APES
(Anak Penjaga Sekolah yang Malang)
Cerpen Juliandi
Cerpen Juliandi
Iin membungkukkan badan nya dalam – dalam. Melongok ke dalam laci, dan bibirnya terus menggerutu. Begitu banyak sampah di dalam lacinya itu, seakan – akan sampah satu sekolahan dibuang ke lacinya itu. Sialan ini pasti perbuatan Fiki. Busuk bajingan!.
Dulu Fiki memang pernah menaruh bangkai seekor kecoakke lacinya. Tidak sengaja benda menjijikan itu terpengang olehnya. Saat membersihkan kelas, dengan sangat lekas ia menarik tangannya dari laci itu. “Binatang apa barusan ku pegang?! Astaga!!.. untung dia tidak menggigit tangan ku”.
“Sialan”. Ujarnya lagi saat ia memandang ke arah bangku Fiki dengan gemasnya. Dia pasti sengaja menaruh bangkai kecoak itu di laciku. Tidak mungkin sang kecoak mati sengaja dalam laci ku itu.
Teman – temannya memang senang mengolok – olokkan Iin. Mentang – mentang Iin hanya seorang anak penjaga sekolah. Iin sering membantu ibunya, membersihkan perkarangan sekolah setiap satu jam sebelum pintu gerbang di buka.
Entah berapa kali Iin sudah memperingati Fiki. Tapi Fiki si anak bandel tak mau peduli malah ia suka membuat di papan tulis “Apes, mukamu jelek kayak sepatumu yang sudah tidak layak di pakai, hahahaha”. Tulisan yang besar – besar dan jelek itu pasti tulisan si Fiki. tapi kalau mereka mengejek sseperti itu sudah biasa, Iin memang tidk pernah marah. Karena sudah biasa di jadikan bahan cemoohan.
Julukan Apes, Anak Penjaga Sekolah, juga berasal dari tulis liardi papan tulis. Entah siapa yang jail punya ide seperti itu. Yang jelas Iin menjadi populer dengan julukan itu. Teman –teman lebih senang memanggilnya Apes dari padsa Iin. “Lebih keren”, gurau si Ryan. “Iin kan kampungan! Kamseupaylah.
Iin pernah menolak masuk sekolah, ia malu di katai anak penjaga sekolah oleh teman- temannya. Lalu Iin melihat ibunya bangun lebih pagi, mengambil alih tugasnya. Menimba air, membersihkan perkarangan sekolah, mengepel lantai sekolah membersihkan Wc. Iin pun merasa sedih tidak sampai hati melihat ibunya bekerja seorang diri.
Ayah Iin sudah lama meninggal. Ibunya yang mencari makan untuk mereka, dengan bekerja menjadi pembantu di sekolah. Ibu tidak marah ketika Iin tidak mau membersihkan perkarangan sekolah, tapi ibu menangis ketika Iin menolak untuk masuk sekolah.
“Ibu kerja keras supaya kamu bisa sekolah, Nak”, desah ibu sambil menangis. “supaya kau tidak susah seperti ibu”.
Dan Iin terpaksa masuk sekolah lagi dengan menebal – nebalkan muka. Hanya agar ibu tidak kecewa. Iin menyadari bahwa setiap butir nasi yang ia makan adalah hasil jerih payah ibunya, dan hasil keringat ibunya.
Seperti biasa, sedang sibuk – sibuk nya ia membersihkan lacinya, tangannya menyentuh benda basah. ketika ia menarik tangannya ia melihat bahwa tangannya belepotan tinta spidol warna hitam.
Ada anak yang sengaja menaruh tinta itu di dalam lacinya. Sengaja mempermainkan Iin. “pasti ini ulah si Fiki juga, memang dia anak yang paling jahil.” Ujar Iin dalam hati.
Terpaksa ia mencuci tangannya di Wc,dan Wc adalah tempat yang paling menjijikan di seluruh jagat. Iin paling jijik kalau di suruh membersihkan Wc, kalau boleh memilihlebih baik ia membersihkan seluruh perkarangan sekolah dan keles-kelas yang ada di sekolahnya itu.tapi karena ibunya sangat repot terpaksa dia harus membersihkannya juga.
Sialnya pagi itu dia harus mencuci tangannya di situ. Lebih sialnya lagi saat ia melengok sana lengok sini, semua bak kosong melompong. Akhirnya ia terpaksa heranya mengelap tangannya, sementara ia sangat dendam, yang disimpannya rapi – rapi dalam benaknya. Dia harus menunngu beberapa saat lagi sampai pintu gerbang sekolah di buka. Dan teman – temannya berebutan masuk.
“Selamat pagi Apes, perkarangan sekoloah sudah bersih?”
Ah itu ejekan biasa. Kalau begitu saja dia marah jangan – jangan dia harus berkelahi dengan seluruh kelas.
Dengan muka tebalnya Iin menunggu si Fiki di depan pintu gerbang. Dia tidak mau berkelahi di halaman sekolah, dia akan mencegat Fiki di pintu gerbang, menyeretnya keluar, dan menantangnya adu mulut.
Selama ini Fiki sudah keterlaluan. Makin didiamkan makin sesuka hatinya. Mentang – mentang dia anak orang kaya, seenaknya saja ia menghina orang miskin!
“Nggak masuk Apes?” tegur Iwan datang terburu – buru. Dia terlambat, dan biasanya guru piket sudah berdiri di depan meja piket. Melihat siapa yang datang.
“Masuk aja duluan”. Sahut Iin sambil mencari – cari sepeda motor berwarna merah diantara kendaraan yang lewat, dan penumpangnya orang yang sombong serta bandel itu.
“Nunggu siapa Apes?” tanya Iwan heran. “Nngak masuk? Udah telat nii! Entar di hukum lo!”.
Sekali lagi Iin menoleh ke jalan, tetapi sepeda motor yang di tunggunya belum juga kelihatan. Terpaksa dia ikut dengan Iwan masuk.
Sebenarnya Iin lebih suka berkelahi di luar sekolah, supaya kepala sekolah tidak tahu, dan tidak ikut campur. Supaya ibunya tidak perlu ikut di panggil. Tetapi entah kenapa rasa dendam Iin hilang begitu saja saat ia hendak masuk ke kelasnya.
Bapak Drs. Bahar Udin masih tegak di depan kantornya ketika Iik lewat, tetapi tidak berkata apa – apa. Tidak menegur, tidak memarahi, melainkan hanya melihat dengan tatapan tajam. Padahal Iin sudah terlambat setengah jam. Iwan saja sudah lari lintang – lintung. Barang kali selalu ada kata maaf untuk Iin. Bapak kepala sekolah tahu bahwa pekerjaesekolahan Iin cukup berat. Dia harus mandi dulu, menukar baju dengan seragamsekolah. Baru kembali ke sekolah. Meskipun rumahnya di belakang sekolah, dia perlu waktu. Mungkin juga dia harus membantu ibunya dulu di rumah.
Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar