SEBUAH KURSI UNTUK JENAZAH
Karya Sujud Kabisat
Sebenarnya, permintaanku sangatlah sederhana. Aku minta kursi yang berada di dapur, dekat kandang ayam, yang biasanya dipakai untuk tumpangan panci, kuwali, wajan, juga untuk menggeletakkan bumbu masakan tiap hari itu ditaruh di halaman rumah. Tepatnya, di bawah pohon jambu, menghadap ke selatan. Dengan begitu, aku bisa lebih leluasa menghadap ke laut, melihat desir ombak, pasir yang basah, dan juga, matahari yang condong ke belakang perlahan, timbul dan tenggelam. Kulihat kemilau cahaya sebesar baskom keluar dari permukaan air laut.
“Purnama!” teriakku sambil termangu di depan pintu. Aku bisa melihat pemandangan indah itu selama berjam-jam. Sebelum ahirnya, Ibu menyuruhku untuk tidur. Waktu itu usiaku sepuluh tahun.
Keesokan harinya, aku minta Bapak untuk menaruh kursi itu di depan halaman rumah. Tepatnya, di bawah pohon jambu, menghadap ke selatan. Kursi itu hanya terbuat dari kayu bekas di kebun. Juga tidak terpahat, dan, dengan tekstur yang sedikit kasar. Kursi itu kira-kira berukuran dua setengah kali satu meter. Lumayan, bisa untuk duduk, tidur terlentang, juga membaca buku.
“Kamu ini aneh-aneh saja tho, Lhe. Sebaiknya yang kamu pikirkan sekarang adalah sekolah. Bukan ngelamun. Kamu mau jadi orang stres,” kata bapak dengan nada sedikit marah. Kemudian Ibu segera menarik lenganku ke kamar. “Kamu bisa pakai tikar ini. Dari dulu sifat Bapakmu memang seperti itu. Jangan diambil hati.”
◘
“Purnama!” teriakku sambil termangu di depan pintu. Aku bisa melihat pemandangan indah itu selama berjam-jam. Sebelum ahirnya, Ibu menyuruhku untuk tidur. Waktu itu usiaku sepuluh tahun.
Keesokan harinya, aku minta Bapak untuk menaruh kursi itu di depan halaman rumah. Tepatnya, di bawah pohon jambu, menghadap ke selatan. Kursi itu hanya terbuat dari kayu bekas di kebun. Juga tidak terpahat, dan, dengan tekstur yang sedikit kasar. Kursi itu kira-kira berukuran dua setengah kali satu meter. Lumayan, bisa untuk duduk, tidur terlentang, juga membaca buku.
“Kamu ini aneh-aneh saja tho, Lhe. Sebaiknya yang kamu pikirkan sekarang adalah sekolah. Bukan ngelamun. Kamu mau jadi orang stres,” kata bapak dengan nada sedikit marah. Kemudian Ibu segera menarik lenganku ke kamar. “Kamu bisa pakai tikar ini. Dari dulu sifat Bapakmu memang seperti itu. Jangan diambil hati.”
◘
Beberapa hari kemudian, kampung kami digemparkan oleh berita meninggalnya Pak Braham. Pak Braham adalah satu-satunya nelayan yang paling disegani di kampung kami. Hampir semua nelayan selalu mendengarkan dan menuruti perkataannya. Apapun saja mengenai apa yang terjadi di laut, ia bisa membaca dan mempunyai intuisi yang tidak dimiliki oleh nelayan lain. Pernah suatu ketika ada nelayan yang menyepelekan perkataannya, nelayan itu hilang terhempas badai. Sampai sekarang belum ditemukan jasadnya.
Hari itu semua tetangga sudah pada berkumpul di rumah Pak Braham. Kesedihan terpancar dari wajah mereka. Kulihat anaknya Intan, yang paling sulung, pingsan dan belum siuman sampai sekarang. Istrinya membacakan surat Yaasin di samping jenazah Pak Braham. Sementara orang-orang yang berada di situ terlihat sibuk mempersiapkan pemakamannya.
“Kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya,” teriak Ustadz Hamid.
Kami semua yang berada di situ saling bertukar pandang. Saling melirik satu sama lain. Di kampung kami, sangatlah sulit mencari kursi sepanjang itu. Apalagi, kebiasaan penduduk kami selalu tidur dengan tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Begitu juga di ruang tamu, tidak ada meja dan kursi.
“Maaf, kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya.” Ustadz Hamid mengulangi teriakannya.
Suasana hening beberapa saat. Kemudian kulihat Bapak menghampiri Ustadz Hamid.
“Di rumah saya ada Ustadz. Mungkin kotor dan banyak debunya. Maklum, kursi itu saya taruh di dapur,” kata Bapak agak sedikit malu.
“Tidak apa-apa. Yang penting bisa untuk membaringkan jenazahnya.”
Beberapa orang segera mengambil kursi ke rumahku, yang kebetulan, tidak begitu jauh dari rumah Pak Braham. Hanya dengan hitungan menit, kursi itu sudah sampai di rumah Pak Braham. Kemudian jenazah Pak Braham dibaringkan. Beberapa kerabat keluarganya memandikan. Di atas kursi itu.
◘
Pemakaman jenazah Pak Braham hari itu berlangsung singkat dan sederhana. Setelah semua urusan selesai, kursi itu dikembalikan lagi ke rumahku. Bapak menaruh kembali kursi itu ke tempat semula. Di dapur, dekat kandang ayam, untuk tumpangan panci, kuwali, wajan, juga untuk menggeletakkan bumbu masakan.
“Sebaiknya kursi itu ditaruh di halaman saja, Pak.” Aku coba merayu Bapak, ketika kami sekeluarga sedang berkumpul di ruang tamu.
“Sudahlah, sebaiknya kamu belajar. Besok ada ulangan,” jawab Bapak, dengan nada sinis seperti biasanya.
“Iya, sebaiknya di taruh di halaman. Sekarang aku takut dan merinding kalau ke belakang. Ketika melihat kursi itu, aku teringat almarhum Pak Braham.” Mbak sari terkesan membelaku. Mungkin ia juga merasa ketakutan. Biasanya kalau malam ia sering mondar-mandir ke dapur. Tapi malam ini, kulihat ia selalu duduk merapat di samping Ibu.
“Jangan percaya takhayul. Yang kamu lihat itu hanya kursi. Jasadnya Pak Braham sudah berada di kuburan, di atas tebing itu. Mana mungkin orang mati bisa hidup lagi. Jangan berpikir yang macam-macam.” Kemudian Bapak keluar rumah untuk pergi ronda. Meninggalkan Ibu, aku, dan Mbak Sari dengan ketakutan.
Selama tujuh hari, kami tidak berani ke dapur sendirian di waktu malam, kecuali Bapak. Kalau pergi ke dapur kami selalu bertiga, sesekali menengok kursi itu. Begitu juga ketika tidur kami selalu bersama-sama dan saling merapat. Dengan ketakutan. Menurut mitos di kampung kami, orang yang sudah meninggal, roh-nya masih berkeliaran selama tujuh hari. Bahkan, ada yang bilang selama empat puluh hari.
◘
Setelah Pak Braham meninggal, kami mendengar kabar kalau keluarganya pindah ke kota, tinggal di tempat saudaranya. Pak Braham satu-satunya yang mencukupi ekonomi keluarganya. Sedangkan anaknya Bagas dan Intan masih harus melanjutkan sekolah. Mungkin karena kondisi ekonomi yang tertekan itulah yang membuat keluarganya memutuskan untuk mengadu nasib ke kota. Kata Ibu, mereka tinggal di Surabaya.
Rumah itu sekarang ditempati seorang wanita separoh baya dan satu anak perempuannya. Mereka jarang keluar rumah. Bahkan, untuk urusan bertetangga juga tidak pernah. Ibunya seminggu sekali pulang, anaknya ditinggal sendirian di rumah. Penduduk di kampung kami sedikit risih juga dengan kehadirannya.
“Sebaiknya perempuan itu tinggal di hutan. Biar sekalian tidak punya teman,” kata Bu Darmi, tetangga sebelah wanita separoh baya itu.
“Bukan di hutan, tapi di kuburan,” tegas Bu Dewi. Tetangga paling pojok yang kebetulan sedang berkumpul ikut arisan.
Kehadiran wanita separoh baya dan anak perempuannya itu menjadi bahan pergunjingan penduduk kami selama beberapa bulan. Namun, ketika tengah malam, tiba-tiba kami dikejutkan dengan berita meninggalnya wanita separoh baya yang tinggal di rumah itu. Semua para tetangga segera berkumpul di rumahnya. Walau wanita itu mempunyai perangai yang buruk, tidak mau bersilaturrahim dengan tetangga, namun rasa sosial orang di kampung kami cukup tinggi. Bagaimanapun juga, orang yang sudah meninggal jenazahnya harus segera dimakamkan.
“Kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya,” teriak Ustadz Hamid.
“Di rumah saya ada Ustadz. Kursi yang beberapa bulan kemarin untuk memandikan jenazah Pak Braham. Mungkin kursi itu kotor dan banyak debunya. Maklum, kursi itu saya taruh di dapur lagi.” Bapak menawarkan dengan ekspresi bangga. Mungkin, ia akan dianggap orang berjasa di kampung kami.
“Tolong beberapa orang mengambil kursi di rumah Pak Dirman,” perintah Ustadz Hamid.
Ketika beberapa orang mau melangkahkan kaki menuju rumahku, tiba-tiba ada seseorang menghentikan langkahnya, “Sebaiknya jangan kamu ambil kursinya. Aku sering melihat wanita separoh baya itu berkeliaran di sebuah lokalisasi di kota. Ia mati mendadak mungkin terkena penyakit menular yang membahayakan. Seperti AIDS, kusta, atau…, sebaiknya dibiarkan saja. Dia seorang pelacur.”
“Aku juga sering melihat dia gonta-ganti diantar laki-laki yang belum pernah aku kenal di kampung sini. Mungkin benar, dia seorang pelacur,” sambung seseorang yang tidak aku kenal namanya.
“Sudah-sudah. Tidak baik membicarakan perangai buruk orang yang sudah meninggal. Dilarang oleh agama. Tolong kursinya segera diambil,” kata Ustadz Hamid seraya meredamkan suasana.
Semua orang yang berada di situ tidak ada yang berani melawan perintah Ustadz Hamid. Beberapa orang segera mengambil kursi ke rumahku, yang kebetulan, tidak begitu jauh dari rumah wanita separoh baya itu. Hanya dengan hitungan menit, kursi itu sudah sampai di rumahnya. Kemudian jenazah wanita separoh baya itu dibaringkan. Anak perempuannya, Ibu, dan juga beberapa tetangga lainnya ikut membantu memandikan. Di atas kursi itu.
◘
Pemakaman jenazah wanita separoh baya hari itu berlangsung singkat dan sederhana. Setelah semua urusan selesai, aku melihat kursi itu belum dikembalikan, masih tergeletak di halaman rumah wanita separoh baya itu.
“Kenapa kursinya tidak diambil, Pak?” tanyaku keesokan harinya.
“Sudahlah, biarkan saja. Mungkin orang itu benar. Kalau wanita separoh baya itu punya penyakit menular yang membahayakan, kita bisa tertular. Bisa-bisa semua ayam di dapur itu mati semua,” jawab Bapak, yang terkesan aneh dari biasanya.
Tapi aku tidak berani meminta Bapak menaruh kursi itu di halaman rumah. Paling, Bapak juga tidak memperbolehkan. Setiap hari aku melihat kursi itu masih berada di halaman rumah wanita separoh baya itu, posisinya belum berubah. Ketika malam, aku sering melihat anak perempuannya termangu duduk di kursi itu, menghadap lepas ke laut. Kadang terlintas di benakku ingin menanyakan perihal kursi itu kepadanya, tapi segera saja kuurungkan niatku.
◘
Waktu itu usiaku dua belas tahun. Aku melanjutkan belajar di Sekolah Menengah Pertama yang kebetulan berada di kota. Karena alasan jarak yang jauh, Bapak mengijinkan aku untuk tinggal di kos. Aku sudah jarang pulang ke rumah. Paling lama seminggu sekali untuk ambil uang dan beras. Ketika berada di kos, aku sering duduk di beranda di waktu malam. Aku melihat di depanku menghampar perkampungan kumuh, kemilau lampu merkuri, juga bising suara knalpot motor. Aku tidak bisa lagi menghadap lepas ke laut, melihat desir ombak, pasir yang basah, dan juga, matahari yang condong ke belakang perlahan, timbul dan tenggelam.
Aku coba bertahan dengan keadaan itu selama dua semester. Aku harus bisa mewujudkan keinginan Bapak, pikirku. Ketika aku sudah mulai beradaptasi dengan keadaan di kota, tiba-tiba aku dikejutkan oleh berita Ibu lewat telefon, “Ustadz Hamid meninggal dunia, kamu harus segera pulang. Bagaimanapun juga, Beliau yang mengajari kamu mengaji sejak kecil. Kamu banyak hutang budi pada Beliau. Kamu harus segera pulang.” Suara Ibu terengah-engah.
Saat itu juga aku langsung berkemas pulang. Aku mengambil posisi bus paling depan. Selama dalam perjalanan, aku teringat akan perangai baik Ustadz Hamid kepadaku. Waktu Beliau mencubit pantatku ketika aku jarang mengaji. Juga Beliau selalu mengingatkanku untuk rajin sholat.
Sesampainya di terminal, aku langsung berlari menuju rumah Ustadz Hamid. Kulihat orang-orang sudah berkumpul di rumahnya. Aku langsung masuk ke dalam rumah melihat jenazahnya.
“Kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya,” teriak Mas Burhan, santri kesayangan Ustadz Hamid.
“Kursi yang kemarin sudah dipakai untuk memandikan jenazah wanita separoh baya itu, tidak mungkin kita ambil. Ustadz Hamid orang yang bersih, sedangkan kursi itu bekas memandikan jenazah pelacur itu. Sebaiknya kita pangku saja jenazahnya,” jawab Pak Slamet.
“Jika dipangku, kita akan kesulitan memandikan jenazahnya,” tegas Mas Burhan.
“Sebaiknya kita buat kursi lagi,” sahut seseorang lainnya.
“Itu membutuhkan waktu yang lama. Jenazah Ustadz Hamid harus dimandikan malam ini juga.”
Setelah melalui perdebatan cukup panjang, ahirnya semua sepakat, jenazah Ustadz Hamid dimandikan dengan cara dipangku. Walau agak kesulitan, akhirnya prosesi pemakaman itu selesai juga. Dengan singkat dan sederhana.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku melewati rumah wanita separoh baya itu. Aku melihat kursi itu masih tergeletak berada di halaman, posisinya belum berubah. Karena kepanasan dan kehujanan selama beberapa tahun, kursi itu sudah lapuk, kakinya patah. Sedangkan anak perempuannya sudah tidak menempati rumah itu. Entah kemana.
Keesokan harinya kursi itu aku ambil. Bagian kaki kursi yang patah dan sudah lapuk itu aku perbaiki, kemudian aku pahat sampai halus, dan, semua permukaan kursi itu aku plitur sampai mengkilap. Aku tidak menaruh kursi itu di halaman, dekat pohon jambu, menghadap ke selatan, seperti halnya keinginan sederhana ketika aku kecil.
“Untuk apa kursi itu, Lhe?” tanya Bapak dengan keheranan.
“Memandikan jenazah.”
Ponorogo, Solo, Jogja, Jakarta , 2004 – 2007
Hari itu semua tetangga sudah pada berkumpul di rumah Pak Braham. Kesedihan terpancar dari wajah mereka. Kulihat anaknya Intan, yang paling sulung, pingsan dan belum siuman sampai sekarang. Istrinya membacakan surat Yaasin di samping jenazah Pak Braham. Sementara orang-orang yang berada di situ terlihat sibuk mempersiapkan pemakamannya.
“Kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya,” teriak Ustadz Hamid.
Kami semua yang berada di situ saling bertukar pandang. Saling melirik satu sama lain. Di kampung kami, sangatlah sulit mencari kursi sepanjang itu. Apalagi, kebiasaan penduduk kami selalu tidur dengan tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Begitu juga di ruang tamu, tidak ada meja dan kursi.
“Maaf, kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya.” Ustadz Hamid mengulangi teriakannya.
Suasana hening beberapa saat. Kemudian kulihat Bapak menghampiri Ustadz Hamid.
“Di rumah saya ada Ustadz. Mungkin kotor dan banyak debunya. Maklum, kursi itu saya taruh di dapur,” kata Bapak agak sedikit malu.
“Tidak apa-apa. Yang penting bisa untuk membaringkan jenazahnya.”
Beberapa orang segera mengambil kursi ke rumahku, yang kebetulan, tidak begitu jauh dari rumah Pak Braham. Hanya dengan hitungan menit, kursi itu sudah sampai di rumah Pak Braham. Kemudian jenazah Pak Braham dibaringkan. Beberapa kerabat keluarganya memandikan. Di atas kursi itu.
◘
Pemakaman jenazah Pak Braham hari itu berlangsung singkat dan sederhana. Setelah semua urusan selesai, kursi itu dikembalikan lagi ke rumahku. Bapak menaruh kembali kursi itu ke tempat semula. Di dapur, dekat kandang ayam, untuk tumpangan panci, kuwali, wajan, juga untuk menggeletakkan bumbu masakan.
“Sebaiknya kursi itu ditaruh di halaman saja, Pak.” Aku coba merayu Bapak, ketika kami sekeluarga sedang berkumpul di ruang tamu.
“Sudahlah, sebaiknya kamu belajar. Besok ada ulangan,” jawab Bapak, dengan nada sinis seperti biasanya.
“Iya, sebaiknya di taruh di halaman. Sekarang aku takut dan merinding kalau ke belakang. Ketika melihat kursi itu, aku teringat almarhum Pak Braham.” Mbak sari terkesan membelaku. Mungkin ia juga merasa ketakutan. Biasanya kalau malam ia sering mondar-mandir ke dapur. Tapi malam ini, kulihat ia selalu duduk merapat di samping Ibu.
“Jangan percaya takhayul. Yang kamu lihat itu hanya kursi. Jasadnya Pak Braham sudah berada di kuburan, di atas tebing itu. Mana mungkin orang mati bisa hidup lagi. Jangan berpikir yang macam-macam.” Kemudian Bapak keluar rumah untuk pergi ronda. Meninggalkan Ibu, aku, dan Mbak Sari dengan ketakutan.
Selama tujuh hari, kami tidak berani ke dapur sendirian di waktu malam, kecuali Bapak. Kalau pergi ke dapur kami selalu bertiga, sesekali menengok kursi itu. Begitu juga ketika tidur kami selalu bersama-sama dan saling merapat. Dengan ketakutan. Menurut mitos di kampung kami, orang yang sudah meninggal, roh-nya masih berkeliaran selama tujuh hari. Bahkan, ada yang bilang selama empat puluh hari.
◘
Setelah Pak Braham meninggal, kami mendengar kabar kalau keluarganya pindah ke kota, tinggal di tempat saudaranya. Pak Braham satu-satunya yang mencukupi ekonomi keluarganya. Sedangkan anaknya Bagas dan Intan masih harus melanjutkan sekolah. Mungkin karena kondisi ekonomi yang tertekan itulah yang membuat keluarganya memutuskan untuk mengadu nasib ke kota. Kata Ibu, mereka tinggal di Surabaya.
Rumah itu sekarang ditempati seorang wanita separoh baya dan satu anak perempuannya. Mereka jarang keluar rumah. Bahkan, untuk urusan bertetangga juga tidak pernah. Ibunya seminggu sekali pulang, anaknya ditinggal sendirian di rumah. Penduduk di kampung kami sedikit risih juga dengan kehadirannya.
“Sebaiknya perempuan itu tinggal di hutan. Biar sekalian tidak punya teman,” kata Bu Darmi, tetangga sebelah wanita separoh baya itu.
“Bukan di hutan, tapi di kuburan,” tegas Bu Dewi. Tetangga paling pojok yang kebetulan sedang berkumpul ikut arisan.
Kehadiran wanita separoh baya dan anak perempuannya itu menjadi bahan pergunjingan penduduk kami selama beberapa bulan. Namun, ketika tengah malam, tiba-tiba kami dikejutkan dengan berita meninggalnya wanita separoh baya yang tinggal di rumah itu. Semua para tetangga segera berkumpul di rumahnya. Walau wanita itu mempunyai perangai yang buruk, tidak mau bersilaturrahim dengan tetangga, namun rasa sosial orang di kampung kami cukup tinggi. Bagaimanapun juga, orang yang sudah meninggal jenazahnya harus segera dimakamkan.
“Kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya,” teriak Ustadz Hamid.
“Di rumah saya ada Ustadz. Kursi yang beberapa bulan kemarin untuk memandikan jenazah Pak Braham. Mungkin kursi itu kotor dan banyak debunya. Maklum, kursi itu saya taruh di dapur lagi.” Bapak menawarkan dengan ekspresi bangga. Mungkin, ia akan dianggap orang berjasa di kampung kami.
“Tolong beberapa orang mengambil kursi di rumah Pak Dirman,” perintah Ustadz Hamid.
Ketika beberapa orang mau melangkahkan kaki menuju rumahku, tiba-tiba ada seseorang menghentikan langkahnya, “Sebaiknya jangan kamu ambil kursinya. Aku sering melihat wanita separoh baya itu berkeliaran di sebuah lokalisasi di kota. Ia mati mendadak mungkin terkena penyakit menular yang membahayakan. Seperti AIDS, kusta, atau…, sebaiknya dibiarkan saja. Dia seorang pelacur.”
“Aku juga sering melihat dia gonta-ganti diantar laki-laki yang belum pernah aku kenal di kampung sini. Mungkin benar, dia seorang pelacur,” sambung seseorang yang tidak aku kenal namanya.
“Sudah-sudah. Tidak baik membicarakan perangai buruk orang yang sudah meninggal. Dilarang oleh agama. Tolong kursinya segera diambil,” kata Ustadz Hamid seraya meredamkan suasana.
Semua orang yang berada di situ tidak ada yang berani melawan perintah Ustadz Hamid. Beberapa orang segera mengambil kursi ke rumahku, yang kebetulan, tidak begitu jauh dari rumah wanita separoh baya itu. Hanya dengan hitungan menit, kursi itu sudah sampai di rumahnya. Kemudian jenazah wanita separoh baya itu dibaringkan. Anak perempuannya, Ibu, dan juga beberapa tetangga lainnya ikut membantu memandikan. Di atas kursi itu.
◘
Pemakaman jenazah wanita separoh baya hari itu berlangsung singkat dan sederhana. Setelah semua urusan selesai, aku melihat kursi itu belum dikembalikan, masih tergeletak di halaman rumah wanita separoh baya itu.
“Kenapa kursinya tidak diambil, Pak?” tanyaku keesokan harinya.
“Sudahlah, biarkan saja. Mungkin orang itu benar. Kalau wanita separoh baya itu punya penyakit menular yang membahayakan, kita bisa tertular. Bisa-bisa semua ayam di dapur itu mati semua,” jawab Bapak, yang terkesan aneh dari biasanya.
Tapi aku tidak berani meminta Bapak menaruh kursi itu di halaman rumah. Paling, Bapak juga tidak memperbolehkan. Setiap hari aku melihat kursi itu masih berada di halaman rumah wanita separoh baya itu, posisinya belum berubah. Ketika malam, aku sering melihat anak perempuannya termangu duduk di kursi itu, menghadap lepas ke laut. Kadang terlintas di benakku ingin menanyakan perihal kursi itu kepadanya, tapi segera saja kuurungkan niatku.
◘
Waktu itu usiaku dua belas tahun. Aku melanjutkan belajar di Sekolah Menengah Pertama yang kebetulan berada di kota. Karena alasan jarak yang jauh, Bapak mengijinkan aku untuk tinggal di kos. Aku sudah jarang pulang ke rumah. Paling lama seminggu sekali untuk ambil uang dan beras. Ketika berada di kos, aku sering duduk di beranda di waktu malam. Aku melihat di depanku menghampar perkampungan kumuh, kemilau lampu merkuri, juga bising suara knalpot motor. Aku tidak bisa lagi menghadap lepas ke laut, melihat desir ombak, pasir yang basah, dan juga, matahari yang condong ke belakang perlahan, timbul dan tenggelam.
Aku coba bertahan dengan keadaan itu selama dua semester. Aku harus bisa mewujudkan keinginan Bapak, pikirku. Ketika aku sudah mulai beradaptasi dengan keadaan di kota, tiba-tiba aku dikejutkan oleh berita Ibu lewat telefon, “Ustadz Hamid meninggal dunia, kamu harus segera pulang. Bagaimanapun juga, Beliau yang mengajari kamu mengaji sejak kecil. Kamu banyak hutang budi pada Beliau. Kamu harus segera pulang.” Suara Ibu terengah-engah.
Saat itu juga aku langsung berkemas pulang. Aku mengambil posisi bus paling depan. Selama dalam perjalanan, aku teringat akan perangai baik Ustadz Hamid kepadaku. Waktu Beliau mencubit pantatku ketika aku jarang mengaji. Juga Beliau selalu mengingatkanku untuk rajin sholat.
Sesampainya di terminal, aku langsung berlari menuju rumah Ustadz Hamid. Kulihat orang-orang sudah berkumpul di rumahnya. Aku langsung masuk ke dalam rumah melihat jenazahnya.
“Kita butuh kursi panjang untuk memandikan jenazahnya,” teriak Mas Burhan, santri kesayangan Ustadz Hamid.
“Kursi yang kemarin sudah dipakai untuk memandikan jenazah wanita separoh baya itu, tidak mungkin kita ambil. Ustadz Hamid orang yang bersih, sedangkan kursi itu bekas memandikan jenazah pelacur itu. Sebaiknya kita pangku saja jenazahnya,” jawab Pak Slamet.
“Jika dipangku, kita akan kesulitan memandikan jenazahnya,” tegas Mas Burhan.
“Sebaiknya kita buat kursi lagi,” sahut seseorang lainnya.
“Itu membutuhkan waktu yang lama. Jenazah Ustadz Hamid harus dimandikan malam ini juga.”
Setelah melalui perdebatan cukup panjang, ahirnya semua sepakat, jenazah Ustadz Hamid dimandikan dengan cara dipangku. Walau agak kesulitan, akhirnya prosesi pemakaman itu selesai juga. Dengan singkat dan sederhana.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku melewati rumah wanita separoh baya itu. Aku melihat kursi itu masih tergeletak berada di halaman, posisinya belum berubah. Karena kepanasan dan kehujanan selama beberapa tahun, kursi itu sudah lapuk, kakinya patah. Sedangkan anak perempuannya sudah tidak menempati rumah itu. Entah kemana.
Keesokan harinya kursi itu aku ambil. Bagian kaki kursi yang patah dan sudah lapuk itu aku perbaiki, kemudian aku pahat sampai halus, dan, semua permukaan kursi itu aku plitur sampai mengkilap. Aku tidak menaruh kursi itu di halaman, dekat pohon jambu, menghadap ke selatan, seperti halnya keinginan sederhana ketika aku kecil.
“Untuk apa kursi itu, Lhe?” tanya Bapak dengan keheranan.
“Memandikan jenazah.”
Ponorogo, Solo, Jogja, Jakarta , 2004 – 2007
----------------------------------
PROFIL PENULIS
Sujud Kabisat lahir di Ponorogo 19xx. Setelah beberapa tahun jenuh menimba ilmu di beberapa kota tanpa memperoleh ijazah, ia memilih salah satu karirnya menjadi penulis fiksi. Beberapa karyanya berupa sajak, cerpen, essai sastra & kebudayaan dipublikasikan di berbagai media massa serta anologi bersama "Metamorfosa Cicak di Atas Peta" - "Dian Sastro for Presiden #2" - "Puisi No.9 September 2002, dll. Skenarionya “X-PRESI” terpilih sebagai Naskah Pilihan, Lomba Penulisan Skenario Film tema Anak & Kepahlawanan dari Kementerian Pariwisata & Ekomomi Kreatif 2011. Cerita Pendeknya "Karena Kami Burung" terpilih dalam 15 Cerpen Terbaik Lomba Cerpen Perdamaian Nasional, Citra Kasih 2003. Cerpennya berjudul "Sebuah Kursi Untuk Jenazah" mendapat juara 1 Lomba Penulisan Cerpen, Komunitas Senja dan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, 2007. Skenarionya berjudul "Orkestra 2 Senja" terpilih sebagai Pemenang Naskah Pilihan, Lomba Penulisan Skenario Film Cerita 2006, Departemen Kebudayaan & Pariwisata, RI. Dll.
Sejak tahun 2005 ia mendirikan komunitas ABAD TIMUR (sebuah komunitas ala kadarnya) yang bersosialisasi dan memperjuangkan nasib kaum marjinal dan difabel yang di dalam masyarakat selalu tersisihkan dan dianggap sebagai orang-orang second class. Ia sekarang bekerja sebagai ”Petani Seni & Sosial” di samping masih sibuk mondar-mandir antara Ponorogo, Solo, Semarang, Jogja, Jakarta, demi mencari sesuap berkah dari Tuhan.
Sejak tahun 2005 ia mendirikan komunitas ABAD TIMUR (sebuah komunitas ala kadarnya) yang bersosialisasi dan memperjuangkan nasib kaum marjinal dan difabel yang di dalam masyarakat selalu tersisihkan dan dianggap sebagai orang-orang second class. Ia sekarang bekerja sebagai ”Petani Seni & Sosial” di samping masih sibuk mondar-mandir antara Ponorogo, Solo, Semarang, Jogja, Jakarta, demi mencari sesuap berkah dari Tuhan.
Baca Juga Cerpen Islam yang Lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar