Kamis, 28 Juni 2012

Cinta Tak Harus Memiliki - Cerpen Cinta

CINTA TAK HARUS MEMILIKI
Karya Artika EL Sonia

Sunyi di sebuah malam, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Seorang gadis dengan gaun tidur berwarna merah muda, tampak menatap ke luar jendela. Tatapannya menerawang jauh. Terbang bersama sejuta kenangan yang tak mungkin bisa ia lupakan. Barangkali inilah rasanya hidup seorang diri, tanpa seseorang yang berarti.

Hujan diluar perlahan-lahan turun. Menimbulkan suara gemericik. Gadis itu rupanya teringat pada sebuah dongeng. Dongeng dari mamanya ketika dia masih berumur 6 tahun. Judul dongeng itu adalah “ Gadis sebatang kara”. Bahkan, sampai sekarang, suara mama ketika bercerita masih terngiang ditelinganya. Dan dongeng itu, kini benar-benar nyata dalam hidupnya. Dia sendiri yang memerankan tokoh utama dalam dongeng itu.

Tenggelam dalam lautan kesendirian adalah gejolak jiwa yang kerap kali ia rasakan. Sebuah konflik batin yang harus ia telan sendiri.
“ Kirana.. Diminum dulu obatnya, ayo keluar dari kamarmu.” Sebuah suara tampak terdengar dari luar kamar.

Ya, nama gadis itu adalah Kirana. Tapi, dia tak menghiraukan panggilan itu. Panggilan Tante-nya yang menurut Kirana tak penting. Karena entah kenapa, semenjak mamanya meninggal dan papa menikah lagi, Kirana tak pernah menganggap ada orang lain dalam hidupnya. Ia hanya menganggap bahwa ia hidup sendiri dan tak ada orang didalamnya. Kalaupun ada, maka orang itu hanya figuran. Dan ia yang merupakan peran utamanya. Satu-satunya pemeran utama yang harus memainkan dinamika kehidupan ini.

Kirana melangkah perlahan-lahan ke tepi ranjang. Ia duduk dan mematikan lampu. Seolah benar-benar larut dalam kesendiriannya.

* * *

Sinar matahari siang ini terasa menyengat, seorang pria tampak kerepotan membawa 2 buah kopor serta 1 tas ransel. Sesekali, ia menyeka keringat yang mengalir di dahi dan pelipisnya.
“ Benar-benar melelahkan” batinnya dalam hati. Rumah yang ia tuju masih jauh. Setidaknya, ia masih harus menyusuri gang ini sekitar 5 sampai 10 menit lagi. Menyesal juga, tadi dia tidak memakai jasa tukang becak di mulut gang.

Sesaat kemudian, langkah kakinya terhenti di sebuah rumah bercat biru tua dan di dinding rumah itu terdapat plang bertuliskan “ TERIMA KOST”. Dengan ragu, pria tadi mengetuk pintu.
“ Permisi..”

Seorang wanita paruh baya tampak membukakan pintu.
“ Selamat siang, Bu..” Pria tadi tersenyum tipis.
“ Selamat siang juga. Pasti kamu Dafian ya?”

Pria tadi yang tak lain adalah Dafian, mengangguk.
“ Silahkan masuk dan duduk dulu, Ibu mau ke dalam ambil minum, tampaknya kamu kelelahan.”

Wanita tadi adalah Bu Tari, yang merupakan pemilik kost-an, ia beranjak dari hadapan Dafian untuk mengambilkan minum.

Rumah ini tampak nyaman. Mungkin akan serupa dengan kost-annya yang terletak di belakang rumah. Desain rumah ini memang sederhana, menggunakan desain rumah minimalis walau tidak bertingkat. Dibandingkan dengan rumah lainnya yang terdapat di gang , rumah inilah yang paling bagus dan terawat. Ketika tadi Dafian membuka pagar rumah,ia langsung disambut dengan taman kecil yang ditanami aneka macam bunga. Ada air mancul kecil di tengah taman itu.
“ Ini ibu bawakan orange jus, “

Kedatangan Bu Tari membuyarkan lamunan Dafian tentang rumah ini.
“ Terimakasih Bu.. Jadi merepotkan”
“ Tidak apa-apa kok. Ini kuncinya, nak Dafian. Semoga kamu nyaman disini.” Bu Tari menyodorkan kunci kamar kost.
“ Mari Bu, Terimakasih..” Dafian berpamitan dan menuju kost-an barunya.

* * *

Sore ini , langit tampak cerah. Kirana duduk berkaca di depan cermin. Ia mengenakan busana muslim dan jilbab berwarna biru muda. Dia memasukkan Al-Quran ke dalam tas yang terletak di meja rias.
“ Na, mau kemana? “tanya Tante Lastri, yang masih mengenakan seragam putih khas seorang dokter.
“ Acara rohis.” jawab Kirana singkat dan langsung menuju keluar rumah.

Tante Lastri memandang Kirana hingga bayangannya hilang di balik pintu rumah. Rona wajahnya menampakkan kecemasan yang luar biasa. Sudah lama Lastri kehilangan sosok Kirana yang dulu. Yang periang dan selalu bersikap manis padanya. Hanya satu kebiasaannya yang tak pernah berubah, yaitu mengikuti acara rutin rohis di Masjid dekat rumah.

* * *

Dafian merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Jadwal kuliahnya memang benar-benar padat. Ia merasakan cacing-cacing di perutnya berdemo, menuntut diisi. Sejak kemarin dia tidak makan. Orang tuanya hanya akan membiayai full uang kuliahnya. Sedangkan biaya hidup, hanya ala kadarnya saja. Itulah yang membuat Dafian pindah kost ke kost-an yang lebih murah dan mengurangi makan di restaurant food court kesukaannya.

Akhirnya, Dafian memilih untuk keluar. Mencari warung makan kecil-kecilan, yang penting perutnya kenyang dan dia dapat beraktivitas kembali. Ketika keluar kost-an, udara sore langsung menyergapnya. Meskipun disini lingkungannya sedikit kumuh, apalagi untuk seorang calon dokter sepertinya, tapi Dafian cukup nyaman. Orang-orang disekitar sini pun semuanya ramah-ramah.
“ Nak Dafian mau kemana?” tanya Bu Tari ketika berpapasan dengan Dafian di mulut gang.
“ Mau cari warung makanan bu.” jawab Dafian sambil tersenyum sopan.
“ Oh begitu. Ehm, di sebrang sana, dekat masjid Al-Ikhlas, ada warteg yang murah tapi masakannya enak loh. Kamu bisa makan disana.” ujar Bu Tari sambil menunjuk sebuah warteg kecil di sebrang mulut gang.
“ Wah, terimakasih ya,bu.”

Dafian langsung menuju warteg yang dimaksud Bu Tari. Namun, ketika baru saja menyebrang, mata Dafian tertuju pada seorang wanita berjilbab biru muda yang baru saja keluar dari Masjid AL-Ikhlas. Dia terkesima melihat paras wanita itu. Aura kecantikannya begitu bersinar. Karenina kekasihnya saja, lewat. Padahal Karenina adalah seorang model yang sempat memenangkan beberapa audisi majalah terkenal dan kontes kecantikan yang diselenggerakan oleh beberapa produk iklan.
“ Astaga, cewek itu cantik sekali.” Dafian menggeleng takjub. Ia ingin menghampiri wanita itu, tapi ragu ditambah tujuannya untuk mengisi perut belum terlaksana.
“ Aku harus tahu nama cewek itu.” ucap Dafian mantap.

* * *

Malamnya, Dafian tak bisa tidur. Sosok wanita yang tadi dia lihat,kini bergantian melintas di benaknya dan membuatnya seperti orang yang baru saja jatuh cinta. Dafian sampai tidak menyadari, bahwa ia telah memiliki kekasih. Kekasih yang sangat ia sayangi. Dafian menyayangi Karenina? Ya, itu adalah benar. Tapi, ketika Karenina belum menjadi model super sibuk seperti sekarang. Karenina yang ia kenal begitu ramah dan perhatian. Sementara sekarang? Dafian seperti dianggap angin lalu saja.
“Drrtt..drrttt..” handphone Dafian bergetar. Tertera sebuah panggilan masuk dari Karenina. Dafian mengangkatnya.
“ Halo”
“ Ya, Kar?”
“ Ketemuan? Sekarang?”
“ Hah? Di depan kost-an? Tau darimana kost-an aku yang baru?”
“Oke aku keluar.”

Baru saja ia memikirkan Karenina, sekarang orangnya langsung telpon dan mengabari bahwa dia ada di depan kost-an. Dafian beranjak dan menghampiri Karenina.
“ Ada apa Kar?” tanya Dafian dingin ketika melihat Karenina telah berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan pakaian yang amat terbuka. Wajahnya ber make-up tebal. Mungkin, dia baru pulang dari acara pemotretan.
“ Tutupi badan kamu pakai ini” Dafian menyodorkan jacket yang dikenakannya. Jujur saja, ia tak suka dengan pemandangan ini. Seorang wanita harusnya menjaga kehormatannya bukan malah mempertontonkannya.
“ Gak usah. Aku kesini mau bicara sama kamu,” Karenina menolak.
“ Oke apa?”
“ Besok, aku harus pergi ke Washington. Aku dapat kontrak pemotretan disana. Dan mungkin, aku akan lama. Aku sadar, selama ini aku tak perdulikan kamu lagi. Aku fikir, lebih baik kita menyudahi hubungan ini sampai disini saja. Aku doakan kamu agar sukses menggapai cita-cita kamu yang sebentar lagi akan tercapai. Maafkan aku..” Karenina tersenyum pahit.

Sementara Dafian biasa saja. Ia sudah tak menyayangi Karenina layaknya dulu.
“ Ya, terimakasih Karenina. Aku harap kamu dapat yang lebih baik dari aku.” Dafian menatap Karenina lekat-lekat. Cinta memang cepat merubah seseorang. Karenina memang jauh lebih cantik dari dulu. Wajah nya yang peranakan Indo- Jepang itu, terlihat lebih manis dengan polesan make-up. Tapi bukan ini yang Dafian mau.
“ Aku pamit ya Daf.”
“ Aku antar sampai depan gang. Supaya kamu tidak diganggu oleh preman-preman di sepanjang gang ini. Berbahaya untuk model cantik sepertimu apalagi pakaianmu amat terbuka.” Dafian tersenyum. Sementara Karenina amat tersentuh. Ternyata Dafian masih sama seperti dulu.

* * *

Hari ini adalah hari Minggu. Pukul satu siang. Dafian baru saja pulang dari gereja Imannuel yang terletak di pusat kota. Acara kebaktian yang rutin diadakan setiap hari Minggu itu membuat dia tidak bisa bermalas-malasan tidur di Minggu pagi. Dan sekarang, ia harus pergi ke rumah dosennya di kawasan komplek Cemara Hijau mengenai tugas praktek kuliahnya.

Baru sampai mulut gang, dia melihat seorang wanita yang pernah dilihatnya di depan masjid kemarin. Matanya terbelalak kaget. Wanita itu sekarang sedang ada di toko bunga.
“ Ya Tuhan. Aku harus tahu nama cewek itu.” Dafian berkata dalam hati. Dan ia menghampiri wanita itu. Namun, ketika akan menghampiri, wanita itu sudah keluar dari toko bunga, tapi satu dari beberapa tangkai bunga yang dibawanya ada yang terjatuh. Spontan Dafian memungutnya.
“ Mbak tunggu..”

Wanita tadi menoleh.
“ Ini bunga punya mbak? Tadi jatuh disana.” Dafian kini benar-benar berhadapan dengan wanita yang belakangan ini selalu hadir dalam benaknya
“ Terimakasih..” wanita itu kemudian melanjutkan langkahnya.
“ Hai, tunggu .”
“ Apalagi?” kata wanita itu angkat bicara.
“ Boleh tahu nama kamu? “ Dafian tersenyum ramah.
“ Kirana. “ lagi-lagi jawabannya singkat.
“ Aku Dafian.”

Kirana mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah lagi. Sementara Dafian senang tak terkira. Ini pertemuan pertama dengan wanita yang disukainya. Tapi, sejak kapan ia suka dengan wanita ber-jilbab? Wanita yang sudah jelas-jelas berbeda keyakinan dengannya.

* * *

Kirana meneguk teh yang baru saja dibuatnya. Ia teringat dengan kejadian tadi. Nama pria tadi adalah Dafian. Dan tanpa sadar dia tersenyum sendiri. Padahal, belum pernah dia merasa sesenang ini jika bertemu dengan pria. Kejadian yang dialaminya tentang mencintai seorang pria pernah berakhir pahit dan itulah yang membuatnya enggan jatuh cinta kembali. Tapi, jika dengan pria tadi. Tampaknya ada daya tarik sendiri dari pria itu. Ahh,.. Kirana ingin bertemu kembali dengan Dafian.

Diam-diam dia meraih buku diary bersampul mawar dari meja disamping ranjangnya. Dia mulai menuliskan curahan perasannya. Tentunya dengan rona wajah seseorang yang sedang jatuh cinta. Namun, senyumnya sirna ketika pandangannya mulai kabur dan ia merasakan sakit yang hebat pada kepalanya. Sakit itu terus menyerang dan Kirana tak mampu melawannya.

* * *

Ini kedua kalinya Dafian bertemu Kirana di toko bunga. Kebetulan, Dafian akan membeli seikat bunga untuk Sang Bunda yang akan berulang tahun besok.
“ Hai Kirana..” sapa Dafian. Kirana menoleh dan tersenyum manis.
“ Sedang apa kamu disini Daf? “ tanya Kirana heran
“ Beli bunga lah, masa berenang.” jawab Dafian sambil menatap Kirana. Menikmati kecantikan natural dari wanita di hadapannya ini. Bagaimana tidak. Kirana memiliki mata yang indah dengan bulu mata tebal dan lentik. Kulitnya putih bersih dan hidungnya mancung sempurna. Sepertinya, Kirana memiliki garis keturunan orang Belanda.
“ Oh, beli bunga untuk siapa? Pacar kamu ya Daf ?” Kirana tertawa kecil
“ Pacar? Aku ga punya pacar Na. Aku beli bunga ini untuk Bunda. Besok dia ulang tahun. Eh, kamu suka mawar?” tanya Dafian ketika melihat bunga yang dipesan Kirana adalah mawar. Kemarin, waktu pertemuan pertama dengan Kirana, dia juga melihat jenis bunga yang sama.
“ Iya suka sekali..” Kirana mengangguk pelan.
“ Aku belikan untuk kamu, ya..” sebuah kalimat yang tidak Kirana duga, terluncur dari mulut Dafian.
“ Wah,terimakasih ya Dafian. “ Kirana tersenyum lebar. Pria di depannya ini sangat baik.“ Sama-sama, lebih senang lagi kalau kamu mau menemani aku makan siang. “ tawar Dafian. Kirana tersenyum lagi dan mengangguk cepat.

* * *

“ Ehmm...jadi begitu ya sebab kamu memutuskan hubungan dengan kekasihmu itu?” tanya Kirana ketika Dafian menjelaskan mengapa ia melajang sekarang. Mereka saling bercerita tentang banyak hal.
“ Ya, begitulah. Kamu tampak pendiam sekali Na, apalagi ketika pertama kita bertemu.” Dafian berkomentar.
“ Aku kesepian. Aku hidup seorang diri. Tapi, ketika bertemu kamu, aku merasa punya seseorang yang baru. Aku bisa terbuka mengenai hidup aku setelah sekian lama aku menutup diri, Daf. Padahal, kita baru kenal.”
“ Oh ya? Aku merasakan hal itu juga, Na. Aku merasa cocok denganmu loh. Padahal kita baru bertemu 2 kali.” ucap ucap Dafian jujur.

Lama mereka saling diam
“ Na, kamu cantik dan aku suka..” tidak sengaja Dafian mengatakan itu dan Kirana tersipu malu.
“ Kita bisa lebih saling mengenal Daf. “ ucap Kirana
“ Ya, kamu benar. Oh ya, aku ada kuliah jam 4 sore. Kita bisa bertemu kembali nanti. “ Dafian melirik arloji di tangannya dan jam menunjukkan pukul 15.15
“ Oke Pak Dokter. Sebaiknya kita shalat dulu yuk.” Kirana hendak beranjak.
“ Na, maaf..”
“ Ya, kenapa? “
“ Aku non muslim. “

Seketika raut wajah Kirana berubah.

* * *

5 bulan telah berlalu semenjak pertemuannya dengan Kirana. Hubungan mereka masih baik. Dafian memang telah menyatakan cintanya pada Kirana, tapi Kirana tetap tidak bisa merespon karena keyakinan mereka berbeda. Apalagi, orang tua Dafian menentangnya keras ketika Dafian bercerita bahwa dia jatuh cinta pada seorang wanita muslim dan ingin meminangnya. Dafian masih ingat ketika ayahnya begitu marah ketika dia meminta ijin untuk memeluk agama Islam demi cintanya. Sepertinya, cinta yang kuat akan membuat Dafian benar-benar melaksanakan niatnya itu agar mendapatkan Kirana. Dia tahu Kirana tidak akan menjawab cintanya selama mereka masih berbeda keyakinan. Haram kata Kirana. Dan sekarang, yang terpenting adalah lulus kuliah, menjadi dokter sesungguhnya dan meminang Kirana.

Tak peduli kata orang tuanya. Lagipula, sebenarnya dia sudah lama ingin mengetahui tentang Islam lebih dalam. Ketertarikannya itu bermula ketika Dafian duduk di bangku SMP. Dia melihat teman-temanya yang sebagian besar orang muslim, melaksanakan shalat di hari Jumat siang secara bersama-sama dan yang mengikutinya adalah laki-laki semua. Selain itu, dia suka memperhatikan guru agama Islam di SMP nya menerangkan tentang sejarah Islam, yang sedikit-sedikit bisa dia mengerti. Dia juga suka mendengar orang yang kata salah satu temannya, sedang mengaji. Ketika SMP pun, dia pernah tertarik dengan salah satu teman wanitanya yang memakai jilbab. Sangat anggun menurutnya. Karena, jujur saja Dafian tidak suka wanita yang tidak mejaga kehormatannya seperti memakai rok pendek diatas lutut. Padahal, sekolah sudah melarangnya.
“ Selamat siang Dafian.” sebuah suara membuat lamunan Dafian buyar.
“ Siang bu. “ Dafian tersenyum pada dosennya itu, Bu Lastri.
“ Melamun saja, Daf.” goda Bu Lastri.
“ Eh, ehmm engga bu. Oh ya, bagaimana dengan praktek bedahnya?”
“ Kamu bisa mulai minggu depan. Setelah itu, persiapan untuk ujian. Ibu yakin kamu pasti lulus dan bisa mempertanggungjawabkan gelar dokter mu.” ucap Bu Lastri.
“ Terimakasih, bu. “

Bu Lastri mengangguk dan tersenyum.
“ Eh, bu. Amlop ini punya ibu?” tanya Dafian ketika mengambil amplop besar berwarna putih yang jatuh dekat sepatunya.
“ Oh, ya ini hasil check-up pasien saya, Daf.” Bu Lastri mengambil amplop itu dari tangan Dafian

“ Emang, dia sakit apa?”
“ Dia divonis kanker otak stadium akhir Daf. Dan kanker nya itu telah meluas. Kamu tau kan artinya apa? Harapan untuk hidupnya kecil. Mungkin saya sendiri tidak bisa mengatakan berapa lama dia akan bertahan. Yang pasti, hanya Tuhan yang tahu. Saya sangat sedih melihatnya, apalagi dia sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Dia sangat lemah dan tidak berdaya ketika diberi paint killer dengan dosis yang tinggi. Tapi, bila tidak diberi itu, maka dia akan sangat menderita. Lama dia hidup mungkin hanya ditentukan oleh bagaimana dia mempunyai semangat tinggi untuk hidup. Bila kankernya masih ada di stadium 2, kami para dokter bisa melakukan chemoterapi dan pengambilan jaringan-jaringan yang terkena kanker. Tapi, semua terlambat. Dia tidak pernah peduli dengan rasa sakit di kepalanya sehingga sekarang, kankernya itu sudah meluas. “
“ Semoga Tuhan memberikan sebuah keajaiban ya,Bu..” ucap Dafian.
“ Ya, Daf. Saya berharap seperti itu. Saya permisi.”

Dafian membiarkan Bu Lastri pamit dan entah kenapa, dia teringat Kirana.

* * *

Malam di sebuah restaurant.

Dafian menatap Kirana yang malam itu sengaja ia ajak ke tempat makan faforitnya. Ia ingin menyampaikan sesuatu yang amat penting. Tapi, tak seperti biasanya, wajah Kirana terlihat pucat.
“ Na, kamu sakit?” tanya Dafian.

Kirana tersenyum dan menggeleng pelan.
“ 2 minggu lagi, aku wisuda kuliah dan itu artinya, aku benar-benar menjadi seorang dokter,Na.” Ucap Dafian senang. Namun, Kirana hanya tersenyum menanggapinya.
“ Minggu-minggu ini kita tak bisa banyak bertemu. Aku banyak kegiatan di kampus. Tapi, aku berjanji saat telah diwisuda, aku akan datang membawa ijazah dokterku dan langsung melamarmu.”

Kirana tersentak kaget. Wajahnya yang pucat, sekarang berubah menjadi lebih pucat seperti orang yang meninggal.
“ Kamu serius?” tanya Kirana.
“ Aku serius. Apakah kamu tidak mau? “
“ Daf, kita kan...”
“ Aku akan menjadi mualaff untukmu Na. “ tegas Dafian memotong pembicaraan Kirana.
“ Tapi, Daf? Keluarga kamu? Papamu seorang whorsip leader di gereja-gereja besar. Tentu saja keyakinannya begitu kuat dan beliau tidak akan merelakan anaknya begitu saja memeluk agama lain.” ujar Kirana, dia mengalihkan pandangannya keluar. Menatap kendaraan yang lalu lalang.
“ Aku sangat mencintaimu. Tidak ada salahnya bila aku menentukan jalanku sendiri. Aku akan menjadi mualaf untukmu,Na” Dafian mengulang pembicaraannya.

Kirana termenung, dia menatap kembali wajah pria yang sebenarnya sangat dia cintai. Sinar ketulusan terpancar dari wajah Dafian.
“ Kamu tidak usah khawatir. Aku tulus dan sungguh-sungguh. Nanti, ajari aku shalat dan mengaji ya. Pokoknya semua tentang Islam.” ucap Dafian. Matanya menatap Kirana lembut.

Sementara Kirana, merogoh tasnya dan mengambil sebuah buku.
“ Ini ada buku tuntunan shalat. Lengkap. Semua jenis shalat ada disini. Tapi, yang paling utama, kamu harus pelajari shalat fardu. “ Kirana memberikan buku yang diambil dari tasnya kepada Dafian.
“Terimakasih, Na. Aku pasti datang untukmu.”

* * *

Hari ini adalah hari yang sangat spesial bagi Dafian. Dia telah lulus kuliah dan mendapatkan gelar sebagai seorang dokter. 1 hari sebelumnya, dia telah resmi menjadi seorang pria muslim. Melakukan sunat, dan mengucap kalimat syahadat di depan seorang ustadz. Disaksikan juga oleh beberapa tokoh agama di daerah ini. Bu Tari, ibu kost-nya pun datang menjadi saksi. Sementara orangtuanya, tidak tahu mengenai hal ini.

Rencananya, hari ini Dafian akan datang ke rumah Kirana. Dia ingin menjalankan niat tulusnya untuk meminang Kirana. Setidaknya, dia bisa bicara pada orang terdekat Kirana. Kirana pernah bicara, bahwa dia tinggal bersama tante-nya di Komplek Cemara Hijau. Tapi, nomor handphone Kirana tidak dapat dihubungi. Sejak 2 minggu yang lalu. Tadinya Dafian fikir, mungkin handphone Kirana lowbatt, dan dia tak penah mencoba menghubungi Kirana lagi karena sibuk. Dan sekarang, ketika dihubungi lagi pun, jawaban dari operatornya sama. Tidak dapat dihubungi.

Dafian menghela nafas panjang, dan mulai keluar dari kost-an nya. Menyusuri gang, dan masuk ke Komplek Cemara Hijau. Dia masih mengenggam ijazah dokternya. Tadinya, dia berharap akan bertemu dengan Bu Lastri di acara wisuda, tapi dia tidak ada. Padahal, Dafian ingin mengucapkan terimakasih pada dosennya itu yang telah banyak membantu dalam proses kuliahnya.

Komplek Cemara Hijau Blok F no.9, sepertinya Dafian mengenal alamat itu. Sekarang, dia telah sampai. Eh, tunggu dulu. Ini kan rumahnya Bu Lastri, dan rumah ini? Rumah Kirana pula. Tapi kok ada bendera kuning dan banyak orang berpakaian hitam di dalam?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di fikiran Dafian.Hatinya cemas luar biasa. Dia mendekati rumah itu.
“ Permisi..” ucap Dafian.
“ Dafian..” Bu Lastri muncul dari dalam. Dia kaget melihat Dafian telah berdiri di halaman rumahnya.
“ Ibu ini rumah Kirana?” tanya Dafian pelan.
“ Kamu mengenal Kirana?” tanya bu Lastri kaget.
“ Dia calon istriku, Bu..”

Seketika Bu Lastri menangis. Menangis menatap Dafian.
“ Jadi, kamu orang yang Kirana ceritakan? Kamu harus melihat dia untuk yang terakhir kalinya.” Bu Lastri meminta Dafian mengikutinya. Dafian tak mengerti apa yang terjadi. Dia terhenti di hadapan seorang jenazah.
“ Katakan bahwa dia bukan Kirana Bu.” Dafian berlutut lemas. Ijazah yang sedari tadi dipegangnya, jatuh terlepas dari genggamannya. Dia tak mampu berkata apa-apa. Lemas,dan pikirannya tak bisa mencerna apa yang saat ini terjadi.
“ Kirana adalah orang yang saya ceritakan tempo hari. Dia mengidap kanker otak. Selama 2 minggu dia koma di rumah sakit. Malam itu sebelum dia masuk rumah sakit, Kirana bilang bahwa dia akan bertemu dengan orang yang dicintainya. Padahal, 1 hari sebelumnya dia sempat pingsan dan kondisinya saat itu sedang lemah. Sampai pada saat setelah pertemuannya dengan orang itu, yang ternyata kamu, Kirana pingsan kembali dan kondisinya langsung memburuk. Dia tidak punya harapan untuk hidup. Dia juga tak pernah bercerita bahwa pria yang berhasil membuatnya bahagia itu adalah kamu. Saya tidak menyangka “ jelas Bu Lastri panjang lebar. Dia menatap jenazah Kirana dengan tatapan kosong.

Dafian tak percaya bahwa ini adalah nyata. Kirana seperti masih ada. Masih ada di sampingnya. Dan akan ia nikahi sekarang. Tapi kenapa secepat ini? Mengapa saat Dafian telah menemukan sosok wanita yang benar-benar tepat, wanita itu pergi? Meninggalkannya sendirian. Hati Dafian menjerit tak rela.
“ Daf, jenazahnya akan di shalatkan. Kamu mau menunggu di luar?” tanya Bu Lastri.
“ Saya sudah muslim sekarang, Bu. Saya akan ikut menyolatkan Kirana.” ucap Dafian. Ini pertama kalinya dia menyolatkan jenazah. Dan Dafian bisa melakukannya. Dia belajar dari buku tuntunan shalat yang diberikan oleh Kirana saat terakhir mereka bertemu.
“ Na, aku akan menunjukkan padamu, bahwa aku sekarang bisa shalat. Dan aku shalat untukmu.” Gumam Dafian dalam hati. Tanpa sadar, air matanya mengalir perlahan.

* * *

Langit kelam menghiasi acara pemakaman Kirana sore ini. Bau tanah makam menusuk hidung. Dafian duduk di samping pusaran Kirana. Di batu nisan itu tertulis nama “Kirana Aurelia Dreana”. Nama seorang wanita yang sangat Dafian cintai. Yang Dafian impikan, yang Dafian harap bisa menjadi Ibu dari anak-anaknya. Yang akan ada di samping Dafian sampai kapanpun. Tapi sekarang, semua angan-angan itu hancur begitu saja. Kirana telah pergi meninggalkannya. Rupanya Dafian harus meyakini dan menguatkan hati, bahwa menapaki hari tanpa sosok Kirana, adalah hal yang nyata. Yang akan dihadapinya mulai detik ini.

Buliran air mata turun membasahi pipi Dafian. Ia memang laki-laki yang pantang menangis. Tapi kali ini, ia seolah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Ya, cinta. Cinta yang paling berharga itu harus hilang begitu saja. Sisi terindah dalam hidupnya adalah pertemuan dengan Kirana.
“ Daf.. ini ada sesuatu dari Kirana. Dia menitipkan ini sesaat sebelum dia pergi.” Ucap Bu Lastri sambil menyerahkan buku diary bersampul mawar merah.
“ Terimakasih, Bu..” ucap Dafian. Bu Lastri lalu pulang, meninggalkan Dafian sendiri.

Dafian membuka lembaran pertama buku diary Kirana, isinya tentang perasaan dia ketika mamanya meninggal dan Papanya menikah lagi ditambah dengan kisah penyakitnya, begitu seterusnya sampai halaman 8. Dari halaman 9 sampai 14, tentang perasaan Kirana pada Dafian serta keraguannya untuk menerima cinta Dafian karena mereka berbeda keyakinan, dan dari halaman 15 sampai 17 tentang penyakitnya yang semakin parah, di halaman 18 tentang pinangan Dafian dan di halaman terakhir ada sebuah catatan untuk Dafian. Dafian juga melihat sebuah bunga mawar yang telah layu, pemberiannya dulu, ditempel di salah satu lembaran dalam buku diary itu.

Untuk ,
Dafian..

Dafian,aku menulis catatan ini, karena aku takut tak bisa bertemu kamu lagi. Aku yakin, sekarang kamu sudah menjadi pria muslim kan? Alhamdulilah. Aku senang sekali. Karena aku berharap aku bisa seterusnya denganmu Daf, tanpa perbedaan diantara kita.

Daf..
Aku dan kamu bertemu dalam satu kisah percintaan umat manusia. Dimana di dalamnya, kita bersama-sama merajut benang kasih, meniti indahnya jembatan cinta. Tapi, kini aku tak berdaya. Aku hanya berharap, Allah memberikanku sisa hidup untuk melihatmu sebagai pria muslim. Melihatmu sebagai seorang dokter walau hanya sekejap.

Daf..
Maaf jika nyatanya aku harus pergi meninggalkanmu. Jika aku tak bisa menepati janji akan menunggumu untuk datang melamarku. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sangat menyayangimu. Kamu bisa membuat aku bahagia kembali setelah sebelumnya aku selalu merasa sendiri. Kamu bisa membuat aku membuka diri setelah sebelumnya aku menutup diri karena kisah keluargaku yang hancur berantakan.

Daf..
Jika aku telah tiada, jangan lupakan aku ya, jangan lupakan kisah kita. Jaga dirimu baik-baik dan aku selalu menyayangi kamu, mendoakan kamu agar kamu selalu dalam lindungan Allah. Satu lagi, kamu harus memohon maaf pada orang tua yang telah membiayai kamu sampai kamu seperti sekarang. Mohon maaflah karena kamu telah memeluk agama Islam tanpa persetujuan mereka.
Dafian, jagalah selalu ibadahmu. Ingatlah bahwa aku sebenarnya tak pernah meninggalkanmu. Meski ragaku telah tiada. Namun, cintaku selalu dihatimu..
Kirana.

Dafian menutup buku diary Kirana. Kertas berisi catatan Kirana kini basah oleh air mata. Dia tidak kuat menghadapi kenyataan ini.
“ Daf..” seseorang memegang bahu Dafian dari belakang. Dafian menoleh,
“ Karenina?? Kenapa kamu bisa ada disini?” tanya Dafian kaget.
“ Kirana adalah sahabatku semasa SMP. Dan aku baru tau semua tentang kamu dan Kirana dari Tante Lastri. Sabar ya,” ucap Karenina. Dia juga duduk di samping pusaran Kirana.

Sementara Dafian tak bisa berkata-kata. Kepalanya menengadah menatap langit yang gelap sekali. burung camar beterbangan kesana kemari. Hujan mulai turun.
“ Daf, hujan nih. Ayo kita pulang. Biarlah Kirana pergi. Dia pasti tenang di alam sana.” Karenina membuka payungnya dan membopong Dafian berdiri. Lalu, dia memayungi Dafian yang terlihat masih sedih. Sekali lagi Dafian memandang pusaran Kirana sebelum akhirnya pulang.
“ Kirana, biarkanlah camar ini terbang, beserta sejuta rinduku padamu. Kamu selalu di hatiku untuk selamanya, cinta tak harus memiliki..” Dafian berkata dalam hati ..
* * *

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar