ADOLESCENTULA M.A.T.I
Cerpen Momo Angelina
Aku menatap tulisan di jendela yang kutulis dari uap panas mulutku. Titik-titik hujan di luar yang menetes ke jendela seolah memberi latar yang suram untuk tulisan itu. Menambah suram suasana hatiku.
Aku menatap ruang putih yang mengurungku selama seminggu terakhir ini. Dinding-dindingnya pucat, hanya berhias jam besar dari besi yang mengeluarkan satu-satunya bunyi di ruangan ini dan TV yang jarang kunyalakan. Beberapa sofa di simpan di dekat pintu masuk, yang berukuran sedang cukup besar untuk seorang dewasa tidur.
Aku menoleh, dan menatap tirai berwarna hijau muda yang mengelilingiku, kadang ditutup kalau sudah malam dan dibuka pada pagi hari. Tak terlalu berpengaruh menurutku, karena toh tak ada yang ingin kulihat, atau kudengar. Di hadapanku berdiri tegak sebuah pintu menuju kamar mandi. Untuk alasan yang aku sendiri tak mengerti, aku tak menyukai keberadaan pintu itu. Apalagi letaknya tepat di depan tempat tidurku. Kurasa kau mengerti maksudku.
Intinya tempat ini hanyalah sebuah ruang kosong yang bersih, terlalu bersih sampai nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Kecuali aku, kalau aku masih hidup beberapa hari lagi.
Cerpen Momo Angelina
Aku menatap tulisan di jendela yang kutulis dari uap panas mulutku. Titik-titik hujan di luar yang menetes ke jendela seolah memberi latar yang suram untuk tulisan itu. Menambah suram suasana hatiku.
Aku menatap ruang putih yang mengurungku selama seminggu terakhir ini. Dinding-dindingnya pucat, hanya berhias jam besar dari besi yang mengeluarkan satu-satunya bunyi di ruangan ini dan TV yang jarang kunyalakan. Beberapa sofa di simpan di dekat pintu masuk, yang berukuran sedang cukup besar untuk seorang dewasa tidur.
Aku menoleh, dan menatap tirai berwarna hijau muda yang mengelilingiku, kadang ditutup kalau sudah malam dan dibuka pada pagi hari. Tak terlalu berpengaruh menurutku, karena toh tak ada yang ingin kulihat, atau kudengar. Di hadapanku berdiri tegak sebuah pintu menuju kamar mandi. Untuk alasan yang aku sendiri tak mengerti, aku tak menyukai keberadaan pintu itu. Apalagi letaknya tepat di depan tempat tidurku. Kurasa kau mengerti maksudku.
Intinya tempat ini hanyalah sebuah ruang kosong yang bersih, terlalu bersih sampai nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Kecuali aku, kalau aku masih hidup beberapa hari lagi.
Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku. Dengan cepat kuhapus tulisan suram di jendela tadi, dan dengan enggan menatap wanita berbaju putih yang kini memasuki kamarku sambil tersenyum.
“Selamat pagi Yuki. Bagaimana keadaanmu hari ini?”tanyanya sambil meletakkan baki abu-abu kecil yang sedari tadi ia bawa
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum, “Baik” jawabku singkat.
Sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Napasku agak sesak ketika bangun tadi, dan kepalaku pening sekali. Tapi aku tahu, kalau aku mengakui itu, mungkin hari ini akan aku habiskan dengan selang-selang dan sekian tes lagi.
Pandanganku beralih ke piring putih mini yang berisi pil dan tablet berwarna- warni di atas baki abu-abu tadi. “Masih belum berkurang ya?”tanyaku sambil mengernyit.
Suster itu tersenyum pahit. “Kan biar cepat sembuh”.
Setelah sarapan pagi yang luar biasa hambar tadi, rasanya sepasukan obat-obatan ini bisa kuanggap sebagai pencuci mulut. Setidaknya obat yang berwarna merah itu rasanya mirip-mirip stroberi. Atau aku ingin menganggapnya begitu.
Aku adalah seorang pengidap jantung koroner. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa bolak balik rumah sakit untuk perawatan, dan sampai sekarang aku belum menemukan donor yang tepat. Jadi beginilah nasibku, istirahat di rumah kalau aku berbohong tentang sesak yang semakin sering aku rasakan, dan kembali masuk rumah sakit kalau aku bahkan sudah tak sanggup lagi berbicara.
Setelah memastikan aku menegak semua obat yang diberikan, suster itu membuka tirai hijauku lalu membuka jendela. Katanya cuaca sedang bagus, dan aku perlu menghirup udara segar. Sebenarnya aku lebih suka menghirup udara rumah sakit yang bau alkohol. Tapi setelah udara berbau pinus dan air hujan itu menghambur masuk kamarku, kurasa aku akan membiarkannya sebentar lagi.
Tak lama kemudian suster itu memeriksa temperaturku, dan akhirnya keluar dari kamar setelah untuk keseribu kalinya mengingatkanku untuk menekan tombol darurat kalau aku merasa ada yang salah. Iya, ada yang salah dengan TV-nya. Tidak ada saluran TV kabel. Dan koki rumah sakit ini jelas bermasalah dengan indra pengecapnya. Apa mereka mau membereskan itu?
Aku menegakkan sandaran dudukku dan mengambil novel fantasi yang kemarin diberikan oleh temanku yang sudah keluar dari rumah sakit. Dengan bosan kuperhatikan sampul plastiknya yang masih mengkilap dan judulnya yang dicetak besar dengan huruf menonjol: Eventyr.
Aku menarik napas dan mulai membuka halaman pertama ketika sesuatu menggelinding masuk ke dalam kamarku, bergulir ke dekat tempat tidur.
Benda itu adalah sebuah bola pastik berukuran sedang berwarna kuning cerah dan bergambar matahari yang tersenyum.
Aku melihat ke arah pintu kamarku yang ternyata terbuka sedikit, menunggu seseorang untuk masuk dan mengambil bola itu.
Benar saja. Ujung sepatu berwarna putih muncul di sudut pintu yang tertutup tak lama kemudian. Dilihat dari modelnya, itu sepatu milik anak perempuan.
Sepertinya anak ini anak yang pemalu. Aku menunduk sedikit untuk mengambil bola itu dan memanggilnya.
“Ini bolamu kan?” panggilku. Tak ada jawaban. “Ambillah, nanti kau tak punya mainan lagi”.
Sepatu itu masih tetap berada di tempatnya, di sudut bawah pintu yang tertutup. Aku memutar bola mataku. Sungguh aku sedang malas beramah tamah dan meladeni siapapun untuk bermain apapun.
Dengan tidak sabar ku lempar bola itu ke luar ruangan, dan seketika itu pula sepatu itu menghilang.
Aku mendengus kesal dan kembali membaca novelku. Lain kali akan kuminta susternya untuk menutup pintu rapat-rapat.
***
Aku membuka mataku perlahan dan berusaha melihat jarum jam di hadapanku yang kini masih berbayang. Aku menyipitkan mataku agar bisa lebih fokus, dan akhirnya berhasil melihat waktu saat ini: jam 11 lewat 15 menit. Aku membuka tirai jendelaku dan melihat langit yang sudah gelap. Aku baru tersadar kalau aku sudah tertidur selama 7 jam. Nanti malam mungkin aku akan terjaga sampai lewat tengah malam.
Aku menguap lebar dan tiba-tiba merasa lapar. Kuambil biskuit yang tadi sore dibawakan Ibu. Ia begitu terburu-buru sehingga hanya sempat setengah jam menjengukku dan membawakan beberapa kantong makanan. Aku sih sudah terbiasa, tapi mau tak mau aku merasa kasihan juga padanya. Sejak bercerai dengan Ayah, ia harus berjuang habis-habisan untuk menghidupi keluarga. Aku tahu persis itu, karenanya aku tak pernah protes kalau waktu beliau untukku harus dibatasi porsinya.
Remah-remah biskuit bertaburan di bajuku. Kutepuk-tepuk pelan agar remah-remah itu jatuh dengan sendirinya, ketika lagi-lagi sesuatu menggelinding ke dekat tempat tidurku.
Bola kuning cerah yang sama dengan yang tadi siang kulihat.
Jengkel, kulihat ke arah pintu, dan kudapati pintu itu tertutup dengan rapat. Dahiku mengerut. Darimana datangnya bola itu kalau begitu?
Dengan mengerahkan sisa energi yang bisa kukumpulkan, aku berusaha memanjangkan lenganku untuk mengambil bola kuning cerah yang kini berhenti menggelinding tepat di sebelah kananku.
Tanganku akhirnya berhasil menggapai bola itu (walau dengan sedikit gemetar). Rasanya dingin dan lentur, tekstur khas bola plastik.
Tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan, dan sesosok tangan mungil putih pucat keluar dari bawah tempat tidur dan mengenggam pergelangan tanganku.
Aku menjerit keras dan menarik tanganku secepatnya.
Lalu kembali membuka mataku.
Mimpi.
Mimpi?
Mimpimimpimimpi.
Mataku masih terbelalak lebar, dan aku buru-buru melihat tanganku. Tak ada bekas apapun disana. Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku, dan aku tak menemukan bola itu di manapun.
Aku tak boleh panik. Aku tak boleh panik. Aku tak boleh panik. Itu tadi hanya mimpi. Bunga tidur.
Aku mencoba menarik napas pelan-pelan. Bisa gawat kalau tiba-tiba aku mendapat serangan saat ini. Kuminum air putih yang disimpan di meja sampingku dengan sedikit terburu-buru. Setelah itu kupejamkan mataku, berusaha keras untuk tidur tanpa berani melirik bagiah bawah tempat tidurku.
***
Aku meminta suster jaga untuk selalu menutup kamarku setiap ada yang keluar ataupun masuk, keesokan harinya. Entah bagaimana, aku merasa kalau penyebab mimpi burukku kemarin adalah anak iseng yang melemparkan bola plastiknya. Padahal aku tak punya phobia apapun yang berhubungan dengan bola, plastik ataupun warna kuning.
Menurut dokter yang memeriksaku hari ini, dalam beberapa hari seharusnya aku sudah boleh pulang. Asalkan aku terus meminum obatku, terangnya. Yang betul saja. Kalau aku harus meminum obat-obat itu seminggu lagi, aku curiga dokter itu pembunuh bayaran yang disewa seseorang yang membenciku. Jumlah obat-obat itu tidak manusiawi!
Kusenderkan bahuku seperti biasa, dan kulihat pemandangan di luar. Aku beruntung mendapatkan kamar dengan pemandangan taman belakang rumah sakit. Setidaknya, aku bisa melihat kegiatan menyenangkan yang dilakukan orang-orang dengan keluarga atau teman-teman mereka. Kalau kamarku yang dulu, aku mendapat pemandangan bagian depan rumah sakit, dimana aku bisa melihat orang-orang putus asa yang harus menghadapi vonis penyakit mereka, atau karena harus membayar biasa operasi yang mahal.
Mungkin itu sebabnya aku harus dirawat sampai 2 bulan lamanya.
Selagi memperhatikan orang yang sedang latihan berjalan, perhatianku tiba-tiba teralihkan oleh seorang gadis kecil manis yang memandangku dari bawah pohon rindang tepat di sebelah kamarku. Matanya menatapku sedih. Tangannya disimpan ke belakang punggung dan ia menggigit bibirnya, seolah tak berani mengatakan sesuatu padaku.
Lalu aku memperhatikan sepatu yang ia pakai. Persis dengan sepatu yang kemarin kulihat di depan pintu kamarku; berwana putih dengan ujung bulat. Dan itu dia, aku bisa melihat dia menggenggam bola kuning yang menciptakan mimpi buruk bagiku itu.
Dialah pemilik si bola kuning.
Tanpa sadar tubuhku condong ke depan, dan aku merasa beberapa helai rambutku tertarik ke belakang, entah tersangkut apa.
Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyian yang sangat pelan, nyaris seperti berbisik. Agak samar dan tak jelas, seperti jenis suara yang kau dengar dari kaset lama yang diputar di radio kuno. Tapi aku mengenal nada ini. Aku sering mendengarnya.
...star.
How I...
what...are
Bulu kudukku mendadak berdiri. Rambutku tertarik lagi, tapi kali ini aku dalam posisi diam, dan rambutku ditarik oleh sesuatu di belakangku. Sesuatu di dinding yang kusenderi.
Above
...high..
.diamond...
Suara nyanyian itu kini terdengar jelas berbisik di telingaku. Kurasakan hawa dingin mengaliri punggungku.
“Yuki, kau sudah bangun?”
Suara Ibuku yang baru masuk ke kamarku membuatku tersentak kaget. Aku segera membalik dan tak melihat apapun di dinding. Dinding itu putih pucat seperti biasa, dengan bekas jamur samar.
Dengan cepat aku mencari gadis kecil pemilik bola tadi. Ia sudah tak berada di bawah pohon. Juga tak ada di bangku taman. Ia tak ada dimana-mana. Ia sudah menghilang.
Aku ingin pindah kamar sekarang juga.
***
Dan ternyata aku tak bisa pindah kamar. Ada bencana alam terjadi di dekat sini, dan rumah sakit sedang penuh sekali. Beberapa dari mereka bahkan dengan terpaksa harus dirawat di bangsal untuk sementara.
Aku bisa saja bersikeras untuk pindah dan memaksa salah satu pasien yang tidak punya penyakit jantung untuk bertukar kamar denganku. Tapi apa yang harus kukatakan sebagai alasannya? Ada hantu gadis kecil dengan bola plastik kuning yang suka menggangguku?
Beruntung, malam ini Ibu akan menginap untuk menjagaku. Sebenarnya aku malu untuk mengakui ini, karena aku tak mau disangka penakut. Tapi aku lega karena setidaknya ada orang lain bersamaku malam ini.
Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Ibu dengan kacamata bertengger di wajahnya, menatap layar laptop-nya dengan mimik serius. Sepuluh jarinya berkletak-kletik tanpa henti seolah ingin menghancurkan keyboard malang itu dalam hitungan menit.
Rupanya Ibu sadar kalau aku memperhatikannya. Ia mendongakkan wajahnya, dan tersenyum lelah.
“Belum tidur?” tanyanya dengan suara merdu yang kurindukan.
“Belum ngantuk” jawabku.
“Mau Ibu belikan apa? Makanan? Buku lagi?”
“Gak usah, Bu. Ibu lanjutin aja kerjaan Ibu. Aku cuma mau ngeliat Ibu.”
Ibu tersenyum kembali, kali ini ada rasa bersalah di raut wajahnya. Untungnya dia cukup mengenalku, tahu persis bahwa aku akan marah kalau ia minta maaf dan mengelus-elus kepalaku seperti anak kecil. Jemarinya kembali mengahajar tuts keyboard tanpa ampun dan pandangannya fokus ke layar.
Penyakitku ini turunan dari keluarga Ibu, bukan karena aku suka merokok atau karena aku kebanyakan makan makanan siap saji. Makanya ia suka merasa bersalah, karena anak laki-laki normal seumurku seharusnya belum pulang ke rumah jam segini, sedang bermain di game centre dengan teman-temannya, atau sedang kencan dengan gadis yang diincarnya di klub pemandu sorak.
Tapi tidak, aku harus terbaring di rumah sakit karena ada yang menyumbat pembuluh darah koronerku.
Seharusnya anak lelaki seumurku bahkan tidak tahu apa itu koroner.
Pelan-pelan, mataku terasa berat. Memperhatikan ibu bekerja memang bukan kegiatan yang paling menyenangkan di seluruh dunia. Maka tak heran kalau tak lama kemudian aku menyerah pada kantuk dan aku pun larut dalam tidur.
***
TIK TAK TIK TAK
Aku selalu menganggap bunyi jam itu sangat berisik, terutama kalau tak ada bunyi lain di sekelilingmu.
Dengan pandangan kabur, aku membuka mataku. Jam menunjukkan pukul 2 pagi. Aku mengerjapkan mataku, berusaha membuatnya fokus.
Pintu kamar mandi terbuka, dan seseorang keluar dari dalamnya. Seseorang berupa sesosok bayangan hitam kabur yang berjalan mendekatiku.
“Ibu?” tanyaku dengan suara parau.
Alih alih menjawab, sosok itu berhenti tepat di depanku dan mendesis pelan berusaha menenangkan.
“Ssst”
Ibu aneh. Kalau memang ingin menenangkanku kan tak perlu mendesis seperti pencuri begitu. Tinggal jawab pertanyaanku saja apa susahnya.
Aku tak habis pikir, dan mencoba kembali tidur ketika kurasakan beban seseorang menaiki tempat tidurku, dan menimpaku. Ibu mau ngapain sih? Membetulkan lampu?
“Ibu? Ibu ngap...”
Kata-kataku terhenti ketika kudengar dengkuran halus di sebelahku. Dengan ngeri kutatap Ibu yang tertidur di sofa dekat pintu masuk, masih dengan kacamata menempel di wajahnya.
Jantungku berdetak keras, sampai sakit rasanya. Orang – atau mungkin sekarang lebih tepat kusebut sebagai sesuatu – itu masih menimpaku, aku bisa merasakan bebannya dia kakiku.
Kemudian, suara samar tadi kembali terdengar. Suara bisikan yang terdengar dari kaset tua itu menyenandungkan lagu yang sama dengan tadi siang.
Little...wonder...
are...
Kurasakan beban itu merangkak, bergerak di atas tubuhku, mendekat ke wajahku. Suara nyanyian itu terdengar semakin dekat.
“AAAAHHH!”
Dengan panik kusibakkan selimut itu dan kuhempaskan ke lantai. Sambil terengah-engah, kuberanikan diri untuk melihat entah apa yang menimpaku tadi.
Selimut yang kulempar teronggok begitu saja di lantai. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang bergerak di dalamnya, entah itu cicak atau sesuatu yang lebih besar.
Kurasakan sesak mulai menyerang dadaku. Setengah megap-megap, aku mengambil pil kecil putih yang selalu kuminum kalau tiba-tiba jantungku kumat. Kusandarkan diriku ke dinding sambil menutup mata. Kuambil napas pelan-pelan sambil mencoba mengaturnya.
Ada yang salah di sini. Tak mungkin gadis kecil itu terus menggangguku kalau tidak ada maksudnya. Entah karena aku mengusiknya (walau pada kenyataannya aku nyaris tak pernah meninggalkan tempat tidurku), atau karena...
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara pintu yang terbuka perlahan. Mengerahkan semua keberanian yang kupunya sambil tetap mengatur napas, kubuka kedua mataku perlahan.
Pintu kamarku terbuka pelan. Dan sebuah bola plastik kuning memantul masuk.
Keringat dingin menetes dari dahiku. Setiap lambungan bola rasanya setara dengan satu detak jantungku. Akhirnya bola itu berhenti memantul dan berhenti di dekat kolong tempat tidurku. Aku menelan ludah, menunggu pemilik bola itu muncul.
Dan itu dia, kaki bersepatu putih itu kembali muncul di sudut pintu. Namun kali ini, jemari mungil pucat ikut menemaninya, memegang daun pintu seolah pemiliknya akan mengintip ke dalam.
Tanpa pikir panjang aku bergegas menuju pintu untuk melihat gadis kecil misterius itu dan yang kudapatkan di ambang pintu adalah rasa sakit yang luar biasa di kepalaku. Rasanya ada yang menusuk-nusuk mata dan tengkukku dengan jarum-jarum besar.
Aku meremas kerah piyamaku dengan keras, seolah-olah dengan cara itu rasa sakit kepala keparat ini bisa lenyap. Aku nyaris muntah, ketika aku berhasil membuka mata dan melihat pemandangan yang aku yakin bukan pemandangan yang seharusnya aku lihat.
Bagaikan menonton film dengan layar raksasa, bangsal rumah sakit yang biasanya bernuansa hijau, kini berwarna hitam putih. Kadang bangsal itu berkerak dan berkeretak, persis seperti ketika menonton film tahun 1920’an.
Bangsal itu sangat sepi, kuperkirakan adegan hitam putih ini terjadi di malam hari. Suasananya begitu hening. Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara jeritan di dalam kamarku – yang kini sudah berwarna hitam putih juga.
Seorang gadis kecil berpiyama bergerak dengan gerakan aneh di tempat tidurnya, berkelojotan dengan mata membelalak lebar dan mulutnya mengeluarkan busa. Seorang suster berusaha mati-matian menahan tubuh gadis itu agar tidak terlempar dari tempat tidur.
Sebagian tubuh gadis itu kuperhatikan lebih hitam dari bagian tubuh lainnya. Dokter yang menanganinya tampak panik.
“Sepertinya *carbamazepine-nya. *SJS, bagaimana ini Dok?”tanya suster dengan nada yang tak kalah panik.
Gadis kecil itu tak berhenti kejang-kejang, dan walau mukanya membengkak dan menghitam, aku tahu persis bahwa itu gadis yang pernah melihatku dari bawah pohon. Bola kuning yang selalu ia mainkan pun ada di kamar itu.
“Ambilkan *hidrokortison!”seru dokter itu cepat.
Suster itu berlari keluar melewatiku. Aku meringis ngeri melihat keadaan gadis mungil itu. Kejangnya perlahan reda, hanya kepala-nya yang sesekali tersentak kuat. Tapi tak lama kemudian lengannya yang sedari tapi mengepal kuat, kini terkulai lemah di pinggir tempat tidur.
Suster itu kembali dengan cepat sambil membawa nampan, namun ia berhenti ketika ia melihat dokter menutup wajah gadis kecil itu dengan selimut.
Semacam sengatan listrik terjadi lagi, dan pemandangan yang kulihat kembali berubah. Kasur tempat gadis kecil tadi tertidur kini sudah kosong dan bersih. Namun aku melihat sosok si dokter bersama seorang pria (yang tidak nampak seperti orang medis) sedang mendorong sebuah *blangkar keluar rumah sakit.
Dengan kepala pening seperti dibelah dua, aku berusaha mengejar kedua orang itu. Aku berjalan sempoyongan, berusaha mengatur napasku sambil terus meremas kerah piyamaku. Aku akhirnya bersandar di dinding rumah sakit, kehabisan tenaga dan napas. Mimpi tidak seharusnya senyata dan sesakit ini kan?
Lalu kurasakan sentuhan lembut di telapak tanganku. Gadis kecil pemilik bola kuning itu menempelkan pipinya ke punggung tanganku. Ia kemudian menengadah, melihatku dengan pandangan memelas.
Aku tahu. Aku tahu.
Kupaksakan dan kuseret kedua kakiku ke halaman rumah sakit. Pandanganku mulai mengabur, namun aku masih bisa melihat kedua orang itu menggali sesuatu di bawah pohon. Kuangkat tanganku seolah ingin meraih mereka, dan...
DEG!
Sebuah sentakan keras bertalu di dadaku. Aku hanya sempat mengambil sehela napas dan aku pun ambruk ke tanah.
***
Tetes-tetes dingin embun membasahi pipiku.
Kubuka mataku perlahan, dan segera kututup kembali karena mataku kelilipan ujung rumput yang basah.
Bau embun dan rumput segera memenuhi rongga hidungku. Sinar matahari memang belum sepenuhnya muncul, tapi suara burung yang berkicau sudah mulai terdengar. Hari sudah pagi, aku tersadar.
Dengan tenaga sepenuhnya pulih (yang aku juga bingung kok bisa. Aku begitu habis-habisan tadi malam dan seharusnya aku bahkan tak punya tenaga untuk mengunyah sekarang) dan bertopang dengan kedua tangan, aku berusaha untuk bangkit.
Lalu kurasakan kakiku tersangkut sesuatu, dan aku berbalik untuk melepaskan apapun yang tersangkut di kakiku.
Dan aku melihat jemari putih kurus yang sudah menjadi tulang belulang keluar dari dalam tanah, menggengam pergelangan kakiku dengan erat.
Tanpa sadar aku tersenyum dan mengelusnya.
“Ternyata kau di situ ya. Jangan khawatir, aku sudah menemukanmu. Istirahatlah dengan tenang.”
***
Polisi segera mengamankan mayat Emi – nama gadis itu – dan memasang garis pengaman di sekitar pohon taman belakang. Aku lega bahwa dokter yang menangani Emi dulu sudah ditangkap dan kini sedang diperiksa. Ia mungkin akan dijadikan terdakwa dengan tuduhan malpraktek. Entahlah, aku tidak begitu mengerti hukum. Pokoknya selama dokter itu harus membayar apa yang ia lakukan, aku cukup puas.
Kini aku kembali berbaring dengan nyaman di tempat tidurku dengan perasaan lebih enak. Kejadian beberapa hari yang lalu serasa berlangsung berminggu-minggu dan menguras habis tenaga dan pikiranku.
Kabar bagusnya, dokter menyatakan bahwa kondisiku sudah lebih baik dan bisa meninggalkan rumah sakit dalam beberapa hari lagi. Ibu juga sudah mengambil cuti dan akan menghabiskan liburan denganku. Keadaan tak bisa lebih bagus lagi.
Aku mendengar suara pintu diketuk dan seorang suster bertumbuh agak gempal masuk ke dalam.
“Siang Yuki. Saya Suster Ana, yang dulu pernah menangani Emi.”
Ah, aku akhirnya mengingatnya sebagai suster yang kulihat di memori hitam putih Emi. Tapi aku tidak akan menceritakannya pada suster ini bahwa aku pernah melihatnya, bisa-bisa aku ditahan lagi di rumah sakit untuk kasus yang berbeda.
“Siang. Ada apa ya?”tanyaku tanpa basa basi.
Suster Ana tersenyum dan menyeret kursi untuk duduk di sampingku.
“Saya cuma mau mengucapkan terima kasih karena sudah menemukan Emi. Anak itu baik sekali. Waktu dia meninggal saya sedih. Dokter Henry bilang kalau mayatnya sudah dikembalikan dan dimakamkan oleh panti asuhannya, dan saya disuruh tutup mulut tentang kesalahan pengobatan yang dia perbuat. Kalau saya berani macam-macam, saya diancam akan diberhentikan dari sini, padahal saya sedang butuh uang waktu itu. Tapi saya mengaku salah juga. Saya terima kalau harus dihukum”
Aku mulai tertarik pada cerita Suster Ana. “Suster, Emi dari panti asuhan?”
Suster Ana mengangguk antusias. “Emi itu anak yatim piatu yang dirawat di sini karena epilepsinya sudah parah. Anaknya baik sekali, dia suka bermain dengan pasien sini.”
Aku mengangguk.
“Syukurlah” lanjut Suster Ana “kalau sudah ketemu begini, Ema juga mungkin akan tenang ya.”
Dahiku mengernyit. “Ema, Sus?”
“Ema itu kakak kembar Emi. Dia meninggal duluan karena penyakit yang sama namun terlambat ditangani. Dia juga anak baik, dia suka menyanyi Twinkle Twinkle Little Star, membuat kami tertawa karena dia begitu manis. Rasanya aku punya foto mereka berdua. Mana ya?”
Aku tak mendengar perkataan Suster Ana. Ataupun tertarik untuk melihat foto si kembar.
Yang kurasakan hanya punggungku mendingin. Dan kurasakan rambutku ditarik lagi dari belakang.
Samar, kudengar suara berbisik yang sudah kukenal di telingaku, menyanyikan lagu yang kini sudah bisa kutebak judulnya.
Twinkle twinkle little star...
How I wonder what you are...
Aku tak berani menengok ke belakang.
“Selamat pagi Yuki. Bagaimana keadaanmu hari ini?”tanyanya sambil meletakkan baki abu-abu kecil yang sedari tadi ia bawa
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum, “Baik” jawabku singkat.
Sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Napasku agak sesak ketika bangun tadi, dan kepalaku pening sekali. Tapi aku tahu, kalau aku mengakui itu, mungkin hari ini akan aku habiskan dengan selang-selang dan sekian tes lagi.
Pandanganku beralih ke piring putih mini yang berisi pil dan tablet berwarna- warni di atas baki abu-abu tadi. “Masih belum berkurang ya?”tanyaku sambil mengernyit.
Suster itu tersenyum pahit. “Kan biar cepat sembuh”.
Setelah sarapan pagi yang luar biasa hambar tadi, rasanya sepasukan obat-obatan ini bisa kuanggap sebagai pencuci mulut. Setidaknya obat yang berwarna merah itu rasanya mirip-mirip stroberi. Atau aku ingin menganggapnya begitu.
Aku adalah seorang pengidap jantung koroner. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa bolak balik rumah sakit untuk perawatan, dan sampai sekarang aku belum menemukan donor yang tepat. Jadi beginilah nasibku, istirahat di rumah kalau aku berbohong tentang sesak yang semakin sering aku rasakan, dan kembali masuk rumah sakit kalau aku bahkan sudah tak sanggup lagi berbicara.
Setelah memastikan aku menegak semua obat yang diberikan, suster itu membuka tirai hijauku lalu membuka jendela. Katanya cuaca sedang bagus, dan aku perlu menghirup udara segar. Sebenarnya aku lebih suka menghirup udara rumah sakit yang bau alkohol. Tapi setelah udara berbau pinus dan air hujan itu menghambur masuk kamarku, kurasa aku akan membiarkannya sebentar lagi.
Tak lama kemudian suster itu memeriksa temperaturku, dan akhirnya keluar dari kamar setelah untuk keseribu kalinya mengingatkanku untuk menekan tombol darurat kalau aku merasa ada yang salah. Iya, ada yang salah dengan TV-nya. Tidak ada saluran TV kabel. Dan koki rumah sakit ini jelas bermasalah dengan indra pengecapnya. Apa mereka mau membereskan itu?
Aku menegakkan sandaran dudukku dan mengambil novel fantasi yang kemarin diberikan oleh temanku yang sudah keluar dari rumah sakit. Dengan bosan kuperhatikan sampul plastiknya yang masih mengkilap dan judulnya yang dicetak besar dengan huruf menonjol: Eventyr.
Aku menarik napas dan mulai membuka halaman pertama ketika sesuatu menggelinding masuk ke dalam kamarku, bergulir ke dekat tempat tidur.
Benda itu adalah sebuah bola pastik berukuran sedang berwarna kuning cerah dan bergambar matahari yang tersenyum.
Aku melihat ke arah pintu kamarku yang ternyata terbuka sedikit, menunggu seseorang untuk masuk dan mengambil bola itu.
Benar saja. Ujung sepatu berwarna putih muncul di sudut pintu yang tertutup tak lama kemudian. Dilihat dari modelnya, itu sepatu milik anak perempuan.
Sepertinya anak ini anak yang pemalu. Aku menunduk sedikit untuk mengambil bola itu dan memanggilnya.
“Ini bolamu kan?” panggilku. Tak ada jawaban. “Ambillah, nanti kau tak punya mainan lagi”.
Sepatu itu masih tetap berada di tempatnya, di sudut bawah pintu yang tertutup. Aku memutar bola mataku. Sungguh aku sedang malas beramah tamah dan meladeni siapapun untuk bermain apapun.
Dengan tidak sabar ku lempar bola itu ke luar ruangan, dan seketika itu pula sepatu itu menghilang.
Aku mendengus kesal dan kembali membaca novelku. Lain kali akan kuminta susternya untuk menutup pintu rapat-rapat.
***
Aku membuka mataku perlahan dan berusaha melihat jarum jam di hadapanku yang kini masih berbayang. Aku menyipitkan mataku agar bisa lebih fokus, dan akhirnya berhasil melihat waktu saat ini: jam 11 lewat 15 menit. Aku membuka tirai jendelaku dan melihat langit yang sudah gelap. Aku baru tersadar kalau aku sudah tertidur selama 7 jam. Nanti malam mungkin aku akan terjaga sampai lewat tengah malam.
Aku menguap lebar dan tiba-tiba merasa lapar. Kuambil biskuit yang tadi sore dibawakan Ibu. Ia begitu terburu-buru sehingga hanya sempat setengah jam menjengukku dan membawakan beberapa kantong makanan. Aku sih sudah terbiasa, tapi mau tak mau aku merasa kasihan juga padanya. Sejak bercerai dengan Ayah, ia harus berjuang habis-habisan untuk menghidupi keluarga. Aku tahu persis itu, karenanya aku tak pernah protes kalau waktu beliau untukku harus dibatasi porsinya.
Remah-remah biskuit bertaburan di bajuku. Kutepuk-tepuk pelan agar remah-remah itu jatuh dengan sendirinya, ketika lagi-lagi sesuatu menggelinding ke dekat tempat tidurku.
Bola kuning cerah yang sama dengan yang tadi siang kulihat.
Jengkel, kulihat ke arah pintu, dan kudapati pintu itu tertutup dengan rapat. Dahiku mengerut. Darimana datangnya bola itu kalau begitu?
Dengan mengerahkan sisa energi yang bisa kukumpulkan, aku berusaha memanjangkan lenganku untuk mengambil bola kuning cerah yang kini berhenti menggelinding tepat di sebelah kananku.
Tanganku akhirnya berhasil menggapai bola itu (walau dengan sedikit gemetar). Rasanya dingin dan lentur, tekstur khas bola plastik.
Tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan, dan sesosok tangan mungil putih pucat keluar dari bawah tempat tidur dan mengenggam pergelangan tanganku.
Aku menjerit keras dan menarik tanganku secepatnya.
Lalu kembali membuka mataku.
Mimpi.
Mimpi?
Mimpimimpimimpi.
Mataku masih terbelalak lebar, dan aku buru-buru melihat tanganku. Tak ada bekas apapun disana. Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku, dan aku tak menemukan bola itu di manapun.
Aku tak boleh panik. Aku tak boleh panik. Aku tak boleh panik. Itu tadi hanya mimpi. Bunga tidur.
Aku mencoba menarik napas pelan-pelan. Bisa gawat kalau tiba-tiba aku mendapat serangan saat ini. Kuminum air putih yang disimpan di meja sampingku dengan sedikit terburu-buru. Setelah itu kupejamkan mataku, berusaha keras untuk tidur tanpa berani melirik bagiah bawah tempat tidurku.
***
Aku meminta suster jaga untuk selalu menutup kamarku setiap ada yang keluar ataupun masuk, keesokan harinya. Entah bagaimana, aku merasa kalau penyebab mimpi burukku kemarin adalah anak iseng yang melemparkan bola plastiknya. Padahal aku tak punya phobia apapun yang berhubungan dengan bola, plastik ataupun warna kuning.
Menurut dokter yang memeriksaku hari ini, dalam beberapa hari seharusnya aku sudah boleh pulang. Asalkan aku terus meminum obatku, terangnya. Yang betul saja. Kalau aku harus meminum obat-obat itu seminggu lagi, aku curiga dokter itu pembunuh bayaran yang disewa seseorang yang membenciku. Jumlah obat-obat itu tidak manusiawi!
Kusenderkan bahuku seperti biasa, dan kulihat pemandangan di luar. Aku beruntung mendapatkan kamar dengan pemandangan taman belakang rumah sakit. Setidaknya, aku bisa melihat kegiatan menyenangkan yang dilakukan orang-orang dengan keluarga atau teman-teman mereka. Kalau kamarku yang dulu, aku mendapat pemandangan bagian depan rumah sakit, dimana aku bisa melihat orang-orang putus asa yang harus menghadapi vonis penyakit mereka, atau karena harus membayar biasa operasi yang mahal.
Mungkin itu sebabnya aku harus dirawat sampai 2 bulan lamanya.
Selagi memperhatikan orang yang sedang latihan berjalan, perhatianku tiba-tiba teralihkan oleh seorang gadis kecil manis yang memandangku dari bawah pohon rindang tepat di sebelah kamarku. Matanya menatapku sedih. Tangannya disimpan ke belakang punggung dan ia menggigit bibirnya, seolah tak berani mengatakan sesuatu padaku.
Lalu aku memperhatikan sepatu yang ia pakai. Persis dengan sepatu yang kemarin kulihat di depan pintu kamarku; berwana putih dengan ujung bulat. Dan itu dia, aku bisa melihat dia menggenggam bola kuning yang menciptakan mimpi buruk bagiku itu.
Dialah pemilik si bola kuning.
Tanpa sadar tubuhku condong ke depan, dan aku merasa beberapa helai rambutku tertarik ke belakang, entah tersangkut apa.
Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyian yang sangat pelan, nyaris seperti berbisik. Agak samar dan tak jelas, seperti jenis suara yang kau dengar dari kaset lama yang diputar di radio kuno. Tapi aku mengenal nada ini. Aku sering mendengarnya.
...star.
How I...
what...are
Bulu kudukku mendadak berdiri. Rambutku tertarik lagi, tapi kali ini aku dalam posisi diam, dan rambutku ditarik oleh sesuatu di belakangku. Sesuatu di dinding yang kusenderi.
Above
...high..
.diamond...
Suara nyanyian itu kini terdengar jelas berbisik di telingaku. Kurasakan hawa dingin mengaliri punggungku.
“Yuki, kau sudah bangun?”
Suara Ibuku yang baru masuk ke kamarku membuatku tersentak kaget. Aku segera membalik dan tak melihat apapun di dinding. Dinding itu putih pucat seperti biasa, dengan bekas jamur samar.
Dengan cepat aku mencari gadis kecil pemilik bola tadi. Ia sudah tak berada di bawah pohon. Juga tak ada di bangku taman. Ia tak ada dimana-mana. Ia sudah menghilang.
Aku ingin pindah kamar sekarang juga.
***
Dan ternyata aku tak bisa pindah kamar. Ada bencana alam terjadi di dekat sini, dan rumah sakit sedang penuh sekali. Beberapa dari mereka bahkan dengan terpaksa harus dirawat di bangsal untuk sementara.
Aku bisa saja bersikeras untuk pindah dan memaksa salah satu pasien yang tidak punya penyakit jantung untuk bertukar kamar denganku. Tapi apa yang harus kukatakan sebagai alasannya? Ada hantu gadis kecil dengan bola plastik kuning yang suka menggangguku?
Beruntung, malam ini Ibu akan menginap untuk menjagaku. Sebenarnya aku malu untuk mengakui ini, karena aku tak mau disangka penakut. Tapi aku lega karena setidaknya ada orang lain bersamaku malam ini.
Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Ibu dengan kacamata bertengger di wajahnya, menatap layar laptop-nya dengan mimik serius. Sepuluh jarinya berkletak-kletik tanpa henti seolah ingin menghancurkan keyboard malang itu dalam hitungan menit.
Rupanya Ibu sadar kalau aku memperhatikannya. Ia mendongakkan wajahnya, dan tersenyum lelah.
“Belum tidur?” tanyanya dengan suara merdu yang kurindukan.
“Belum ngantuk” jawabku.
“Mau Ibu belikan apa? Makanan? Buku lagi?”
“Gak usah, Bu. Ibu lanjutin aja kerjaan Ibu. Aku cuma mau ngeliat Ibu.”
Ibu tersenyum kembali, kali ini ada rasa bersalah di raut wajahnya. Untungnya dia cukup mengenalku, tahu persis bahwa aku akan marah kalau ia minta maaf dan mengelus-elus kepalaku seperti anak kecil. Jemarinya kembali mengahajar tuts keyboard tanpa ampun dan pandangannya fokus ke layar.
Penyakitku ini turunan dari keluarga Ibu, bukan karena aku suka merokok atau karena aku kebanyakan makan makanan siap saji. Makanya ia suka merasa bersalah, karena anak laki-laki normal seumurku seharusnya belum pulang ke rumah jam segini, sedang bermain di game centre dengan teman-temannya, atau sedang kencan dengan gadis yang diincarnya di klub pemandu sorak.
Tapi tidak, aku harus terbaring di rumah sakit karena ada yang menyumbat pembuluh darah koronerku.
Seharusnya anak lelaki seumurku bahkan tidak tahu apa itu koroner.
Pelan-pelan, mataku terasa berat. Memperhatikan ibu bekerja memang bukan kegiatan yang paling menyenangkan di seluruh dunia. Maka tak heran kalau tak lama kemudian aku menyerah pada kantuk dan aku pun larut dalam tidur.
***
TIK TAK TIK TAK
Aku selalu menganggap bunyi jam itu sangat berisik, terutama kalau tak ada bunyi lain di sekelilingmu.
Dengan pandangan kabur, aku membuka mataku. Jam menunjukkan pukul 2 pagi. Aku mengerjapkan mataku, berusaha membuatnya fokus.
Pintu kamar mandi terbuka, dan seseorang keluar dari dalamnya. Seseorang berupa sesosok bayangan hitam kabur yang berjalan mendekatiku.
“Ibu?” tanyaku dengan suara parau.
Alih alih menjawab, sosok itu berhenti tepat di depanku dan mendesis pelan berusaha menenangkan.
“Ssst”
Ibu aneh. Kalau memang ingin menenangkanku kan tak perlu mendesis seperti pencuri begitu. Tinggal jawab pertanyaanku saja apa susahnya.
Aku tak habis pikir, dan mencoba kembali tidur ketika kurasakan beban seseorang menaiki tempat tidurku, dan menimpaku. Ibu mau ngapain sih? Membetulkan lampu?
“Ibu? Ibu ngap...”
Kata-kataku terhenti ketika kudengar dengkuran halus di sebelahku. Dengan ngeri kutatap Ibu yang tertidur di sofa dekat pintu masuk, masih dengan kacamata menempel di wajahnya.
Jantungku berdetak keras, sampai sakit rasanya. Orang – atau mungkin sekarang lebih tepat kusebut sebagai sesuatu – itu masih menimpaku, aku bisa merasakan bebannya dia kakiku.
Kemudian, suara samar tadi kembali terdengar. Suara bisikan yang terdengar dari kaset tua itu menyenandungkan lagu yang sama dengan tadi siang.
Little...wonder...
are...
Kurasakan beban itu merangkak, bergerak di atas tubuhku, mendekat ke wajahku. Suara nyanyian itu terdengar semakin dekat.
“AAAAHHH!”
Dengan panik kusibakkan selimut itu dan kuhempaskan ke lantai. Sambil terengah-engah, kuberanikan diri untuk melihat entah apa yang menimpaku tadi.
Selimut yang kulempar teronggok begitu saja di lantai. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang bergerak di dalamnya, entah itu cicak atau sesuatu yang lebih besar.
Kurasakan sesak mulai menyerang dadaku. Setengah megap-megap, aku mengambil pil kecil putih yang selalu kuminum kalau tiba-tiba jantungku kumat. Kusandarkan diriku ke dinding sambil menutup mata. Kuambil napas pelan-pelan sambil mencoba mengaturnya.
Ada yang salah di sini. Tak mungkin gadis kecil itu terus menggangguku kalau tidak ada maksudnya. Entah karena aku mengusiknya (walau pada kenyataannya aku nyaris tak pernah meninggalkan tempat tidurku), atau karena...
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara pintu yang terbuka perlahan. Mengerahkan semua keberanian yang kupunya sambil tetap mengatur napas, kubuka kedua mataku perlahan.
Pintu kamarku terbuka pelan. Dan sebuah bola plastik kuning memantul masuk.
Keringat dingin menetes dari dahiku. Setiap lambungan bola rasanya setara dengan satu detak jantungku. Akhirnya bola itu berhenti memantul dan berhenti di dekat kolong tempat tidurku. Aku menelan ludah, menunggu pemilik bola itu muncul.
Dan itu dia, kaki bersepatu putih itu kembali muncul di sudut pintu. Namun kali ini, jemari mungil pucat ikut menemaninya, memegang daun pintu seolah pemiliknya akan mengintip ke dalam.
Tanpa pikir panjang aku bergegas menuju pintu untuk melihat gadis kecil misterius itu dan yang kudapatkan di ambang pintu adalah rasa sakit yang luar biasa di kepalaku. Rasanya ada yang menusuk-nusuk mata dan tengkukku dengan jarum-jarum besar.
Aku meremas kerah piyamaku dengan keras, seolah-olah dengan cara itu rasa sakit kepala keparat ini bisa lenyap. Aku nyaris muntah, ketika aku berhasil membuka mata dan melihat pemandangan yang aku yakin bukan pemandangan yang seharusnya aku lihat.
Bagaikan menonton film dengan layar raksasa, bangsal rumah sakit yang biasanya bernuansa hijau, kini berwarna hitam putih. Kadang bangsal itu berkerak dan berkeretak, persis seperti ketika menonton film tahun 1920’an.
Bangsal itu sangat sepi, kuperkirakan adegan hitam putih ini terjadi di malam hari. Suasananya begitu hening. Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara jeritan di dalam kamarku – yang kini sudah berwarna hitam putih juga.
Seorang gadis kecil berpiyama bergerak dengan gerakan aneh di tempat tidurnya, berkelojotan dengan mata membelalak lebar dan mulutnya mengeluarkan busa. Seorang suster berusaha mati-matian menahan tubuh gadis itu agar tidak terlempar dari tempat tidur.
Sebagian tubuh gadis itu kuperhatikan lebih hitam dari bagian tubuh lainnya. Dokter yang menanganinya tampak panik.
“Sepertinya *carbamazepine-nya. *SJS, bagaimana ini Dok?”tanya suster dengan nada yang tak kalah panik.
Gadis kecil itu tak berhenti kejang-kejang, dan walau mukanya membengkak dan menghitam, aku tahu persis bahwa itu gadis yang pernah melihatku dari bawah pohon. Bola kuning yang selalu ia mainkan pun ada di kamar itu.
“Ambilkan *hidrokortison!”seru dokter itu cepat.
Suster itu berlari keluar melewatiku. Aku meringis ngeri melihat keadaan gadis mungil itu. Kejangnya perlahan reda, hanya kepala-nya yang sesekali tersentak kuat. Tapi tak lama kemudian lengannya yang sedari tapi mengepal kuat, kini terkulai lemah di pinggir tempat tidur.
Suster itu kembali dengan cepat sambil membawa nampan, namun ia berhenti ketika ia melihat dokter menutup wajah gadis kecil itu dengan selimut.
Semacam sengatan listrik terjadi lagi, dan pemandangan yang kulihat kembali berubah. Kasur tempat gadis kecil tadi tertidur kini sudah kosong dan bersih. Namun aku melihat sosok si dokter bersama seorang pria (yang tidak nampak seperti orang medis) sedang mendorong sebuah *blangkar keluar rumah sakit.
Dengan kepala pening seperti dibelah dua, aku berusaha mengejar kedua orang itu. Aku berjalan sempoyongan, berusaha mengatur napasku sambil terus meremas kerah piyamaku. Aku akhirnya bersandar di dinding rumah sakit, kehabisan tenaga dan napas. Mimpi tidak seharusnya senyata dan sesakit ini kan?
Lalu kurasakan sentuhan lembut di telapak tanganku. Gadis kecil pemilik bola kuning itu menempelkan pipinya ke punggung tanganku. Ia kemudian menengadah, melihatku dengan pandangan memelas.
Aku tahu. Aku tahu.
Kupaksakan dan kuseret kedua kakiku ke halaman rumah sakit. Pandanganku mulai mengabur, namun aku masih bisa melihat kedua orang itu menggali sesuatu di bawah pohon. Kuangkat tanganku seolah ingin meraih mereka, dan...
DEG!
Sebuah sentakan keras bertalu di dadaku. Aku hanya sempat mengambil sehela napas dan aku pun ambruk ke tanah.
***
Tetes-tetes dingin embun membasahi pipiku.
Kubuka mataku perlahan, dan segera kututup kembali karena mataku kelilipan ujung rumput yang basah.
Bau embun dan rumput segera memenuhi rongga hidungku. Sinar matahari memang belum sepenuhnya muncul, tapi suara burung yang berkicau sudah mulai terdengar. Hari sudah pagi, aku tersadar.
Dengan tenaga sepenuhnya pulih (yang aku juga bingung kok bisa. Aku begitu habis-habisan tadi malam dan seharusnya aku bahkan tak punya tenaga untuk mengunyah sekarang) dan bertopang dengan kedua tangan, aku berusaha untuk bangkit.
Lalu kurasakan kakiku tersangkut sesuatu, dan aku berbalik untuk melepaskan apapun yang tersangkut di kakiku.
Dan aku melihat jemari putih kurus yang sudah menjadi tulang belulang keluar dari dalam tanah, menggengam pergelangan kakiku dengan erat.
Tanpa sadar aku tersenyum dan mengelusnya.
“Ternyata kau di situ ya. Jangan khawatir, aku sudah menemukanmu. Istirahatlah dengan tenang.”
***
Polisi segera mengamankan mayat Emi – nama gadis itu – dan memasang garis pengaman di sekitar pohon taman belakang. Aku lega bahwa dokter yang menangani Emi dulu sudah ditangkap dan kini sedang diperiksa. Ia mungkin akan dijadikan terdakwa dengan tuduhan malpraktek. Entahlah, aku tidak begitu mengerti hukum. Pokoknya selama dokter itu harus membayar apa yang ia lakukan, aku cukup puas.
Kini aku kembali berbaring dengan nyaman di tempat tidurku dengan perasaan lebih enak. Kejadian beberapa hari yang lalu serasa berlangsung berminggu-minggu dan menguras habis tenaga dan pikiranku.
Kabar bagusnya, dokter menyatakan bahwa kondisiku sudah lebih baik dan bisa meninggalkan rumah sakit dalam beberapa hari lagi. Ibu juga sudah mengambil cuti dan akan menghabiskan liburan denganku. Keadaan tak bisa lebih bagus lagi.
Aku mendengar suara pintu diketuk dan seorang suster bertumbuh agak gempal masuk ke dalam.
“Siang Yuki. Saya Suster Ana, yang dulu pernah menangani Emi.”
Ah, aku akhirnya mengingatnya sebagai suster yang kulihat di memori hitam putih Emi. Tapi aku tidak akan menceritakannya pada suster ini bahwa aku pernah melihatnya, bisa-bisa aku ditahan lagi di rumah sakit untuk kasus yang berbeda.
“Siang. Ada apa ya?”tanyaku tanpa basa basi.
Suster Ana tersenyum dan menyeret kursi untuk duduk di sampingku.
“Saya cuma mau mengucapkan terima kasih karena sudah menemukan Emi. Anak itu baik sekali. Waktu dia meninggal saya sedih. Dokter Henry bilang kalau mayatnya sudah dikembalikan dan dimakamkan oleh panti asuhannya, dan saya disuruh tutup mulut tentang kesalahan pengobatan yang dia perbuat. Kalau saya berani macam-macam, saya diancam akan diberhentikan dari sini, padahal saya sedang butuh uang waktu itu. Tapi saya mengaku salah juga. Saya terima kalau harus dihukum”
Aku mulai tertarik pada cerita Suster Ana. “Suster, Emi dari panti asuhan?”
Suster Ana mengangguk antusias. “Emi itu anak yatim piatu yang dirawat di sini karena epilepsinya sudah parah. Anaknya baik sekali, dia suka bermain dengan pasien sini.”
Aku mengangguk.
“Syukurlah” lanjut Suster Ana “kalau sudah ketemu begini, Ema juga mungkin akan tenang ya.”
Dahiku mengernyit. “Ema, Sus?”
“Ema itu kakak kembar Emi. Dia meninggal duluan karena penyakit yang sama namun terlambat ditangani. Dia juga anak baik, dia suka menyanyi Twinkle Twinkle Little Star, membuat kami tertawa karena dia begitu manis. Rasanya aku punya foto mereka berdua. Mana ya?”
Aku tak mendengar perkataan Suster Ana. Ataupun tertarik untuk melihat foto si kembar.
Yang kurasakan hanya punggungku mendingin. Dan kurasakan rambutku ditarik lagi dari belakang.
Samar, kudengar suara berbisik yang sudah kukenal di telingaku, menyanyikan lagu yang kini sudah bisa kutebak judulnya.
Twinkle twinkle little star...
How I wonder what you are...
Aku tak berani menengok ke belakang.
***
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
Keterangan:
*Carbamazepine: Salah satu jenis obat untuk menangani epilepsi
*Carbamazepine: Salah satu jenis obat untuk menangani epilepsi
*SJS (Sindrom Stevens-Johnson): Kelainan serius pada kulit dan selaput lendir akibat reaksi dari obat atau adanya infeksi. Tanda dan gejala dari SJS biasanya meliputi pembengkakan di muka, lidah membengkak, sakit pada kulit, ruam kulit berwarna merah atau ungu yang menyebar dalam hitungan jam atau hari, melepuh pada kulit dan selaput lendir terutama di mulut, hidung dan mata serta kulit yang mengelupas. Bisa menyebabkan kematian jika terlambat ditangani
*Hidrokortison: Salah satu jenis obat untuk anti alergi. Digunakan untuk kasus alergi akut.
*Blangkar: Tempat tidur dorong di rumah sakit (biasa kan momo suka bgt baca ilmu kedokteran :D)
Baca juga Cerpen Horor yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar