CALON SUAMIKU MANTAN BANCI
Karya Tiur Sinurat
Aku dikenal keluargaku sebagai wanita rumahan, itu buhan hanya isapan jempol belaka, aku memang demikian. Aku terlalu takut untuk mengenal namanya dunia luar, aku juga di juluki si kuper oleh teman-temanku karena aku selalu menolak untuk setiap kegiatan diluar rumah apalagi kalau sampai keluar kota dan menginap, pikiran negatif memenuhi kepalaku.
Berjalannya waktu membuat pertanyaan di benak teman-temanku, mengapa aku hanya hidup sendirian, keluarga juga sudah mulai cemas karena dari remaja sampai duduk di bangku kuliah aku belum pernah memperkenalkan seseorang sebagai teman dekatku pada mereka.
Karena umur yang sudah cukup untuk menikah, maka bermunculanlah makcomblang, paman mulai memperkenalkan pria pilihannya, tante juga tidak mau kalah, bahkan adik aku yang masih duduk di bangku SMP pun ikut mencomblangi aku dengan guru idolanya. Tidak..tidak..tidak.. itulah jawaban yang aku lontarkan setiap usai pertemuan dengan pria-pria hasil comblangan, akhirnya ibu memberi ultimatum kalau sampai akhir tahun tidak ada juga pria yang dibawa kerumah yang di kenalkan sebagai calon menantunya maka aku harus menikah dengan paribanku kandung.
Berjalannya waktu membuat pertanyaan di benak teman-temanku, mengapa aku hanya hidup sendirian, keluarga juga sudah mulai cemas karena dari remaja sampai duduk di bangku kuliah aku belum pernah memperkenalkan seseorang sebagai teman dekatku pada mereka.
Karena umur yang sudah cukup untuk menikah, maka bermunculanlah makcomblang, paman mulai memperkenalkan pria pilihannya, tante juga tidak mau kalah, bahkan adik aku yang masih duduk di bangku SMP pun ikut mencomblangi aku dengan guru idolanya. Tidak..tidak..tidak.. itulah jawaban yang aku lontarkan setiap usai pertemuan dengan pria-pria hasil comblangan, akhirnya ibu memberi ultimatum kalau sampai akhir tahun tidak ada juga pria yang dibawa kerumah yang di kenalkan sebagai calon menantunya maka aku harus menikah dengan paribanku kandung.
Aku menjadi semangkin kesal, pariban kandung adalah stok terahir kalau sudah tidak adalagi pilihan, oh..tidak..tidak pikirku, semangatku untuk mencari pasangan hidup sesuai keinginan pun membara. Kini giliran teman-teman aku yang gencar memperkenalkan para jagoannya; aku punya abang, aku punya sepupu, aku punya teman, kata mereka seakan mempersilahkan aku memilih gaun malam saja. Foto-foto pria berderet di hpku, aku tertawa sendiri saat melihat pria-pria pilihan teman-temanku, ada yang gendut, jangkung, kecil dan aku langsung protes pada mereka tega sekali memperkenalkan aku dengan pria-pria seperti itu, tidak ada yang lebih baik dari itu apa gerutuku pada mereka. Tetapi dia baik dan terpelajar, duitnya tebel bok kata yang lain kemudian.
Aku lelah memikirkan permintaan ibu, padahal usia aku baru 25 tahun mengapa harus memaksa aku menikah tahun depan, kalau tidak bisa cari sendiri aku harus menikah dengan pariban aku yang pribadinya tidak aku kenal, apalagi dia tinggal di kampung, pastilah pemikiran juga kampungan caciku dalam hati. Aku berjalan terus menyusuri tepi pantai, ku pandangi sekelilingku, nyaris semua yang ada disana tertawa dengan pasangannya, aku merasa semangkin tidak nyaman dengan situasi itu padahal tidak ada yang mengganggu kecuali pikiranku sendiri, langkahku pun terhenti pada kedai karena aku haus setelah lelah berjalan menyusuri pantai tanpa tujuan yang jelas. Ku teguk minuman kaleng berwarna biru, menikmatinya sambil memjamkan mata, seakan ingin menghapus lelah fisik maupun pikiran. Begitu mataku terbuka aku terkejut karena seseorang telah berdiri disana tepat di depan hidungku, saking grogrinya aku menumpahkan minuman di tanganku ke bajunya. Aku mohon maaf dan segera membayar minumanku dan ingin buru-buru kabur, tetapi kata penjualnya minuman aku sudah di bayar oleh pria yang berdiri di depanku. Aku semangkin salah tingkah sambil mengucapkan terima kasih, pria itu tersenyum simpul, membuat aku menjadi penasaran sebenarnya dia sekedar kebanyakan uang makanya mau bayarin orang yang tidak di kenal atau dia memang manusia aneh, dingin banget sikapnya. Aku pun permisi dan buru-buru pergi meninggalkannya, langkahku terhenti, ingin rasanya melihat wajahnya sekali lagi, tetapi kemudian aku menjadi malu saat menyadari dia masih menatapku dari jauh.
Aku menyentu air laut, mencicipinya seakan minuman kaleng itu masih kurang bagiku. “asin ya..” seseorang menyapaku, setelah kupalingkan wajahku terlihatlah dengan jelas wajah pria tadi ikut jongkok di belakangku. Dia pun segera memperkenalkan dirinya, dan mengeluh mengapa aku langsung meninggalkannya, padahal dia sangat ingin berkenalan dan berbincang-bincang denganku lebih lama. Aku meresa wajahku sudah beberapa kali ganti warna entah memerah atau coklat tua, aliran darahku mengalir deras dan jantungku seakan berdetak sangat kencang seakan habis berlari ribuan meter. Pria tampan, perawakan bagus, datang menyapaku dikala aku sedang mencari pasangan hidup, bagaikan terbang rasanya.
Pertemuan dengan pria pantai itu membuat aku semangkin bersemangat dan percaya bahwa ada peluang untuk bebas dari namanya pariban. Senyumku mengembang saat ingat bagaimana aku menumpahkan minuman di bajunya, tidak tau kapan dia membayar minumanku, dia datang menghampiriku di tepi pantai, dan akhirnya kami terus mengobrol sampai matahari terbenam.
Aku bercerita pada temanku, temanku pun ikut bahagia mendengar ceritaku dan berharap ada perkembangan dari pertemuan itu, tetapi kemudian temanku kecewa karena aku bilang tidak tau nomor telponnya dan pria itu juga tidak meminta nomor hpku.
Aku tidak ambil pusing mengenai nomor telepon, yang penting bagiku pertemuan tidak disengaja itu berkesan, karena dia datang disaat yang tepat. Kalau jodoh pasti ada pertemuan berikutnya kata hatiku sangat yakin.
Pada saat main kerumah teman, aku melihat foto pria pantai itu, aku sangat terkejut ternyata pria pantai itu mengenal salah satu temanku. Temanku sangat senang karena pada akhirnya aku mau terbuka padanya, dia langsung mengusulkan untuk membuat pertemuan tak terduga untuk yang kedua kalinya, tetapi kali ini si pria yang kita buat terkejut katanya dangan semangat. Kali ini aku sangat mendukung idenya, dan aku tidak menjadi marah saat teman-teman aku menyimpulkan bahwa aku tertarik padanya, harga diri dan ego seakan menjauh pergi. Apalagi setelah tau bahwa pria itu temannya sahabatku membuat hati lega.
Dari pertemuan pertama, kedua dan seterusnya membuat aku memberanikan diri untuk menerima cintanya, setelah beberapa bulan pacaran dengannya akhirnya kedua belah pihak memutuskan agar kami segera menikah.
Perkenalan keluarga besar dan lamaran sudah dilakukan, tinggal 1 hari menjelang hari H, aku telah di pingit tetapi calon suamiku masih memilih tinggal di kostnya, karena dia seorang pria sehingga keluarga tidak mempermasalahkannya. Karena ada sesuatu yang perlu di bicarakan dengan calon suamiku dan Abang aku datang ke kostnya tanpa menghubungi terlebih dahulu. Abang aku terkejut saat melihat kenyataan yang di perbuat oleh calon suami aku malam itu, tiba-tiba saja abang aku meneleponku dan mengatakan agar pernikahan aku dan calon suami aku harus di batalkan, aku sangat bingung dengan perketaan abang yang tidak masuk akal itu, hanya tinggal menunggu malam berlalu bisakah memutuskan untuk menghentikan suatu pernikahan, bantahku, aku sangat percaya pada calon suamiku dan aku sangat mencintainya. Beberapa jam kemudian abangku sampai di rumah, diam seribu bahasa membuat aku dan keluarga menjadi bingung, aku terus berteriak ada apa dengan calon suamiku, apa yang telah di perbuatnya kenapa abang tega mengatakan pernikahan ini harus di batalkan, abangku menatap aku dengan mata berkaca-kaca kemudian dia memelukku dengan erat, membuat aku semangkin bingung apa antara abangku dan calon suamiku.
Kemudian abangku bercerita kalau pada saat datang ke kostnya melihat calon suamiku berdandan seperti seorang wanita, memakai gaun indah, kuku bercutex, rambut di tata, bulu tangan dan kaki di cukur sampai kulit terlihat halus, dan wajah lengkap dengan makeup. Malam itu calon suami aku berdandan bak seorang putri, aku tidak percaya kalau yang di lihat oleh abangku itu adalah calon suamiku, maka aku memutuskan untuk melihatnya sendiri, abangku berusaha mencega tetapi aku mengancam akan mati kalau tidak melihatnya terlebih dahulu maka abangku mengantarkan sampai di kost calon suamiku. Benar dia yang berdandan itu adalah calon suamiku, abangku tidak salah, dialah orang yang aku cintai, dia telah melepas gaunnya tetapi makeup dan cutex di kukunya masih dapat terlihat dengan jelas, aku menjerit sejadi-jadinya, tidak percaya dengan apa yang aku lihat, dalam sekejap dunia kurasa gelap. Esok harinya aku datang gereja tempat seharusnya kami mengikat janji, dan ke gedung yang seharusnya menjadi tempat berlangsungnya resepsi, mawar putih yang menjadi simbol cinta kami telah tertata rapi disana, kepalaku menjadi berat saat memikirkan semua yang terjadi sehingga dunia pun terasa berat. Menurut teman-teman aku hampir gila saat itu, setiap mengingat calon suamiku aku selalu pingsan.
Setelah beberapa bulan temanku yang menjadi sahabat calon suamiku itu mohon maaf dan bercerita bahwa sebenarnya pertemuan kami bukanlah kebetulan tetapi dia yang telah merencanakannya, karena orang tua calon suami aku itu pun telah memaksannya harus menikah, sehingga dia harus meninggalkan dunia hitamnya dalam beberapa bulan sebelumnya, perubahan yang terlihat sangat baik itu membuatnya yakin kalau tidak ada salahnya mendekatkannya denganku karena keadaan kami yang sama, sama-sama mencari pendamping hidup yang serius ingin menikah. Malam itu dia sengaja berdandan seperti itu sebagai pelepasan masa suramnya.
Menurut temanku aku sendiri dapat sadar lagi setelah bertemu dengan seorang pendeta yang mau meluangkan waktu setiap hari menasehati dan memperhatikanku, pendeta itu sengaja ibu datangkan dari kampung dialah pariban yang ibu jodohkan padaku. Aku menjadi malu karena telah menentang ibu dan mendapat ganjaran atas dosaku yang berani mencaci pendeta yang tidak kukenal, kemudian aku mengatakan pada ibu untuk bertemu dengannya karena aku ingin minta maaf padannya. Aku terkejut setelah melihat paribanku ternyata lebih keren dari pria manapun yang pernah aku temui. Orang kampung keren pujiku dalam hati sambil tersipu malu. Akhirnya kami pun menikah setelah bersahabat dulu untuk beberapa bulan.
Aku lelah memikirkan permintaan ibu, padahal usia aku baru 25 tahun mengapa harus memaksa aku menikah tahun depan, kalau tidak bisa cari sendiri aku harus menikah dengan pariban aku yang pribadinya tidak aku kenal, apalagi dia tinggal di kampung, pastilah pemikiran juga kampungan caciku dalam hati. Aku berjalan terus menyusuri tepi pantai, ku pandangi sekelilingku, nyaris semua yang ada disana tertawa dengan pasangannya, aku merasa semangkin tidak nyaman dengan situasi itu padahal tidak ada yang mengganggu kecuali pikiranku sendiri, langkahku pun terhenti pada kedai karena aku haus setelah lelah berjalan menyusuri pantai tanpa tujuan yang jelas. Ku teguk minuman kaleng berwarna biru, menikmatinya sambil memjamkan mata, seakan ingin menghapus lelah fisik maupun pikiran. Begitu mataku terbuka aku terkejut karena seseorang telah berdiri disana tepat di depan hidungku, saking grogrinya aku menumpahkan minuman di tanganku ke bajunya. Aku mohon maaf dan segera membayar minumanku dan ingin buru-buru kabur, tetapi kata penjualnya minuman aku sudah di bayar oleh pria yang berdiri di depanku. Aku semangkin salah tingkah sambil mengucapkan terima kasih, pria itu tersenyum simpul, membuat aku menjadi penasaran sebenarnya dia sekedar kebanyakan uang makanya mau bayarin orang yang tidak di kenal atau dia memang manusia aneh, dingin banget sikapnya. Aku pun permisi dan buru-buru pergi meninggalkannya, langkahku terhenti, ingin rasanya melihat wajahnya sekali lagi, tetapi kemudian aku menjadi malu saat menyadari dia masih menatapku dari jauh.
Aku menyentu air laut, mencicipinya seakan minuman kaleng itu masih kurang bagiku. “asin ya..” seseorang menyapaku, setelah kupalingkan wajahku terlihatlah dengan jelas wajah pria tadi ikut jongkok di belakangku. Dia pun segera memperkenalkan dirinya, dan mengeluh mengapa aku langsung meninggalkannya, padahal dia sangat ingin berkenalan dan berbincang-bincang denganku lebih lama. Aku meresa wajahku sudah beberapa kali ganti warna entah memerah atau coklat tua, aliran darahku mengalir deras dan jantungku seakan berdetak sangat kencang seakan habis berlari ribuan meter. Pria tampan, perawakan bagus, datang menyapaku dikala aku sedang mencari pasangan hidup, bagaikan terbang rasanya.
Pertemuan dengan pria pantai itu membuat aku semangkin bersemangat dan percaya bahwa ada peluang untuk bebas dari namanya pariban. Senyumku mengembang saat ingat bagaimana aku menumpahkan minuman di bajunya, tidak tau kapan dia membayar minumanku, dia datang menghampiriku di tepi pantai, dan akhirnya kami terus mengobrol sampai matahari terbenam.
Aku bercerita pada temanku, temanku pun ikut bahagia mendengar ceritaku dan berharap ada perkembangan dari pertemuan itu, tetapi kemudian temanku kecewa karena aku bilang tidak tau nomor telponnya dan pria itu juga tidak meminta nomor hpku.
Aku tidak ambil pusing mengenai nomor telepon, yang penting bagiku pertemuan tidak disengaja itu berkesan, karena dia datang disaat yang tepat. Kalau jodoh pasti ada pertemuan berikutnya kata hatiku sangat yakin.
Pada saat main kerumah teman, aku melihat foto pria pantai itu, aku sangat terkejut ternyata pria pantai itu mengenal salah satu temanku. Temanku sangat senang karena pada akhirnya aku mau terbuka padanya, dia langsung mengusulkan untuk membuat pertemuan tak terduga untuk yang kedua kalinya, tetapi kali ini si pria yang kita buat terkejut katanya dangan semangat. Kali ini aku sangat mendukung idenya, dan aku tidak menjadi marah saat teman-teman aku menyimpulkan bahwa aku tertarik padanya, harga diri dan ego seakan menjauh pergi. Apalagi setelah tau bahwa pria itu temannya sahabatku membuat hati lega.
Dari pertemuan pertama, kedua dan seterusnya membuat aku memberanikan diri untuk menerima cintanya, setelah beberapa bulan pacaran dengannya akhirnya kedua belah pihak memutuskan agar kami segera menikah.
Perkenalan keluarga besar dan lamaran sudah dilakukan, tinggal 1 hari menjelang hari H, aku telah di pingit tetapi calon suamiku masih memilih tinggal di kostnya, karena dia seorang pria sehingga keluarga tidak mempermasalahkannya. Karena ada sesuatu yang perlu di bicarakan dengan calon suamiku dan Abang aku datang ke kostnya tanpa menghubungi terlebih dahulu. Abang aku terkejut saat melihat kenyataan yang di perbuat oleh calon suami aku malam itu, tiba-tiba saja abang aku meneleponku dan mengatakan agar pernikahan aku dan calon suami aku harus di batalkan, aku sangat bingung dengan perketaan abang yang tidak masuk akal itu, hanya tinggal menunggu malam berlalu bisakah memutuskan untuk menghentikan suatu pernikahan, bantahku, aku sangat percaya pada calon suamiku dan aku sangat mencintainya. Beberapa jam kemudian abangku sampai di rumah, diam seribu bahasa membuat aku dan keluarga menjadi bingung, aku terus berteriak ada apa dengan calon suamiku, apa yang telah di perbuatnya kenapa abang tega mengatakan pernikahan ini harus di batalkan, abangku menatap aku dengan mata berkaca-kaca kemudian dia memelukku dengan erat, membuat aku semangkin bingung apa antara abangku dan calon suamiku.
Kemudian abangku bercerita kalau pada saat datang ke kostnya melihat calon suamiku berdandan seperti seorang wanita, memakai gaun indah, kuku bercutex, rambut di tata, bulu tangan dan kaki di cukur sampai kulit terlihat halus, dan wajah lengkap dengan makeup. Malam itu calon suami aku berdandan bak seorang putri, aku tidak percaya kalau yang di lihat oleh abangku itu adalah calon suamiku, maka aku memutuskan untuk melihatnya sendiri, abangku berusaha mencega tetapi aku mengancam akan mati kalau tidak melihatnya terlebih dahulu maka abangku mengantarkan sampai di kost calon suamiku. Benar dia yang berdandan itu adalah calon suamiku, abangku tidak salah, dialah orang yang aku cintai, dia telah melepas gaunnya tetapi makeup dan cutex di kukunya masih dapat terlihat dengan jelas, aku menjerit sejadi-jadinya, tidak percaya dengan apa yang aku lihat, dalam sekejap dunia kurasa gelap. Esok harinya aku datang gereja tempat seharusnya kami mengikat janji, dan ke gedung yang seharusnya menjadi tempat berlangsungnya resepsi, mawar putih yang menjadi simbol cinta kami telah tertata rapi disana, kepalaku menjadi berat saat memikirkan semua yang terjadi sehingga dunia pun terasa berat. Menurut teman-teman aku hampir gila saat itu, setiap mengingat calon suamiku aku selalu pingsan.
Setelah beberapa bulan temanku yang menjadi sahabat calon suamiku itu mohon maaf dan bercerita bahwa sebenarnya pertemuan kami bukanlah kebetulan tetapi dia yang telah merencanakannya, karena orang tua calon suami aku itu pun telah memaksannya harus menikah, sehingga dia harus meninggalkan dunia hitamnya dalam beberapa bulan sebelumnya, perubahan yang terlihat sangat baik itu membuatnya yakin kalau tidak ada salahnya mendekatkannya denganku karena keadaan kami yang sama, sama-sama mencari pendamping hidup yang serius ingin menikah. Malam itu dia sengaja berdandan seperti itu sebagai pelepasan masa suramnya.
Menurut temanku aku sendiri dapat sadar lagi setelah bertemu dengan seorang pendeta yang mau meluangkan waktu setiap hari menasehati dan memperhatikanku, pendeta itu sengaja ibu datangkan dari kampung dialah pariban yang ibu jodohkan padaku. Aku menjadi malu karena telah menentang ibu dan mendapat ganjaran atas dosaku yang berani mencaci pendeta yang tidak kukenal, kemudian aku mengatakan pada ibu untuk bertemu dengannya karena aku ingin minta maaf padannya. Aku terkejut setelah melihat paribanku ternyata lebih keren dari pria manapun yang pernah aku temui. Orang kampung keren pujiku dalam hati sambil tersipu malu. Akhirnya kami pun menikah setelah bersahabat dulu untuk beberapa bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar