupun terkena air? Tiba-tiba Yudi melihat sesuatu, lalu ia tersenyum dan menjawab, “bayangan.”
“Kok lo tahu?”
“Gue kan paling jago tebak-tebakkan.” kilahnya. “Ayo!” Yudi menggandeng Windy ke mobil. Yudi tidak akan memberi tahu Windy bahwa tadi ia melihat bayangan Windy di genangan air di tempat parkir mobil.
Pulang dari café, mereka langsung ke tempat kost. Namun di perjalanan, Windy meminta sesuatu. “Ada yang ingin gue bicarakan.”
“Gue sudah tahu.” Yudi menahan marah. Ia tersenyum dan melirik Windy. “Soal pacaran pura-pura ini kan? Gue mengerti, hari ini yang terakhir.” Yudi menggemeretakkan giginya. “Karena Fajar kan?”
“Fajar? Kenapa dengannya?”
“Lo berniat menjalin hubungan dengannya kan? Gue tahu, kok. Jangan tertawa, gue lagi serius….”
“Sori, soalnya lo salah tanggap, bodoh!”
“Gue tidak bodoh.”
“Iya, iya. Yud, sepertinya gue tertarik sama lo, deh.”
Yudi mengerem tiba-tiba. “Apa?”
“Gue tarik omongan gue. Gue suka sama lo, meskipun lo lebih muda dari gue. Lo mau jadi pacar gue?”
Yudi tidak dapat mengendalikan debar jantungnya yang seakan hendak melompat keluar. “Lo lagi nembak gue?”
Windy tidak tertawa seperti biasanya. Ia menatap Yudi serius, dan sepertinya agak salah tingkah. Ia mengangguk perlahan.
“Lo kan tidak suka sama yang namanya pacaran?”
“Kalau dengan lo, tidak masalah. Lagipula gue ngerti lo masih muda, masih jauh ke arah pernikahan.”
“Tidak.”
“Apa?”
“Gue…eh…gue memang tidak suka terikat. Tapi kalo dengan lo, tidak masalah.” Yudi tersenyum. ia meniru kata-kata Windy. “Gue bermaksud untuk minta lo nunggu gue setahun lagi, sampai gue lulus kuliah. Terus…gue bermaksud untuk melamar lo….”
Mata Windy berkaca-kaca. Yudi mendekatkan wajahnya dan mencium Windy. “Lo cantik.”
“Baru kali ini ada yang bilang begitu sama gue.…” Windy tersipu.
Yudi tersenyum dan menarik Windy ke pelukannya.
Dalam perjalanan pulang, Yudi pergi ke warung dan membeli 1 pak rokok.
Windy mengernyitkan alis. “Gue tidak tahu kalau lo suka….”
“Ini untuk Doni.” Yudi nyengir. Sebagai rasa terima kasih atas ide konyolnya yang malah sekarang Yudi anggap sebagai ide yang sangat brilliant!
“Buat lo, uang bukan masalah ‘kan?”
“Iya sih…tapi siapa cewek itu, Don? Asal jangan cewek yang ngekost di sebelah gue, ya! Hiiii!” Yudi merinding mengingat kelakuan keponakan pemilik tempat kostnya itu.
Doni menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hm, Yud, yang ada dalam pikiran gue ya cewek itu!”
Yudi mengacak-acak rambutnya. Apa tidak ada cewek lain? Masa harus si keponakan pemilik kost itu? Tidak, tidak! Cewek itu liar, kasar, dan tomboy! Suka menjahili orang, urakan, hobi berkelahi, dan paling senang membuat orang sengsara! Hiiii! Iya, iya, rambutnya memang bagus, ikal alami dan melewati bahu. Rambutnya yang hitam itu selalu diikat ekor kuda, terkadang dijalin satu ke belakang. Usianya 2 tahun di atasku, tetapi sangat kekanakan! Yudi menjerit dalam hati.
Yudi berpikir keras. “Tidak ada waktu lagi untuk mencari cewek lain! Tinggal seminggu lagi Mami sudah di Indonesia! Terpaksa harus minta tolong Windy!”
Yudi dan Doni mencari Windy yang ternyata sedang mencuci motor vespa kesayangannya sambil bersiul. Penampilannya sangat urakan. Jeans yang sangat pendek, jauh di atas lutut; kaos biru tanpa lengan; sandal jepit yang sudah tua dan jelek dengan tali biru; rambut ikal diikat ekor kuda dengan bandana merah menyala.
Yudi maju dengan ragu mendekati Windy. Ia menyapanya. Windy menoleh dan tersenyum nakal. “Ada apa, burung kecil?”
Yudi menyimpan kepalan tangannya di sisi tubuhnya. Yudi berusaha untuk tersenyum. Dan ia menahan keinginannya untuk memukuli Doni yang sedang cekikikan di belakangnya. Setelah Yudi menyatakan keinginannya untuk berbicara empat mata, Windy mematikan keran dan meninggalkan ‘pekerjaannya’. Ia menyuruh Suki, pembantu Bu Ani, untuk melanjutkan mencuci motornya.
Yudi mengajak Windy ke kamarnya, sementara Doni keluar untuk membeli rokok.
Windy duduk di kursi dengan santai. Kaki kanannya ditumpangkan ke kaki kirinya. Yudi membuang muka saat matanya bertemu kaki Windy yang putih namun banyak luka akibat sering berkelahi. Yudi tersipu.
“Mau minum apa?” Yudi tetap berdiri.
Windy menatapnya tajam. “Gue ke sini karena tadi lo bilang ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan….”
“Oh…” Yudi menarik napas. “Gue minta lo untuk berpura-pura sebagai pacar gue.”
“Apa? Lo ngejek gue, ya?” Windy terbahak.
Yudi berdebar melihat Windy tertawa. Ia menggelengkan kepalanya dan menatap Windy. “Nyokap gue mau ke Indonesia seminggu lagi. Dan gue harus sudah punya pacar. Kalau tidak, gue bakalan dijodohkan dan dinikahkan.”
“Hanya itu?”
“Gue…masih belum ingin terikat dalam hubungan yang serius.”
Windy tersenyum dan memainkan ikal rambutnya.
Dari dekat, nih cewek cantik juga, pikir Yudi.
Tiba-tiba Windy bangkit dan berjalan ke arah Yudi. Tinggi tubuhnya di bawah dagu Yudi. Ia tersenyum nakal, hobinya. “Kalau gue nolak, gimana?”
“Please, lo mau minta berapa, gue kasih….”
Cara Windy menggaruk pelipisnya dan memajukan bibirnya membuat Yudi terpesona. Yudi kembali menggelengkan kepalanya, menghilangkan pikiran gilanya.
“Oke, burung kecil, gue kasihan sama lo.” Windy memegang kedua bahu Yudi. Matanya yang cokelat besar menatap Yudi.
Yudi berusaha keras untuk tidak melakukan hal-hal buruk. Wajah gadis itu sangat dekat dengan wajahnya dan aroma tubuh gadis itu menyentuh syaraf penciumannya. Butir-butir keringat mulai turun di wajah dan punggung Yudi. Apa Windy sedang merayunya untuk menciumnya?
Tapi kemudian Windy tersenyum manis. Bukan senyum nakal seperti hobinya, tapi senyum manis. “Bayarannya, lo harus nurutin apa yang gue mau.”
“Hah?”
“Bercanda! Tenang, Little Bird, gue tidak suka dibayar kalau urusan beginian. Oke, kalau ada perlu lagi, cari gue saja.” Windy melangkah dengan gaya tomboynya dan menutup pintu kamar kost.
Yudi menghela napas.
***
Saat ini Yudi sedang menunggu maminya di airport dengan Windy. Penampilan Windy tetap urakan. Kaos kuning tanpa lengan dibalut jaket jeans biru dan celana jeans biru pudar yang lututnya robek. Rambutnya dijalin satu ke belakang. Bibirnya yang berwarna merah muda mengenakan lipstik oranye. Ia terlihat cantik di mata Yudi.
Sebenarnya Yudi sudah memaksa Windy agar tampil lebih sopan, namun Windy menolaknya. “Kau tidak berhak mengatur penampilanku,” ujarnya saat itu.
Yudi tidak menyangka! Maminya sangat menyukai Windy! Malahan mereka terlihat akrab. Yudi sampai memegangi kepalanya yang pusing walaupun ia bernapas lega. Apa mami sudah tidak waras? Windy kan urakan…pikir Yudi.
Windy menoleh padanya dan mengedipkan matanya disertai dengan senyum. Lagi-lagi jantung Yudi berdebar. Kenapa aku jadi mengagumi semua yang ada pada diri gadis itu! Hanya dalam waktu satu minggu!
“Wah, Tante benar-benar tidak menyangka, kalau kau lebih muda dari Yudi! Sikapmu seperti anak SMU!” Megan yang dikenal pendiam dan sopan, tertawa lepas dengan Windy.
Mami sudah tidak waras, pikir Yudi.
Selama di Jakarta, Megan bermalam di hotel.
“Trims ya, Wind, berkat lo, gue tertolong.”
“Hm. Yud, gue heran sama lo. Kenapa sih, lo tidak mau terikat?” tanya Windy.
Saat ini Yudi dan Windy sedang mengobrol di atas atap kamar Windy. Windy biasa cari angin di sini.
Yudi memandangi berjuta bintang di angkasa. Seminggu yang lalu ia memang tidak ingin terikat dalam suatu hubungan. Namun kini perasaan itu sedikit demi sedikit menghilang. Karena Windy. Yudi tersenyum. “Memangnya lo suka terikat?”
“Kok malah balik tanya, sih?” Windy tertawa. “Hm, kalo gue kebalikan dari lo. Gue lebih suka hubungan yang mengikat dan gue lebih suka langsung menikah….” Windy menarik jaketnya sambil tersenyum memandang bulan purnama yang menggantung di langit malam berjuta bintang. Sepertinya ada kelinci yang sedang meminum teh di bulan, pikir Windy.
Yudi menatap Windy takjub, tidak menyangka dengan jawaban Windy. “Begitukah? Apa lo pernah berpacaran sebelumnya?”
“Gue kan tadi sudah bilang, gue tidak suka hubungan yang tidak mengikat seperti pacaran.”
“Lalu, kita ini?”
“Kita kan cuma pura-pura.” Windy mengangkat bahu, lalu tersenyum nakal pada Yudi. “Lo?”
“Apa?”
“Apa lo pernah berpacaran?”
“Belum. Tapi kalau sekedar kencan, sih, baru 2-3 kali, itu juga dipaksa Doni.”
Windy tertawa, membuat Yudi terpesona dan berdebar-debar. “Turun, yuk. Gue ngantuk, nih.”
***
Selama mami Yudi di Jakarta, Yudi masih berpura-pura pacaran dengan Windy. Seperti saat ini, mereka sedang makan di sebuah restoran. “Tante senang kalau hubungan kalian berlanjut ke pernikahan.”
“Benar, Mi?” Yudi tersenyum. “Jadi Mami betul-betul berpendapat seperti itu tentang kami?”
“Tentu saja. Windy, I like you very much.”
Windy tersenyum. “Boleh saya tahu alasannya, Tante?”
“Tante juga tidak tahu. Tapi sejak pertama bertemu, Tante merasa melihat diri Tante sewaktu muda.”
Yudi tercengang. “Apa? Maksud Mami, dulu Mami urakan, kasar, dan tomboy?”
Mami Yudi menjitaknya. Lalu mereka bertiga tertawa terbahak-bahak.
Dalam perjalanan pulang dari hotel, Yudi menyalakan tape, tapi Windy menggantinya dengan radio, yang memutar lagu ‘Seberapa Pantas’-nya Sheila on Seven.
“Ehem, eh, lo tidak masalah tidak dibayar?”
Windy nyengir. “Lo tidak akan sanggup membayar apa yang gue mau.”
“Elo mau apa?”
“Gue mau lo jadi babu gue!” Windy tertawa sangat kencang.
“Kau….”
“Gue hanya bercanda. Tenang, Yud, gue kan sudah bilang, gue tidak butuh bayaran.”
“Windy, apa lo mau serius sama gue? Pacaran sungguhan?” Jantung Yudi berdebar.
Sekejap Windy tertegun. Lalu ia menggeleng pelan. “Lo tidak akan mau deh, kalau gue bilang…gue pernah aborsi….”
Giliran Yudi yang tertegun.
Windy kembali tertawa, lebih kencang dari sebelumnya. “Bercanda!” Ia menghapus air matanya. “Ekspresimu itu…haha…seandainya tadi gue rekam! Gue kan tidak minat dengan pacaran, Yud…dan cowok muda.”
Ingin Yudi mencium Windy untuk menghentikan tawanya, namun pasti Windy akan menamparnya. Oh, jadi Windy tidak suka cowok yang lebih muda….
***
Esoknya….
Yudi membanting pintu mobil dan berjalan melewati Windy tanpa menoleh. Menyebalkan! Jadi ia lebih suka pada Fajar! Oke, Fajar memang sudah lulus kuliah dan sudah mempunyai pekerjaan tetap. Dan lebih tua empat tahun dari Windy!
Fajar tampan, bertubuh tegap, dan atletis. Baik, ramah, dan alim. Fajar tidak akan naksir lo, tahu! Lo kan urakan! Inginnya Yudi meneriakkan kata-kata itu pada Windy. Namun ia tidak sanggup. Ia jatuh cinta pada si urakan itu.
“Yud, lo lagi ngamuk?” Doni mengikuti Yudi memasuki kamar kost.
Yudi duduk di sofa dan menyalakan televisi. Lalu ia menonton acara senam kesehatan. Acara yang menampilkan tubuh perempuan seksi dan berparas cantik.
Doni bengong. Sejak kapan temannya hobi menonton acara senam? “Eh, Yud, gue lagi ngomong sama lo.” Doni ikut duduk di sofa.
“Jelas gue lagi marah, tahu!”
“Sama siapa?”
“Windy….”
“Kenapa? Oh, karena Windy ngobrol dengan Fajar? Lo kan cuma pura-pura pacaran dengannya. Lagipula lo harusnya berterima kasih karena ia tidak meminta bayaran.” Doni memindah saluran dan Yudi tidak protes.
Yudi mendelik. “Lo tahu, gue tuh naksir cewek kasar itu!”
Doni menganga, ia menjatuhkan remot di tangannya. “Hah?”
“Tapi…Windy nolak gue….” Yudi menunduk dan menutup wajahnya. “Katanya ia tidak suka pada cowok yang lebih muda. Gue merasa tersinggung….”
Doni tertawa. Ia menepuk punggung Yudi. “Akhirnya lo jatuh cinta juga, tapi sayang, cinta lo salah alamat!”
Yudi meringis. “Sialan lo, bukannya menghibur!”
Doni hanya mengangkat bahu.
***
Hari ini merupakan hari terakhir mami Yudi di Indonesia. Yudi dan Windy mengantar sampai airport. Megan menatap Windy. “Tante suka model baju dan rambutmu.”
Yudi memerhatikan pakaian yang dikenakan gadis itu. Kaos putih tanpa lengan dengan jaket putih, dan jeans biru. Di bawahnya ia mengenakan sepatu kets putih yang sepertinya baru. Rambutnya diikat ekor kuda, dan ia menyisakan sedikit helai rambut di pipi dan lehernya yang jenjang. Manis dan menggemaskan, pikir Yudi.
“Kalian harus selalu rukun, ya.”
Tiba-tiba Windy memeluk Megan. “Saya menyukai Anda, Tante. Saya senang dapat mengenal Anda.”
Megan menatap Windy. “Kenapa kau menangis?”
Windy menghapus air matanya. “Saya benar-benar menyukai Anda.”
Megan tersenyum. “Tante harap kalian menjadi pacar sungguhan. Tante juga sangat menyukaimu.”
“Apa? Bagaimana Tante tahu? Yudi cerita?”
Yudi menggeleng panik. “Mami kok tahu….”
Megan mengelus kepala Yudi dengan sayang. “Tentu saja Mami tahu, kau kan anak Mami. Yud, Mami tidak akan memaksa lagi untuk menjodohkanmu. Kau cari saja jodohmu dengan perlahan, oke. Jadi kau tidak harus membohongi Mami lagi.” Megan menoleh pada Windy. “Baiklah, Tante harus segera pulang. Lain kali kau yang ke Jerman, Yudi. Mami berharap kau ke Jerman dengan Windy.” Megan mengedipkan matanya.
Yudi memeluk maminya dengan erat. “Maaf, Mi…dan terima kasih….Salam untuk Papi dan Kak Madu.”
Setelah pesawat Megan lepas landas, Yudi mengajak Windy ke café. Windy berusaha menolak, namun Yudi tetap memaksa.
“Lo sekarang berani sama gue, ya! Gini deh, gue kasih tebak-tebakkan. Kalo lo bisa jawab, gue ikut lo ke café. Tapi kalo lo tidak bisa menebak, kita pulang.
Yudi mengangkat bahu.
Setelah Windy memberi tebak-tebakkan, Yudi berpikir keras. Yudi memang tidak terlalu suka tebak-tebakkan. Apa yang tidak basah walaupun terkena air? Tiba-tiba Yudi melihat sesuatu, lalu ia tersenyum dan menjawab, “bayangan.”
“Kok lo tahu?”
“Gue kan paling jago tebak-tebakkan.” kilahnya. “Ayo!” Yudi menggandeng Windy ke mobil. Yudi tidak akan memberi tahu Windy bahwa tadi ia melihat bayangan Windy di genangan air di tempat parkir mobil.
Pulang dari café, mereka langsung ke tempat kost. Namun di perjalanan, Windy meminta sesuatu. “Ada yang ingin gue bicarakan.”
“Gue sudah tahu.” Yudi menahan marah. Ia tersenyum dan melirik Windy. “Soal pacaran pura-pura ini kan? Gue mengerti, hari ini yang terakhir.” Yudi menggemeretakkan giginya. “Karena Fajar kan?”
“Fajar? Kenapa dengannya?”
“Lo berniat menjalin hubungan dengannya kan? Gue tahu, kok. Jangan tertawa, gue lagi serius….”
“Sori, soalnya lo salah tanggap, bodoh!”
“Gue tidak bodoh.”
“Iya, iya. Yud, sepertinya gue tertarik sama lo, deh.”
Yudi mengerem tiba-tiba. “Apa?”
“Gue tarik omongan gue. Gue suka sama lo, meskipun lo lebih muda dari gue. Lo mau jadi pacar gue?”
Yudi tidak dapat mengendalikan debar jantungnya yang seakan hendak melompat keluar. “Lo lagi nembak gue?”
Windy tidak tertawa seperti biasanya. Ia menatap Yudi serius, dan sepertinya agak salah tingkah. Ia mengangguk perlahan.
“Lo kan tidak suka sama yang namanya pacaran?”
“Kalau dengan lo, tidak masalah. Lagipula gue ngerti lo masih muda, masih jauh ke arah pernikahan.”
“Tidak.”
“Apa?”
“Gue…eh…gue memang tidak suka terikat. Tapi kalo dengan lo, tidak masalah.” Yudi tersenyum. ia meniru kata-kata Windy. “Gue bermaksud untuk minta lo nunggu gue setahun lagi, sampai gue lulus kuliah. Terus…gue bermaksud untuk melamar lo….”
Mata Windy berkaca-kaca. Yudi mendekatkan wajahnya dan mencium Windy. “Lo cantik.”
“Baru kali ini ada yang bilang begitu sama gue.…” Windy tersipu.
Yudi tersenyum dan menarik Windy ke pelukannya.
Dalam perjalanan pulang, Yudi pergi ke warung dan membeli 1 pak rokok.
Windy mengernyitkan alis. “Gue tidak tahu kalau lo suka….”
“Ini untuk Doni.” Yudi nyengir. Sebagai rasa terima kasih atas ide konyolnya yang malah sekarang Yudi anggap sebagai ide yang sangat brilliant!
THE END
CODET
2002
CODET
2002
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar